Ketika Hari Kartini, saya lihat banyak anak TK dan SD mengenakan pakaian daerah. Akal saya pun berputar mencoba memahami fenomena Hari Kartini ini. Pertanyaan yang menggelitik adalah: apa hubungannya perjuangan Kartini dengan pakaian daerah? Apakah anak-anak disuruh mengenakan pakaian daerah karena foto Kartini selalu mengenakan kebaya? Ataukah Kartini memang dikenal karena memperjuangkan kebaya semasa hidupnya? Hmmm... Segala sesuatu tentang Kartini, rupanya, memang sukar dipahami karena tidak jelas akarnya.
Kisah hidup Kartini seringkali dimanfaatkan oleh kalangan feminis-sekuler. Yang diambil ya kisah sedihnya. Hingga akhir hayatnya, hidup Kartini memang berat. Maka kisah sedihnya dieskploitasi. Tentu kita berempati dengan Kartini. Masalahnya, kalau cuma eksploitasi kisah sedihnya, apa bedanya dengan sinetron? Sinetron yang sampai ratusan episode itu, isinya nggak jauh-jauh dari eksploitasi kemalangan. Berputar-putar disitu saja. Yang dizalimi ya orangnya yang itu-itu saja, yang menzalimi juga yang itu-itu saja orangnya. Sinetron nampaknya didesain khusus untuk membuat rakyat Indonesia marah-marah. Tapi cuma marah dalam hati. Karena marahnya bertumpuk-tumpuk, jangan heran kalau sewaktu-waktu gampang meledak. Atau bisa juga penonton yang justru ‘menikmati’ penderitaan, karena tokoh sinetron dan dirinya sama-sama menderita. Maka muncullah ilusi seolah-olah tidak pernah ada solusi dari permasalahan hidup. Sama seperti sinetron yang gak selesai-selesai.
Kembali ke feminisme, poin penderitaan inilah yang dibesar-besarkan dari kisah hidup Kartini. Kaum feminis sekuler memang hobi membangkitkan amarah dan ‘romantisme penindasan’. Itu sebabnya banyak kaum feminis yang perilakunya tidak jelas. Contohnya organisasi yang berjudul FEMEN. Apa saja yang dilakukan FEMEN ini? Jangan bayangkan organisasi ini membuat sekolah gratis atau apa gitu. Aksi FEMEN adalah ‘menyampaikan pesan’ dengan bertelanjang dada (atau bugil total). Yang namanya ‘menyampaikan pesan’ bisa dalam bentuk mengkritik pejabat-pejabat publik dalam keadaan bugil. Ya, bugil! Bagi sebagian kaum feminis-sekuler, bugil memang jadi kebanggaan. Pakaian dianggap penghalang. Bagi manusia beradab, tentu saja, pakaian adalah salah satu pembeda antara manusia dan hewan.
Seorang feminis bisa mengambil jalan ekstrem, hingga akhirnya membenci laki-laki. Ujung-ujungnya ya lesbianisme. Feminisme pun bisa ‘pecah kongsi’. Sebab, gak semua feminis juga setuju dengan aksi bugil. Sementara sebagian feminis menganggap pamer aurat adalah bukti kebebasan, sebagian lainnya sangat tidak setuju. Kelompok feminis yang ini justru memprotes eksploitasi tubuh perempuan, terutama untuk alasan hiburan. Tidak dipungkiri lagi, banyak laki-laki yang berbuat zalim kepada kaum perempuan. Akan tetapi, laki-laki dan perempuan tidak diciptakan untuk saling membenci.
Kembali ke masalah Kartini, tanpa mengabaikan penderitaannya, seharusnya kita tidak hanya fokus kepada penderitaannya. Inilah yang kini banyak digugat. Selain Kartini, sebenarnya banyak perempuan Indonesia yang berprestasi. Di Sumatera Barat dan Aceh, tokoh-tokoh seperti Rohana Kudus dan Cut Nyak Dhien bisa sukses tanpa dihalang-halangi. Tentu ini tidak membuat kita melupakan Kartini. Tapi ada yang lebih penting daripada mengeksploitasi penderitaannya.
Yang harus diteliti adalah: MENGAPA Kartini menderita? Apakah Kartini menderita karena agamanya, atau kultur masyarakatnya? Kartini adalah seorang Muslimah, sama seperti Rohana Kudus dan Cut Nyak Dhien. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa sumber penderitaan Kartini bukanlah agamanya. Malah sebaliknya, kampung halaman Rohana dan Cut Nyak Dhien dikenal sangat kuat memegang ajaran Islam. Semestinya, kita bisa jujur mengatakan bahwa Kartini adalah korban dari kultur masyarakat feodal. Feodalisme-lah yang telah meminggirkan kaum perempuan, bukan Islam. Tentu saja, kalangan feminis yang berpandangan sekuler tidak bisa mengakui hal ini. Jika mereka melakukannya, maka mereka akan berhadapan langsung dengan budaya.
Di Indonesia, modus kaum sekularis memang tidak jauh-jauh dari ‘adu domba’ antara budaya dengan agama. Mereka, misalnya, menghembuskan prinsip ‘Islam yang Indonesiawi, bukan Indonesia yang Islami’. Mereka bersikap seolah-olah budaya dan nenek moyang tak pernah salah. Sebaliknya, agama salah terus. Sering ada istilah ‘kekerasan atas nama agama’, tapi tak ada ‘kekerasan atas nama kultur budaya’.
Di Indonesia, banyak tawuran antar-kampung yang dilakukan turun-temurun. Kalau bukan tradisi, apa namanya? Bukankah mereka tawuran cuma karena diajari tawuran oleh nenek moyangnya? Bukankah kebencian itu diajarkan turun-temurun, padahal agama mereka melarang yang demikian? Sepakbola saja bisa jadi alasan untuk bunuh-bunuhan. Ini budaya atau agama? Atau sepakbola itukah agamanya? Inilah sebabnya orang-orang sekuler di Indonesia tidak pernah menggugat budaya. Sebab, budaya itulah yang selalu mereka benturkan dengan Islam. Begitu modusnya di Indonesia. Di Sumbar dan Aceh, Muslimah nyaman berhijab, nyaman pula berkarya. Akan tetapi, syariat Islam di daerah-daerah itu terus saja digugat oleh kaum sekularis. Mengapa mereka tak menggugat budaya feodal yang telah menindas Kartini dan entah berapa banyak perempuan lainnya?
Kembali ke masalah pakaian daerah, saya khawatir kebiasaan berpakaian daerah di Hari Kartini ini cuma pengalihan isu. Dengan tradisi berpakaian daerah, orang lupa kisah Kartini yang sebenarnya dan tak pernah ada solusi. Sebab, tradisi feodal terus saja dihidupkan, dan Islam terus saja diingkari. Perempuan akan selamanya menderita. Mereka terus menderita, terus mencari solusi, namun tak juga menengok Islam, sebab mereka diajarkan benci pada agama.
Sementara itu, kaum perempuan dijauhkan dari tugas-tugas intelektualnya. Coba tengok televisi! Dari ujung rambut sampai ujung kaki, itu sajalah yang harus dipikirkan oleh kaum perempuan. Begitulah ajaran TV. Lihat iklan-iklan yang berseliweran setiap saat. Kalau rambut tidak berkilau, hancurlah martabat perempuan. Begitukah? Tidak ada lagi yang menyimak pemikiran Kartini. Sebab kaum sekuler hanya mengajarkan kemarahan, bukan solusi. Kritik-kritik Kartini terhadap kultur masyarakatnya dikemanakan? Jadi mitos saja tampaknya. Kaum sekuler kini mengendalikan media. Pemikiran kaum perempuan pun dikendalikannya. Yang penting rambut indah, kulit mulus, dan bisa buka aurat kemana-mana. Itulah pengkhianatan mereka terhadap Kartini.
Sekali dalam setahun, dirayakanlah Hari Kartini, meski maknanya tak tahu lagi. Sekali setahun, anak-anak TK dan SD berpakaian daerah, meski tidak ada hubungannya dengan Kartini. Semoga kita mampu menghargai kaum perempuan sebagaimana Allah telah meninggikan derajat mereka. Aamiin...
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer