Pentingnya Referensi | Ilmu Islam

Senin, 09 Februari 2015

Pentingnya Referensi

Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal

Kali ini, marilah kita bicara tentang salah satu masalah paling utama dalam wacana ilmu, yaitu referensi. Dalam setiap pembicaraan ilmiah, mau tidak mau, referensi haruslah mendapat perhatian serius. Misalnya, ada yang bilang “Di Bulan ada air!” Lalu ditanya referensi-nya, ternyata cuma mengira-ngira. Infonya jadi tidak valid. Kalau info tidak valid, maka tidak harus kita telusuri lebih lanjut. Kecuali kalau memang kurang kerjaan, mungkin. Misalnya ada info bahwa besok ada tsunami. Ternyata sumbernya wangsit di kuburan. Info seperti ini tidak perlu diproses. Masalah sumber berita ini jadi penting, sebab tidak semua berita perlu kita pikirkan. Ada berita-berita yang perlu diabaikan. Jika semua berita yang kita dengar harus kita proses, maka waktu seharian habis hanya untuk analisis gosip. Maka, sekali lagi, sumber berita haruslah dicek.

Dalam Islam, tuntunannya sangat jelas. Berita dari orang-orang fasiq harus dicek ulang. Silahkan baca Qs. Al-Hujuraat[49]:6. Bunyinya sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujuurat[49]:6)

Artinya? Kondisi sumber berita harus diverifikasi dulu SEBELUM beritanya. Jadi, cek dulu apakah yang berbicara adalah orang fasiq atau bukan. Kalau ya, maka WAJIB dicek ulang. Tentu saja tuntunan ini didahului asumsi bahwa beritanya memang penting untuk dicek. Misalnya ada yang bilang “Saya sudah bersatu dengan Allah, maka tak perlu shalat!” Abaikan saja orang semacam ini, dia dusta. Selain itu, aturan di atas tidak berarti bahwa jika sumbernya bukan orang fasiq maka berita tak perlu dicek. Sebab, orang saleh pun bisa salah menyampaikan berita. Atau dia salah paham menerima berita dari sumber sebelumnya.

Dalam karya-karya ilmiah penting sekali mencantumkan referensi supaya semua data bisa dicek. Misalnya, seorang liberalis mengatakan “Allah bolehkan manusia untuk kafir!” Apa referensi-nya? Jika ia menyebut suatu ayat atau hadits, maka pernyataannya bisa didiskusikan. Tanpa referensi, berarti dia hanya mengira-ngira. Apa setiap pemikiran harus merujuk pada pemikiran orang lain? Tidak juga. Kritik pun boleh. Yang penting jelas referensi-nya.

Dalam masalah referensi ini, paling tidak ada tiga masalah besar yang sering saya jumpai pada kalangan Islam liberal. Pertama, seringkali mereka tidak punya referensi apa pun. Semua hanya mengira-ngira. Kita dapat menemukan modus mengira-ngira ini pada kalimat-kalimat yang didahului dengan kata “Saya kira...”, “Bagi saya...” dan semacamnya. Kalimat mengira-ngira semacam itu ada banyak sekali di situs Jaringan Islam Liberal. Silakan dicek. Misalnya mereka berkata “Saya kira, pernikahan gay itu tidak dilarang dalam Islam!” Yah, ternyata cuma mengira-ngira. Abaikan saja pemikiran begini. Lalu misalnya mereka berkata lagi “Bagi saya, orang kafir yang baik lebih mungkin masuk surga daripada Muslim yang buruk!” Pernyataan tanpa referensi seperti, abaikan saja. Apakah pernyataan di atas bersumber dari kata-kata ‘Sang Pemilik Surga’ atau murni spekulasi? Di kalangan Islam liberal, biasanya spekulasi disamarkan sebagai ijtihad. Seolah-olah keduanya sama.

Semboyan mereka dari dulu: mari membuka pintu ijtihad! Padahal yang dilakukannya cuma spekulasi. Sederhana saja mengukurnya. Ijtihad dilakukan jika tak ada tuntunan yang jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kurang lebih begitu. Artinya: orang yang mau berijtihad harus mengecek kepada Al-Qur’an dan Sunnah dulu. Artinya pula: yang boleh berijtihad hanya yang punya penguasaan mumpuni terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Ini logika lho! Ambillah contoh Saidiman Ahmad (tokoh Jaringan Islam Liberal) yang mengatakan bahwa kaum Nabi Luth a.s diazab karena menyodomi malaikat. Apakah hal yang diucapkan Saidiman tersebut adalah ijtihad? Jika kita membaca artikelnya, kita akan melihat bahwa sumbernya bukan Al-Qur’an dan Sunnah, melainkan Ioanes Rakhmat (seorang Kristen). Artinya, Saidiman mengabaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Ia tidak mencarinya di Al-Qur’an dan Sunnah terlebih dahulu. Maka, pendapatnya tidak bisa disebut sebagai ijtihad, melainkan spekulasi belaka. Saidiman Ahmad sama sekali tidak punya referensi kecuali dari orang lain yang sebenarnya juga tidak kompeten. Mengapa tidak relevan? Tentu saja, karena yang dibicarakannya adalah masalah agama Islam, tapi referensinya adalah orang kafir. Itu sama saja belajar ilmu Fisika dari ahli Akuntansi. Tidak nyambung.

Ini sekaligus menyangkut masalah kedua, yaitu mengambil referensi dari sumber yang bukan ahlinya. Belajar mendidik anak dari seorang pemabuk, sama blundernya seperti belajar cinta dari selebriti yang sering kawin-cerai. Di Indonesia, banyak sekali orang yang bicara soal masalah di luar keahliannya. Di TV-TV swasta pun sering muncul orang-orang dengan predikat ‘pengamat politik timur tengah’, misalnya. Padahal, orang tersebut hanya PERNAH tinggal di Timur Tengah, kuliah pun tak lulus. Dibilang ahli ya jelas tidak. Kita pun perlu waspada, sebab para aktivis JIL (Jaringan Islam Liberal) sering muncul di TV dengan predikat-predikat seperti ini. Jarang sekali di antara mereka yang muncul dengan predikat “Aktivis JIL”. Biasanya menggunakan predikat-predikat lain. Ketika debat soal Ahmadiyah memanas beberapa tahun yang lalu, banyak yang bela Ahmadiyah, padahal tak pernah baca buku-bukunya. Dengan kata lain, mereka membela Ahmadiyah karena jumud saja, bukan karena ilmu.

Problem ketiga adalah mengambil referensi dari sumber yang tidak baik perilakunya. Ya fasiq itulah. Dalam Islam, perilaku seseorang penting untuk dipertimbangkan sebelum ia dijadikan rujukan. Sebab, dalam banyak hal, perilaku menunjukkan kesatuan antara teori dan praktek. Karl Marx, misalnya. Teori-teorinya soal ekonomi dunia bikin penasaran banyak orang. Masalahnya, Marx sendiri lalai mengurusi ekonomi rumah tangganya. Apa ini contoh yang baik? Jika sampai sekarang tidak ada yang mampu mewujudkan gagasan Marx di tataran praktis, mungkin karena ia memang cuma teori belaka. Jika ada seorang penyair pandai menggubah kata-kata cinta, tapi rumah tangganya kandas terus, apa syairnya masih bisa dipercaya?

Jean Jacques Rosseau dikenal sebagai intelektual sekuler. Tapi dia membuang anak-anaknya ke panti asuhan. Anehnya, banyak yang percaya pada teori-teori Rosseau dan menyebutnya intelek. Padahal ia tidak bermoral. Banyak ahli-ahli di Barat yang perilakunya tidak secemerlang reputasinya. Itulah sekularisme. Selalu dualis. Di Indonesia pun begitu. Banyak ‘intelektual’ liberalis yang titelnya hebat, tapi perilakunya rendah. Dalam dunia psikologi ada nama seperti Sigmund Freud. Teori-teorinya banyak yang nyeleneh. Teori-teori Freud, menurut para ahli sekarang, sebenarnya tidak ilmiah. Nyaris tak ada yang bisa dibuktikan. Prof. Malik Badri, ahli psikologi Islam, menyebut pemikiran-pemikiran Freud sebagai ‘armchair thinking’. Gagasan-gagasan Freud dirancang ‘sambil duduk’. Ia tidak merujuk pada situasi nyata di lapangan. Maka, jika teori2 Freud tidak terbukti di ranah praktis, jangan heran. Namanya juga ‘armchair thinking’.

Banyak yang berteori bahwa sekularisme akan menjamin kedamaian umat beragama. Buktinya? Di negara-negara sekuler, pakai hijab saja susah. Tidak ada toleransi. Teori dan praktek sangat jauh berbeda. Dalam Islam, seseorang yang mengizinkan perbuatan maksiat tak bisa jadi rujukan. Orang-orang yang memuji kemusyrikan adalah orang-orang yang tak berakal. Tak pantas jadi rujukan. Demikian juga orang yang suka berkata-kata kasar. Hanya orang bodoh yang merujuk padanya. Oleh karena itu, umat Muslim pun harus meluruskan sikapnya dalam banyak hal.

Sebagai umat yang terbiasa checkdan recheck, semestinya kita lebih kebal terhadap berita-berita palsu. Jika ada berita yang mencurigakan, semestinya kita pun cerdas dan lincah dalam memverifikasinya. Dan, tentu saja, tidak semua berita perlu diverifikasi. Lihat dulu sumbernya. Apa cukup berbobot? Jika orangnya tidak hapal Al-Fatihah, tak usah pusingkan ‘fatwa2’ yang meluncur dari lisannya. Tinggalkan saja dia. Orang yang perilakunya jauh dari agama, tapi berkomentar soal agama? Anggap saja angin lalu. Demikian juga orang yang halalkan maksiat, halalkan khamr, tiba-tiba halalkan nikah beda agama? Kita sudah tau sama tau lah.

Alangkah produktifnya hidup jika kita mencari ilmu dari sumber yang benar. Tentu manusia mana pun ada kekurangannya. Tapi selama ia berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah, itulah referensi yang baik. Jika sudah mengabaikan keduanya, sepanjang apa pun titelnya, maka ia adalah referensi yang buruk. Di antara orang-orang saleh dan cendekiawan pun ada perdebatan. Kita hargai, yang penting masing-masing tidak salah ambil. Dan sebagai bagian dari adab yang baik, biarkan para ahli berdebat. Yang belum ahli, tenggang rasa saja. Kalau semua bertindak bagaikan ahli, dijamin kacau. Lihatlah negeri kita sekarang! Memang manusia tidak boleh mengaku dirinya pasti benar. Tapi yang tidak berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah sudah pasti salah. Semoga kita terhindar dari kekeliruan yang fatal dalam mengambil referensi. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin...


YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/anakmuslimtaat

Pentingnya Referensi Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top