Belum lama ini saya dengar kabar yang kurang menyenangkan. Seorang kawan tiba-tiba saja berhadapan dengan orang yang menebar klaim tentang dirinya sendiri. “Kalau bukan karena kami, organisasi ini tidak akan maju,” begitu katanya. Seorang ustadz kemudian mengingatkan bahwa itulah yang dinamakan ‘ujub', yaitu takjub pada diri sendiri.
Kebayang gak sih? Takjub pada diri sendiri? Na’uudzubillaah. Takjub pada diri sendiri bukan sifat yang pantas bagi seorang aktivis dakwah. Mungkin inilah sifat yang paling tidak pantas. Jika kita menyelami dunia pergerakan dakwah, pastilah kita menyadari bahwa di dunia ini banyak sekali orang hebat. Saya pun pernah bertemu dengan orang-orang hebat. Menurut saya, ketakjuban itu menunjukkan ‘skala hidup’ kita. Misalnya, kalau kita tinggal di pedalaman, wajar kalau terpana melihat gedung berlantai 10. Tapi untuk para pegawai di bilangan Sudirman, Jakarta, gedung berlantai 40 pun nggak aneh-aneh amat. Buat pemanjat tebing? Wah, gunung pun sudah biasa dia taklukkan. Bagaimana dengan pilot? Ribuan kaki di atas gunung pun sudah biasa saja. Bagaimana dengan astronot? Ya, sudah pasti astronot tidak akan takjub lagi melihat gedung berlantai 50. Skala hidupnya beda.
Orang yang takjub dengan dirinya sendiri, saya pikir, mungkin memang pergaulan dan wawasannya kurang. Ia merasa lebih daripada orang lain lantaran memang tidak bergaul dengan orang-orang hebat. Atau mungkin dengan sengaja ia menjauhkan diri dari yang hebat-hebat, supaya tetap merasa hebat sendiri. Sama seperti preman, kan? Selalu mencari mangsa yang empuk. Tidak pernah cari mangsa yang seukuran. Padahal, tentu saja, kehebatan seseorang ditentukan oleh keberaniannya untuk keluar dari zona nyaman.
Michael Jordan, misalnya, di masa kecil selalu menjadikan kakaknya sebagai tolak ukur. Jordan tidak berkompetisi dengan teman-teman sebayanya. Ia pilih lawan yang lebih dewasa, lebih besar, dan lebih kuat. Setelah itu, ya kita semua tahu. Jordan jadi pemain basket terbaik dunia. Waktu SMA, Jordan tidak masuk dalam daftar pemain sekolahnya. Kalau Jordan mau enaknya, dia bisa kembali ke zona nyaman. Berhenti saja main basket, gak ada yang melarang toh? Tapi Jordan tidak nyaman dengan zona nyaman. Ia bertekad ‘balas dendam’. Jordan berlatih lebih keras daripada orang lain. Wajar jika ketika kuliah ia jadi pemain yang tidak ada lawan saking hebatnya. ‘Dendam’ Jordan berlanjut sampai ke NBA. Itulah kisah Jordan yang tidak suka dengan zona nyaman.
Takjub pada diri sendiri karena suatu prestasi, kalau keterusan, akan jadi zona nyaman yang sangat menjebak. Sebab, sehebat apa pun prestasi, sifatnya temporal saja. Hari ini kita juara, besok belum tentu. Mau banggakan prestasi kemarin? Betapa konyolnya. Waktu berjalan terus, orang lain pun membenahi diri. Berhenti di masa lalu, ketika masih di masa keemasan? Sungguh menyedihkan. Itu namanya menipu diri sendiri. Orang yang takjub pada diri sendiri pada dasarnya tidak pernah beranjak dari hari kemarin. Kasihan orang-orang seperti itu.
Ada sebuah komentar lain dari sang ustadz tadi yang menghenyakkan saya. Katanya, biarlah orang lain menebar klaim. Biarlah mereka sibuk dengan ketakjubannya sendiri. Yang penting, kita jangan ikut-ikutan main klaim. Jangan ikut-ikutan takjub dengan diri kita sendiri. Sebab, kemenangan dakwah adalah janji Allah s.w.t. Menang itu karena Allah, bukan karena kita. Kita nekad melompat ke gerbong dakwah yang sedang berjalan ini dengan kesadaran penuh. Kita sadar betul bahwa kita sangat memerlukan gerbong dakwah ini. Bukan gerbongnya yang butuh penumpang. Kalau tak ada kita sekalipun, insya Allah dakwah akan menang. Sebab kita akan digantikan oleh orang-orang lain. Karena itu, jika kita termasuk dalam gerbong dakwah, bersyukurlah. Jangan takjub. Kecuali takjub kepada Allah. Kita menolong agama Allah, pasti Allah menolong kita, Intanshurullaaha yanshurkum. Takjub pada diri? Apa dasarnya? Kita ngotot bekerja keras untuk dakwah, supaya Allah tetapkan kita untuk mati bareng dalam gerbong dakwah ini. Adapun keberhasilan, itu dari Allah. Bukan karena kita ada di gerbong dakwah ini! Tanpa kita, dakwah pasti akan tetap dimenangkan Allah. Itu sudah pasti. Biarlah orang-orang yang ujub takjub dengan dirinya. Saya takjub kepada Allah. Kagum kepada hamba-hamba-Nya yang luar biasa shaleh dan pekerja keras. Banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan penghargaan sepantasnya di mata manusia. Tapi memang begitulah manusia. Kurang menghargai sesamanya. Biar Allah yang membalas kebaikan orang-orang hebat ini.
Di awal Surah al-Baqarah ayat 9, konon ada bahasan khusus tentang orang-orang munafiq. Allah s.w.t berfirman, “yukhaadi’uunallaaha walladziina aamanuu wa maa yakhda’uuna illaa anfusahum.” Artinya: “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, namun mereka tidak menipu kecuali dirinya sendiri.” Menariknya, ayat-ayat sesudahnya langsung menceritakan tentang sifat takjub kepada diri sendiri. Itulah kemunafiqan. Silakan dibaca. Semoga kita terhindar dari sifat-sifat ‘ujub. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.
Baca juga:
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer