Polemik Tentang Wanita dan Poligami | Ilmu Islam

Kamis, 12 Februari 2015

Polemik Tentang Wanita dan Poligami


Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal

Kayaknya seru juga kalau saya membahas tentang sebuah polemik yang pernah menghangat di Indonesia dahulu. Polemik yang saya maksud ini terjadi antara Moh. Natsir dan Soekarno. Bisa juga dikatakan bahwa polemik yang terjadi sebenarnya antara kubu ‘Islam’ dan yang menyebut dirinya ‘kubu kebangsaan’. Sebagaimana kita ketahui bersama, paham sekuler bukanlah hal baru di negeri kita. Ia sudah ada sejak lama. Sekularisme dibawa oleh kaum penjajah ke negeri ini, dan bertalian erat dengan misionarisme. Alasannya sederhana, yaitu karena Islam adalah musuh utama bagi kalangan penjajah. Oleh karena itu, dalam pandangan penjajah, rakyat Indonesia harus di-deislamisasi. Salah satu caranya, tentu saja, adalah dengan pemurtadan. Tapi kalau tak bisa dimurtadkan, cukuplah dengan disekulerkan. Kalau sudah sekuler, umat Muslim akan tetap menyebut dirinya Muslim, namun merasa ringan, bahkan bangga, meninggalkan ajarannya. Istilah yang banyak beredar pada zaman Natsir-Soekarno dahulu adalah ‘netral agama’. Secara sederhana, sekularisme mengklaim dirinya bersikap netral terhadap semua agama. Tentu kita tahu bahwa klaim itu dusta saja.

Alkisah, Natsir merasakan salah satu pengalaman pahitnya dengan ‘netral agama’ itu dalam sebuah kongres di tahun 1929. Pada saat itu, Natsir menghadiri kongres yang bertujuan membahas langkah-langkah untuk meninggikan martabat perempuan. Natsir hadir di sana sebagai wakil dari Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam besar pada masa itu. Dalam kongres tersebut, berbagai pembicara tamu diundang untuk menyampaikan pemikirannya. Di antara para tamu, ada pula Soekarno yang mewakili PNI. Natsir pun mendapat jatah berbicara disana. Maka para pembicara pun tampil mengulas masalah kaum perempuan dari berbagai sisinya. Nama-nama para pendidik, tokoh-tokoh panutan masyarakat, banyak disebut. Bahkan tokoh-tokoh perwayangan pun tak ketinggalan. Pemikiran Mahatma Gandhi dan Sun Yat Sen juga ada yang mengulas. Pendek kata, nyaris lengkaplah.

Meski demikian, Natsir melihat belum ada yang bicara tentang pandangan Islam terhadap kaum perempuan. Maka tampillah Natsir untuk membicarakan tentang masalah kaum perempuan dalam perspektif Islam. Sebuah kritik disampaikan oleh Natsir secara halus terhadap pandangan Soewarni, sang pimpinan rapat. Menurut Natsir, Soewarni banyak menggaribawahi sikap buruk kaum lelaki terhadap perempuan. Tidak dipungkiri lagi, banyak lelaki yang tidak bersikap santun kepada perempuan dan ini tak dapat dibenarkan. Akan tetapi, jika Soewarni melihat dengan jernih, ia akan melihat bahwa Islam telah memuliakan perempuan sejak lama. Sebagai contoh, ulas Natsir, di Inggris, baru pada abad ke-19 kaum perempuan bisa menuntut ilmu di perguruan tinggi. Dalam khazanah peradaban Islam, sudah 13 abad lamanya kaum perempuan menikmati kesempatan belajar yang sama dengan laki-laki. Apa dinyana, pembicaraan Natsir dihentikan di tengah jalan. Alasan Soewarni adalah tidak boleh membicarakan agama. Natsir mengelak, mengatakan bahwa yang dibicarakannya bukan agama, tapi peranan perempuan dalam Islam. Maka Soewarni pun memperbolehkan Natsir melanjutkan pembicaraannya, tapi hanya diberi waktu dua menit. Setelah Natsir selesai bicara, tak ada ucapan terima kasih dari pimpinan rapat, sebagaimana lazimnya adab dalam rapat-rapat semacam itu.

Begitulah orang-orang sekuler. Mereka menutup telinga dari kebaikan-kebaikan yang dibawa oleh agama meskipun kebaikan tersebut tak terbantahkan. Setelah Natsir, tampillah Soekarno. Dalam uraiannya, Soekarno mengomentari pendapat Natsir sebelumnya. Sikap ini dianggap janggal dan tak beretika, karena Natsir dan Soekarno sama-sama tamu. Tidak elok saling mengomentari seperti itu. Soekarno secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinya menganut asas yang berbeda dengan rekan-rekan dari Jong Islamieten Bond (JIB). Soekarno pun menegaskan bahwa dirinya anti poligami, dan menurutnya, sikapnya ini niscaya akan ditentang pula oleh rekan-rekan Jong Islamieten Bond (JIB). Soekarno lalu mengatakan bahwa ia takkan ambil peduli pada hukum Islam atau agama apa pun. Alasannya, karena ia tengah mengupayakan persatuan.

Polemik antara Natsir dan Soekarno juga terjadi di media massa. Natsir banyak mengkritik melalui media “Pembela Islam”. Dalam artikel-artikelnya, Natsir kerap mengkritisi pandangan kaum nasionalis-sekuler yang selalu menyakiti umat Muslim. “Pembela Islam” mendapat perhatian cukup banyak dari kalangan umat. Bertubi-tubi kritik dialamatkan pada Soekarno. Soekarno pun menyadari hal ini. Pada bulan Oktober 1929, ia mengundang para pemimpin ormas-ormas Islam di Bandung. Dalam pertemuan itu, anehnya, Soekarno menegaskan bahwa PNI tidak anti poligami, tidak anti agama, bahkan menjunjung semua agama. Padahal, pertemuan tersebut hanya berselang dua pekan saja dari kongres perempuan yang sebelumnya diceritakan.

Polemik semakin ‘semarak’ lagi ketika pada bulan yang sama, Ketua PNI Cabang Jakarta, Mr. Sartono, ikut bicara. Mr. Sartono dengan sangat tegas mengatakan bahwa PNI anti poligami. Sebelumnya, ia juga mengatakan bahwa kemerdekaan kaum perempuan di Indonesia lenyap setelah datangnya Islam. Tentu saja, ucapan Mr. Sartono di Jakarta berkebalikan dengan kata-kata Soekarno di Bandung. Kata-kata Soekarno di Bandung pun berlainan dengan kata-katanya sendiri beberapa waktu sebelumnya.

Tentu saja, sejarah mencatat bahwa inkonsistensi Soekarno bukan hanya dalam hal itu saja. Soekarno dikenal sangat dekat dengan dua ulama besar, yaitu Syaikh Abdul Karim Amrullah dan A. Hassan. Syaikh Abdul Karim Amrullah adalah ayahanda Buya Hamka. Soekarno pun menyebut beliau “Ayah”. A. Hassan adalah guru Moh. Natsir, yang merupakan lawan debat Soekarno, sekaligus tempat ‘curhat’ ketika di pengasingan. Ketika Soekarno diasingkan oleh Belanda, ia banyak berkirim surat dengan A. Hassan dan Natsir, meminta nasihat-nasihat agama. Akan tetapi, setelah Soekarno berkuasa (nyaris) mutlak, hubungannya memburuk dengan A. Hassan, Natsir, dan Buya Hamka. Hubungannya memang tidak memburuk dengan Syaikh Abdul Karim Amrullah, karena beliau wafat sebelum RI merdeka.

Natsir dan Hamka, sebagai tokoh Masyumi, menjadi korban dari politik Orde Lama. Natsir dilucuti hak-hak politiknya, sedangkan Hamka malah ditahan dua tahun lamanya tanpa pengadilan. Tentang masalah poligami, Hamka pun pernah berpolemik hangat dalam perkara ini, walau tak secara khusus dengan pihak mana pun. Hal tersebut terlihat dalam sebuah tanya-jawab di rubrik yang diasuhnya dalam majalah “Gema Islam”. Dalam jawabannya, Hamka menjelaskan bahwa poligami adalah fakta yang terjadi dalam peradaban manusia. Dalam Islam, poligami dibatasi. Sebelum Islam datang, poligami nyaris tanpa aturan. Perempuan dianggap komoditi saja. Hal tersebut tidak hanya terjadi dalam peradaban Islam saja, melainkan juga dalam peradaban-peradaban lainnya, termasuk Barat. Anehnya, kapan pun orang bicara poligami, yang disorot hanya Islam saja. Menurut Hamka, ada aturan-aturan yang sangat ketat dalam Islam untuk menjalankan poligami.

Di sisi lain, poligami pun dapat menjadi solusi. Ini adalah sisi yang tak kalah pentingnya untuk dipahami. Sebagai contoh, ada istri yang mandul. Poligami dapat menjadi solusi. Apakah ini berarti menelantarkan istri pertama? Justru karena tak ingin menelantarkan, maka poligami jadi solusi. Dengan demikian, keturunan didapat, sampai kapan pun istri jangan sampai ditelantarkan. Itulah kebaikan Islam. Ada pula janda-janda yang ditinggal mati suaminya, entah karena perang, sakit, atau apa pun. Mereka pun butuh pertolongan. Di zaman Nabi s.a.w, para sahabat yang mati syahid didata dengan terperinci. Salah satu hikmahnya adalah, janda-janda tersebut mendapat perhatian. Maka, menikahi janda-janda tersebut adalah bagian dari semangat memberikan pertolongan. Merendahkan? Tentu tidak.

Kalau boleh saya tambahkan, yang perlu pertolongan bukan hanya perempuan-perempuan yang nasibnya ‘malang’. Ada juga perempuan-perempuan muda, cantik, dan berpendidikan tinggi yang juga bernasib malang. Diam-diam, mereka pun butuh pertolongan. Justru karena mereka muda, cantik dan berpendidikan tinggi, banyak lelaki yang ‘tak bernyali’ melamarnya. Sebaliknya, yang bernyali mendekatinya belum tentu lelaki baik-baik. Bisa jadi, mereka pun butuh pertolongan dari lelaki-lelaki mapan yang shaleh, yang ‘selevel’ dengan mereka.

Dalam Islam, menikah bukan ‘dari mata turun ke hati’. Kalau cuma itu, betapa rendahnya pernikahan. Kita melihat di dunia kini, orang berlomba-lomba ingin jadi cantik dan ganteng. Operasi plastik dianggap biasa, demi fisik sempurna. Saking ingin cantiknya, banyak perempuan melanggar kodratnya. Misalnya: mereka tak ingin hamil, karena ingin tetap langsing. Bagi manusia yang berakal sehat, tentu kita prihatin melihat masyarakat sekuler yang menyebut dirinya ‘modern’ ini. Bayangkan, usia sudah 40-an, tapi setiap harinya masih saja berjibaku ingin tampil seksi. Sementara itu, banyak jiwa-jiwa yang berbahagia di usia lanjut karena terhibur oleh kehadiran anak dan cucu.

Kembali pada polemik yang menyinggung banyak aspek sekaligus ini, termasuk juga masalah poligami. Kita perlu mengingat bahwa Islam memang membuka pintu untuk poligami. Tapi bukan berarti semua harus melakukannya. Dengan demikian, yang membolehkan poligami belum tentu punya niat melakukannya. Seorang rekan saya malah berseloroh, “Yang ngomongin poligami biasanya cuma wacana. Nggak pernah dilaksanakan!” Sebaliknya, yang menyatakan dirinya menolak poligami belum tentu pula tidak melaksanakannya. Di Barat, banyak yang memproklamirkan diri anti poligami. Tapi selingkuh sih rajin. Sama-sama punya pasangan lebih dari satu. Bedanya, dengan pasangan yang satu bertanggung jawab, dengan yang satu lagi ngumpet-ngumpet.

Antara Natsir, Hamka, dan Soekarno pun jelas ada perbedaan pandangan yang sangat tajam soal poligami. Kita tahu Natsir dan Hamka membolehkan poligami, namun sampai akhir hayatnya mereka tidak melaksanakannya. Akan halnya Soekarno, kita bisa melihat dari beberapa literatur, contohnya yang ini: Wanita-wanita Cantik dalam Kehidupan Soekarno. Konon, sedang dibuat pula film tentang istri-istri Soekarno. Patut dinantikan Di antara mereka yang melakukan poligami pun kita mesti jeli. Ada yang melanggar aturan, tapi ada juga yang tidak. Jangan terlalu mudah membolehkan poligami, namun jangan menutup mata pula pada kisah-kisah suksesnya. Semoga polemik ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.


YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/anakmuslimtaat

Polemik Tentang Wanita dan Poligami Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top