Sekuler Inlander (Sekuler Kampungan) Bagian Pertama | Ilmu Islam

Sabtu, 21 Februari 2015

Sekuler Inlander (Sekuler Kampungan) Bagian Pertama

Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal

Saya ingin bahas soal fenomena Sekuler Inlander. Ini fenomena yang sudah cukup lama saya perhatikan. Sekuler Inlander itu ya sifatnya orang-orang sekuler bermental inlander. Kampungan, gitu deh kurang lebihnya. Walaupun saya anti sekali dengan sekularisme, tapi banyak orang sekuler yang masih bisa dihormati. Kalau Sekuler Inlander sih nggak. Yang namanya Sekuler Inlander itu ya pelakunya aalah orang-orang bermental inlander (kampungan) yang jadi sekuler karena ikut-ikutan. Indonesia, karena pernah dijajah, juga banyak diisi oleh kaum Sekuler Inlanderini. OK, supaya lebih jelas, kita langsung masuk ke contoh kasus ya.

Dalam hal ini saya ingin jadikan dialektika seputar Bu Menteri Susi dan rokoknya. Dialektikanya, bukan rokoknya! Dari perspektif orang-orang beriman, kasus ini sebenarnya telah menunjukkan kegamangan sekularisme. Bagaimana sekularisme menyikapi kebiasan merokok? Dalam hal ini, biasanya ya dianggap sebagai hak pribadi masing-masing. Bagi orang-orang sekuler, kita tidak perlu mengurusi kebiasaan orang lain. Jangankan merokok, mabuk dan zina pun mereka biarkan. Tapi pada akhirnya, sekularisme mentok juga. Tidak segala hal bisa dianggap urusan pribadi seseorang.

Di negara-negara sekuler, sudah biasa orang mengkritik pejabat publik yang memperlihatkan kebiasaan buruk. Obama dikritik karena merokok, padahal nggak pernah terlihat merokok di depan publik (Baca beritanya disini: Why is Obama Still Smoking?). Demikian pula minum bir, misalnya. Orang Barat biasa minum bir, tapi pejabat publik pas disorot kamera ya harus jaga image. Gonta-ganti pacar, itu biasa bagi orang Barat, tapi kalau Perdana Menteri berlaku begitu, ya gak enak diliatnya (Baca beritanya disini: Berlusconi's Scandals Timeline. Artinya, sekularisme gagal mempertahankan prinsip ‘individualismenya’ sendiri.

Pada kenyataannya, manusia itu makhluk sosial. Tidak bisa manusia hidup masing-masing saja. Ketika Anda merokok, bisa dipastikan yang menghisap asapnya bukan Anda sendiri. Dan ketika orang merokok, bisa dipastikan pula yang menyaksikan bukan dirinya sendiri. Bagaimana jika pejabat publik yang merokok? Siapa yang menyaksikan? Berapa banyak orang yang tergoda untuk mengikuti?

Pada akhirnya, masyarakat sekuler di Barat pun mengakui kenyataan bahwa mereka harus melindungi anak-anak mereka sendiri. Mereka tidak mau pejabat publik melakukan hal-hal yang tidak baik, agar anak-anak mereka tidak meniru. Walaupun disini orang-orang sekuler mengkhianati ideologinya sendiri, tapi di sisi lain bisa kita puji, karena masih ada akal sehatnya. Nah kalau Sekuler Inlander (kampungan), ini lain daripada yang lain, bahkan lain dari yang sekuler beneran sekalipun. Orang-orang Sekuler Inlander ini biasanya ‘lebih sekuler’ daripada yang beneran sekuler. Di satu sisi, mereka masih beribadah, masih beragama, tapi cara berpikirnya bisa jadi mirip-mirip dengan yang ateis. Demi mempertahankan ‘hak-hak individu’, apa yang tidak selayaknya dibela pun dibela juga. Mungkin supaya kelihatan sekuler 24 karat? Ya bisa saja. Namanya juga Sekuler Inlander. Kerjanya cari muka pada ‘majikan’.

Di Indonesia, rokok sudah jadi masalah besar. Jangankan anak sekolah, balita saja ada yang merokok. Hebat kan? Saking fanatiknya pada rokok, teman saya cerita bahwa dia pernah ketemu orang yang mau merokok di dalam pesawat. Katanya, industri rokok menghidupi banyak orang, tapi rokok membunuh berapa orang? Katanya, industri rokok mendatangkan pemasukan, lalu kerugian akibat merokok berapa banyak? Apa sudah dihitung? Di Barat, aturan-aturan ketat seputar rokok sudah diterapkan. Merokok itu dibikin susah. Malah ada negara yang berwacana agar negaranya dijadikan benar-benar bebas rokok.

Lagi-lagi, sekularisme gagal. Diam-diam banyak juga orang sekuler yang percaya pada ‘kebenaran absolut’ bahwa rokok itu lebih banyak merugikan daripada menguntungkannya, dan itu sudah pasti benar. Tapi buat kaum Sekuler Inlander, pokoknya dibela terus. Generasi muda hancur karena rokok, tetap saja rokok dibela terus atas nama kebebasan. Sudah miskin, kecanduan merokok pula, makin susah saja hidupnya. Tapi atas nama kebebasan, rokok harus dibela.

Kalau benar pakai logika, rasionalitas, dan fakta-fakta ilmiah, seharusnya semua orang sekuler itu anti rokok. Kalau mengaku menjunjung tinggi hak-hak asasi masyarakat, harusnya semua orang sekuler itu anti rokok. Tapi ya begitulah dunia sekuler, terasa ambigu. Mendesak rokok, tapi tidak bisa juga melarangnya. Minuman keras juga sama. Sudah jelas merusak, tapi masih dibela. Dibenci, tapi gak ada yang berani melarang. Zina juga sama, jelas-jelas biadab, tapi demi hawa nafsu ya dibela juga. Generasi hancur, apa boleh buat. Setidaknya, kaum sekuler yang masih berakal masih berusaha mencegah ekses negatif dari hal-hal tersebut, tapi Sekuler Inlander kayaknya nggak mencegah tuh.

Bicara soal Sekuler Inlanderini saya selalu ingat pada Sumanto Al Qurtuby (tokoh Islam liberal). Baca tulisannya yang berjudul Agama, Seks, dan Moral. Lihat di paragraf ketiga dari bawah. Benar, bagi orang sekuler, pelacuran itu sah-sah saja. Tapi siapa yang membandingkan pelacur dengan dosen? Bahkan orang sekuler yang menganggap zina itu boleh pun tak sudi membuat perbandingan demikian. Di negeri-negeri sekuler, meski pelacuran itu legal, tetap saja profesi dosen jauh lebih terhormat. Inilah ‘kebenaran absolut’ yang diam-diam diyakini di negeri-negeri sekuler Barat. Tapi Sekuler Inlander lebih berlebihan gayanya. Demi membela apa yang hendak mereka bela, digunakanlah logika-logika menyesatkan.

Kita masuk lagi ke studi kasus. Perhatikan perkembangan wacananya, bukan hanya kasusnya. Muncullah gambar seperti ini.


Jelas, siapa pun yang membuat gambar seperti ini bukan hanya melakukan pembelaan, tapi juga menunjukkan kebencian. Kebencian pada apa? Ya, pada jilbab. Karena sejak awal kasus Bu Susi ini tidak membicarakan jilbab. Tidak ada yang mengkritisi Bu Susi karena tidak berjilbab. Memang di Indonesia belum semua berjilbab, dan masyarakat sudah pada maklum. Yang dikritisi adalah merokok di depan publik, tapi isunya dibelokkan sedemikian rupa menjadi ke jilbab. Kemudian, digunakanlah imej Muslimah berjilbab yang kurang baik, yaitu Ratu Atut yang sedang terjerat kasus korupsi. Ini logika sesat. Membela pencuri ayam dengan mengatakan bahwa di kampung sebelah ada yang mencuri kambing. Kemudian diambil ‘sepotong imej’ untuk merusak citra. Dalam hal ini, yang dirusak adalah citra muslimah berjilbab. Jilbab dihadapkan dengan rokok dan tato, dan hanya dengan satu sampel. Itu kata kuncinya: SAMPEL! Sama saja dengan yang bilang “lebih baik gak berjilbab tapi menjaga kehormatan daripada berjilbab tapi diam-diam bejat.” Kombinasi pertama: merokok, bertato, pekerja keras. Kombinasi kedua: berjilbab, tidak merokok, tidak bertato, tapi diduga korupsi. Padahal masih banyak kombinasi yang lain. Apa koruptor yang merokok nggak ada? Apakah koruptor perempuan itu lebih banyak yang berjilbab atau tidak? Statistik nggak bisa cuma menggunakan satu sampel.

Kalau bisa pakai satu sampel, boleh dong saya bikin perbandingan begini? Ini sebagai contoh aja.

Isu lainnya yang hot adalah tentang pejabat publik yang kata-katanya kasar. Muncullah jargon: “lebih baik memaki tapi tidak korupsi!” Inilah Sekuler Inlander, akal mereka telah rusak. Padahal majikan mereka di Barat gak begitu berpikirnya. Biarpun sekuler, gak ada yang mengabaikan sopan santun. Pernah bayangin Obama bilang “A**hole!” (maaf ini cuma contoh) nggak? Kalau Obama sampai berkata begitu, pasti rakyat A.S mengamuk. Padahal warga A.S banyak yang sudah biasa mengucapkan kata itu, tapi tetap saja tidak layak bagi seorang pemimpin.

Coba lihat kenyataan di lapangan. Orang Indonesia sudah tidak lagi terbiasa bicara santun. Di Twitter, ada kelompok-kelompok yang suka mencaci-maki, bahkan kalau sudah mentok debat ujung-ujungnya mengirimkan gambar-gambar porno. Di sekolah-sekolah, generasi muda sudah jadi korban bullying. Kekerasan fisik dan verbal ada dimana-mana. Oke, korupsi itu masalah besar, tapi kekerasan fisik dan verbal juga sudah menjadi masalah besar di Indonesia. Jadi, kalau ada yang bilang pejabat tidak apa-apa memaki-maki asal gak korupsi, itu artinya dia gak peduli negeri ini rusak. Orang-orang Sekuler Inlander ini berusaha begitu keras untuk jadi sekuler sehingga mereka melampaui batas sekularisme itu sendiri. Sekularisme sudah mentok, dan orang-orang sekuler menyadarinya. Tapi kaum Sekuler Inlander gak peduli, semuanya ditabrak!

Sebelum saya tutup, saya ingin menjelaskan lagi bahwa persoalan Bu Susi hanya studi kasus di artikel ini. Memang kenyataannya hukum di negeri ini belum melarang rokok. Tapi ada standar perilaku untuk pejabat publik, meski standar tersebut tak tertulis. Kalau kita menggunakan akal sehat, pasti kita menyadari aturan-aturan tak tertulis tersebut, baik yang sekuler maupun yang tidak. Saya tidak mengatakan bahwa Bu Susi harus mundur karena alasan tersebut. Bongkar-pasang kabinet belum tentu hal yang bagus. Saya juga tidak mempertanyakan kecerdasan Bu Susi. Orang yang bisa mengelola maskapai gak mungkin bodoh, kan? Saya hanya ingin mengatakan bahwa banyak orangtua yang berharap anak-anak mereka bisa memiliki panutan yang baik. Itu saja. Tapi kalau sudah menjadi Sekuler Inlander, ya tidak ada lagi akal sehat, nggak bisa diajak bicara baik-baik lagi. Apapun dilakukan meski dengan pemikiran setengah matang; atau jangan-jangan nggak pakai berpikir dulu? Semoga kita terhindar dari kebodohan yang demikian. Aamiin...

Sumber: http://chirpstory.com/id/malakmalakmal

YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer

Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/anakmuslimtaat

Sekuler Inlander (Sekuler Kampungan) Bagian Pertama Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top