Satu Gerakan itu enak didengar, sedap di lidah, tapi tidak semudah itu diwujudkan. 'Tidak mudah' bukan berarti 'tidak mungkin'. Harus tetap optimis. Kalo gak optimis, gak akan terwujud tuh Satu Gerakan. Tadinya, saya pikir, kalau punya musuh bersama, pasti umat Muslim ini bisa mewujudkan gerakan yang solid. Insya Allah cita2 ini bukan utopia. Soalnya saya pernah dan masih mengalami persatuan yang demikian. Pengalaman waktu kuliah S2 dulu benar-benar luar biasa. Itulah Satu Gerakan. Pengalamannya lebih dahsyat daripada materi kuliahnya.
Saya kuliah S2 sepenuhnya dibiayai oleh Baznas-DDII. Para penerima beasiswa ini dipilih langsung. Ada yang lulusan kuliah di Libya, ada yang dari Univ. Madinah. Tapi ada juga yang dari UIN Bdg, Sastra Inggris UI, dan anak ITB ada dua orang. Background-nya juga berbeda-beda. Ada yang NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, Salafi, Tarbiyah, Hizbut Tahrir. Di antara teman-teman yang kuliah S2, saya yang paling miskin ilmu. Ada untungnya juga, soalnya pikirannya lebih 'polos.'
Nah, pas kuliah sudah mulai 'seru', kelihatan deh tuh perbedaan pandangan fiqih antar harakah. Diskusi jadi hot! Saya yang cuma tahu ikhtilaf soal Subuh berqunut dan gak berqunut jadi terbuka matanya. Ternyata ikhtilafitu memang banyak. Tapi apa diskusi yang hotharus jadi berantem? Nggak tuh. Pas jam makan siang, malah rebutan saling bayarin. Teman-teman kuliah saya itu kalau makan ya sembari ngobrol akrab. Lalu tiba-tiba ada yang berdiri duluan saja. Tiba-tiba semua makanan sudah dibayarin. Memang kenyataannya pandangan-pandangan fiqih gak mungkin dipersatukan semua. Tapi gak mesti saling bermusuhan. Jadi, biarpun di kelas berdebat, di luar ya ketawa-ketiwi. Ketemu berpelukan, berpisah pun berpelukan.
Tapi di luar ruang kuliah, kenyataannya masih gitu-gitu saja. Umat ini hobinya berantem. Apa bedanya di dalam dan luar ruang kuliah? Tadinya, saya kira, cuma pada kesadaran akan adanya musuh bersama. Memang sih faktor musuh bersama itu ada juga. Tapi ternyata faktor lain yang lebih penting adalah: ILMU. Orang berilmu-lah yang paling paham kenyataan akan adanya ikhtilaf. Yang gak berilmu sukanya panik dan mengamuk kalau ada ikhtilaf. Orang berilmu juga yang punya kemampuan menimbang masalah. Ini penting dalam ikhtilaf. Ada beda pendapat yang 'ringan', ada yang 'berat'. Semuanya harus ditimbang. Jangan semuanya dianggap kiamat.
Orang berilmu juga kenal adab. Bahkan dalam ikhtilaf pun adab harus dipegang teguh. Seorang teman Salafi mengkritik Syaikh al-Qaradhawi, tapi terang-terangan menyatakan sangat menghormati beliau. Kenapa? Jawabnya simpel: "Beliau pernah ditangkap dan disiksa karena membela dakwah. Saya belum ada apa-apanya." Adab membuat kita mampu menempatkan diri secara tepat. Semua manusia bisa salah, tapi kita harus sadar posisi. Nah, bersama orang-orang yang mencintai ilmu ini, ikhtilaf tetap terjadi. Tapi persatuan itu nyata. Sementara bersama orang-orang tak berilmu, persatuan terasa semu. Saat senang, semua aman. Tapi ada bara dalam sekam.
Seringkali, dalam pergaulan di tahap awal, perbedaan-perbedaan itu belum muncul, karena wacananya masih umum. Ketika pembicaraan sudah masuk ke ranah yang lebih mendetil, terlihatlah perbedaan-perbedaan itu. Tanpa ilmu, perpecahanlah yang terjadi. Itulah sebabnya saya mengingatkan bahwa Indonesia Tanpa JIL tak mungkin berdiri hanya dengan berlandaskan semangat. Harus dengan ilmu. Musuh bersama tak bisa jadi pemersatu. Demikian pula pendapat fiqih. Kita hanya bisa dipersatukan dengan ilmu. Jangan ragu, Indonesia Tanpa JIL berusaha mewujudkan Satu Gerakan itu. Mari hidupkan tradisi ilmu!
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer