Sakit adalah bagian dari musibah yang telah Allah ukur kadarnya untuk dihadiahkan kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih yang mampu menanggungnya. Sakit, sebagaimana setiap ujian, tidaklah menguji kemampuan sebab telah diukur tepat sesuai daya tahan seorang hamba. Sakit menguji kemauan memberi makna. Maka dia nan mampu memberi makna terbaik bagi sakit, kemuliaannya akan diangkat untuk membuat malaikat yang selalu sehat menjadi takjub.
Bersyukurlah saya diajari Mas Pepeng yang pernah memaknai sakit dan musibahnya: “Tugas kita menghadapi sakit, biar Allah yang mengatasi!” Sakit adalah jalan kenabian Ayyub yang menyejarah. Kesabarannya diabadikan jadi teladan semesta. Hari-hari ini kita bercermin padanya.
Sakit orang mulia menyebabkan kemuliaan; Asy Syafi’i wasir sebab terlalu banyak duduk menelaah ilmu, Malik lumpuh tangannya karena dizhalimi penguasa. Nabi kitapun sakit ketika memakan paha kambing beracun di Khaibar. Racun itu menyelusup pada gigitan pertama melalui celah gigi beliau yang patah dalam perang Uhud.
Tetapi bahkan bagi mereka yang penyebab sakitnya tak semenakjubkan para orang-orang shalih itu, tetap punya peluang mulia dengan memaknai rasa sakitnya.
Sakit itu dzikrullah. Mereka yang menderitanya hampir pasti lebih sering dan syahdu menyebut asma Allah dibanding ketika dalam sehatnya.
Sakit itu istighfar. Mereka yang sedang dilanda sakit lebih mudah untuk teringat akan dosa-dosa lama, mengakuinya, dan bertaubat mohon ampun.
Sakit itu tauhid. Mereka yang parah dicengkramnya pasti dituntun orang untuk ber-kalimat thayyibat, mengesakan-Nya dalam lisan dan rasa.
Sakit itu Muhasabah sebab orang yang sakit punya lebih banyak waktu untuk merenungi diri dalam sepi, menghitung-hitung bekal kematian.
Sakit itu jihad sebab dia yang sakit tak boleh menyerah kalah, dia diwajibkan untuk terus berikhtiar, berjuang bagi kesembuhannya.
Sakit itu ilmu dalam menjalani pemeriksaan, berkonsultasi dengan dokter, dirawat, dan berobat, maka bertambahlah pengetahuan tentang tubuhnya.
Sakit itu nasihat. Yang sakit teringatkan agar selalu menjaga kesehatan. Yang sehat menghibur si penderita agar bersabar. Allah cinta pada keduanya.
Sakit itu silaturrahim. Yang jarang datang di saat yang bersangkutan sehat wal’afiat, tiba-tiba menjenguk dengan senyum dan rindu mesra.
Sakit itu perekat tali persaudaraan. Kawan lama yang tak bersua bertahun-tahun lamanya, tiba-tiba berjumpa di waktu membesuk seorang kolega lainnya.
Sakit itu belajar. Berbaring setengah duduk memungkinkan menyerap ilmu dengan tekun lewat buku, kata-kata terucap, maupun gambar bergerak.
Sakit itu membaca, menulis, dan berkarya. Habiburrahman El Shirazy menggoreskan Ayat-ayat Cinta saat terbaring patah kakinya.
Sakit itu dijamin cinta Allah dalam sabarnya; sabar tetap ibadat, sabar tak bermaksiat, sabar tahan deritanya, sabar menunda pencapaian.
Sakit itu menggugurkan dosa-dosa. Barang haram yang terselip di tubuh dilarutkan di dunia, anggota badan yang mungkin berdosa dinyerikan dan dicuci-Nya.
Orang yang sakit itu mustajab doanya. Sampai-sampai Imam As Suyuthi keliling kota mencari orang sakit lalu minta didoakan oleh mereka.
Sakit itu salah satu keadaan yang menyusahkan syaithan; diajak maksiat tak mampu dan tak mau, dosa yang lalu malah disesali lalu diampuni. Sakit itu membuat sedikit tertawa dan banyak menangis; sebuah perilaku keinsyafan yang disukai Nabi dan makhluq-makhluq langit. Sakit itu meningkatkan kualitas ibadah; ruku’-sujud jadi lebih khusyu’, tasbih-istighfar lebih sering, tahiyat dan doa jadi lebih lama. Sakit itu memperbaiki akhlaq; kesombongan terkikis, sifat tamak dipaksa tunduk, pribadi dibiasakan santun, lembut & tawadhu’. Sakit itu membuat kita lebih serius mengingat & mempersiapkan kematian. Dia yang merasa dekat maut menghargai waktunya dengan baik.
Sumber: cooltwit.wordpress.com
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer