Hal pertama yang ingin saya bahas tentang Ahmadiyah adalah perihal nama. Dari mana nama Ahmadiyah berasal? Tentu mudah ditebak. Asalnya dari nama pendirinya sendiri, yaitu Ghulam Ahmad. Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa sebenarnya para ulama kurang sepakat untuk menyebutnya sebagai Ahmadiyah. Mengapa? Sebab, Ahmad itu nama lain Rasulullah s.a.w, jadi tidak pantas disematkan pada aliran sesat. Kalau begitu, apa nama yang tepat? Ihsan Ilahi Zhahir, pakar dalam masalah aliran-aliran sesat, beliau menyebutnya: Al-Qadianiyyah. Istilah ini tepat sekali, karena Qadiani adalah wilayah tempat agama ini berasal. Menyebut Ghulam Ahmad pun tak perlu pakai “Mirza”, sebab “Mirza” adalah gelar terhormat. Sebagai gantinya, sebutlah Ghulam Ahmad al-Qadiani. Itu lebih pas.
Al-Qadianiyyah lahir di Qadiani, yang pada saat itu masuk dalam wilayah India ketika sedang dijajah oleh Inggris. Meski penganutnya kebanyakan orang India dan aliran ini lahir di India, tapi kenyataannya ia sangat akrab dengan Inggris. Sekarang pun Al-Qadianiyyah justru bergerak bebas di Inggris dan negara-negara Barat lainnya. Oleh karena itu, banyak yang menuduh Al-Qadianiyyah sebagai boneka Inggris. Di mana-mana, penjajah selalu bikin boneka, kan? Pas sekali, ketika India dijajah Inggris, Al-Qadianiyyah justru menyatakan jihad sudah tak diperlukan lagi. Kebetulan?
Di Indonesia sendiri, setidaknyabagi para ulamanya, Al-Qadianiyyah bukan persoalan baru. Ini perlu digarisbawahi. Karena bertahun-tahun tidak muncul ke permukaan, nama Al-Qadianiyyah seolah tenggelam. Banyak yang tidak tahu. Padahal, ulama-ulama Indonesia sudah mengenalnya sejak dulu. Buya Hamka dan A. Hassan berinteraksi langsung dengannya. Bahkan ayahanda Buya Hamka, Syaikh Abdul Karim Amrullah, juga berdebat dengan Al-Qadianiyyah. Dan beliau wafat sebelum RI merdeka. Bisa dibayangkan betapa ‘usangnya’ persoalan Al-Qadianiyyah ini. Karena itu, jika kini MUI menyatakan bahwa Al-Qadianiyyah telah keluar dari Islam, maka ini bukan fatwa baru. Fatwa ini cuma memperkuat atau ‘mengingatkan kembali’ akan fatwa-fatwa para ulama terdahulu tentang Al-Qadianiyyah. Karena itu, janganlah membela Al-Qadianiyyah dengan kata-kata “Jangan mudah mengkafirkan.” Memang mengkafirkan bukan perkara mudah. Hanya saja, masalah ini sudah tuntas dibahas sejak dahulu kala. Kalau Al-Qadianiyyah adalah masalah baru, tentu harus dicermati baik-baik, didiskusikan matang-matang, baru dijatuhkan vonisnya. Tapi Al-Qadianiyyah ini masalah lama sekali. Kalau generasi muda ada yang tidak tahu, mungkin karena ada koneksi yang hilang dengan para ulama terdahulu. Buya Hamka membahas masalah Al-Qadianiyyah ini secara khusus dalam buku Pendidikan Agama Islam karyanya.
Ghulam Ahmad ini, menurut Hamka, telah menyebut dirinya dengan banyak predikat. Ia menyebut dirinya Imam Mahdi, sekaligus juga titisan Nabi ‘Isa a.s. Padahal semua tahu keduanya berbeda. Hamka juga menggarisbawahi keanehan lainnya, yaitu karena ia mengaku Imam Mahdi, padahal menolak jihad. Tentu saja klaim ini aneh. Sebab, hadits-hadits yang menjelaskan tentang Imam Mahdi menjelaskan bahwa beliau akan memimpin jihad. Selain itu, jihad adalah syariat Nabi Muhammad s.a.w. Tidak akan ada lagi Nabi yang turun untuk meralat syariat tersebut.
Hamka mencatat bahwa pada awalnya umat Muslim bersimpati pada Ghulam Ahmad. Sebab, ia senantiasa berdebat dengan kaum misionaris Inggris. Suatu hari, ia berjanji akan menulis 50 buku untuk mendebat Kristen. Umat Muslim pun ramai-ramai mengumpulkan dana. Apa dinyana, yang diselesaikannya hanya beberapa buku saja. Maka umat pun kecewa.
Al-Qadianiyyah masuk ke Indonesia pertama kali lewat beberapa siswa Sumatera Thawalib yang belajar ke India. Sumatera Thawalib adalah perguruan yang digawangi oleh ayahanda Hamka sendiri. Hamka mencatat bahwa pada masa itu sang ayah pun menulis kitab “al-Qaulush Shahih” untuk membantah ajaran-ajaran Al-Qadianiyyah. Hamka juga menyebutkan bahwa polemik soal ‘titisan Nabi ‘Isa a.s’ ini tidak menarik bagi mayoritas masyarakat Minang saat itu. Sebab, saat itu pergerakan Islam sedang ramai sekali untuk melawan Belanda. Sumatera Thawalib dan Muhammadiyah berkembang pesat, dan semangat jihad pun berkobar. Al-Qadianiyyah yang anti jihad tentu diabaikan.
Pada tahun 1924, utusan Al-Qadianiyyah datang ke Yogya, bertemu dengan dua pengurus Muhammadiyah. Kedua tokoh Muhammadiyah tersebut adalah M. Ngabehi Joyosugito dan Mohammad Husni. Keduanya kemudian tertarik dengan ajaran Al-Qadianiyyah. Hamka mencatat bahwa saat itu KH Ahmad Dahlan baru dua tahun wafat, dan Muhammadiyah memang belum bersikap terhadap Al-Qadianiyyah. Pada tahun 1925, Syaikh Abdul Karim Amrullah berdebat dengan pemuka Al-Qadianiyyah di hadapan H. Fakhrodin. Setelah itu, jelaslah kesesatan Al-Qadianiyyah, dan Muhammadiyah pun dengan tegas menolak ajaran ini. Di Jawa Barat, Al-Qadianiyyah pun didebat keras oleh A. Hassan, sang pendiri Persis, gurunya Moh. Natsir.
Demikianlah sekelumit sejarah tentang Al-Qadianiyyah di negeri kita. Ini bukan hal baru. Jika ulama-ulama kini memfatwakannya sesat, maka fatwa itu sama sekali tidak baru. Semoga kita dan keluarga kita dilindungi dari aliran-aliran sesat seperti Al-Qadianiyyah, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin...
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer