Anda mungkin sering melihat banyak orang shalat secara sempurna. Siapa pun dapat dengan benar dan tepat mengerjakan shalat. Rukun-rukun dan syarat shalat dipenuhi dengan sempurna, mulai takbiratul ihram sampai salam. Tapi ternyata, tidak semua shalat diterima Allah. Kenapa? Karena banyak di antara kita yang hanya mengerjakan shalat lahiriahnya saja alias cuma shalat badan. Badannya shalat, tapi hatinya tidak. Seseorang yang ingin mencapai derajat keimanan yang tinggi tidak hanya shalat badan, tetapi hatinya juga ikut shalat. Shalat hati, bagaimana tuh?
Setiap ibadah punya sisi lahir dan sisi batin. Seperti para sufi, mereka paling suka memaknai seluruh ibadah lahirnya dengan ibadah batin. Memaknai, menghayati, dan menghadiri rasa kepada Allah semata.
Setiap ibadah punya sisi lahir dan sisi batin. Seperti para sufi, mereka paling suka memaknai seluruh ibadah lahirnya dengan ibadah batin. Memaknai, menghayati, dan menghadiri rasa kepada Allah semata.
Shalat dimulai dengan takbiratul ihram. Kita mengangkat tangan sejajar dengan telinga, telapak tangan terbuka menghadap ke depan, sambil mengucapkan kalimat “Allahu Akbar” secara khusyuk. Kita harus sebisa mungkin menyadari kepada siapa saat itu kita menghadap. Ucapan “Allahu Akbar” artinya kita menghayati betul bahwa Allah adalah Dzat yang memiliki kebesaran mutlak. Tidak ada kebesaran lain selan-Nya. Meskipun di muka bumi ini anda melihat besarnya gunung, gedung, atau luasnya langit, itu semua tetap tidak akan dapat menandingi kebesaran Allah. Mungkin kita seering juga mendengar nama-nama besar, seperti orang-orang besar, kota besar, atau bahkan ada juga istilah “besar hati” dan “besar mulut.” Itu semua tidak dapat menandingi kebesaran Allah. Atau, imajinasi kita membayangkan betapa besarnya galaksi Bima Sakti, Andromeda, atau bahkan betapa luas dan besarnya alam raya ini. Semua itu nol di hadapan Allah. Pokoknya, kebesaran Allah itu walaupun tidak terbayangkan dalam pikiran, tapi yang pasti, tidak ada satu pun yang menandingi.
Jadi, ketika kita mengangkat tangan dan membaca takbir, sambil mengucapkan “Allahu Akbar”, kita juga disertai kesadaran bahwa cuma Allah-lah satu-satunya Zat Yang Maha Agung. Tidak ada keagungan apa pun selain keagungan-Nya. Begitu juga saat kita membaca surat Al-Fatihah, kita benar-benar sadar bahwa tidak ada satu pun makhluk yang pantas mendapatkan pujian, termasuk diri kita sendiri, tentunya. Kita akan sadar bahwa segala macam pujian untuk kita, sesungguhnya hanya pantas untuk Allah semata. Kita sadar bahwa kita tidak pantas mendapatkan pujian, sekecil apapun. Begitu pun ketika kita rukuk, sujud, baca tahiyat, dan salam. Kita benar-benar disertai kesadaran dan penghayatan yang dalam setiap bacaan dan gerakannya.
Itulah mungkin yang dimaksud shalat hati. Jalani langkah shalat sejati ini terus-menerus sepanjang hidup. Tidak hanya ketika kita masih muda dan sehat, dan juga tidak usah menunggu kita mencapai usia senja. Lakukan dan hayati dengan benar-benar, sekarang juga!
Pastikan juga sepanjang waktu hati kita benar-benar shalat. Tidak cuma ketika badan kita shalat, tapi juga saat-saat ketika badan kita sedang melakukan aktivitas lainnya. Di mana pun dan kapan pun, hati kita harus selalu nyambung dengan Allah. Apalagi, arti kata shalat itu sebenarnya “nyambung.” Jadi, kita harus nyambung dengan Allah ketika kita sedang bermain, belajar, diskusi, mengerjakan tugas, berolahraga, menonton TV, atau apa saja, deh.
Kalau benar-benar konsisten menyambungkan hati kita dengan Allah, itu artinya kita sedang menggosok hati agar lebih bening. Kalau sudah bening, hati kita ibarat cermin yang dapat memantulkan berbagai hal. Noda, dosa, dan kesalahan akan mudah ketahuan. Kita akan banyak introspeksi, jadi lebih tahu diri. Begitu juga kebaikan-kebaikan kita, seperti bersikap dewasa, rajin, murah hati, kemampuan mendengarkan curhatan orang lain, atau kepedulian, akan dapat terlihat dengan jelas. Kita dengan mudah dapat mengembangkan semua kebaikan itu. Dan semua, tentu saja berkat hati yang selalu nyambung dan bening bagai cermin yang selalu digosok.
Perhatikan kisah ini.
Seorang raja sedang sibuk mencari seniman yang bisa melukis. Raja mencari pelukis terbaik. Akhirnya, raja menemukan pelukis Cina dan pelukis Yunani. Keduanya pelukis hebat, Tapi, salah satu dari mereka masih lebih hebat dari yang lainnya. Mereka punya rahasia yang tidak dimiliki lawannya. Karena agak bingung memilih yang mana, akhirnya raja mengadakan ujian untuk mereka berdua.
Pelukis Cina berkata kepada raja, “Kami adalah seniman yang lebih baik.” Sementara pelukis Yunani itu membalas, “Kami lebih punya kemampuan dan cita rasa keindahan lebih besar ketimbang pelukis Cina.”
Raja memberikan sebuah ruangan untuk mereka, dengan pintu yang saling berhadapan. Orang Cina minta seratus warna, emas, perak, dan mutiara. Orang Yunani hanya minta semir dan kain yang bersih. Nah lho, mau ngelukis apaan pake semir? Mereka mengerjakan tugasnya masing-masing. Orang Cina melukis dengan sangat bagusnya. Indah sekali. Sementara orang Yunani hanya menggosok dinding memakai semir terus-menerus. Ketika orang Cina itu menyelesaikan lukisannya, sang raja masuk dan melihat lukisan yang telah dibuatnya. Sang raja kagum dengan keindahan lukisan orang Cina. Lalu, orang Yunani mengangkat tabir yang ada di antara ruang-ruang itu. Bayangan lukisan orang Cina itu jatuh di atas dinding yang tadi orang Yunani semir. Semua yang dilihat sang raja dari pekerjaan orang Yunani kelihatan lebih bagus, lebih menyenangkan, dan lebih hidup. Sebab, bukan hanya lukisan ornag Cina yang dipantulkan, tapi juga burung-burung yang sedang terbang yang memantul lewat jendela. Kalau dalam lukisan orang Cina, burung yang ada di dalamnya itu mati, maka burung hasil karya orang Yunani itu jadi terlihat hidup.
Orang Yunani itu ibarat orang yang telah membersihkan hati mereka. Hati yang bersih adalah cermin tanpa noda sehingga bisa menerima banyak sekali bayangan atau pantulan. Bayangan yang kita terima itu begitu bening sehingga kita benar-benar bisa mengetahui siapa diri kita dan apa yang harus kita lakukan sebagai tugas dari-Nya. Memantulkan cahaya Allah berarti memahami secara utuh peran kita sebagai hamba dan khalifah-Nya. Apa yang akan kita kerjakan sesuai benar dengan kehendak Allah sebab pengetahuan kita sudah bisa memantulkan pengetahuan-Nya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Nyari Identitas Diri Karangan M. Ikhsan Hal. 81-86 dengan perubahan