Kali ini saya ingin artikel tentang kebiasaan nyeleneh, terutama di Indonesia. Tema tentang nyeleneh ini sudah pasti ‘dekat’ dengan Islam liberal. Sebab, Islam liberal memang sukanya yang nyeleneh-nyeleneh. Tentu saja, pertama-tama kita harus membedakan antara ‘beda’ dengan nyeleneh, setidaknya menurut konteks yang saya bicarakan. Beda, kalau tidak melanggar aturan, tidak mengapa. Adakalanya ‘beda’ menunjukkan kreativitas. Misalnya, jika dulu orang dakwah pakai mimbar, sekarang bisa dengan kata-kata di kaos. Itu kreatif. Tapi kata-kata di kaos tidak boleh bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an, sebab dengan demikian kaosnya tak bisa dipakai ke WC. Kaos ‘bervisi dakwah’ juga tidak boleh menggunakan kata-kata kasar meskipun maksudnya baik. Jika aturan-aturan itu dilanggar, itulah yang namanya nyeleneh. Setidaknya, itulah nyeleneh yang saya bicarakan disini.
Kembali ke masalah ‘beda’, adakalanya beda itu menunjukkan kreativitas. Mengapa? Sebab untuk menjadi ‘beda’, biasanya orang berpikir out of the box (berpikir kreatif), tapi bukan out of the rules (berpikir keluar aturan). Misalnya, dulu orang main basket dengan men-dribble bola dari tangan kanan ke tangan kiri, bola lewat di depan badan. Lalu ada yang berpikir out of the box, bola berpindah tangan lewat belakang, atau lewat celah diantara kedua kakinya. Tapi, tentu saja, bola harus tetap di-dribble. Kalau dibawa lari saja, itu namanya nyeleneh, bukan kreatif.
Dari masa ke masa, ada saja yang mempermainkan makna kreativitas. Nyeleneh malah dibilang kreatif. Sebagai contoh, penyanyi dangdut yang mengandalkan goyangan pinggul dan aurat dibilang kreatif. Jika ada ulama yang melarangnya, lantas dibilang menghambat kreativitas. Inilah pengertian yang salah terhadap kreativitas. Kreatif bukan berarti tak ada aturan. JUSTRU karena ada aturan, maka kreativitas berkembang. Dalam kasus artis tebar aurat, di mana kreativitas dalam menjual aurat itu? Di seluruh dunia, aurat perempuan memang laku untuk dijadikan bahan dagangan. Gak perlu kreatif-kreatif amat untuk menjualnya. Maaf, sekali lagi maaf. Tapi wanita tuna susila pun banyak yang tidak cantik, tapi tetap saja auratnya laku juga dijual. Jadi, tanpa perlu cantik, apalagi berbakat, kalau mau umbar aurat, memang gampang mencari peminat. Tebar aurat adalah cara yang sangat tidak kreatif. Siapa pun bisa melakukannya. Mereka yang kreatif adalah yang bisa ‘memasarkan sesuatu’ tanpa melanggar aturan. Bermain bagus tanpa melanggar aturan, mendominasi tanpa berbuat curang. Itulah kreatif. Inilah definisi ‘beda’ yang bagus.
Anehnya, di Indonesia banyak berkembang pemikiran-pemikiran yang nyeleneh. Banyak yang melanggar aturan, bahkan mengabaikan perlunya aturan. Saya sering menceritakan sebuah anekdot: “Di Indonesia, orang rajin shalat disebut alim atau shaleh. Tapi yang gak pernah shalat malah bisa disebut wali.” Banyak orang Indonesia yang ‘asal nyeleneh.’ Yang nyeleneh malah dikira sudah dapat pencerahan. Itulah di antara sebab-sebab lain yang mendorong tumbuhnya aliran-aliran sesat yang aneh-aneh di Indonesia. Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang banyak yang tidak rasional.
Saya pernah ketemu Ustad Amin Djamaluddin. Beliau ini ‘musuh besarnya’ aliran-aliran sesat. Spesialisasinya memang di bidang itu. Beliau punya data-data lengkap soal aliran-aliran sesat di Indonesia. Kata beliau, dalam pertemuan kami di kantor pusat DDII, “Jangankan nabi palsu, tuhan palsu saja ada di Indonesia!” Ya, kenyataannya, di suatu daerah, dulu pernah ada yang mengaku dirinya sebagai tuhan. Memang yang mengaku tuhan ini agak ekstrem. Tapi yang mengaku menyatu dengan Tuhan (wihdatul wujud) banyak sekali. Orang gila di mana pun memang ada. Tapi yang menarik, ternyata aliran seaneh apa pun ada saja pengikutnya.
Ahmadiyah adalah aliran yang sangat aneh. Di antara keanehannya adalah: sampai sekarang masih ada pengikutnya! Padahal, Ghulam Ahmad mengaku sebagai Nabi ‘Isa a.s yang turun kembali. Umat Muslim semuanya tahu bahwa Nabi‘Isa a.s hanya turun kembali di akhir zaman. Beliau akan berjuang bersama Imam Mahdi, memimpin umat Muslim. Hingga tibalah Hari Kiamat. Nah, Ghulam Ahmad ini sudah wafat sejak kapan? Tapi kiamatnya toh belum tiba juga. Dengan kata lain, klaimnya sebenarnya sudah terbukti salah. Tapi ada saja pengikutnya.
Menurut saya, ada alasannya mengapa masyarakat Indonesia ‘suka’ dengan hal-hal yang nyeleneh. Di antaranya, mereka mengira bahwa aturan bisa fleksibel, bahkan boleh dilanggar, oleh mereka yang ‘maqomnya lebih tinggi’. Klaim semacam ini banyak sekali kita jumpai di Indonesia. Ada guru spiritual tak pernah shalat. Jika ditanya, jawabnya “Saya tubuhnya disini, jiwanya di Masjidil Haram 24 jam!” Ada juga yang bilang “Saya sudah menyatu dengan Allah s.w.t, maka tak perlu shalat lagi!” Yang lain bilang, “Anda shalat karena baru sampai level ‘syariat’ sedangkan saya sudah sampai level ‘hakikat’!” Para pengikutnya pun ikut menghidupkan mitos-mitos semacam ini karena mereka mempercayainya. Jika ada keanehan, mereka akan berkata “Oh maqom beliau memang sudah tinggi sekali, jadi boleh saja begitu!” Atau ada juga yang bilang, “Kamu tidak mengerti kata-katanya sebab tingkat ma’rifat-nya beda!”
Kepercayaan semacam ini mungkin bersumber dari kepercayaan-kepercayaan yang pernah ada di Indonesia dahulu. Dalam kepercayaan zaman dahulu, orang yang sudah mendapat ‘pencerahan’ bisa ‘naik tingkat’ jadi manusia setengah dewa. Kalau sudah jadi setengah dewa, tentu tak kena aturan manusia lagi. Apalagi kalau sudah jadi dewa sungguhan. Kepercayaan ini tentu saja tidak sejalan dengan ajaran Islam. Setinggi-tingginya derajat manusia ya tetap saja manusia. Nabi dan Rasul juga manusia. Apakah mereka bisa seenaknya meninggalkan shalat? Dalam Islam, tingginya derajat manusia justru ditentukan oleh adabnya kepada Allah s.w.t. Muslim ‘level standar’ shalat 5 waktu sudah bagus. Tapi ada orang-orang yang lebih berkomitmen. Merekalah yang ‘levelnya tinggi’. Ada sahabat Nabi s.a.w yang kecewa berat pada dirinya sendiri hanya lantaran ketinggalan shalat berjamaah di Masjid. Bagi kita (termasuk saya) yang levelnya ‘segini’, mungkin tidak terlalu kecewa kalau shalatnya masbuk. Tapi bagi sahabat Nabi s.a.w tersebut, itu adalah aib besar untuk dirinya. Ia pun menebusnya dengan sedekah besar-besaran. Ada yang merasa sudah tercerahkan sehingga tak perlu shalat. Padahal Nabi s.a.w shalat sampai kakinya bengkak. Ada yang susah betul puasa sunnah. Tapi Nabi Daud a.s puasa setiap dua hari sekali. Itulah Puasa Daud.
Kok para Nabi ibadahnya berat sekali? Ya, karena mereka Nabi. Kok ibadah kita ringan sekali? Ya, itulah level kita, cerminan diri kita masing-masing. Bagi Muslim ‘level rendah’, tidak shalat wajib saja tidak menyesal. Yang ‘level tinggi’ bisa menangis karena tidak Qiyamul Lail.
Sebenarnya cara berpikir ini sangat rasional. Bukan hanya orang Islam yang berpikir demikian. Bisa saja, misalnya, kita analogikan ke olahraga basket lagi. Apa bedanya pemain biasa dengan pemain yang hebat? Kalo saya main di NBA, bisa masukin satu bola saja mungkin habis itu langsung gelar syukuran. Beda dengan jagoan seperti Michael Jordan, misalnya. Cetak 20 poin masih dianggap ‘bermain di bawah standar’. Kenapa? Ya, tentu beda ekspektasi orang terhadap saya dan Michael Jordan. Kalau ada yang bilang Jordan boleh sering-sering tidak cetak angka lantaran ‘maqomnya tinggi’, pasti orang itu tidak mengerti basket.
Nah, pemikiran-pemikiran nyeleneh itulah yang justru dikembangkan di Islamliberal. Buat mereka, segala yang melanggar aturan dianggap hebat. Asal baru, asal nyeleneh. Tapi, seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, kreatif itu adalah ‘beda’ tapi tidak melanggar aturan. Sebaliknya, untuk melanggar aturan, tidak perlu kreativitas. Dari dulu juga ada. Ada Iblis, Fir’aun, Abu Lahab dan lain-lain.
Di Indonesia, sayangnya, banyak yang masih menggunakan logika asal nyeleneh tersebut. Ironisnya lagi, yang berbuat nyeleneh itu benar-benar merasa dirinya lebih tinggi. Lihat saja pejabat yang menyalakan ponsel di pesawat. Sudah jadi pejabat, tapi masih gak mengerti aturan juga. Saya yakin semua yang sering naik pesawat di Indonesia pasti melihat betapa banyak di antara kita yang suka melanggar aturan. Mentang-mentang sudah bayar tiket mahal, merasa boleh melanggar aturan? Itulah mentalitas nyeleneh.
Jika ingin dianggap kreatif, berpikirlah out of the box (berpikir kreatif), bukan out of the rules (berpikir keluar aturan). Kalau hanya ingin terkenal atau cari perhatian, berbuat nyeleneh memang opsi terbaik. Tapi, jika kita ambil jalan itu, maka sama saja kita mengaku kepada dunia bahwa kita memang tidak kreatif. mereka yang tidak kreatif inilah yang membebek pada JIL (Jaringan Islam Liberal). Mereka menabrak semua aturan, dan merasa intelek karena melakukannya. Mereka mungkin tidak sadar bahwa umat Muslim yang mampu berpikir rasional tengah menertawakannya.
Semoga kita semua terhindar dari perilaku tidak rasional, tidak tahu aturan, dan asal nyeleneh. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer