Al-‘Ilmu Adl-Dlaruuriy didefinisikan sebagai ilmu yang didapatkan tanpa membutuhkan penelitian dan istidlaal, yang dipelajari oleh masyarakat umum, dan sudah dipastikan kebenarannya (aksiomatik)[1]. Dapat juga berarti : sesuatu yang didapatkan tanpa memikirkan dan penelitian terhadap dalil[2].
Berdasarkan definisi ini, maka al-‘ilmu adl-dlaruuriy merupakan lawan kata dari al-‘ilmu al-muktasab atau al-iktisaabiy, yaitu ilmu yang dihasilkan melalui usaha. Ilmu tersebut (al-‘ilmu al-muktasab) diperoleh melalui sebab-sebabnya dengan melakukan pilihan, seperti mengerahkan akal dan penelitian terhadap latar belakang istidlaal.[3]
Dimutlakkan atas hal ini al-‘ilmu al-iktisaabiy (ilmu yang diperoleh dengan usaha) sebagai al-‘ilmu an-nadhariy.
Berdasarkan definisi al-‘ilmu adl-dlaruuriy tersebut, maka yang dimaksudkan dengan al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah (perkara agama yang telah diketahui secara umum) adalah permasalahan-permasalahan syari’at yang ilmunya diketahui oleh segenap orang secara merata, baik orang yang ‘aalim maupun orang awamnya. Inilah yang dimaksudkan secara mutlak. Perkara tersebut adalah sesuatu yang dinamakan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah sebagai pengetahuan umum yang tidak ada kelonggaran bagi seorang pun untuk tidak mengetahuinya[4].
Al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah mencakup semua hukum-hukum syari’at yang diketahui dan tersebar di negeri-negeri Islam, seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji; keharaman zina, membunuh, minum khamr, dan mencuri[5].
Kaedah penentuan dari al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah adalah nampak secara jelas dan tersebar luas[6]. Adapun permasalahan yang samar/tersembunyi, kadang itu tidak diketahui oleh semua orang, sehingga tidak menjadi pengetahuan yang umum.
Namun di sini perlu diperhatikan dalam pendefinisian al-‘ilmu adl-dlaruriy dengan al-‘ilmu an-nadhariy, karena tidak diragukan lagi bahwa manusia berbeda-beda dalam hal kemampuan, wawasan, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pemutlakkan perkataan bahwa suatu pengetahuan tertentu telah diketahui oleh semua orang; tidak terlalu tepat. Khususnya, berdasarkan perkataan ini ditetapkan hukum-hukum yang tsaabit dan mutlak, yaitu peniadaan ‘udzur kejahilan terhadap perkara yang masuk dalam al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah secara mutlak tanpa perincian keadaan orang yang jaahil tersebut dari sisi kemampuannya serta tempat dan jaman dimana ia hidup. Atau dari sisi masalah-masalah yang kadang telah diketahui secara umum bagi sebagian orang, namun tidak bagi sebagian lainnya.
Termasuk ulama yang menjelaskan bahwa al-‘ilmu adl-dlaruriy atau al-‘ilmu an-nadhariy merupakan permasalahan nisbi (relatif) adalah Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullahsaat beliau membantah ahlul-manthiq dalam pokok pemikiran dan peristilahan-peristilahan mereka. Beliau rahimahullah berkata:
كون العلم بديهيا او نظريا هو من الامور النسبية الاضافية مثل كون القضية يقينية او ظنية إذ قد يتيقن زيد ما يظنه عمرو وقد يبده زيدا من المعاني ما لا يعرفه عمرو إلا بالنظر وقد يكون حسيا لزيد من العلوم ما هو خبرى عند عمرو.
وإن كان كثير من الناس يحسب ان كون العلم المعين ضروريا او كسبيا او بديهيا أو نظريا هو من الامور اللازمة له بحيث يشترك في ذلك جميع الناس وهذا غلط عظيم وهو مخالف للواقع فان من رأى الامور الموجودة في مكانه وزمانه كانت عنده من الحسيات المشاهدات وهي عند من علمها بالتواتر من المتواترات وقد يكون بعض الناس إنما علمها بخبر ظنى فتكون عنده من باب الظنيات.
“Suatu ilmu dikatakan telah menjadi pengetahuan umum (badiihiy) atau pengetahuan yang membutuhkan penelitian (nadhariy) termasuk perkara yang relatif, seperti masalah keyakinan ataupun dugaan. Hal itu dikarenakan kadang Zaid meyakini sesuatu yang diragukan oleh ‘Amru; dan kadang Zaid mengetahui secara pasti makna-makna, dimana ‘Amru tidak mengetahuinya kecuali melalui penelitian/penelaahan. Kadang suatu pengetahuan merupakan sesuatu yang bersifat hissiy bagi Zaid, namun menjadi pengetahuan yang bersifat khabariy bagi ‘Amru.
Dan seandainya banyak manusia menganggap satu ilmu tertentu merupakan perkara yang umum atau harus diupayakan, sudah pasti diketahui atau mesti dilakukan penelitian terlebih dahulu, adalah perkara yang lazim baginya dari sisi adanya keterlibatan seluruh orang dalam hal tersebut; maka ini kekeliruan yang sangat besar dan bertentangan dengan realitas. Hal itu dikarenakan barangsiapa yang melihat perkara-perkara ada di tempatnya dan di jamannya, maka perkara tersebut baginya merupakan perkara hissiyyah (inderawi) yang ia saksikan. Bagi orang yang mengetahuinya secara berturut-turut, maka perkara tersebut baginya merupakan perkara mutawaatir. Dan kadang bagi sebagian orang, perkara tersebut hanyalah diketahui secara dhanniy (dugaan), sehingga baginya perkara tersebut merupakan perkara dhanniyaat”.[7]
[selesai – Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, hal. 26-28; Daarul-Wathan, Cet. 1/1417 – anakmuslimtaat’, perumahan ciomas permai, 11122014, 00:50].
[1] At-Ta’riifaatul-Fiqhiyyah, yang tercantum dalam kitab Qawaaidul-Fiqh, oleh Muhammad ‘Amiim Al-Ihsaan, hal. 358. Lihat juga : Mu’jamu Lughatil-Fuqahaa’ oleh Qal’ajiy dan Qiinabiy, hal. 284.
[5] Lihat : Ar-Risaalaholeh Al-Imaam Asy-Syaafi’iy hal. 357-359, Raf’ul-Haraj fisy-Syarii’atil-Islaamiyyah oleh Asy-Syaikh Dr. Shaalih bin Humaid hal. 230.
Saya (anakmuslimtaat’) tambahkan:
Diantara hal yang menguatkan apa yang dikemukakan oleh Syaikhul-Islam rahimahullah tersebut adalah hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ وَعْلَةَ السَّبَإِىِّ - مِنْ أَهْلِ مِصْرَ - أَنَّهُ سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ عَمَّا يُعْصَرُ مِنَ الْعِنَبِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّ رَجُلاً أَهْدَى لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَاوِيَةَ خَمْرٍ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هَلْ عَلِمْتَ أَنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَهَا ». قَالَ لاَ. فَسَارَّ إِنْسَانًا. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « بِمَ سَارَرْتَهُ ». فَقَالَ أَمَرْتُهُ بِبَيْعِهَا. فَقَالَ « إِنَّ الَّذِى حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا ». قَالَ فَفَتَحَ الْمَزَادَةَ حَتَّى ذَهَبَ مَا فِيهَا
Dari ‘Abdurrahmaan bin Wa’lah As-Sabaiy – ia termasuk penduduk Mesir - , bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Abbaas tentang perasan anggur. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata : “Sesungguhnya seseorang pernah menghadiahkan satu wadah berisi khamr. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya : ‘Apakah engkau tahu bahwa Allah telah mengharamkannya?’. Laki-laki itu berkata : ‘Tidak’. Kemudian ia berbisik kepada seseorang. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Apa yang engkau bisikkan?’. Ia berkata : ‘Aku menyuruhnya untuk menjual khamr itu’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya (Allah) Yang mengharamkan meminumnya telah mengharamkan untuk menjualnya’. Maka orang itu kemudian membuka penutup wadah khamr lalu menumpahkannya [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1579].
Faedah:
a. Hadits di atas menunjukkan perkara keharaman khamr sudah tersebar di kalangan kaum muslimin, sehingga Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam merasa heran ketika ada orang yang menghadiahi khamr kepada beliau karena ketidaktahuannya.
b. Hadits ini menunjukkan bahwa ada beberapa perkara yang diketahui secara jelas oleh sebagian orang, namun tidak bagi yang lain.
c. Perkara yang jelas (dhaahir) dan tersembunyi (khafiy) merupakan perkara yang nisbi.