Membedakan Muslim dan Kafir (Asli) dalam Pemberian ‘Udzur | Ilmu Islam

Rabu, 17 Desember 2014

Membedakan Muslim dan Kafir (Asli) dalam Pemberian ‘Udzur

Ini merupakan salah satu prinsip penting yang mesti diketahui dalam pemberian ‘udzur terhadap kesalahan. Penyamaan antara muslim dan kafir merupakan satu bentuk kedhaliman sehingga seorang muslim dapat dihukumi dengan sesuatu yang sebenarnya hanya layak dikenakan kepada orang kafir.
Dalil yang menunjukkan adanya tuntutan pembedaan antara muslim dengan kafir adalah firman Allah ta’ala:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” [QS. Al-Qalam : 35].
Dhahir ayat menunjukkan peniadaan kesamaan antara muslim dengan kafir.
Ibnu Hazm rahimahullah mengomentari:
فَوَجَبَ يَقِينًا أَنَّ الْمُسْلِمَ لَيْسَ كَالْكَافِرِ فِي شَيْءٍ أَصْلا، وَلا يُسَاوِيهِ فِي شَيْءٍ، 
“Wajib berkeyakinan bahwa muslim tidak seperti kafir dalam segala hal, tidak boleh menyamakannya.…..” [Al-Muhallaa, 10/227].
Seorang muslim yang melakukan kemaksiatan tetap lebih baik daripada orang kafir dengan kekufurannya. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ما تركه المسلم من واجب، أو فعله من محرم بتأويل اجتهاد أو تقليد، واضح عندي، وحاله فيه أحسن من حال الكافر المتأول
“Apapun kewajiban yang ditinggalkan seorang muslim atau keharaman yang dilakukannya karena ta’wil, ijtihaad, atau taqliid adalah jelas di sisiku. Namun demikian, keadaannya tetap lebih baik daripada keadaan orang kafir yang melakukan ta’wil” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 22/14].
Selain itu, seorang muslim asalnya tidak boleh dihubungkan dengan orang kafir. Para ulama menjelaskan bahwa diantara kebodohan dan kedhaliman kelompok Khawaarij adalah menjadikan ayat-ayat yang turun untuk orang kafir/musyrik diterapkan kepada orang Islam (untuk mengkafirkan mereka). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Bukhaariy rahimahullah dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ، وَقَالَ إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Adalah Ibnu ‘Umar memandang mereka (Khawaarij) sebagai makhluk Allah yang paling jelek. Ia berkata : ‘Sesungguhnya mereka menggunakan ayat-ayat yang turun kepada orang kafir lalu menerapkannya kepada orang-orang mukmin” [Shahiih Al-Bukhaariy, 4/280].
Oleh karena itu, (minimal) ada tiga perkara yang menunjukkan ketidakbolehan menghubungkan orang muslim dengan orang kafir tersebut, yaitu:
1.     Terdapat larangan mengkafirkan orang muslim. Pengkafiran itu akan kembali kepada orang yang mengatakannya jika objek yang dikafirkan tidak seperti yang dikatakannya (kafir).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya : ‘Wahai kafir !’, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya. Seandainya saudaranya itu seperti yang dikatakannya, (maka kekafiran itu ada padanya), namun jika tidak demikian, maka perkataan itu kembali pada pengucapnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 60].
Sebaliknya, wajib mengkafirkan orang kafir. Orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka kafir hukumnya.
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الأرْضِ جَمِيعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?" Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [QS. Al-Maaidah : 117].
2.     Seorang muslim yang mempunyai ‘udzur akan dimaafkan/diampuni, sebagaimana hadits:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَتُرِيدُونَ أَنْ تَقُولُوا كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ: سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا، بَلْ قُولُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، قَالُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا اقْتَرَأَهَا الْقَوْمُ ذَلَّتْ بِهَا أَلْسِنَتُهُمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي إِثْرِهَا آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ، نَسَخَهَا اللَّهُ تَعَالَى، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ " لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا، قَالَ: نَعَمْ،
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah kalian ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) : ‘Kami mendengar dan kami mendurhakainya?’. Tetapi ucapkan : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Mereka berkata : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Ketika kaum tersebut membacanya, maka lisan-lisan mereka tunduk dengannya, lalu Allah menurunkan sesudahnya: 'Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’ (QS. Al-Baqarah : 285). Ketika mereka melakukan hal tersebut, maka Allah menghapusnya, lalu menurunkan: 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (QS. Al-Baqarah : 286)’. Allah menjawab : Ya…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 125].
Adapun orang kafir yang mempunyai ‘udzur akan diuji pada hari kiamat sebagaimana shahih dalam hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang ahlul-fatrah:
أَرْبَعَةٌ يَحْتَجُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَصَمُّ، وَرَجُلٌ أَحْمَقُ، وَرَجُلٌ هَرِمٌ، وَرَجُلٌ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَأَمَّا الأَصَمُّ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ، وَمَا أَسْمَعُ شَيْئًا، وَأَمَّا الأَحْمَقُ، فَيَقُولُ: رَبِّ، قَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَالصِّبْيَانُ يَحْذِفُونَنِي بِالْبَعَرِ، وَأَمَّا الْهَرِمُ، فَيَقُولُ: رَبِّ، لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَمَا أَعْقِلُ، وَأَمَّا الَّذِي مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَيَقُولُ: رَبِّ، مَا أَتَانِي لَكَ رَسُولٌ، فَيَأْخُذُ مَوَاثِيقَهُمْ لَيُطِيعُنَّهُ، فَيُرْسِلُ إِلَيْهِمْ رَسُولا أَنِ ادْخُلُوا النَّارَ، قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ دَخَلُوهَا كَانَتْ عَلَيْهِمْ بَرْدًا وَسَلامًا
Ada empat orang yang akan berhujjah (beralasan) kelak di hari kiamat : (1) orang tuli, (2) orang idiot, (3) orang pikun, dan (4) orang yang mati dalam masa fatrah. Orang yang tuli akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak mendengarnya sama sekali'. Orang yang idiot akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun anak-anak melempariku dengan kotoran hewan'. Orang yang pikun akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak dapat memahaminya'. Adapun orang yang mati dalam masa fatrah akan berkata : ‘Wahai Rabb, tidak ada satu pun utusan-Mu yang datang kepadaku’. Maka diambillah perjanjian mereka untuk mentaati-Nya. Diutuslah kepada mereka seorang Rasul yang memerintahkan mereka agar masuk ke dalam api/neraka”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Seandainya mereka masuk ke dalamnya, niscaya mereka akan merasakan dingin dan selamat” [Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya (4/24), Ibnu Hibbaan dalam Shahih-nya (16/356 no. 7357), Al-Bazzaar sebagaimana dalam Kasyful-Astaar (3/33 no. 2174), Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (1/287 no. 841), dan yang lainnya; shahih].
3.     Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dakam banyak hadits sering memberi ‘udzur kepada kaum muslimin (para shahabat) jika mereka jatuh dalam kekeliruan, seperti misal kasus Haathib bin Abi Balta’ah radliyallaahu ‘anhu. Ketika ia tertangkap karena membocorkan penyerbuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ke Makkah, ia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ بِمَكَّةَ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا، وَلَا ارْتِدَادًا، وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ صَدَقَكُمْ، قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ، قَالَ: إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“Wahai Rasulullah, janganlah engkau terburu-buru kepadaku. Sesungguhnya aku adalah seorang anak angkat di tengah suku Quraisy, dan aku bukanlah termasuk dari kalangan mereka. Adapun kaum Muhaajirin yang bersama engkau, mereka mempunyai kerabat di Makkah yang akan melindungi keluarga dan harta mereka. Dikarenakan aku tidak punya hubungan nasab dengan mereka, aku ingin menolong mereka agar mereka pun menjaga kerabatku. Aku melakukan ini bukan karena kekafiran, murtad, ataupun ridlaa dengan kekufuran setelah Islam”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Sungguh, dia telah jujur kepada kalian”. ‘Umar berkata : “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku tebas leher orang munafik ini”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya ia (Haathib) adalah orang yang turut serta dalam perang Badr. Tahukah engkau bahwa barangkali Allah telah melihat ahlul-Badr dan berfirman : ‘Berbuatlah sekehendak kalian, karena Aku telah mengampuni kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3007].
Padahal, perbuatan yang dilakukan Haathib radliyallaahu ‘anhu termasuk klasifikasi dosa besar.
Sebaliknya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak pernah memberikan ‘udzur kepada orang Yahudi dan Nashrani atas kekeliruan/pelanggaran yang mereka lakukan.
Ibnu Hazm rahimahullah pernah berkata:
وأما من كان من غير أهل الإسلام من نصراني أو يهودي أو مجوسي، أو سائر الملل، أو الباطنية القائلين بإلهية إنسان من الناس، أو نبوة أحد من الناس، بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فلا يعذرون بتأويل أصلا، بل هم كفار مشركون على كل حال
“Adapun orang non-Islaam dari kalangan Nasharani, Yahudi, Majusi, atau seluruh paham agama (selain Islam), atau kalangan baathiniyyah yang mengklaim sifat ketuhanan pada diri seseorang atau yang mengklaim kenabian pada diri seseorang sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka tidak diberikan ‘udzur dengan sebab ta’wiil secara asal. Bahkan mereka itu kafir lagi musyrik dalam segala keadaannya” [Ad-Durrah, hal. 441].
Wallaahu a’lam.
Semoga yang singkat ini ada manfaatnya.

[anakmuslimtaat’ – perumahan ciomas permai – 17122014 – 01:15].

Membedakan Muslim dan Kafir (Asli) dalam Pemberian ‘Udzur Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top