Jakarta - Pemerintah dinilai tidak terbuka dalam upaya pengejaran aset Bank Century di luar negeri. Padahal, anggaran yang digunakan berasal dari dana APBN. Ironisnya, sejak kasus Century mencuat tahun 2009, hingga kini tidak diketahui berapa jumlah aset yang berhasil dirampas untuk negara.
"Uang ini milik masyarakat yang dipercayakan kepada Bank Century tidak ada alasan untuk menutupinya. Pemerintah harus adil dan terbuka dengan apapun juga," kata Anggota Komisi Hukum Nasional dan Ketua Peradin Frans Hendra Winarta, di Jakarta, Jumat (9/8).
Sebelumnya, Menkumham Amir Syamsuddin mengatakan dana yang digunakan dalam pengejaran aset Bank Century di luar negeri mencapai Rp 15 miliar. Uang tersebut lebih banyak digunakan untuk menyewa jasa pengacara. Namun, tidak diketahui kantor pengacara mana yang digunakan pemerintah dari luar negeri dan mekanisme penunjukkannya.
Sejauh ini pemerintah baru berhasil menginventarisasi aset Bank Century di sejumlah negara yakni, di Hongkong sebesar 19,25 juta dollar Amerika. Kemudian di Standard Chartered Bank senilai Rp 650 juta dollar Amerika dan 400.000 dollar Singapura. Di Jersey, Inggris, mencapai 16,5 juta dollar Amerika. Di Swiss sebesar 220.000 dollar Amerika, di Inggris 872.000 dollar Amerika, dan di Kuba sebesar 14,8 juta dollar Amerika.
Menurut Frans, dengan keterbukaan yang menyeluruh pemerintah dapat memberikan kesadaran akan mahalnya biaya pemberantasan korupsi. Selain itu, harus dipastikan juga apakah jumlah aset yang tersimpan di luar negeri mencapai Rp 6,7 triliun.
"Kalau benar ada 40 juta dolar disembunyikan atau dicuci, itu baru sebagian kecil dari yang raib sebesar Rp 6,7 triliun. Rasa benci akan korupsi akan tercipta dengan keterbukaan dan transparansi," katanya.
Dikatakan, pemerintah dapat belajar dari upaya pemerintah Filipina dalam memburu aset milik Presiden Ferdinand Marcos di Swiss. Anggaran yang digunakan Filipina tidak sedikit. Bahkan, memakan waktu puluhan tahun untuk dapat merebut 683 juta dolar AS atau sekitar Rp 5,8 triliun milik Marcos kepada pemerintah Filipina.
"Kasus Marcos di Filipina adalah contoh betapa mahalnya biaya hukum dan betapa gigihnya pemerintah Filipina bertahun-tahun mengejar aset keluarga Marcos," katanya.
Penulis: E-11/FMB
Sumber:Suara Pembaruan