Kali ini saya akan bahas soal Islam. Bukan soal Islam secara keseluruhan, tentunya, tapi tentang nama “Islam” itu sendiri. Sebelum masuk ke pembahasan, mari kita lihat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 62. Bunyinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah:62)
Ada yang menarik dari penjelasan Buya Hamka tentang Al-Baqarah: 62 dalam Tafsir Al-Azhar yang beliau tulis. Al-Baqarah: 62 adalah salah satu ayat yang sering dimanfaatkan oleh kaum liberalis untuk membenarkan pluralisme agama. Ayat ini punya ‘kembaran’, yaitu Qs. Al-Maa’idah: 69 yang redaksinya sangat mirip. Bunyinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Maa’idah: 69)
Dalam ayat tersebut, dinyatakan bahwa ada empat golongan yang bisa mendapatkan pahala dari Allah. Keempat golongan tersebut adalah: orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani dan Shabi’in. Persyaratannya, mereka harus beriman kepada Allah dan Hari Akhir, juga beramal saleh. Dengan berbekal ayat ini, kaum liberalis menyatakan bahwa Non-Muslim pun bisa masuk surga.
Pertanyaan utamanya, tentu saja: mengapa empat golongan itu? Mengapa bukan hanya Islam? Dalam menelaah ayat ini, biasanya kelompok liberalis sekonyong-konyong menjadi literalis. Padahal mereka selalu mengedepankan kontekstualisme. Tapi kalau ayatnya seperti ini, mereka maunya literalis. Kelompok pertama adalah orang-orang beriman. Lazim dipahami, maksudnya adalah orang-orang yang beragama Islam. Kelompok keempat (saya sengaja dahulukan) adalah Shabi’in. Menurut Buya Hamka, nama “Shabi’in” ini diberikan pada banyak kelompok. Maknanya adalah “murtad dari agama asalnya”. Rasulullah s.a.w juga pernah disebut sebagai bagian dari kelompok ini, sebab beliau dianggap keluar dari agama nenek moyangnya.
Kelompok kedua dan ketiga tentunya yang paling menarik, yaitu Yahudi dan Nasrani. Apa itu agama Yahudi? Apa itu agama Nasrani? Mengapa keduanya disebut di ayat ini? Buya Hamka menguraikan penjelasannya dengan memulai dari asal-muasal kedua nama tersebut. “Yahudi”, menurut beliau, diambil dari nama salah satu anak Nabi Ya’qub a.s, yaitu Yehuda. Dengan sendirinya, “Yahudi” adalah semacam nama “agama-bangsa” atau “agama-keluarga”. Artinya, nama ini memang mengandung “risiko” memunculkan kerancuan antara agama dan garis keturunan. Di Barat, sampai sekarang masih terjadi kerancuan mengenai Yahudi.
Di Barat yang sekuler, pernikahan antar-agama memang biasa. Orang Barat sudah banyak yang tidak taat agama, jadi mereka tidak peduli. Banyak orang Yahudi yang menikah dengan umat lain, karena mereka memang tidak peduli lagi dengan masalah-masalah seperti ini. Anggaplah seorang Yahudi menikahi seorang Kristen. Anaknya disebut Yahudi atau Nasrani? Bisa jadi kedua orangtuanya pada akhirnya tidak mengajarkan anaknya untuk mengidentifikasi diri dengan salah 1 agama. Akan tetapi, di Barat sering kita dengar istilah “Half-Jewish (Setengah Yahudi).” Agama kok bisa “half (setengah)”? Agama macam apa ini? Ya, itulah kerancuannya, sebab Yahudi adalah identitas kesukuan juga. Misalkan orang Minang menikah dengan orang Sunda, anaknya ya setengah Minang atau setengah Sunda, tapi agamanya tetap satu, tidak setengah-setengah.
Kembali pada nama “Yahudi.” Kita simpulkan bahwa nama ini adalah nama “agama-keluarga”. Bagaimana dengan nama “Nasrani”? Darimana sumbernya? Menurut Hamka, nama “Nasrani” diambil dari nama kampung halaman Nabi ‘Isa a.s, yaitu Nashirah (Nazareth). Karena tidak punya nama, maka digunakanlah nama wilayah asalnya sebagai nama agama. Maka, “Nasrani” adalah nama “agama-kota”. Hal menarik yang perlu dicatat disini adalah bahwa “Nasrani” bukan satu-satunya nama mereka. Nama lainnya, sebagaimana yang kita ketahui, adalah “Kristen”. Dalam bahasa Inggrisnya: “Christian.” Dalam Kitab Perjanjian Baru, rujukan pertama dari nama “Kristen” ada pada Kisah Para Rasul 11:26. Menurut referensi tersebut, di Antiochia-lah pertama kalinya mereka disebut sebagai umat Kristen. Referensi-referensi lain menjelaskan bahwa “Christian” bermakna “follower of Christ (pengikut Kristus).” Akan halnya nama “Nasrani”, agaknya tidak ada kesepakatan. Tidak semua umat Kristiani mengetahui nama ini. Orang-orang Kristen di Barat, misalnya, banyak yang tidak tahu nama “Nasrani”. Mereka tidak terbiasa dengan nama itu. Hal ini menimbulkan kesan bahwa nama “Nasrani” adalah pemberian orang lain. Maka, nama “Nasrani” dan “Kristen” ternyata sama-sama tidak berasal dari Yesus atau Nabi ‘Isa a.s.
Kembali pada nama “Yahudi”. Karena ini adalah nama “agama-keluarga”, maka terbukalah sebuah kemungkinan. Karena semua keturunan Yahudi tetap saja akan disebut Yahudi, maka bisa jadi ada ‘Yahudi yang beriman’. Demikian juga “Nasrani” adalah nama “agama-kota”. Terbuka pula kemungkinan serupa. Karena yang agamanya berasal dari Nashirah disebut orang-orang Nasrani, maka bisa jadi ada pula ‘Nasrani yang beriman’.
Akan tetapi, tentu saja, Buya Hamka memberi batasan. Yahudi dan Nasrani hanya mungkin beriman JIKA tidak sempat bertemu dengan dakwah Rasulullah s.a.w. Jika sudah bertemu dengan Rasulullah s.a.w namun tidak beriman pada beliau, maka mereka tidaklah beriman, melainkan kafir. Sebaliknya, jika menerima dakwah beliau, maka mereka bukan Yahudi atau Nasrani lagi, tapi sudah menjadi Muslim. Dengan sendirinya, Yahudi dan Nasrani di zaman sekarang tidak termasuk dalam konteks Al-Baqarah: 62 ini. Qs. Ali Imran: 113 menegaskan bahwa di antara Ahli Kitab itu memang ada yang beriman, ada pula yang tidak. Bunyinya sebagai berikut:
“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (beribadah).” (Qs. Ali Imran: 113)
Qs. Ali Imran: 110 menjelaskan bahwa kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. Bunyinya sebagai berikut:
“...sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Ali Imran: 110)
Akan lebih jelas lagi kiranya jika kita menengok asbabun nuzul (penyebab turunnya ayat) dari Al-Baqarah: 62 ini. Buya Hamka menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk menjawab pertanyaan Salman al-Farisi r.a. Salman r.a adalah sahabat Nabi s.a.w yang pernah bekerja untuk majikan-majikan yang berbeda-beda agamanya. Karena para majikannya dipandang shaleh, maka Salman r.a pun menanyakan “nasib” mereka pada Nabi s.a.w. Maka turunlah Qs. Al-Baqarah: 62. Orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabi’in, asal beriman dan beramal shaleh, juga mendapat pahala.
Seperti apa sih “Yahudi dan Nasrani yang beriman” itu? Ini masalah yang riil dan sangat penting untuk dijawab. Kita mengenal, misalnya, Pendeta Bahira. Beliau adalah seorang Nasrani. Melalui tanda-tanda yang dipahaminya dari Injil, Bahira bisa mengenali tanda-tanda kenabian pada diri Rasulullah s.a.w. Padahal, ketika bertemu dengannya, Rasulullah s.a.w masih anak-anak, belum menerima wahyu, belum diangkat menjadi Nabi. Maka, zhahirnya, kita dapat mengatakan bahwa Bahira beriman pada tanda-tanda yang dijelaskan dalam Injil. Bahira bahkan memperingatkan Abu Thalib untuk melindungi keponakannya. Artinya, ia berusaha melindungi Rasulullah s.a.w dan membelanya. Zhahirnya, ia beriman. Akan tetapi, Bahira tetaplah disebut sebagai seorang Nasrani, bukan Muslim. Sebab, ketika bertemu Rasulullah s.a.w, beliau belum berdakwah, karena belum mendapat wahyu. Zhahirnya, kita bisa golongkan Bahira sebagai ‘Nasrani yang beriman’. Sekali lagi: zhahirnya! Kalau hati, Allah yang tahu.
Orang-orang Yahudi juga mengenal dengan baik ciri-ciri Rasulullah s.a.w dari penjelasan dalam Taurat. Pada tahun kesebelas kenabian, Rasulullah s.a.w mendatangi orang-orang Madinah (dulunya bernama Yatsrib) yang datang ke Mekkah. Beliau menemui mereka di ‘Aqabah, suatu daerah yang tidak jauh dari Mina. Dalam perbincangan itu, orang-orang Arab dari Yatsrib tersebut langsung mengenali Rasulullah s.a.w. Mengapa? Karena orang-orang Yahudi di Yatsrib senantiasa menyebut-nyebut kedatangan Sang Nabi Penutup. Begitu jelasnya ciri-ciri yang dijelaskan oleh orang-orang Yahudi itu, sampai-sampai yang mendengarkan ciri-ciri itu pun langsung paham. Ketika bertemu Rasulullah s.a.w, tahulah mereka bahwa beliau adalah Nabi yang dibicarakan oleh orang-orang Yahudi. Maka, tentu saja dapat kita simpulkan bahwa pada zaman dahulu ada juga “Yahudi yang beriman”. Sekali lagi, batasannya adalah pada bertemunya mereka dengan dakwah Rasulullah s.a.w. Yahudi dan Nasrani yang benar-benar beriman pasti akan menyambut Rasulullah s.a.w, bukan menolaknya. Jika menolaknya, maka mereka tidak dikategorikan sebagai orang-orang beriman. Demikianlah sebagian penjelasan Buya Hamka tentang Qs. Al-Baqarah: 62.
Sejarah nama agama Yahudi dan Nasrani sangat kontras dengan Islam. Umat Muslim, mulai dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan menyebut agamanya dengan 1 nama: Islam. Orang-orang Barat sejak lama berusaha mendiskreditkan Islam. Mereka memberikan banyak nama lain. “Mohammedanism”, “Hagarism”, “Moor”, “Saracens”, “Turks”, semua itu adalah nama yang pernah diidentikkan dengan Islam. Akan tetapi, tentu saja, umat Muslim tetap menyebut Islam sebagai nama agamanya. Nama Islam tidak terkait dengan garis keturunan, tidak juga dengan wilayah geografis. Nama Islam tidak diberikan oleh orang lain, tidak pula dikarang-karang oleh umat Muslim. Nama Islam diberikan oleh Allah s.w.t, tertera dalam al-Al-Qur’an (lihat Qs. Ali Imran: 85) dan as-Sunnah. Oleh karena itu, seluruh Muslim di dunia kompak menyebut nama agamanya: Islam! Muslim yang rajin shalat dan yang shalat dua kali setahun (shalat ‘Id saja), kompak menyebut nama Islam. Muslim yang taat ibadah dan yang suka mabuk-mabukan, kompak menyebut nama Islam. Yang sudah Muslim sejak lahir dan yang baru menjadi muallaf kemarin sore pun kompak menyebut nama Islam. Sebab, nama Islam adalah pemberian langsung dari Allah. Tidak ada yang berani menggunakan nama lain. Seliberal-liberalnya kaum Islam Liberal, tetap saja menggunakan nama Islam. Inilah keistimewaan nama Islam. Sayangnya, banyak Muslim yang tidak menyadarinya.
Oleh karena itu, kita pun tak bisa menerima pendapat Nurcholish Madjid (tokoh Islam Liberal) yang menganggap bahwa Islam berarti “pasrah” belaka. Dan dengan demikian, umat lain yang pasrah pun bisa disebut Muslim. Itu salah kaprah. Mengapa? Sebab, meski “pasrah” adalah salah satu makna dari akar kata Islam, tapi Islam adalah sebuah nama. Islam adalah sebuah nama definitif yang telah Allah s.w.t berikan. Kita tidak berhak mengubah-ubahnya. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nama yang terbaik untuk agama-Nya: Islam. Kita bangga dengan nama Islam, sebab nama ini diberikan langsung oleh Allah s.w.t, bukan gubahan manusia. Semoga kita semakin menyadari kebesaran di balik nama Islam. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin…
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/anakmuslimtaat