Siapakah ‘Imraan bin Hiththaan itu ?. Adakah Pembaca pernah mendengar tentang dirinya?. Jika belum, berikut sekelumit kisah tentang dirinya. Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
عمران بن حطان ابن ظبيان، السدوسي البصري، من أعيان العلماء، لكنه من رؤوس الخوارج.
حدث عن عائشة، وأبي موسى الاشعري، وابن عباس.
روى عنه: ابن سيرين، وقتادة، ويحيى بن أبي كثير.
قال أبو داود: ليس في أهل الاهواء أصح حديثا من الخوارج، ثم ذكر عمران بن حطان، وأبا حسان الاعرج.
قال الفرزدق: عمران بن حطان من أشعر الناس، لانه لو أراد أن يقول مثلنا لقال، ولسنا نقدر أن نقول مثل قوله.
حدث سلمة بن علقمة، عن ابن سيرين، قال: تزوج عمران خارجية وقال: سأردها، قال فصرفته إلى مذهبها.
فذكر المدائني أنها كانت ذات جمال، وكان دميما فأعجبته يوما فقالت: أنا وأنت في الجنة، لانك أعطيت فشكرت، وابتليت فصبرت.
“’Imraan bin Hiththaan bin Dhabyaan As-Saduusiy Al-Bashriy[1]. Salah seorang ulama terkemuka, akan tetapi ia termasuk diantara pentolan Khawaarij.
Ia meriwayatkan hadits dari ‘Aaisyah, Abu Muusaa Al-Asy'ariy, dan Ibnu ‘Abbaas. Orang yang meriwayatkan hadits darinya antara lain : Ibnu Siiriin, Qataadah, dan Yahyaa bin Abi Katsiir.
Abu Daawud berkata : ‘Tidak ada yang lebih shahih haditsnya dari kalangan pengikut hawa nafsu dibandingkan kelompok Khawaarij’. Lalu ia menyebutkan ‘Imraan bin Hiththaan[2]dan Abu Hassaan Al-A’raj.
Al-Farazdaq[3]berkata : ‘Imraan bin Hiththaan termasuk penyair yang paling fasih, karena seandainya ia ingin berkata semisal kami, niscaya ia dapat mengatakannya, sedangkan kami tidak mampu mengatakan semisal perkataannya’.
Salamah bin ‘Alqamah menceritakan dari Ibnu Siiriin, ia berkata : ‘Imraan menikahi seorang wanita Khawaarij. Ia berkata : ‘Aku ingin mengembalikannya (kepada pemahaman Ahlus-Sunnah)’. Namun justru wanita itulah yang mengubahnya kepada madzhabnya (Khawaarij)’.
Al-Madaainiy menyebutkan bahwa wanita itu mempunyai wajah yang cantik, sedangkan ‘Imraan adalah seorang yang buruk rupa/cebol. Pada suatu hari, wanita itu terheran dan berkata : ‘Aku dan engkau kelak akan masuk surga, karena engkau dikarunia (diriku yang cantik) lalu engkau bersyukur, sedangkan aku diberikan ujian (dengan dirimu yang buruk rupa) lalu aku bersabar” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 4/214].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
عمران بن حطان الخارجي، كان أولا من أهل السنة والجماعة فتزوج امرأة من الخوارج حسنة جميلة جدا فأحبها. وكان هو دميم الشكل، فأراد أن يردها إلى السنة فأبت فارتد معها إلى مذهبها
“’Imraan bin Hiththaan Al-Khaarijiy. Awalnya ia termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Ia menikahi seorang wanita Khawaarij cantik jelita, lalu ia pun jatuh cinta kepadanya – padahal ia (‘Imraan) seorang yang cebol lagi buruk rupa. ‘Imraan (menikahinya karena) hendak mengembalikannya kepada sunnah, namun wanita itu enggan dan malah ‘Imraan murtad (dari sunnah) bersama wanita itu kepada madzhabnya (Khawaarij)” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 9/64].
Ya’quub bin Abi Syaibah rahimahumallah berkata:
وعمران بن حطان كان رجلا من بني سدوس أدرك جماعة من أصحاب النبي ( صلى الله عليه وسلم ) وصار في آخر أمره أن رأى رأي الخوارج وكان سبب ذلك فيما بلغنا أن ابنة عم له رأت رأي الخوارج فتزوجها ليردها عن ذلك فصرفته إلى مذهبها
“’Imraan bin Hiththaab dulunya adalah seorang laki-laki dari Bani Saduus yang berjumpa dengan sekelompok orang dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Pada akhir usianya, ia mempunyai pemikiran Khawaarij. Penyebabnya sepanjang yang sampai kepada kami adalah anak perempuan pamannya mempunyai pemikiran Khawaarij, lalu ‘Imraan menikahinya dengan tujuan untuk mengembalikannya (kepada pemahaman Ahlus-Sunnah), namun ternyata wanita itulah yang justru mengubahnya pada madzhabnya (Khawaarij)” [Taariikh Dimasyq 43/490 dan Tahdziibul-Kamaal22/323].
Muhammad bin Abi Rajaa’ rahimahumallah berkata:
أخبرني رجل من أهل الكوفة قال تزوج عمران بن حطان امرأة من الخوارج ليردها عن دين الخوارج فغيرته إلى رأي الخوارج وكانت من أجمل الناس وأحسنهم عقلا وكان عمران من أسمج الناس وأقبحهم وجها فقالت له ذات يوم إني نظرت في أمري وأمرك فإذا أنا وأنت في الجنة قال وكيف فقالت لأني أعطيت مثلك فصبرت وأعطيت مثلي فشكرت فالصابر والشاكر في الجنة قال فمات عنها عمران فخطبها سويد بن منجوف فأبت أن تزوجه وكان في وجهها خال كان عمران يستحسنه ويقبله فشدت عليه فقطعته وقالت والله لا ينظر إليه أحد بعد عمران وما تزوجت حتى ماتت
“Telah mengkhabarkan kepadaku seorang laki-laki dari penduduk Kuufah, ia berkata : ‘Imraan bin Hiththaan menikahi seorang wanita Khawaarij dengan tujuan untuk menyadarkannya dari agama Khawaarij, namun ternyata wanita itulah yang justru mengubahnya pada pemikiran Khawaarij. Ia (si wanita) adalah orang yang paling cantik dan paling cerdas, sedangkan ‘Imraan adalah orang yang paling buruk dan paling jelek wajahnya. Maka suatu ketika istrinya berkata kepadanya : ‘Aku memperhatikan urusanku dan urusanmu, maka aku berpikir aku dan engkau kelak akan masuk surga’. ‘Imraan berkata : ‘Bagaimana hal itu terjadi ?’. Istrinya berkata : ‘Karena aku dikaruniai orang semisal dirimu (yang buruk rupa) lalu aku bersabar, sedangkan engkau dikaruniai orang semisal diriku (yang cantik) lalu engkau bersyukur. Orang yang bersyukur dan sabar, keduanya masuk surga’. Ketika ‘Imraan meninggal[4], wanita itu dilamar oleh Suwaid bin Manjuuf, namun ia menolaknya. Pada wajah wanita itu terdapat tahi lalat yang sangat disukai oleh ‘Imraan dimana ia sering menciuminya. (Sepeninggal ‘Imraan), wanita itu menekan tahi lalat itu dan mencabutnya seraya berkata : ‘Demi Allah, tidak boleh ada seorang pun yang melihatnya sepeninggal ‘Imraan’. Ia tidak menikah (dengan orang lain) hingga meninggal” [Taariikh Dimasyq 43/490 dan Tahdziibul-Kamaal 22/323-324].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَعِمْرَان هُوَ السُّدُوسِيّ كَانَ أَحَد الْخَوَارِج مِنْ الْعَقَدِيَّة بَلْ هُوَ رَئِيسهمْ وَشَاعِرهمْ ، وَهُوَ الَّذِي مَدَحَ اِبْن مُلْجِم قَاتِل عَلِيّ بِالْأَبْيَاتِ الْمَشْهُورَة ، وَأَبُوهُ حِطَّان بِكَسْرِ الْمُهْمَلَة بَعْدهَا طَاء مُهْمَلَة ثَقِيلَة ، وَإِنَّمَا أَخْرَجَ لَهُ الْبُخَارِيّ عَلَى قَاعِدَته فِي تَخْرِيج أَحَادِيث الْمُبْتَدِع إِذَا كَانَ صَامِد اللَّهْجَة مُتَدَيِّنًا ؛ وَقَدْ قِيلَ إِنَّ عِمْرَان تَابَ مِنْ بِدْعَته وَهُوَ بَعِيد ، وَقِيلَ : إِنَّ يَحْيَى بْن أَبِي كَثِير حَمَلَهُ عَنْهُ قَبْل أَنْ يَبْتَدِع ، فَإِنَّهُ كَانَ تَزَوَّجَ اِمْرَأَة مِنْ أَقَارِبه تَعْتَقِد رَأْي الْخَوَارِج لِيَنْقُلهَا عَنْ مُعْتَقَدهَا فَنَقَلَتْهُ هِيَ إِلَى مُعْتَقَدهَا ، وَلَيْسَ لَهُ فِي الْبُخَارِيّ سِوَى هَذَا الْمَوْضِع وَهُوَ مُتَابَعَة ، وَآخَر فِي " بَاب نَقْضِ الصُّوَر " .
“’Imraan, ia adalah As-Saduusiy, salah seorang Khawaarij aliran ‘Aqadiyyah. Bahkan ia termasuk pentolannya dan ahli syairnya. Ia adalah orang yang memuji Ibnu Muljam si pembunuh ‘Aliy, dengan bait-bait syi’ir yang terkenal. Ayahnya bernama Hiththaan. Al-Bukhaariy hanyalah meriwayatkan darinya (dalam kitab Ash-Shahiih) berdasarkan kaedahnya dalam periwayatan hadits-hadits dari kalangan mubtadi’, yaitu apabila jujur dalam perkataannya dan taat beragama. Dikatakan bahwa ‘Imraan bin Hiththaan bertaubat dari bid’ahnya, namun perkataan ini jauh (dari kebenaran). Dan dikatakan pula : Sesungguhnya Yahyaa bin Abi Katsiir membawakan riwayatnya sebelum ia jatuh dalam kebid’ahan, karena ia menikah dengan wanita dari kalangan kerabatnya yang beraqidah Khawaarij untuk mengembalikannya dari ‘aqidahnya tersebut. Namun wanita itu justru mengubahnya kepada ‘aqidahnya (Khawaarij). Tidak ada riwayatnya dalam Shahiih Al-Bukhaariy kecuali dalam tempat ini sebagai mutaaba’ah saja, dan yang lain dalam Bab Naqshush-Shuwar[5]” [Fathul-Baariy, 10/290].
Sebagian faedah dari kisah di atas:
1. Seorang laki-laki hendaklah lebih menitik-beratkan faktor agama dari seorang wanita ketika hendak menikahinya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita (biasanya) dinikahi karena empat hal, yaitu : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang bagus agamanya. (Jika tidak), maka engkau akan merugi” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Daawud no. 2047, dan yang lainnya].
Allah ta’alaberfirman :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” [QS. Al-Hujuraat : 13].
Al-Qurthubiy rahimahullahberkata :
وفي هذه الآية ما يدلك على أن التقوى هي المراعى عند الله تعالى وعند رسوله دون الحسب والنسب
“Dan dalam ayat ini menunjukkan bahwa ketaqwaan adalah hal yang dipertimbangkan di sisi Allah ta’ala dan Rasul-Nya, bukan keturunan dan nasab” [Tafsir Al-Qurthubiy, 16/345].
2. Senantiasa memperhatikan dengan siapa ia berkawan dan bermajelis, sebab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
”Seseorang itu menurut agama teman dekatnya. Maka hendaklah salah seorang di antara kamu melihat siapa yang hendak dijadikan teman” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2378, dengan sanad shahih].
Teman adalah gambaran pribadi seseorang. Tidaklah seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya merasa nyaman bergaul dengan seorang ahli maksiat, dan tidaklah ahli maksiat itu bergaul kecuali dengan yang semisalnya. Berteman dengan si pembawa minyak wangi akan mendapatkan wanginya, sedangkan berteman dengan seorangpandai besi akan mendapatkan bau apeknya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ، وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ، كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ، لَا يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ، إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ، أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً "
“Perumpamaan teman duduk yang shaalih dengan teman duduk yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Pasti ada sesuatu yang engkau dapatkan dari penjual minyak wangi, apakah engkau membeli minyak wanginya atau sekedar mendapatkan bau wanginya. Adapun pandai besi, bisa jadi ia membakar badanmu atau pakaianmu; atau minimal engkau mendapatkan bau yang tidak enak darinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2101].
3. Tidak boleh berbaik sangka pada diri sendiri tidak akan berubah dan terpengaruh saat berinteraksi dengan orang-orang yang menyimpang, meskipun telah lama mengaji dan (beranggapan) ilmunya telah banyak.
Ibnu Baththah rahimahullah berkata:
هذا قول الرسول صلى الله عليه وسلم، فالله الله يا معشر المسلمين لا يحملن أحدًا منكم حسنُ ظنِّه بنفسه وما عهد من معرفته بصحة مذهبه على المخاطرة بدينه في مجالسة بعض أهل هذه الأهواء فيقول أداخله لأناظره، أو لأستخرج منه مذهبه، فإنهم أشد فتنة من الدجال، وكلامهم ألصق من الجرب، وأحرق للقلوب من اللهب، ولقد رأيت جماعة من الناس كانوا يلعنونهم، ويسبونهم في مجالسهم على سبيل الإنكار والرد عليهم، فما زالت بهم مباسطة، وخفي المكر، ودقيق الكفر، حتى صَبَوْا إليهم
“Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini[6], maka takutlah kepada Allah wahai sekalian kaum muslimin ! Janganlah ada seorangpun di antara kalian yang berprasangka baik pada dirinya sendiri dan pengetahuan tentang kebenaran madzhabnya sehingga ia mempertaruhkan agamanya untuk bermajelis/duduk-duduk bersama sebagian pengekor hawa nafsu. Ia melakukannya dengan alasan : ‘Aku masuk kepada mereka untuk mendebatnya’ atau ‘aku akan keluarkan mereka dari madzhabnya yang bathil’. Karena sesungguhnya mereka (para pengekor hawa nafsu/mubtadi’) ini lebih hebat fitnahnya daripada Dajjal. Perkataan mereka lebih gampang menempel pada jiwa dibanding penyakit kudis dan lebih dapat membakar hati dibanding api. Sungguh aku pernah melihat sekelompok manusia yang dulunya melaknat dan mencaci-maki mereka pada majelis-majelis mereka dalam rangka pengingkaran dan bantahan kepada mereka. Dan ketika mereka senantiasa senang bermajelis dengan pengekor hawa nafsu/mubtadi’seperti itu, akhirnya timbullah kecenderungan dan kecintaan kepada mereka, karena samarnya makar dan lembutnya kekufuran mereka” [Al-Ibaanah, 3/470].
4. Seandainya seorang laki-laki dapat terpengaruh oleh agama/’aqidah istrinya yang menyimpang padahal ia memegang kendali urusan rumah tangganya dan berperan sebagai pemimpin bagi keluarganya; maka sebaliknya, seorang wanita jauh lebih dapat terpengaruh oleh penyimpangan agama/’aqidah yang dipeluk suaminya.
Oleh karena itu, para ulama membenci seseorang menikahkan anak wanitanya dengan orang yang faasiq (pelaku maksiat). Keshalihan agama merupakan kafaa’ahdalam hal ‘afiifah (kehormatan diri). ‘Abdul-Qaadir bin ‘Umar Asy-Syaibaaniy rahimahullah berkata :
الفاسق مردود الشهادة والرواية، وذلك نقص في إنسانيته، فلا يكون كفأ للعدل
“Orang yang fasiq ditolak persaksian dan riwayatnya. Hal itu merupakan kekurangan dalam hal kemanusiaan dirinya. Maka, tidak ada kecukupan dalam keadilan” [Nailul-Ma-aarib, 2/156].
Jika orang faasiq dianggap tidak memiliki kafaa’ahdalam ‘afiifah, maka mubtadi’ lebih-lebih lagi. Oleh karena itu, para ulama sangat membenci seseorang yang menikahkan anaknya dengan seorang mubtadi’ (yang belum keluar dari lingkup Islam). Namun jika kebid’ahannya menyebabkan ia keluar dari Islam, maka hukumnya adalah sebagaimana hukum pernikahan seorang wanita dengan laki-laki kafir (yaitu haram).
Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullahberkata :
لا ينكح أهل البدع ولا ينكح إليهم ولا يسلم عليهم ولا يصلى خلفهم ولا تشهد جنائزهم
“Ahlul-bid'ah jangan dinikahkan (dengan wanita Ahlus-Sunnah), jangan menyerahkan kepada mereka untuk dinikahi, jangan mengucapkan salam kepada mereka, jangan shalat di belakang mereka, dan jangan saksikan jenazah-jenazah mereka” [Al-Mudawwanah, 1/68].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[anakmuslimtaat’ – perumahan ciomas permai – 17041435 – 18:53].
[1] Ibnu ‘Asaakir rahimahullah menyebutkan keterangan namanya secara lebih lengkap, yaitu : ‘Imraan bin Hiththaan bin Laudzaan bin Al-Haarits bin Saduus - atau dinamakan : ‘Imraan bin Hiththaan bin Dhabyaan bin Laudzaan bin ‘Amru bin Al-Haarits bin Saduus – bin Syaibaan bin Dzuhl bin ‘Ukaabah bin Shu’b bin ‘Aliy bin Bakr bin Waail.
Atau dinamakan : ‘Imraan bin Hiththaan bin Dhabyaan bin Mu’aawiyyah bin Al-Haarits bin Saduus.
Kun-yah-nya : Abu Samaak, atau Abu Syihaab, atau Abu Ma’bas, atau Abu Diilaan As-Saduusiy [Taariikh Dimasyq, 43/485 no. 5158].
[2] Ia termasuk perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Al-Kaasyif 2/92 no. 4262 dan Taqriibut-Tahdziibhal. 750 no. 5187].
[3] Seorang penyair terkenal.
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ يَحْيَى، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حِطَّانَ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، حَدَّثَتْهُ أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَتْرُكُ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا فِيهِ تَصَالِيبُ إِلَّا نَقَضَهُ
Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Fadlaalah : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari Yahyaa, dari ‘Imraan bin Hiththaan, bahwasannya ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa pernah menceritakan kepadanya : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan sesuatupun di rumahnya yang ada salibnya kecuali beliau menghilangkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5952].
مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنَّ الرَّجُلَ يَأْتِيهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَمَا يُزَالُ بِهِ حَتَّى يتبعهُ لِمَا يَرَى مَعَهُ مِنَ الشُّبُهَات
“Barangsiapa yang mendengar tentang Dajjal, hendaklah ia lari darinya sejauh-jauhnya. Sesungguhnya kelak ada seorang laki-laki yang menyangka dirinya dalam keadaan beriman – dan keadaannya terus demikian – hingga kemudian ia mengikuti Dajjal dikarenakan berbagai syubhat yang ia temui pada dirinya (Dajjal)” [Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya – lihat Shahihul-Jaami’no. 6301].