Para ulama telah sepakat bahwa ketaatan gugur ketika penguasa tertimpa kekafiran, karena imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir.
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata :
أجمع كل من يحفظ عنه من أهل العلم أن الكافر لا ولاية له على مسلم بحال
“Para ulama telah bersepakat bahwa orang kafir tidak boleh diserahi kekuasaan atas muslim dalam keadaan apapun” [Dinukil oleh Ibnul-Qayyim dalam Ahkaamu Ahlidh-Dhimmah, hal. 237].
Al-Qaadliy Abu Ya’laa rahimahullah berkata :
إن كفر بعد إيمانه فقد خرج عن الإمامة وهذا لا إشكال فيه، لأنه قد خرج عن الملة، ووجب قتله
“Apabila pemimpin menjadi kufur setelah keimanannya, sungguh ia mesti keluar dari kepemimpinan/imaamah (kaum muslimin). Tidak ada berarti dia harus diturunkan dari tampuk kepemimpinannya. Tidak ada perbedaan pendapat tentang masalah ini, karena ia telah keluar dari agama (murtad), dan bahkan ia mesti dibunuh” [Al-Mu’tamad fii Ushuuliddiin hal. 243].
Ibnu Hajar berkata :
انه ينعزل بالكفر إجماعا فيجب على كل مسلم القيام في ذلك فمن قوي على ذلك فله الثواب ومن داهن فعليه الإثم ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض
”Bahwasannya mencopot (seorang pemimpin) karena kekufuran merupakan ijma’. Maka wajib bagi setiap muslim untuk melakukan hal tersebut. Barangsiapa yang mampu melakukanya, maka ia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak mau melakukannya (padahal dia mampu), maka ia mendapatkan dosa. Dan barangsiapa yang lemah (tidak memiliki kemampuan), maka ia harus berhijrah meninggalkan negeri tersebut” [Fathul-Bari juz 13 syarah hadits no. 6725].
Akan tetapi para ulama berbeda pendapat[1] tentang kebolehan keluar ketaatan dari penguasa yang dhaalim yang melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah ta’ala.
Abul-Hasan Al-Asy’ary rahimahullah meringkas perbedaan pendapat tersebut sebagai berikut :
واختلف الناس في السيف على أربعة أقاويل: فقالت المعتزلة والزيدية والخوارج وكثير من المرجئة: ذلك أوجب إذا أمكننا أن نزيل بالسيف أهل البغي ونقيم الحق واعتلوا بقول الله عز وجل: {وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى}. وبقوله : {فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ}. واعتلوا بقول الله عز وجل : {قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ}. وقالت الروافض بإبطال السيف ولو قتلت حتى يظهر الإمام فيأمر بذلك. وقال أبو بكر الأصم ومن قال بقوله: السيف إذا اجتمع على إمام عادل يخرجون معه فيزيل أهل البغي. وقال قائلون: السيف باطل ولو قتلت الرجال وسبيت الذرية وأن الإمام قد يكون عادلاً ويكون غير عادل وليس لنا إزالته وإن كان فاسقاً وأنكروا الخروج على السلطان ولم يروه وهذا قول واخلفوا في إنكار المنكر والأمر بالمعروف بغير السيف: فقال قائلون: تغير بقلبك فإن أمكنك فبلسانك فإن أمكنك فبيدك وأما السيف فلا يجوز وقال قائلون: يجوز تغيير ذلك باللسان والقلب فأما باليد فلا.
”Manusia telah berselisih pendapat dalam masalah (mengangkat) pedang menjadi empat pendapat, yaitu :
1. Telah berkata Mu’tazillah, Zaidiyyah[2], Khawaarij, dan kebanyakan dari orang-orang Murji’ah : ”Hal itu menjadi wajib apabila dengan pedang tersebut kita bisa menyingkirkan orang yang berbuat aniaya/lalim (ahlul-baghy) serta menegakkan kebenaran”. Mereka beralasan dengan firman Allah ’azza wa jalla : ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” [QS. Al-Maaidah : 2]. ”Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” [QS. Al-Hujuraat : 9]. Allah berfirman :"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim" [QS. Al-Baqarah : 124].
2. Telah berkata Raafidlah (Syi’ah) untuk menggugurkan (mengangkat) pedang sekalipun harus terbunuh hingga munculnya imam yang menyuruhnya (untuk mengangkat pedang).
3. Telah berkata Abu Bakr bin Al-Asham dan orang-orang yang sependapat dengannya : Bahwasannya (mengangkat) pedang diperbolehkan apabila orang-orang berkumpul bersama imam yang ’adildan keluar bersamanya untuk menyingkirkan orang yang berbuat aniaya/lalim (ahlul-baghyi).
4. Telah berkata beberapa golongan yang lain : ”(Mengangkat) pedang adalah bathil meskipun ada beberapa orang yang terbunuh. Imam itu bisa jadi seorang yang adil atau tidak adil, dan tidak boleh bagi kita untuk menyingkirkannya walaupun ia seorang yang fasiq”. Mereka mengingkari tindakan keluar/memberontak kepada sulthan; dan mereka tidak berpendapat dengan pendapat tersebut (mengangkat pedang kepada sulthan/penguasa). Pendapat ini menyatakan, mengganti (cara-cara seperti itu) dalam hal mengingkari kemungkaran dan ajakan kepada yang ma’ruf adalah dengan (cara-cara) tanpa menggunakan pedang. Sebagian orang berkata : ”Ubahlah (maksudnya : ingkarilah) dengan hatimu. Jika keadaan memungkinkan, maka ubahlah dengan lisanmu. Dan jika keadaan lebih memungkinkan lagi, maka ubahlah dengan tanganmu. Adapun dengan pedang (yang dengan itu terjadi penumpahan darah), maka tidak diperbolehkan. Sebagian lain mengatakan : ”Diperbolehkan untuk mengubah hal itu dengan lisan dan hati. Namun jika dengan tangan, maka tidak diperbolehkan ” [selesai – Maqaalatul-Islamiyyinhal. 139; Maktabah Al-Misykah].
Ibnu Hajar rahimahullah menambahkan keterangan :
وَقَالَ الطَّبَرِيُّ : اِخْتَلَفَ السَّلَف فِي الْأَمْر بِالْمَعْرُوفِ ، فَقَالَتْ طَائِفَة يَجِب مُطْلَقًا وَاحْتَجُّوا بِحَدِيثِ طَارِق بْن شِهَاب رَفَعَهُ " أَفْضَل الْجِهَاد كَلِمَة حَقّ عِنْدَ سُلْطَان جَائِر " وَبِعُمُومِ قَوْله " مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ " الْحَدِيث . وَقَالَ بَعْضهمْ : يَجِب إِنْكَار الْمُنْكَر ، لَكِنَّ شَرْطه أَنْ لَا يَلْحَق الْمُنْكِر بَلَاء لَا قِبَلَ لَهُ بِهِ مِنْ قَتْلٍ وَنَحْوه . وَقَالَ آخَرُونَ : يُنْكِر بِقَلْبِهِ لِحَدِيثِ أُمّ سَلَمَة مَرْفُوعًا " يُسْتَعْمَل عَلَيْكُمْ أُمَرَاء بَعْدِي ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ " الْحَدِيث
”Telah berkata Ath-Thabari : ’Orang-orang salaf saling berbeda pendapat dalam perkara menyuruh perbuatan yang baik (al-amru bil-ma’ruf). Sebagian orang berkata : Wajib secara mutlak, dengan dasar hadits dari jalan Ibnu Syihab secara marfu’ : ”Seutama-utama jihad adalah kalimat yang haq di sisi sulthan/penguasa yang jahat”. Dan juga dari keumuman hadits : Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tanganmu (al-hadits). Sebagian yang lain berkata : Wajib mengingkari kemungkaran, tapi dengan syarat bahwa orang tersebut tidak menimbulkan kekacauan, seperti munculnya tindakan pembunuhan atau yang semisal. Dan berkata sebagian yang lain lagi : Ia ingkari dengan hatinya berdasarkan hadits Ummu Salamah secara marfu’ : Akan diangkat penguasa untuk kalian setelahku. Barangsiapa yang membencinya, maka ia telah berlepas diri. Dan barangsiapa yang mengingkarinya, maka ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut (al-hadits)” [Fathul-Baariy, 13/53].
Melalui tulisan ini, saya hanya akan menuliskan sisi perajihan pendapat jumhur ulama yang menetapkan kewajiban mendengar dan taat, serta haramnya keluar ketaatan dari seorang pemimpin (muslim), meski ia dhalim lagi fajir.[3]
Dalil yang melandasi pendapat ini antara lain adalah :
a. Hadits ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu ‘anhumaa.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ بُكَيْرٍ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ، قَالَ: " دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ، قُلْنَا: أَصْلَحَكَ اللَّهُ، حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ "
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, dari ‘Amru, dari Bukair, dari Busr bin Sa’iid, dari Junaadah bin Abi Umayyah, ia berkata : “Aku pernah masuk menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit yang wakti itu sedang sakit. Kami berkata : “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Ceritakanlah kepada kami satu hadits yang Allah telah memberikan manfaat kepadamu dengannya yang engkau dengar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia (‘Ubaadah) berkata : “Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, dan kami pun berbaiat kepada beliau. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hal yang beliau ambil perjanjian dari kami yaitu kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan kami agar kami berbaiat untuk senantiasa mendengar dan taat baik dalam keadaan senang ataupun benci, dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah, ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7056].
Ibnu ‘Abdil-Barr setelah menyebutkan pendapat sebagian salaf yang mengatakan bahwa hadits ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit itu hanya berlaku pada penguasa yang ‘adil, baik, lagi kuat dalam memegang agama; berkata :
وأما جماعة أهل السنة وأئمتهم فقالوا هذا هو الاختيار أن يكون الإمام فاضلا عالما عدلا محسنا قويا على القيام كما يلزمه في الإمامة فإن لم يكن فالصبر على طاعة الإمام الجائر أولى من الخروج عليه لأن في منازعته والخروج عليه استبدال الأمن بالخوف وإراقة الدماء وانطلاق أيدي الدهماء وتبييت الغارات على المسلمين والفساد في الأرض وهذا أعظم من الصبر على جور الجائر
“Adapun jama’ah Ahlus-Sunnah dan para imam mereka mengatakan bahwa hal ini merupakan ikhtiyaar bahwa imam mesti terpuji/mempunyai keutamaan, ‘alim, ‘adil, baik, mampu melaksanakan mandat kepemimpinan sebagaimana diwajibkan dalam perkara imaamah. Namun apabila tidak terwujud, maka bersabar untuk mentaatinya lebih utama daripada keluar ketaatan terhadapnya, karena dalam upaya penentangan/konfrontasi serta keluar ketaatan darinya menyebabkan pergantian rasa aman menjadi ketakutan, pertumpahan darah, campur tangan orang-orang awam, huru-hara, dan kerusakan di muka bumi. Semuanya ini lebih besar (mafsadatnya) daripada bersabar atau kedhaliman penguasa” [Al-Istidzkaar, 5/15].
Al-Qurthubiy mengatakan perkataan yang semisal dengan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahumallah dalam Tafsiir-nya [2/109].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengomentari hadits ini dengan perkataannya :
فأمرهم بالطاعة ونهاهم عن منازعة الأمر أهله وأمرهم بالقيام بالحق
“Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk taat dan melarang mereka untuk melepaskan perkara dari ahlinya (mencopot) serta memerintahkannya untuk selalu bertindak dalam kebenaran” [Al-Istiqaamah, 1/41].
Al-Kirmaaniy rahimahullah berkata :
فِي الْحَدِيث حُجَّة فِي تَرْك الْخُرُوج عَلَى السُّلْطَان وَلَوْ جَارَ ، وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاء عَلَى وُجُوب طَاعَة السُّلْطَان الْمُتَغَلِّب وَالْجِهَاد مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَته خَيْر مِنْ الْخُرُوج عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْن الدِّمَاء وَتَسْكِين الدَّهْمَاء ، ...... ، وَلَمْ يَسْتَثْنُوا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا إِذَا وَقَعَ مِنْ السُّلْطَان الْكُفْر الصَّرِيح فَلَا تَجُوز طَاعَته فِي ذَلِكَ بَلْ تَجِب مُجَاهَدَته لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهَا
“Di dalam hadits ini merupakan hujjah adanya larangan meluar ketaatan memberontak terhadap sulthaan (penguasa), meskipun ia seorang yang dhalim. Dan para fuqahaa’ telah bersepakat wajibnya taat kepada sulthaan yang berkuasa dan jihad bersamanya, dan bahwasannya ketaatan kepadanya adalah kebaikan dibandingkan keluar ketaatan terhadapnya, karena yang demikian itu dapat melindungi (pertumpahan) darah dan menenangkan orang banyak…. Dan mereka tidak membuat perkecualian dari hal tersebut kecuali terjadi kekufuran yang jelas pada diri sulthaan, sehingga tidak diperbolehkan taat kepadanya dalam hal itu, bahkan wajib berjihad melawannya bagi orang yang mempunyai kemampuan” [Fathul-Baariy, 13/7].
Al-Kirmaaniy rahimahullah dan fuqahaa’ yang ia maksudkan hanya membuat perkecualian bolehnya keluar ketaatan dikarenakan faktor kekufuran dari imam/sulthaan/penguasa. Selama ia tidak terjatuh dalam kekufuran, meskipun ia berbuat maksiat maka tetap wajib mendengar dan taat – demi menghindari mafsadat yang lebih besar.
An-Nawawiy rahimahullahberkata :
وَمَعْنَى الْحَدِيث : لَا تُنَازِعُوا وُلَاة الْأُمُور فِي وِلَايَتهمْ ، وَلَا تَعْتَرِضُوا عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنْ تَرَوْا مِنْهُمْ مُنْكَرًا مُحَقَّقًا تَعْلَمُونَهُ مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَأَنْكِرُوهُ عَلَيْهِمْ ، وَقُولُوا بِالْحَقِّ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ ، وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ
“Makna hadits ini adalah janganlah kalian menentang penguasa dalam kekuasaan mereka. Dan jangan pula melawan mereka, kecuali kalian melihat dari mereka kemungkaran yang nyata yang kalian ketahui dari kaedah-kaedah Islam. Jika kalian melihat hal itu, ingkarilah mereka (dengan cara menasihatinya), dan katakanlah kebenaran di manapun kalian berada. Adapun keluar ketaatan dan memerangi mereka, maka haram hukumnya berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin, meskipun mereka berbuat kefasiqan lagi dhalim” [Syarh Shahiih Muslim, 12/229].
وَقَالَ جَمَاهِير أَهْل السُّنَّة مِنْ الْفُقَهَاء وَالْمُحَدِّثِينَ وَالْمُتَكَلِّمِينَ : لَا يَنْعَزِل بِالْفِسْقِ وَالظُّلْم وَتَعْطِيل الْحُقُوق ، وَلَا يُخْلَع وَلَا يَجُوز الْخُرُوج عَلَيْهِ بِذَلِكَ ، بَلْ يَجِب وَعْظه وَتَخْوِيفه ؛ لِلْأَحَادِيثِ الْوَارِدَة فِي ذَلِكَ قَالَ الْقَاضِي : وَقَدْ اِدَّعَى أَبُو بَكْر بْن مُجَاهِد فِي هَذَا الْإِجْمَاع ، وَقَدْ رَدَّ عَلَيْهِ بَعْضهمْ هَذَا بِقِيَامِ الْحَسَن وَابْن الزُّبَيْر وَأَهْل الْمَدِينَة عَلَى بَنِي أُمَيَّة ، وَبِقِيَامِ جَمَاعَة عَظْمِيَّة مِنْ التَّابِعِينَ وَالصَّدْر الْأَوَّل عَلَى الْحَجَّاج مَعَ اِبْن الْأَشْعَث ، وَتَأَوَّلَ هَذَا الْقَائِل قَوْله : أَلَّا نُنَازِع الْأَمْر أَهْله فِي أَئِمَّة الْعَدْل ، وَحُجَّة الْجُمْهُور أَنَّ قِيَامهمْ عَلَى الْحَجَّاج لَيْسَ بِمُجَرَّدِ الْفِسْق ، بَلْ لَمَّا غَيَّرَ مِنْ الشَّرْع وَظَاهَرَ مِنْ الْكُفْر ، قَالَ الْقَاضِي : وَقِيلَ : إِنَّ هَذَا الْخِلَاف كَانَ أَوَّلًا ثُمَّ حَصَلَ الْإِجْمَاع عَلَى مَنْع الْخُرُوج عَلَيْهِمْ . وَاَللَّه أَعْلَم
“Jumhur Ahlus-Sunnah dari kalangan fuqahaa', muhadditsiin, dan ahli kalaam berkata : Seorang pemimpin tidak boleh diturunkan dengan sebab kefasiqan, kedhaliman, peniadaan pelaksanaan hak-hak (kaum muslimin). Ia tidak boleh dicopot, tidak boleh keluar ketaatan darinya dengan sebab hal tersebut. Bahkan wajib bagi kaum muslimin untuk menasihatnya dan mengingatkannya agar takut kepada Allah - berdasarkan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal tersebut. Al-Qaadliy berkata : 'Abu Bakr bin Mujaahid bahkan telah mengklaim adanya ijma' dalam permasalahan ini’. Sebagian ulama membantah klaim ijmaa’ ini dengan bukti perbuatan Al-Hasan, Ibnuz-Zubair, dan penduduk Madiinah yang keluar ketaatan dari Bani Umayyah[4]. Dan juga dengan perbuatan sekelompok besar taabi’iin dan generasi awal bersama Ibnul-Asy’ats terhadap Al-Hajjaaj (bin Yuusuf Ats-Tsaqafiy). Ulama yang memegang pendapat ini (yang membolehkan keluar ketaatan) mena’wilkan perkataan ‘Ubaadah; ‘agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa)’; yaitu untuk para pemimpin yang ‘adil. Sedangkan hujjah jumhur ulama bahwasanyya perbuatan mereka keluar ketaatan dari Al-Hajjaaj bukanlah karena kefasiqan saja, akan tetapi karena ia merubah syari’at dan menampakkan kekufuran. Al-Qaadliy berkata : ‘Sesungguhnya khilaaf (perbedaan pendapat) ini terjadi di waktu awal, namun kemudian terjadi kesepakatan (ijmaa’) adanya larangan keluar ketaatan terhadap mereka (penguasa yang dhalim)’. Wallaahu a’lam” [idem].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قَالَ النَّوَوِيّ : الْمُرَاد بِالْكُفْرِ هُنَا الْمَعْصِيَة ، وَمَعْنَى الْحَدِيث لَا تُنَازِعُوا وُلَاة الْأُمُور فِي وِلَايَتهمْ وَلَا تَعْتَرِضُوا عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنْ تَرَوْا مِنْهُمْ مُنْكَرًا مُحَقَّقًا تَعْلَمُونَهُ مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ؛ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَأَنْكِرُوا عَلَيْهِمْ وَقُولُوا بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنْتُمْ اِنْتَهَى . وَقَالَ غَيْره : الْمُرَاد بِالْإِثْمِ هُنَا الْمَعْصِيَة وَالْكُفْر ، فَلَا يُعْتَرَض عَلَى السُّلْطَان إِلَّا إِذَا وَقَعَ فِي الْكُفْر الظَّاهِر ، وَاَلَّذِي يَظْهَر حَمْل رِوَايَة الْكُفْر عَلَى مَا إِذَا كَانَتْ الْمُنَازَعَة فِي الْوِلَايَة فَلَا يُنَازِعهُ بِمَا يَقْدَح فِي الْوِلَايَة إِلَّا إِذَا اِرْتَكَبَ الْكُفْر ، وَحَمْل رِوَايَة الْمَعْصِيَة عَلَى مَا إِذَا كَانَتْ الْمُنَازَعَة فِيمَا عَدَا الْوِلَايَة ، فَإِذَا لَمْ يَقْدَح فِي الْوِلَايَة نَازَعَهُ فِي الْمَعْصِيَة بِأَنْ يُنْكِر عَلَيْهِ بِرِفْقٍ وَيَتَوَصَّل إِلَى تَثْبِيت الْحَقّ لَهُ بِغَيْرِ عُنْف ، وَمَحَلّ ذَلِكَ إِذَا كَانَ قَادِرًا وَاَللَّه أَعْلَم . وَنَقَلَ اِبْن التِّين عَنْ الدَّاوُدِيِّ قَالَ : الَّذِي عَلَيْهِ الْعُلَمَاء فِي أُمَرَاء الْجَوْر أَنَّهُ إِنْ قَدَرَ عَلَى خَلْعه بِغَيْرِ فِتْنَة وَلَا ظُلْم وَجَبَ ، وَإِلَّا فَالْوَاجِب الصَّبْر . وَعَنْ بَعْضهمْ لَا يَجُوز عَقْد الْوِلَايَة لِفَاسِقٍ اِبْتِدَاء ، فَإِنْ أَحْدَثَ جَوْرًا بَعْدَ أَنْ كَانَ عَدْلًا فَاخْتَلَفُوا فِي جَوَاز الْخُرُوج عَلَيْهِ ، وَالصَّحِيح الْمَنْع إِلَّا أَنْ يُكَفِّر فَيُجِبْ الْخُرُوج عَلَيْهِ .
“Telah berkata An-Nawawi : Yang dimaksudkan dengan kufur di sini adalah kemaksiatan. Jadi makna hadits adalah : Jangan kalian menentang ulil-amri (pemimpin/penguasa) dalam kekuasaan mereka dan janganlah kalian membangkang kecuali apabila kalian melihat kemungkaran yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk kaedah-kaedah Islam (min qawaa’idil-Islaam). Apabila kalian melihat yang demikian itu, maka ingkarilah dan sampaikanlah yang benar dimanapun kalian berada” – selesai –. (Ibnu Hajar melanjutkan : ) Dan berkata ulama selain beliau (An-Nawawi) : ”Bahwasannya yang dimaksudkan dengan dosa adalah kemaksiatan dan kekufuran. Maka dari itu, tidak diperbolehkan melakukan penyerangan kepada sulthan kecuali bila ia telah terjatuh dalam kekufuran yang nyata”.
Dan yang jelas adalah membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kekafiran dalam konteks bolehnya merebut kekuasaan, sehingga tidak boleh direbut semata karena adanya faktor yang menodai kekuasaannya tersebut, kecuali jika ia melakukan kekufuran. Dan membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kemaksiatan untuk merebut urusan di luar kekuasaan. Apabila kekuasannya tidak ternoda (dengan satu kekufuran), namun di sisi lain ia terkena satu kemaksiatan, maka cara menghilangkannya adalah dengan pengingkaran yang lemah-lembut dan mengantarkannya pada kebenaran tanpa kekerasan. Itu jika ia mampu. Wallaahu a’lam. Dan dinukil dari Ibnut-Tiin dari Ad-Dawudi bahwasannya ia berkata : ”Yang menjadi kewajiban ulama kepada para pemimpin yang dhalim/jahat yaitu jika ia mampu untuk menurunkannya dari jabatannya tanpa menimbulkan fitnah dan kedhaliman, maka ia wajib melakukannya. Sebaliknya, jika ia tidak mampu, maka wajib untuk bersabar”. Dan dari selainnya : “Pada asalnya, tidak diperbolehkan untuk memberikan kekuasaan kepada orang yang fasiq. Apabila ia melakukan kedhaliman setelah sebelumnya ia seorang yang ‘adil, maka mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang kebolehan keluar dari ketaatan darinya. Dan yang benar adalah larangan untuk keluar dari ketaatan darinya (memberontak) kecuali bila ia telah kafir. Maka dalam hal ini wajib untuk keluar dari ketaatan kepadanya” [Fathul-Baariy, 13/8].
b. Hadits Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.
وحَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ جميعا، عَنْ مُعَاذٍ وَاللَّفْظُ لِأَبِي غَسَّانَ، حَدَّثَنَا مُعَاذٌ وَهُوَ ابْنُ هِشَامٍ الدَّسْتَوَائِيُّ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، عَنْ ضَبَّةَ بْنِ مِحْصَنٍ الْعَنَزِيِّ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نُقَاتِلُهُمْ، قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا، أَيْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ "
Dan telah menceritakan kepadaku Abu Ghassaan Al-Misma’iy dan Muhammad bin Basysyaar, keduanya dari Mu’aadz – dan lafadhnya milik Abu Ghassaan - : Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Hisyaam Ad-Dastawaaiy : telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qataadah : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, dari Dlabbah bin Mihshan Al-‘Anaziy, dari Ummu Salamah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Akan diangkat para penguasa untuk kalian. Lalu kalian mengenalinya dan kemudian kalian mengingkarinya (karena ia telah berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas tangan. Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat, yaitu barangsiapa yang membenci dan mengingkari dengan hatinya” [HR. Muslim no. 1854]
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وَأَمَّا قَوْله : ( أَفَلَا نُقَاتِلهُمْ ؟ قَالَ : لَا ، مَا صَلَّوْا ) فَفِيهِ مَعْنَى مَا سَبَقَ أَنَّهُ لَا يَجُوز الْخُرُوج عَلَى الْخُلَفَاء بِمُجَرَّدِ الظُّلْم أَوْ الْفِسْق مَا لَمْ يُغَيِّرُوا شَيْئًا مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام
”Dan hadits : ‘[Tidakkah kami boleh memerangi mereka ?’. Beliau bersabda : ‘Tidak, selama mereka masih shalat’], maka di dalamnya terkandung makna yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu peniadaan kebolehan keluar ketaatan penguasa dengan sebab kedhaliman atau kefasiqan semata, selama mereka (penguasa) tidak mengubah sesuatupun dari kaedah-kaedah Islam” [Syarah Shahih Muslim, 12/244].
Kaedah-kaedah Islam yang dimaksudkan oleh An-Nawawiy ini maksudnya adalah shalat, karena ia merupakan kewajiban amal lahiriyyah yang paling besar. Orang yang meninggalkannya adalah kafir (menurut ulama yang berpendapat kafir), atau mendekati ambang kekafiran (menurut ulama yang berpendapat tidak kafir selama masih meyakini kewajibannya).
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ، وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ كلاهما، عَنْ جَرِيرٍ، قَالَ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرًا، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ، وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، تَرْكَ الصَّلَاةِ "
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa At-Tamiimiy dan ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, keduanya dari Jariir – Yahyaa berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Jariir - , dari Al-A’masy, dari Abu Sufyaan, ia berkata : Aku mendengar Jaabir berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 82].
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، عَنِ الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ، قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal, dari Al-Jurairiy, dari ‘Abdullah bin Syaqiiq Al-‘Uqailiy, ia berkata : “Para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat satu amalan dari amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran selain dari shalat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy, no. 2622].
c. Hadits ‘Auf bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ، أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ رُزَيْقِ بْنِ حَيَّانَ، عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ، فَقَالَ: لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ، فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Al-Handhaliy : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Al-Auzaa’iy, dari Yaziid bin Yaziid bin Jaabir, dari Zuraiq bin Hayyaan, dari Muslim bin Qaradhah, dari ‘Auf bin Maalik, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sebaik-baik pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu cintai dan ia pun mencintaimu. Kamu mendoakannya, dan ia pun mendoakanmu. Adapun seburuk-buruk pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu benci dan ia pun membencimu. Kamu melaknatnya dan ia pun melaknatmu”. Kami (para shahabat) bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka dengan pedang (memberontak) atas hal itu ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallampun menjawab : ”Jangan, selamaia masih menegakkan shalat bersamamu” (dua kali). Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian ia melihat pemimpin tersebut melakukan kemaksiatan kepada Allah, maka bencilah kemaksiatan tersebut, dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan kepadanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1855].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قوله " لا ما أقاموا فيكم الصلاة " فيه دليل على أنه لا يجوز منابذة الأئمة بالسيف مهما كانوا مقيمين للصلاة ويدل ذلك بمفهومه على جواز المنابذة تركهم للصلاة . وحديث عبادة بن الصامت المذكور فيه دليل على أنها لا تجوز المنابذة إلا عند ظهور الكفر البواح
“Sabda beliau : ‘Jangan, selama ia masih menegakkan shalat bersamamu; pada terdapat dalil tidak diperbolehkannya memerangi para pemimpin dengan pedang bilamana mereka masih mendirikan shalat. Dan hadits itu sekaligus menunjukkan mafhum-nya bahwa diperbolehkan memerangi karena mereka meninggalkan shalat. Dan hadits ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit yang disebutkan sebelumnya terdapat dalil tidak diperbolehkannya memerangi (para pemimpin) kecuali jika nampak kekufuran yang nyata/jelas” [Nailul-Authaar, 7/197].
‘Aliy Al-Qaariy rahimahullah berkata :
إقامتهم الصلاة فيما بينكم لأنها علامة اجتماع الكلمة في الأمة قال الطيبي فيه إشعار بتعظيم أمر الصلاة وإن تركها موجب لنزع اليد عن الطاعة كالكفر على ما سبق في حديث عبادة إلا أن تروا كفرا بواحا الحديث ولذلك كرره وقال لا ما أقاموا فيكم الصلاة وفيه إيماء إلى أن الصلاة عماد الدين
“Penegakan shalat mereka di antara kalian, karena hal itu merupakan tanda persatuan kalimat bagi ummat. Telah berkata Ath-Thiibiy : ’Di hadits tersebut terdapat pemberitahuan tentang pengagungan perkara shalat yang apabila ditinggalkan mempunyai konsekuensi pelepasan tangan dari ketaatan, seperti halnya kekufuran yang terdapat dalam hadits ‘Ubaadah bin Ash-Shaamir sebelumnya : ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata’ – al-hadits - . Oleh karenanya, beliau mengulangi ucapannya. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Jangan, selama ia masih menegakkan shalat’ ; di dalamnya terdapat isyarat bahwa shalat adalah tiang agama” [Mirqatul-Mafaatih, 11/307].
d. Hadits Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ جَابِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي بُسْرُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ، يَقُولُ: كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ، قَالَ: نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ، قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ، قَالَ: قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ، قُلْتُ: فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ، قَالَ: نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا، فَقَالَ: هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا، قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ، قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ، قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ، قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ "
Telah menceritakan kepada kami yahyaa bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Jaabir, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Busr bin ‘Ubaidillah Al-Hadlramiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Idriis Al-Khaulaaniy, bahwasannya ia pernah mendengar Hudzaifah bin Al-Yamaan berkata : Orang-orang biasa bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan sementara aku biasa bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir aku terkena keburukan itu. Maka aku bertanya : “Wahai Rasulullah, dahulu kami dalam masa jahiliah dan keburukan, lantas Allah datang dengan membawa kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku bertanya : “Apakah sesudah keburukan itu akan ada kebaikan lagi?”. Beliau menjawab : “Ya, akan tetapi padanya terdapat kabut”. Aku bertanya : “Apakah maksud kabut yang ada padanya?”. Beliau menjawab : “Adanya suatu kaum yang mengambil petunjuk selain petunjukku. Engkau mengenali mereka, dan engkau pun mengingkarinya”. Aku bertanya : “Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan lagi?”. Beliau menjawab : “Ya, dengan adanya dai-dai yang menyeru pada pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa yang menyambut seruan mereka, niscaya mereka akan menghempaskannya ke dalamnya.” Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, beritahukan kepada kami tentang sifat-sifat”. Beliau bersabda :“Mereka memiliki kulit seperti kulit kita, juga berbicara dengan bahasa kita”. Aku bertanya :“Apa yang engkau perintahkan kepadaku apabila aku mendapatkan masa itu?”.Beliau menjawab : “Hendaklah kamu selalu berpegang padajamaah kaum muslimin dan imam (pemimpin) mereka”. Aku bertanya : “Apabila waktu itu tidak ada jama’ah kaum muslimin dan imamnya bagaimana?”. Beliau menjawab : “Hendaklah engkau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok) itu, sekalipun engkau menggigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu dalam keadaan kamu tetap seperti itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3606].
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata :
فِيهِ حُجَّة لِجَمَاعَةِ الْفُقَهَاء فِي وُجُوب لُزُوم جَمَاعَة الْمُسْلِمِينَ وَتَرْك الْخُرُوج عَلَى أَئِمَّة الْجَوْر ، لِأَنَّهُ وَصَفَ الطَّائِفَة الْأَخِيرَة بِأَنَّهُمْ " دُعَاة عَلَى أَبْوَاب جَهَنَّم " وَلَمْ يَقُلْ فِيهِمْ " تَعْرِف وَتُنْكِر " كَمَا قَالَ فِي الْأَوَّلِينَ ، وَهُمْ لَا يَكُونُونَ كَذَلِكَ إِلَّا وَهُمْ عَلَى غَيْر حَقّ ، وَأَمَرَ مَعَ ذَلِكَ بِلُزُومِ الْجَمَاعَة
“Dalam hadits tersebut terdapat hujjah bagi sekelompok fuqahaa’tentang wajibnya mengikuti jama’ah kaum muslimin dan meninggalkan keluar ketaatan dari imam-imam yang jahat/dhalim. Hal itu dikarenakan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mensifatikelompok yang terakhir bahwa mereka itu ‘dai-dai yang menyeru pada pintu-pintu Jahannam’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan tentang kelompok tersebut : ‘Engkau mengenali mereka, dan engkau pun mengingkarinya – sebagaimana yang beliau katakan terhadap kelompok yang pertama. Mereka tidaklah seperti itu kecuali mereka itu tidak berada di atas kebenaran, namun ternyata beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan untuk mengikuti jama’ah (tidak keluar ketaatan)” [Fathul-Baariy, 13/37].
Ini selaras dengan lafadh yang dibawakan oleh Muslim :
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ "
“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan taat”[5][Diriwayatkan oleh Muslim no. 1847].
e. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي جَدِّي، قَالَ: " كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ وَمَعَنَا مَرْوَانُ، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: سَمِعْتُ الصَّادِقَ الْمَصْدُوقَ، يَقُولُ: " هَلَكَةُ أُمَّتِي عَلَى يَدَيْ غِلْمَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ "، فَقَالَ مَرْوَانُ: لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ غِلْمَةً، فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: لَوْ شِئْتُ أَنْ أَقُولَ بَنِي فُلَانٍ وَبَنِي فُلَانٍ لَفَعَلْتُ.......
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Yahyaa bin Sa’iid bin ‘Amru bin Sa’iid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku kakekku, ia berkata : Aku pernah duduk bersama Abu Hurairah di Masjid Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di Madiinah. Saat itu Marwaan ada bersama kami. Abu Hurairah berkata : Aku pernah mendengar Ash-Shaadiqul-Mashduuq (Rasulullah) shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kebinasaan umatku ada di tangan para pemuda Quraisy". Marwaan berkata : "Laknat Allah atas mereka, para pemuda itu". Abu Hurairah berkata : "Seandainya aku ingin, aku akan sebut Bani Fulaan dan Bani Fulaan, niscaya aku lakukan..........." [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7058].
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata :
وَفِي هَذَا الْحَدِيث أَيْضًا حُجَّة لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ تَرْك الْقِيَام عَلَى السُّلْطَان وَلَوْ جَارَ ، لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَ أَبَا هُرَيْرَة بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ وَأَسْمَاء آبَائِهِمْ وَلَمْ يَأْمُرهُمْ بِالْخُرُوجِ عَلَيْهِمْ مَعَ إِخْبَاره أَنَّ هَلَاك الْأُمَّة عَلَى أَيْدِيهمْ لِكَوْنِ الْخُرُوج أَشَدّ فِي الْهَلَاك وَأَقْرَب إِلَى الِاسْتِئْصَال مِنْ طَاعَتهمْ ، فَاخْتَارَ أَخَفّ الْمَفْسَدَتَيْنِ وَأَيْسَر الْأَمْرَيْنِ
“Dan hadits ini juga terdapat hujjah seperti yang telah disebutkan sebelumnya tentang larangan memerangi sulthaan/penguasa, meskipun ia dhalim. Hal itu dikarenakan beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam memberitahukan kepada Abu Hurairah tentang nama-nama mereka beserta nama-nama bapak mereka, namun tidak memerintahkannya untuk keluar ketaatan melawan mereka; padahal beliau memberitahukan bahwa kebinasaan umat lewat tangan-tangan mereka. Karena, keluar ketaatan melawan mereka lebih menimbulkan kebinasaan/kehancuran dan perpecahan daripada ketaatan kepada mereka, sehingga beliau memilih hal yang paling ringan dari dua kerusakan, dan memilih yang paling mudah di antara dua perkara" [Fathul-Baariy, 13/11].
f. Hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Laits, dari ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila ia diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1839].
Al-Mubaarakfuriy rahimahullah berkata :
وَفِيهِ أَنَّ الْإِمَامَ إِذَا أَمَرَ بِمَنْدُوبٍ أَوْ مُبَاحٍ وَجَبَ . قَالَ الْمُظْهِرُ : يَعْنِي سَمَاعُ كَلَامِ الْحَاكِمِ وَطَاعَتُهُ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَوَاءٌ أَمَرَهُ بِمَا يُوَافِقُ طَبْعَهُ أَوْ لَمْ يُوَافِقْهُ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَأْمُرَهُ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِنْ أَمَرَهُ بِهَا فَلَا تَجُوزُ طَاعَتُهُ ، وَلَكِنْ لَا يَجُوزُ لَهُ مُحَارَبَةُ الْإِمَامِ
“Dalam hadits ini terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya. Al-Muthahhar berkata : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa tersebut” [Tuhfatul-Ahwadziy, 5/298].
g. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنِ الْجَعْدِ، عَنْ أَبِي رَجَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits, dari Al-Ja’d, dari Abur-Rajaa’, dari Ibnul-‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa yang keluar dari dari sulthaan sejengkal saja, lalu mati, maka matinya seperti kematian jahiliyyah[6]” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7053].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قَالَ اِبْن أَبِي جَمْرَة : الْمُرَاد بِالْمُفَارَقَةِ السَّعْي فِي حَلّ عَقْد الْبَيْعَة الَّتِي حَصَلَتْ لِذَلِكَ الْأَمِير وَلَوْ بِأَدْنَى شَيْء ، فَكُنِّيَ عَنْهَا بِمِقْدَارِ الشِّبْر ، لِأَنَّ الْأَخْذ فِي ذَلِكَ يَئُولُ إِلَى سَفْك الدِّمَاء بِغَيْرِ حَقٍّ
“Ibnu Abi Jamrah berkata : ‘Yang dimaksud dengan al-mufaaraqah adalah usaha untuk menghentikan perjanjian bai’at yang berlaku pada penguasa/amir tersebut, dengan upaya sekecil apapun. Oleh karenanya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengkiaskannya dengan kata ‘sejengkal’, karena mengambil tindakan tersebut mengakibatkan tertumpahnya darah tanpa hak” [Fathul-Baariy, 13/7].
h. Hadits ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَأْمُرُنَا، قَالَ: تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Al-A’masy, dari Zaid bin Wahb, dari Ibnu Mas’uud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Akan ada sepeninggalku nanti ‘atsarah’ dan perkara-perkara yang kalian ingkari”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami (jika kami yang menemuinya) ?”. Beliau menjawab : “Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3603].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وَفِيهِ : الْحَثّ عَلَى السَّمْع وَالطَّاعَة ، وَإِنْ كَانَ الْمُتَوَلِّي ظَالِمًا عَسُوفًا ، فَيُعْطَى حَقّه مِنْ الطَّاعَة ، وَلَا يُخْرَج عَلَيْهِ وَلَا يُخْلَع ؛ بَلْ يُتَضَرَّع إِلَى اللَّه تَعَالَى فِي كَشْف أَذَاهُ ، وَدَفْع شَرّه وَإِصْلَاحه ، وَتَقَدَّمَ قَرِيبًا ذِكْر اللُّغَات الثَّلَاث فِي الْأَثَرَة ، وَتَفْسِيرهَا ، وَالْمُرَاد بِهَا هُنَا : اِسْتِئْثَار الْأُمَرَاء بِأَمْوَالِ بَيْت الْمَال . وَاَللَّه أَعْلَم
“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فأمر مع ذكره لظلمهم بالصبر وإعطاء حقوقهم وطلب المظلوم حقه من الله ولم يأذن للمظلوم المبغى عليه بقتال الباغي في مثل هذه الصور التي يكون القتال فيها فتنة
“Meskipun beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kedhaliman mereka, beliau tetap memerintahkan untuk bersabar, memenuhi hak-hak-hak mereka, dan agar orang yang didhalimi meminta haknya kapada Allah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan orang yang didhalimi tersebut memberontak kepadanya serta memeranginya. Hal itu dikarenakan peperangan yang dikobarkannya itu dapat menimbulkan fitnah [Al-Istiqaamah, 1/35].
Ibnu ‘Allaan rahimahullah berkata :
فيه الصبر على المقدور، والرضى بالقضاء حلوه ومره، والتسليم لمراد الرب العليم الحكيم
“Hadits ini terdapat perintah untuk bersabar terhadap sesuatu yang telah ditaqdirkan, ridlaa terhadap qadlaa-Nya baik yang manis ataupun yang pahit, serta tunduk kepada kehendak Rabb yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana” [Daliilul-Faalihiin, 1/197].
i. Atsar ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ إبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ، قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ: " يَا أَبَا أُمَيَّةَ، إنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَلْقَاكَ بَعْدَ عَامِي هَذَا، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ، إنْ ضَرَبَكَ فَاصْبِرْ، وَإِنْ حَرَمَكَ فَاصْبِرْ، وَإِنْ أَرَادَ أَمْرًا يَنْتَقِصُ دِينَكَ، فَقُلْ: سَمْعٌ وَطَاعَةٌ، دَمِي دُونَ دِينِي، فَلَا تُفَارِقِ الْجَمَاعَةَ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Ibraahiim bin ‘Abdil-A’laa, dari Suwaid bin Ghafalah, ia berkata : Telah berkata ‘Umar : “Wahai Abu Umayyah, sesungguhnya aku tidak tahu barangkali setelah tahun ini aku tidak menjumpaimu lagi. Dengar dan taatlah, meskipun yang memerintahkanmu seorang budak habsyiy yang terpotong hidungnya. Seandainya ia memukul punggungmu, maka sabarlah. Seandainya ia mengharamkan (tidak memenuhi) hak-hakmu, maka sabarlah. Dan seandainya menghendaki satu perkara yang akan mengurangi agamamu, maka katakanlah : ‘Aku tetap mendengar dan taat (dengan pengorbanan) darahku, namun tidak agamaku. Janganlah engkau memisahkan diri dari jama’ah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 12/455; shahih].
Masih banyak dalil dan riwayat yang memerintahkan kaum muslimin untuk tetap mendengar dan taat kepada penguasa yang dhalim, dan larangan untuk keluar ketaatan selama ia (penguasa) masih berstatus muslim dan menegakkan shalat. Keluar ketaatan dan memberontak kepada penguasa (muslim) akan menimbulkan fitnah, huru-hara, pertumpahan darah, dan mafsadat-mafsadat lain yang lebih besar daripada mafsadat yang ditimbulkan saat melazimi ketaatan.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ولهذا استقر أمر أهل السنة على ترك القتال في الفتنة للأحاديث الصحيحة الثابته عن النبي صلى الله عليه و سلم وصاروا يذكرون هذا في عقائدهم ويأمرون بالصبر على جور الأئمة وترك قتالهم وإن كان قد قاتل في الفتنة خلق كثير من أهل العلم والدين
“Oleh karena itu, tetaplah perkara Ahlus-Sunnah untuk meninggalkan perang dalam masa fitnah berdasarkan hadits-hadits shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, hingga kemudian mereka menyebutkan masalah ini dalam ‘aqidah-‘aqidah mereka; dan mereka (Ahlus-Sunnah) memerintahkan bersabar atas kedhaliman para imam (pemimpin) dan tidak memeranginya, meskipun dalam masa fitnah tersebut telah melibatkan banyak ahli ilmu dan ulama” [Minhajus-Sunnah, 4/529-530].
ولهذا حرم الخروج على ولاة الأمر بالسيف لأجل الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لأن ما يحصل بذلك من فعل المحرمات وترك واجب أعظم مما يحصل بفعلهم المنكر والذنوب...... فالمنهي عنه إذا زاد شره بالنهي وكان النهي مصلحة راجحة كان حسنا وأما إذا زاد شره وعظم وليس فى مقابلته خير يفوته لم يشرع إلا أن يكون فى مقابلته مصلحه زائدة ....
“Dan karena itulah diharamkan keluar ketaatan terhadap wulaatul-amri dengan pedang karena alasan amar ma’ruuf dan nahi munkar. Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, lebih besar daripada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan munkar dan dosa yang dilakukannya….. Maka apabila kejelekan yang ditimbulkan oleh orang yang tersebut bisa dihentikan dengan larangan, dan larangan tersebut terkandung maslahat yang kuat; maka larang tersebut baik (disyari’atkan). Namun apabila kejelekan malah bertambah dan membesar, serta tidak seimbang dengan kebaikan yang dicapai; hal itu tidak disyari’atkan – kecuali jika ada perimbangan maslahat yang lebih banyak….” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 14/472-473].
أن ما أمر به النبي صلى الله عليه و سلم من الصبر على جور الأئمة وترك قتلاهم والخروج عليهم هو أصلح الأمور للعباد في المعاش والمعاد وأن من خالف ذلك متعمدا أو مخطئا لم يحصل بفعله صلاح بل فساد
“Bahwasannya yang diperintahkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk bersabar terhadap kedhaliman para pemimpin, dan tidak memerangi mereka dan keluar ketaatan terhadap mereka. Perbuatan itu merupakan perkara yang paling baik bagi hamba Allah di dunia dan akhirat. Dan bahwasannya orang yang menyelisihi perintah beliau baik dengan sengaja atau tidak sengaja, maka perbuatannya itu tidak akan mendatangkan kebaikan, namun malah kerusakan” [Minhajus-Sunnah, 4/531].
ولعله لا يكاد يعرف طائفة خرجت على ذي سلطان إلا وكان في خروجها من الفساد ما هو أعظم من الفساد الذي أزالته
"Hampir tidak pernah diketahui ada sekelompok orang yang keluar ketaatan memerangi sulthaan, kecuali perbuatan mereka malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kerusakan yang hendak ia hilangkan" [Minhajus-Sunnah, 1/391]
Ibnu Abil-‘Azz Al-Hanafiy rahimahullah berkata :
وأما لزوم طاعتهم وإن جاروا ، فلأنه يترتب على الخروج من طاعتهم من المفاسد أضعاف ما يحصل من جورهم ، بل في الصبرعلى جورهم تكفير السيئات ومضاعفة الأجور ، فإن الله تعالى ما سلطهم علينا إلا لفساد أعمالنا ، والجزاء من جنس العمل ، فعلينا الإجتهاد في الإستغفار والتوبة وإصلاح العمل . قال تعالى : وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ. وقال تعالى : أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ. وقال تعالى : مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ. وقال تعالى : وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. فإذا أراد الرعية أن يتخلصوا من ظلم الأمير الظالم ، فليتركوا الظلم.
“Adalah menjadi kewajiban bagi kita untuk mentaati mereka (yaitu para penguasa) walaupun mereka jahat/dhalim. Hal itu dikarenakan kerusakan yang ditimbulkan akibat keluar dari ketaatan kepada mereka lebih besar daripada kerusakan yang terjadi karena kejahatan mereka. Bahkan, kesabaran dalam menghadapi kejahatan mereka akan menghapus berbagai kejelekan dan melipatgandakan pahala. Sesungguhnya Allah tidak menjadikan mereka berkuasa atas kita (dengan segala kejahatan/kedhalimannya) meliankan karena kerusakan amal-amal kita. Balasan yang diberikan itu tergantung dari jenis amal yang diperbuat. Maka, yang menjadi kewajiban bagi kita adalah bersungguh-sungguh dalam memohon ampun, bertaubat, dan memperbaiki amal. Allah ta’ala telah berfirman : ‘Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)’ (QS. Asy-Syuuraa : 30). ‘Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri’ (QS. An-Nisaa’ : 79). ‘Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang lalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan’ (QS. Al-An’aam : 129). Maka, apabila rakyat ingin mengakhiri/melepaskan diri dari kedhaliman pemimpin yang dhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman juga” [Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 543].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata saat mengkritik Al-Hasan bin Shaalih bin Hay :
وقال أبو نعيم دخل الثوري يوم الجمعة فإذا الحسن بن صالح يصلي فقال نعوذ بالله من خشوع النفاق وأخذ نعليه فتحول وقال أيضا عن الثوري ذاك رجل يرى السيف على الأمة ......... وقال بشر بن الحارث كان زائدة يجلس في المسجد يحذر الناس من بن حي وأصحابه قال وكانوا يرون ........وقال خلف بن تميم كان زائدة يستتيب من الحسن بن حي وقال علي بن الجعد حدثت رائدة بحديث عن الحسن فغضب وقال لا حدثتك أبدا
”Berkata Abu Nu’aim : Ats-Tsauriy (yaitu Sufyaan Ats-Tsauri – seorang dimana umat bersepakat tentang keimaman beliau) masuk (ke masjid) pada hari Jum’at, ternyata Al-Hasan bin Shalih sedang shalat di dalamnya. Maka ia berkata : “Na’uudzubillah min khusyuu’in-nifaaq (aku berlindung kepada Allah dari khusyu’ nifaq) !!”. Kemudian ia bergegas mengambil sandalnya dan pindah (ke masjid lain). Abu Nu’aim meriwayatkan dari Sufyaan Ats-Tsauriy bahwa ia berkata : ”Ia (Al-Hasan bin Shaalih) adalah seorang laki-laki yang berpendapat bolehnya mengangkat pedang terhadap umat”......................... Bisyr bin Al-Harits berkata : ”Zaidah bin Qudaamah[7]duduk di masjid untuk memperingatkan manusia dari Ibnu Hay (Al-Hasan bin Shalih) dan teman-temannya. Zaaidah berkata : ’Mereka adalah orang yang mempunyai pendapat tentang bolehnya mengangkat pedang (atas umat)”. Khalaf bin Tamim berkata : ”Dulu Zaidah meminta siapa saja yang pernah datang menemui Al-Hasan bin Shalih bin Hay untuk bertaubat. Pernah satu ketika ’Ali bin Ja’d menyampaikan hadits kepada Zaidah dari Al-Hasan (bin Shaalih bin Hay), maka ia pun marah dan berkata : ”Aku tidak akan memberimu hadits selamanya” [Tahdziibut-Tahdziib, 2/285-286].
Dan akhirnya Ibnu Hajar memberikan sebuah kesimpulan mengenai pandangan Al-Hasan bin Shaalih dan orang-orang yang sependapat dengannya dalam sebuah perkataan yang sangat bagus :
كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على أئمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم لكن أستقر الأمر على ترك ذلك لما رأوه قد أفضى إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة بن الأشعث وغيرهما عظة لمن تدبر
”Pendapat mereka menyatakan bolehnya keluar mengangkat pedang/senjata terhadap para pemimpin yang jahat/dhalim. Maka, ini adalah madzhab (sebagian) orang-orang salaf dahulu (sebagaian shahabat dan tabi’in). Akan tetapi kemudian ada sebuah ketetapan untuk meninggalkan hal itu, karena justru menimbulkan dampak yang lebih fatal. Apa yang terjadi dalam peristiwa Al-Harrah dan Ibnul-Asy’ats menjadi pelajaran yang baik bagi orang yang mau mengambil pelajaran” [idem, 2/288].
Permasalahan :
Sebagian orang ada yang berdalil bahwa ketaatan kepada pemimpin itu dengan syarat jika ia menegakkan Kitabullah, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ يَحْيَي بْنِ حُصَيْنٍ، قَالَ: سَمِعْتُ جَدَّتِي تُحَدِّثُ: أَنَّهَا سَمِعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهُوَ، يَقُولُ: " وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Yahyaa bin Hushain, ia berkata : Aku mendengar nenekku menceritakan : Bahwasannya ai pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhuthbah pada saat haji wada’. Beliau bersabda : “Seandainya yang memerintah kalian seorang budak yang menuntun kalian berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838].
Di sebagian riwayat disebutkan dengan lafadh :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ مَا أَقَامَ فِيكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah dan taatlah meskipun yang memerintah kalian seorang bidak Habsyiy yang terpotong hidungnya selama ia menegakkan Kitabullah ‘azza wa jalla atas kalian”.
Jika pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya itu tidak menegakkan Kitabullah, maka ketaatan kepadanya gugur, boleh diberontak.
Dijawab :
Seandainya benar apa yang mereka katakan, ada beberapa kemusykilan yang timbul, antara lain :
a. Apa yang mereka maksud dengan menegakkan Kitabullah ?. Apakah menegakkan seluruh hukum-hukum dalam Kitabullah ?. Seandainya ini yang dimaksud, maka berikan satu contoh saja pemimpin setelah Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang menegakkan seluruh hukum yang ada di Kitabullah !. Niscaya tidak akan ada, karena dalam perkembangan sejaran pemerintahan Islam, hukum Islam itu pasti ada yang gugur – sedikit atau banyak – sesuai kadar agama, pengetahuan, dan kekuatan pemimpin tersebut.
Jika dikatakan menegakkan Kitabullah ini adalah menempatkannya secara formal dalam hukum dasar negara, maka bagaimana hukumnya seseorang yang menetapkan syari’at Islam sebagai hukum negara dengan mengadopsi pemikiran-pemikiran Islam liberal, karena ia menganggap Islam liberal itu adalah syari’at Islam yang sebenarnya ?. Tentu tidak bukan, karena sesuatu itu dinilai dari hakekatnya, bukan sekedar namanya.
b. Pemahaman itu bertentangan dengan riwayat-riwayat beserta penjelasan para ulama di atas yang menyatakan tetap wajibnya mendengar dan taat kepada pemimpin yang dhalim lagi fajir. Bukankah seorang pemimpin yang berlaku dhalim itu hakekatnya tidak sedang menegakkan hukum Allah ?. Bukankah sejarah Islam telah mencatat bahwa para pemimpin Islam di masa dulu sering menguji dan membunuh orang yang menyelisihinya baik dalam hal politik ataupun pemahaman/agama ?. Bukankah itu artinya tidak menegakkan hukum Allah ?. Apalagi ketika kekufuran akbar saat merebaknya paham Khalqul-Qur’an di masa Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Apakah mereka itu dipahami sedang menegakkan hukum Allah – padahal saat itu para imam kaum muslimin tidak ada yang menyatakan mengangkat pedang terhadap khalifah atas perbuatan kufur yang dilakukannya.
Dalam hadits Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu telah disebutkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي
“Suatu kaum yang mengambil petunjuk selain petunjukku”.
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”.
Hadits ini secara jelas menunjukkan akan adanya pemimpin yang menyimpang dari petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan petunjuk beliau itu tidak lain Kitabullah dan Sunnahnya.
Bertentangan pula dengan dhahir hadits tetapnya ketaatan dan larangan mengangkat pedang (kudeta) selama belum terjatuh dalam kekafiran yang nyata dan meninggalkan shalat. Dua hal ini adalah limit akhir ketaatan terhadap seorang pemimpin.
Bertentangan pula dengan hadits :
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ , حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ , أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ حَبِيبٍ حَدَّثَهُمْ , عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ , عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " لتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ , عُرْوَةً عُرْوَةً , فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ , تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا , وَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ , وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim ; Telah menceritakan kepadaku 'Abdul-'Aziiz bin Ismaa'iil boin 'Abdillah : Bahwasannya Sulaimaan bin Habiib pernah menceritakan kepada merela, dari Abu Umaamah Al-Baahiliy, dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sungguh akan lepas tali Islam seutas demi seutas. Maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat” [Diriwayatkan oleh Ahmad; shahih].
Hadits ini memberikan pemahaman bahwa akan sulit atau jarang ditemui adanya pemimpin yang benar-benar menjalan/menegakkan hukum yang terdapat Kitabullah dan Sunnahnya, karena (hampir) pasti akan ada hukum yang tergugurkan sebagaimana telah dikatakan sebelumnya.
Yang dimaksud oleh hadits itu sebenarnya adalah bahwa kaum muslimin tetap diwajibkan mendengar dan taat meski yang mereka dipimpin oleh seorang budak, selama apa yang diperintahkan itu selaras dengan Kitabullah. Atau dengan kata lain, hadits itu berisi kewajiban taat pada pemimpin pada hal-hal yang ma’ruf yang selaras dengan Kitabullah. Jika ia (pemimpin) memerintahkan kemunkaran, maka tidak boleh mendengar dan taat pada perintah maksiat tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Abu Bakr Al-Atsram – salah satu ashhaab Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah– sebagai berikut :
وروى حرب بن شداد عن يحيى بن أبي كثير عن عمرو بن زينب عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "لا طاعة لمن عصى الله عز وجل".
فاختلفت هذه الأحاديث في ظاهرها، فتأول فيها أهل البدع.
فأما أهل السنة: فقد وضعوها مواضعها، ومعانيها كلها متقاربة عندهم.
فأما أهل البدع: فتأولوا في بعض هذه الأحاديث مفارقة الأئمة والخروج عليهم.
والوجه فيها أن هذه الأحاديث يفسر بعضها بعضاً، ويصدق بعضها بعضاً.
...........
وأما حديث عبد الله بن عمرو فإنه قد قال فيه: فليطعه ما استطاع. فقد جعل له فيه ثنيا، وإنما يريد الطاعة في المعروف.
وحديث أم الحصين قد اشترط فيه يقودكم بكتاب الله.
وحديث علي رضي الله عنه قد فسره حين قال: إنما الطاعة في المعروف.
وحديث ابن عمر أيضاً مفسر أنه إنما أوجب الطاعة ما لم يؤمر بمعصية.
وكذلك حديث أبي سعيد.
وأما حديث ابن مسعود، وأنس فهما اللذان تأولهما أهل البدع فقالوا: ألا تراه يقول لا طاعة لمن عصى الله عز وجل، فإذا عصى الله لم يطع في شيء، وإن دعا إلى طاعة. وإنما يرد المتشابه إلى المفسر، فما جعل هذا على ظاهره أولى بالاتباع من تلك الأحاديث بل إنما يرد هذا إلى ما بيّن معناه فقوله: "لا طاعة لمن عصى الله "، إنما يريد أنه لا يطاع في معصية. كسائر الأحاديث.
فاختلفت هذه الأحاديث في ظاهرها، فتأول فيها أهل البدع.
فأما أهل السنة: فقد وضعوها مواضعها، ومعانيها كلها متقاربة عندهم.
فأما أهل البدع: فتأولوا في بعض هذه الأحاديث مفارقة الأئمة والخروج عليهم.
والوجه فيها أن هذه الأحاديث يفسر بعضها بعضاً، ويصدق بعضها بعضاً.
...........
وأما حديث عبد الله بن عمرو فإنه قد قال فيه: فليطعه ما استطاع. فقد جعل له فيه ثنيا، وإنما يريد الطاعة في المعروف.
وحديث أم الحصين قد اشترط فيه يقودكم بكتاب الله.
وحديث علي رضي الله عنه قد فسره حين قال: إنما الطاعة في المعروف.
وحديث ابن عمر أيضاً مفسر أنه إنما أوجب الطاعة ما لم يؤمر بمعصية.
وكذلك حديث أبي سعيد.
وأما حديث ابن مسعود، وأنس فهما اللذان تأولهما أهل البدع فقالوا: ألا تراه يقول لا طاعة لمن عصى الله عز وجل، فإذا عصى الله لم يطع في شيء، وإن دعا إلى طاعة. وإنما يرد المتشابه إلى المفسر، فما جعل هذا على ظاهره أولى بالاتباع من تلك الأحاديث بل إنما يرد هذا إلى ما بيّن معناه فقوله: "لا طاعة لمن عصى الله "، إنما يريد أنه لا يطاع في معصية. كسائر الأحاديث.
“Dan diriwayatkan oleh Harb bin Syaddaad, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari ‘Amru bin Zainab, dari Anas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : ‘Tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat/durhaka kepada Allah’.
Dhahir hadits-hadits ini nampak berselisihan sehingga ahlul-bida’ berusaha menta’wilkannya. Adapun Ahlus-Sunnah : Maka mereka meletakkanya semua hadits-hadits itu sesuai tempat, sedangkan maknanya – menurut mereka (Ahlus-Sunnah) – adalah berdekatan. Adapun ahlul-bid’ah, mereka menta’wilkannya sebagian hadits-hadits ini dalam rangka mufaaraqah terhadap para pemimpin dan keluar ketaatan terhadap mereka. Dan yang benar, bahwasannya hadits-hadits tersebut menafsirkan sebagiannya terhadap sebagian yang lain, serta membenarkan sebagiannya terhadap sebagian yang lain………..
Dan hadits Ummul-Hushain yang mensyaratkan padanya (yaitu ketaatan) : ‘menuntun kalian dengan Kitabullah’; hadits ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu yang telah ditafsirkan ketika beliau bersabda : ‘Ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf saja’; dan hadits Ibnu ‘Umar yang telah juga ditafsirkan bahwasasnnya : ‘diwajibkan taat selama tidak diperintah kemaksiatan’. Begitu pula dengan hadits Abu Sa’iid.
Adapun hadits Ibnu Mas’uud dan Anas yang keduanya dita’wilkan oleh ahlul-bid’ah. Mereka (Ahlul-Bida’) berkata : “Tidakkah kalian melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah ‘azza wa jalla”. Jika pemimpin itu bermaksiat, maka tidak ada boleh ditaati sedikitpun meskipun ia mengajak pada ketaatan. Maka, hadits yang samar harus dikembalikan pada yang mufassar (jelas). Maka tidak boleh menjadikan dhahir hadits ini (yang samar) untuk lebih diikuti daripada hadits-hadits tersebut (yang jelas). Bahkan yang benar mesti mengembalikannya pada hadits-hadits yang jelas maknanya, sehingga sabda beliau : ‘tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah’, itu maksudnya bahwasannya tidak boleh taat dalam kemaksiatan, seperti keseluruhan hadits-hadits lainnya” [Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuhu, hal 249].[8]
As-Sindiy rahimahullah berkata :
قَوْله ( يَقُودكُمْ بِكِتَابِ اللَّه ) فِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنَّهُ لَا طَاعَةَ لَهُ فِيمَا يُخَالِفُ حُكْم اللَّه تَعَالَى وَاَللَّه تَعَالَى أَعْلَم
“Sabda beliau : ‘menuntun kalian dengan Kitabullah’; padanya terdapat isyarat bahwasannya tidak ada ketaatan padanya pemimpin terhadap apa saja yang menyelisihi hukum Allah ta’ala, wallaahu ta’ala a’lam” [Haasyiyyah Sunan An-Nasaa’iy, 7/154].
Shiddiiq Hasan Khaan rahimahullah berkata :
طاعة الأئمة واجبة إلا في معصية الله باتفاق السلف الصالح لقوله تعالى : { أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم } وللأحاديث المتواترة في وجوب طاعة الأئمة منها : ما أخرجه البخاري من حديث أنس مرفوعا [ اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة ما أقام فيكم كتاب الله ]
“Ketaatan terhadap para pemimpin/imam adalah wajib, kecuali dalam hal kemaksiatan kepada Allah berdasarkan kesepakatan as-salafush-shaalih. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian’ (QS. An-Nisaa’ : 59). Dan juga hadits-hadits mutawatirtentang wajibnya taat kepada para pemimpin, di antaranya yang diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dari hadits Anas secara marfuu’ : ‘Dengar dan taatlah meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habsyiy yang seakan-akan kepalanya seperti kismis (keriting), selama ia menegakkan Kitabullah atas kalian[9]….” [Ar-Raudlatun-Nadiyyah, 2/359].
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ ، عَنْ سُفْيَانَ ، عَنْ زُبَيْدٍ ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ ، عَنْ عَلِيٍّ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : " لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ"
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-Qawaariiriy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdiy, dari Sufyaan, dari Zubaid, dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, dari ‘Aliy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/131; shahih].
Wallaahu a’lam.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[anakmuslimtaat’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 19101434/26082013 – 00:30 – banyak mengambil faedah dari buku Al-Ghulluw fid-Diin fii Hayaatil-Muslimiin Al-Mu’aashirah karya ‘Abdurrahmaan Al-Luwaihiq, hal. 405-436, Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1412; dan Mu’aamalatul-Hukkaam fii Dlauil-Kitaab was-Sunnah karya Dr. ‘Abdus-Salaam bin Barjaas, hal. 133-144, Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 7/1427 H].
[1] Asy-Syahrastaaniy rahimahullah berkata :
وأعظم خلاف بين الأمة خلاف الإمامة، إذ ما سل سيف في الإسلام على قاعدة دينية مثل ما سل على الإمامة في كل زمان
“Dan khilaf (perbedaan pendapat) yang paling besar di tengah umat adalah khilaaf tentang imaamah, karena pedang tidaklah terhunus dalam agama Islam berdasarkan kaedah diiniyyah semisal terhunusnya pedang karena masalah imamam pada setiap jaman” [Al-Milal wan-Nihal, 1/21-22].
[3] Saya telah menyebutkan pendalilan sekaligus pembahasan (ringkas) pendapat yang membolehkan keluar ketaatan dari penguasa dhalim pada artikel : Memerangi Penguasa yang Fasiq atau Dhalim.
Para ulama yang membolehkan secara garis besar mengambil dalil-dalil umum yang berisi amar ma’ruf nahi munkar dan perbuatan sebagian salaf. Dan ini adalah pendapat yang lemah, karena banyak dalil yang shahih lagi sharih yang menyelisihi apa yang mereka tetapkan tersebut. Sebagiannya telah disebutkan dalam artikel ini.
[4] Akan tetapi perbuatan Ibnuz-Zubair dan yang lainnya ini sangat diingkari oleh para shahabat lainnya, di antaranya Ibnu ‘Umar radliyallaahu maa.
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَاصِمٌ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: " جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُطِيعٍ، حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ، فَقَالَ: اطْرَحُوا لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً، فَقَالَ: إِنِّي لَمْ آتِكَ لِأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ لِأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُولُهُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُولُ: مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً "
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Mu’aadz Al-‘Anbariy : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin Muhammad bin Zaid, dari Zaid bin Muhammad, dari Naafi’, ia berkata : ‘Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhumaa datang kepada Abdullah bin Muthii’ radliyallaahu ’anhu ketika telah terjadi peristiwa Al-Harrah di jaman Yaziid bin Mu’aawiyyah. Abdullah bin Muthii’ berkata : ”Berikan bantal kepada Abu ’Abdirrahman (yaitu Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma)”. Kemudian Ibnu ’Umar berkata : ”Aku tidak datang kepadamu untuk duduk. Akan tetapi aku datang kepadamu untuk menyampaikan sebuah hadits yang aku dengan dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, yaitu beliau bersabda : ’Barangsiapa yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada penguasa), maka dia akan menjumpai Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak mempunyai hujjah (alasan) untuk membela diri. Dan barangsiapa yang mati, sedangkan tidak ada (ikatan) baiat di lehernya, maka ia mati seperti mati dalam keadaan jahiliyyah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1851].
Kita perlu ingat bahwa ketaatan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu ini tetap eksis bahkan semenjak pasca peristiwa terbunuhnya Al-Husain bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa dan ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang lain di Karbalaa’ di masa pemerintahan Yaziid bin Mu’aawiyyah !!!.
[5] Silakan baca pembahasan jalan riwayat yang dibawakan Al-Imaam Muslim ini pada artikel : Shahih Hadits : “Meskipun Ia Memukul Punggungmu dan Merampas Hartamu…..dst.”.
[6] Pembahasan makna jahiliyyah dalam hadits ini dan hadits yang semisal, silakan baca artikel : Jaahil dan Jaahiliyyah.
[7] Zaidah bin Qudaamah Ats-Tsaqafiy dari negeri Kuffah. Ia adalah seorang tsiqah, tsabit, shaahibus-sunnah.
[8] Dan saya mendapatkan keterangan perkataan Abu Bakr Al-Atsram ini pertama kali dari Al-Ustadz Aris Munandar hafidhahullah.
[9] Hadits Anad yang diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy tidak memuat lafadh : ‘selama ia menegakkan Kitabullah atas kalian’. Kemungkinan penulis keliru dengan menggabungkan lafadh hadits Anas bin Maalik dan Ummul-Hushain radliyallaahu ‘anhumaa. Wallaahu a’lam.