Demokrasi: Sebuah Perspektif | Ilmu Islam

Minggu, 08 Februari 2015

Demokrasi: Sebuah Perspektif

Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal

Demokrasi selalu menjadi topik bahasan yang menarik. Sebagian orang malah bersikap seolah-olah topik di dunia cuma satu ini saja. Ada yang bilang, demokrasi itu buatan Barat. Menerimanya berarti membebek pada Barat. Tapi coba tebak? Nama ‘resmi’ Korea Utara adalah The Democratic People’s Republic of Korea. Korea utara kok demokratis? Katanya demokrasi itu membebek Barat? Hmmm… kayaknya ada yang salah ya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah “demokrasi“ bisa dibilang cukup ‘lentur’. Artinya, orang bisa saja gunakan istilah yang sama, tapi maknanya lain-lain. A.S dan negara-negara Barat juga mengaku menjalankan demokrasi. Apa benar?

Konon, dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan. Apa iya? Prinsip ini jadi senjata bagi para penentang demokrasi di antara umat Muslim. Padahal kenyataannya tidak demikian. Suara rakyat adalah suara Tuhan, misalnya, tidak diterapkan di Mesir ketika rezim sekuler berkuasa. Rakyatnya ingin bela Palestina, tapi rezim sekuler menutup pintu perbatasan. Jadi, tidak tepat juga bila demokrasi diidentikkan dengan ‘suara rakyat adalah suara Tuhan.’ Apalagi, pelaksanaannya berbeda-beda. Memang demokrasi tak terkendali bisa berujung liberalisme. Tapi tidak semua demokrasi begitu.

Sekarang kita beralih ke Indonesia. Mengikuti pemikiran Buya Hamka, kita harus menengok dulu dasar negara kita. Apa sila pertama? ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Itulah akar tunggang Pancasila. Semua mengakar ke sana. ‘Kemanusiaan’ yang dibicarakan di Sila kedua bukan humanisme versi sekuler, tapi kemanusiaan yang berdasarkan ketuhanan. Demikian juga demokrasi yang diterapkan di Indonesia (semestinya) adalah sebuah sistem berlandaskan ketuhanan. Jadi, MPR/DPR (lagi-lagi semestinya) tidak berhak menentukan hal-hal yang melanggar agama. Idealnya begitu. Meski begitu, di Indonesia masih banyak ide-ide sekuler-liberal yang tak bisa diterima padahal demokrasi ditegakkan.

Lalu, mengapa kenyataannya tidak ideal? Ya, itulah cerminan bangsa kita. Jangan marah-marah saja kalau sistem di negeri ini tidak Islami. Itu tandanya, masyarakat kita masih ‘buta syariat’. Orang buta jangan dimarahi karena kebutaannya. Tapi bantu ia agar bisa melihat. Carikan donor mata, kalau perlu. Apa masalah selesai dengan mengutuki sistem? Tentu tidak. Sistem sebaik apa pun perlu perbaikan. Sementara sistem belum Islami, apa yang bisa diperbuat? Masak sih tidak ada yang bisa diperbuat selain membicarakan kecacatan sistem?

Saya ingat Ustad Adian Husaini pernah memberi retorika yang cerdas. “Kalau tanah kita diserobot orang, apa kita tunggu syariat ditegakkan, atau kita tempuh jalur hukum sekarang juga?” Tentu saja kita tidak diam. Lawan dong. Sistem belum islami, bukan berarti tak bisa berbuat apa-apa. Sistem belum Islami karena rakyat belum Islami. Maka, proyek jangka panjangnya adalah pendidikan. Sudah berapa banyak sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi yang Islami didirikan? Itu cerminan kesiapan umat. Banyak sekolah Islam tapi guru dan siswanya masih jauh dari Islami. Perguruan tinggi apalagi! Kalau sudah Islami akhlaqnya, apa prestasinya sudah sehebat sekolah-sekolah ‘sekuler’? Ini pekerjaan lainnya yang harus dibenahi.

Islam tidak bisa ditegakkan hanya dengan belajar nahwu, sharaf, fiqih, syariat dan lain-lain. Islam tidak mengenal dikotomi ilmu, tapi kategorisasi. Ada ilmu yang fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah. Di antara umat Muslim harus ada yang memiliki spesialisasi-spesialisasi ilmu yang beragam. Ini wajib. Kalau tidak ada yang jadi dokter, misalnya, maka umat Muslim bersalah. Semuanya kebagian dosa. Jadi, kita harus evaluasi gerakan dakwah kita juga. Apakah gerakan-gerakan dakwah sudah melahirkan kaum spesialis? Kaum generalis juga perlu. Tapi kaum spesialis jangan dilupakan. Umat Muslim tidak bisa menang kalau mereka tak ada.

Misalnya, di media Islam dihajar terus. Tapi media Islam kemana? Sudah jumlahnya sedikit, yang ada pun kualitasnya memprihatinkan. Wartawannya gak oke, redaktur payah, desain seadanya, dan lain-lain. Kalau begitu kondisinya, kapan kita mau meruntuhkan dominasi TIME, CNN, dan semacamnya?

Itulah gambaran betapa kompleksnya permasalahan umat. Maka, jangan disederhanakan secara berlebihan. Saat mengisi kajian di Universitas Institut Teknologi Sepuluh November belum lama ini, saya mendapat sebuah pertanyaan menarik. Seorang ikhwah bertanya, “Bukankah Islam liberal ini lahir karena demokrasi?” Menurutnya, demokrasi-lah yang memberikan hak kebebasan berpendapat sehingga orang-orang sesat pun bebas bicara. Mari kita gunakan perspektif yang lebih menguntungkan bagi kita semua. Memang benar, demokrasi membuka kebebasan berpendapat. Dan kebebasan ini ada potensi buruknya. Tapi, apa iya yang bebas bicara hanya yang sesat-sesat? Bukankah pada saat yang sama, para pembela kebenaran pun bebas bicara? Nah, jika para pembela kebatilan bisa memanfaatkan hak-haknya, mengapa para pembela kebenaran tidak bisa? Jangan-jangan, para pembela kebenaranlah yang lemah dalam argumen, lemah beretorika, dan sebagainya. Kita harus evaluasi.

Para Nabi dan Rasul berdakwah dengan argumen. Mereka susun argumennya dengan baik. Mereka tidak ‘menyalahkan’ para pembela kebatilan yang bicara. Sebaliknya, mereka lawan argumen dengan argumen. Maka, pandanglah demokrasi dan kebebasan yang dibawanya sebagai semacam ‘arena tanding’. Jangan salahkan orang awam yang memilih jadi sekuler, kalau memang kaum anti-sekulernya yang argumennya lemah. Oleh karena itu, para aktivis dakwah harus melengkapi dirinya dengan berbagai keahlian seperti berbicara di hadapan publik, menulis, dan sebagainya. Para aktivis dakwah juga tidak boleh ‘lari’ dari persaingan sains dan teknologi. Harus jadi pemenang di segala lini.

Bagaimana dengan masalah fisik? Harus juga! Orang Barat rajin minum susu, masak orang Islam gak suka. Sunnah, lho! Orang Barat rajin berenang, masak kita kalah? Itu juga sunnah! Tiket kolam renang mahal? Makanya penghasilan dilebihkan demi sunnah, supaya kita bisa jadi pemenang. Bayangkan kalau mau jihad, musuh-musuh kita kekar, kita kurus-kurus semua. Pernah lihat mujahidin Palestina? Besar, tegap, berotot. Seperti itu tuh yang mengikuti sunnah.

Ibnu Mas’ud r.a pernah ditertawakan karena betisnya kecil. Ini perlu jadi catatan khusus. Memang menertawakan fisik orang bukan akhlaq yang baik, makanya ditegur oleh Nabi s.a.w. Lagipula yang diejek Ibnu Mas’ud r.a, padahal beliau adalah salah satu sahabat paling utama, spesialis Al-Qur’an. Tapi kita juga perlu menyadari bahwa di antara sahabat Nabi s.a.w ternyata betis kecil itu minoritas. Artinya, mayoritas badannya kekar2. Ya wajar satu mujahid bisa kalahkan sepuluh musuh. Memang ada unsur ‘pertolongan Allah’ dalam jihad. Tapi pertolongan Allah kan tergantung usaha kita juga. Jika jihadnya asal-asalan, jangan harap turun 1.000 malaikat. Harus berusaha dan penuh persiapan.

Sekali lagi, pandanglah demokrasi sebagai ‘arena tanding’. Memang demokrasi tidak 100% sejalan dengan Islam. Tapi jangan sampai kondisi tidak ideal membuat kita mundur. Gara-gara menghindari demokrasi, akhirnya masalah pendidikan umat diurus oleh orang-orang sekuler. Padahal, pendidikan umat harus diislamisasi. Kalau tidak begitu, kapan sistemnya akan Islami? Yang akan membenahi sistem adalah orang-orang yang punya kompetensi akademis. Berjuang di lini pendidikan itu wajib. Seorang Muslim bisa menyekolahkan, katakanlah, 2-3 orang anak yatim. Sebuah majelis ta’lim bisa sekolahkan berapa? Katakanlah 100 anak. Tapi, seorang Gubernur bisa mendirikan ribuan sekolah. Skalanya sangat berbeda.

Kita tidak bisa lari dari pertarungan politik. Umat Muslim harus buktikan diri bisa memimpin. Sistem Islam itu paling OKE! Tapi harus dibuktikan dalam level pribadi. Susah untuk meyakinkan orang bahwa pendidikan yang Islami itu lebih baik kalau yang bicara bukan seorang pendidik yang hebat. Maka, jadilah pendidik yang hebat sebelum mengislamisasi pendidikan. Itu baru contoh di dunia pendidikan. Di bidang lain juga. Siapa yang larang bikin sekolah Islam? Kalau sekolah-sekolah Islam kurang bagus, salah siapa? Siapa yang larang bikin rumah sakit Islam? Kalau rumah sakit Islam pelayanannya gak bagus, salah siapa? Siapa yang larang bikin TV dan radio Islam? Kalau TV dan radio Islam kalah bersaing, salah siapa? Siapa yang larang berbisnis? Kalau pebisnis Muslim kurang profesional, salah siapa? Kita perlu berhenti menyalahkan keadaan. Keadaan gak sebuntu itu kok. Manfaatkan kebebasan. Musuh-musuh Islam bisa, kenapa kita tidak bisa? Harus bisa lebih baik! Mentalitas ini berlaku di segala bidang.

Selain itu, kita juga harus ‘bersaing’ dengan kaum sekuler di ranah politik. Adu argumen dengan mereka. Orang-orang sekuler tak mungkin mau dibungkam begitu saja. Kita yang harus membungkamnya dengan argumen.  Kalau kita bisa membuat orang-orang sekuler mati kutu dalam debat, maka kita akan sukses perjuangkan misi kita.

Terakhir, demokrasi juga tidak perlu disikapi secara berlebihan. Demokrasi cuma ‘arena tanding’, itu saja. Tidak ideal? Tentu saja! Kurang adil? Mungkin! Oleh karena itu, yang terlibat di jalur demokrasi tidak perlu dituduh ‘menyembah demokrasi.’ Itu tuduhan yang berlebihan. Yang tidak mau bersentuhan sama sekali dengan demokrasi, silakan. Mudah-mudahan bisa berkontribusi maksimal, fastabiqul khairat. Tidak ada orang yang menyembah demokrasi. Lagipula kurang kerjaan amat. Ada gak ya orang yang seperti itu?

Setuju atau tidak dengan demokrasi, marilah kita benahi satu-persatu masalah umat. Masalahnya ribet dan kompleks. Jangan dianalisis dengan terlalu ‘polos’.  Ijtihad yang salah nilainya satu, yang benar nilainya dua. Salah ijtihad, tidak berdosa. Su’uzhan dan fitnah, nah itu baru dosa. Semoga kita tidak terseret oleh demokrasi, tidak pula lari dari permasalahan yang sebenarnya. Aamiin yaa Rabbal alamin.


YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/anakmuslimtaat

Demokrasi: Sebuah Perspektif Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top