Sementara kritik kepada ISIS terus bermunculan, belakangan ini marak juga penggunaan istilah tawaqquf. Mereka yang pro terhadap ISIS nampaknya memiliki jawaban yang kurang lebih seragam. Salah satunya ya tawaqquf ini. Apa itu tawaqquf? Secara sederhana, tawaqquf artinya berdiam diri sebelum menemukan dalil atau penjelasan yang jernih. Tawaqquf adalah bagian dari adab yang diajarkan dalam Islam. Kalau tidak tahu, harus mengaku tidak tahu. Jangan sok tahu. Seruan untuk tawaqquf pun muncul dari beberapa orang setelah membaca artikel saya yang ini Perjuangan Dakwah dan Sikap Keras. Bagi yang belum sempat membaca artikel saya tersebut, saya sangat menyarankan untuk membacanya terlebih dahulu, agar duduk persoalannya bisa dipahami dengan jelas.
Dalam artikel tersebut, saya sudah mengungkapkan ketidaktahuan saya tentang masalah ISIS. Silakan disimak lagi artikelnya. Mereka yang kurang sabaran mungkin akan berkata, “Kalo gak tau, ngapain buat artikel?” Hehehe... Kalau sabar sedikit, dan terus membaca, akan jelas bahwa ‘tidak tahu’ tidak sama dengan ‘tidak bersikap.’ Sebagai ilustrasi saja nih. Ketika kita belajar shalat dulu, apakah kita menguasai semua dalilnya dulu, BARU kita shalat? Praktiknya tidak semudah teori. Sebab, ketika membaca dalil, bisa jadi ada banyak pemahaman yang berbeda-beda. Tata cara shalat bisa berbeda untuk masing-masing madzhab. Ini menunjukkan bahwa memang tidak semua orang ahli dalam bidang ini. Lalu bagaimana? Padahal bagi seorang muallaf yang baru mengucap syahadatain, ia langsung mendapat kewajiban shalat. Tidak mungkin membebankan seorang muallaf dengan beban ilmu sekelas mujtahid. Oleh karena itu, dalam Islam dikenal istilah taqlid. Taqlid itu mengikuti. Tapi bukan taqlid buta, ya! Mengapa tidak buta? Sebab kita harus melihat-lihat dulu siapa yang hendak kita ikuti.
Masalah yang muncul dengan deklarasi pendirian khilafah oleh ISIS ini tidaklah sederhana. Bagi yang belum sempat membaca artikel saya yang sebelumnya, saya sangat menyarankan untuk membacanya terlebih dahulu, agar duduk persoalannya bisa dipahami dengan jelas.Di sisi lain, ini adalah masalah penting yang harus disikapi. Karena itu, kita tidak semestinya berhenti pada tawaqquf. Sikap yang benar dalam hal ini adalah memilih pendapat dari para ulama. Dari sekian banyak ulama, sangat dimungkinkan ada perbedaan pendapat. Disinilah masalah menjadi semakin rumit. Info darimana yang hendak Anda percaya? Dari 1 orang ulama atau dari majelis ulama? Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan peringatan tentang masalah ini: MUI Minta Umat Islam Waspadai Gerakan ISIS. Apakah pesan dari MUI akan kita anggap seperti komentar orang-orang bodoh yang mesti diabaikan saja? Ulama kelas dunia seperti Syaikh Yusuf al-Qaradhawi pun sudah berkomentar: Syaikh Qaradhawi: Khilafah Ala ISIS Tak Sah Secara Syariah.
Kalau sudah begini, salahkah jika mayoritas umat memilih untuk TIDAK berhenti pada tawaqquf semata? Mengikuti ulama adalah adab keilmuan dalam Islam. Tawaqqufpun harus diletakkan dalam kerangka tersebut.Musibah besar bagi tradisi keilmuan Islam jika para ulama menyerukan sesuatu namun umat yang awam malah memilih untuk tawaqquf. Jika Anda seorang mujtahid, dan memandang ada kemaslahatan dari sikap tawaqquf, maka boleh melakukannya. Tapi tentu kita tidak berkhayal bahwa semua orang adalah mujtahid. Sebagian besar dari kita hanya sampai level muqallid.
Selanjutnya, pahamilah bahwa identitas dan kredibilitas seseorang menjadi masalah penting dalam ke-tsiqah-an. Di artikel yang lalu, saya sudah mengatakan bahwa ketika Abu Bakar r.a menjadi khalifah, tak ada yang protes. Siapa yang tak kenal dengan beliau? Siapa yang berani menyatakan dirinya lebih unggul daripada Abu Bakar r.a, sedangkan Nabi s.a.w sendiri menjadikan dirinya sebagai sahabat terdekatnya? Dengan demikian, semua opini pada akhirnya akan dinilai dari bobot sang pembuat opininya juga, karena keterbatasan informasi.
Saya belum melihat video dukungan terhadap ISIS yang heboh itu. Tapi saya menangkap sebuah nama: Abu Muhammad al-Indonesi. Mari jadikan nama ini sebagai contoh kasus. Jika harus memilih, antara pendapat Syaikh Yusuf al-Qaradhawi atau Abu Muhammad al-Indonesi, siapa yang akan kita pilih? Yang memilih Syaikh Yusuf al-Qaradhawi akan menjawab bahwa mereka mengenal kebesaran namanya, karena itu beliau dipercaya. Tapi yang memilih pendapat Abu Muhammad al-Indonesi, alasannya apa? Jangan-jangan nama aslinya pun tak tahu. Kalau nama asli tak jelas, background keilmuan pun misterius. Apa info boleh diambil dari sumber yang serba tak jelas?
Maka, jangan samakan Abu Bakar r.a dengan Abu Bakar al-Baghdadi. Yang pertama sudah jelas sosoknya dan jelas ke-tsiqah-annya. Yang kedua, banyak yang belum mengenalnya. Oleh karena itu, jangan salahkan umat bila tidak langsung membai’at. Ini masalah serius yang harus disikapi dengan seksama. Jangan pula memaksa umat untuk tawaqquf, padahal para ulama sudah menyuarakan fatwa-fatwanya.
Bagi orang awam, adab yang benar adalah mengikuti ulama. Bukan menentukan sendiri hendak tawaqquf atau tidak. Simaklah pesan dari Ustad Bachtiar Nasir di bawah ini:
“Terkait ISIS, pesan saya adalah: Bersabarlah bersama ulama yang mukhlis dan amil. Jangan terburu-buru ikut tanpa ilmu syariah dan informasi lapangan yang valid.”
Seruan Ustad Bachtiar di atas semestinya tidak dipahami sebagai seruan untuk diam dan tak bersikap, melainkan untuk solid bersama para ulama. Tidak semestinya setiap orang berfatwa, dan sudah seharusnya masyarakat awam mengikuti para ulama. Tidak mungkin masyarakat awam disuruh tawaqquf, namun kemudian dikejutkan oleh kewajiban untuk membai’at.
Ada beberapa poin lain yang saya kemukakan di artikel lalu, yang memberi alasan tambahan atas keraguan umat terhadap ISIS. Pertama, karena sebagian pendukungnya memperlihatkan akhlaq yang sangat buruk. Sebagian ya, tidak semua! Kedua, karena foto-foto dan video-video kekejaman yang dinisbatkan kepada ISIS. Dalam artikel sebelumnya, saya pun mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menjamin kekejaman-kekejaman itu benar-benar dilakukan oleh ISIS. Tapi sebaliknya, tak ada juga yang bisa menjamin bahwa pelakunya BUKAN ISIS. Dari diskusi-diskusi yang saya lihat di tanah air, saudara-saudara yang pro ISIS malah tidak banyak yang membantah foto-foto dan video-video tersebut. Yang banyak dikatakan adalah bahwa yang dieksekusi tersebut adalah pelanggar syari’at, kaum sesat. Tapi andaikan benar mereka melanggar syari’at atau sesat, apakah cara-cara kejam di luar syari’at menjadi diperbolehkan?
Mereka yang mengatakan bahwa berita-berita miring soal ISIS itu fitnah, saya lihat tidak juga membawa bukti yang lebih meyakinkan. Ada yang menyebut nama beberapa tokoh sebagai rujukan, tapi dengan nama samaran yang mereka sendiri tidak tahu pasti identitasnya. Lagi-lagi masalah identitas dan kredibilitas. Hal ini memang tak mungkin kita kesampingkan, karena beginilah tradisi ilmu dalam Islam. Ada juga yang memberi link dari sayap media ISIS. Tapi yang ada hanya retorika saja. Lantas mana info yang lebih shahih? Lagi dan lagi, kita dihadapkan pada persoalan keshahihan informasi. Maka, ke-tsiqah-an sumber info menjadi jalan keluar. Karena itu, jangan salahkan orang yang tidak mau tawaqquf dan memilih pendapat ulama yang ia kenal betul kredibilitasnya.
Artikel sebelumnya saya akhiri dengan bahasan panjang seputar ‘memenangkan hati.’ Jika ISIS benar-benar mendirikan khilafah yang hendak menaungi seluruh umat Muslim, maka tunjukkanlah itikad baik tersebut. Tunjukkanlah itikad baik melalui keteladanan, tunjukkan dalam artikel-artikel pembelaan, dan berjihadlah membela umat. Kalau persoalannya hanya seputar bai’at dan jihad, mungkin Sirah Nabawiyah akan sangat lain jalan ceritanya. Tapi dakwah memang bukan jalan pintas, bukan pula jalan yang landai tanpa rintangan. Semoga kita semua dapat memelihara kesabaran di jalan dakwah yang penuh perjuangan ini. Aamiin...
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer