Halusnya Keikhlasan | Ilmu Islam

Jumat, 29 November 2013

Halusnya Keikhlasan

Menurut Imam Al-Ghazali, pada Hari Kiamat, Allah akan bertanya kepada orang-orang yang mempunyai ilmu, “Apa yang kamu lakukan dengan ilmu-ilmu dan pelajaran yang Aku berikan kepadamu?”

Mereka menjawab, “Kami memanfaatkannya di jalan-Mu.”

“Kamu bohong,” kata Allah. Malaikat pun ikut mendo’akan yang buruk-buruk.

“Kamu menggunakannya untuk mendapatkan tepuk tangan, ingin disebut unggul dalam ilmu dan mencari pujian di mata orang lain,” lanjut Allah.

Allah juga akan bertanya kepada orang kaya “Aku memberi kalian kekayaan. Apa yang kalian lakukan dengan kekayaan itu?”

Mereka akan mengatakan, “Kami memberikan kekayaan itu di jalan-Mu.”

Allah dan malaikat mengatakan, “Kalian bohong. Kalian menggunakannya agar orang menyebut kalian sebagai orang yang sangat dermawan.”

Kemudian Allah memanggil mereka yang menghabiskan hidupnya dalam perang suci. Mereka ditanya, “Bagaimana kamu menghabiskan hidup yang telah Aku beri?”

Mereka menjawab, “Kami berkorban di jalan-Mu.” Allah dan malaikat akan menyebutnya sebagai pembohong dan mengatakan, “Kamu mengorbankan hidupmu agar orang menyebutmu pemberani dan syahid.”

Kita sering merasa kalau ilmu, kekayaan, dan perjuangan kita sudah penuh dimanfaatkan di jalan yang benar.

Anda berdebat dengan teman anda. Mereka kalah, lalu tersinggung. Anda merasa bahwa mereka kalah lantaran anda memang memiliki ilmu yang lebih hebat. Dari anggapan anda yang seperti ini, anda sudah tidak ikhlas. Ini juga berarti anda sudah tidak bersyukur.

Jabatan anda dinaikkan oleh bos anda. Lantas anda berpikir bahwa anda adalah orang terbaik di perusahaan anda. Dalam benak anda terbersit kalau yang lain tidak akan lebih hebat dari anda. Ketika di antara teman-teman kerja anda ada yang ingin tahu apa saja tips dan kiatnya untuk menjadi karyawan terbaik, anda cuekin. “Ah dasar bodoh, bisanya cuma nanya aja. Makanya, pinter dong kayak saya!” pikir anda. Saat itu anda kurang ikhlas. Lagi-lagi juga berarti anda tidak bersyukur.

Misalnya lagi, ketika sebagian uang anda berikan kepada mereka yang kurang mampu atau untuk infaq masjid. Lalu pada saat itu, anda benar-benar merasa bangga karena ternyata anda pikir anda menyumbang secara ikhlas. “Tidak ada deh yang menyumbang seikhlas saya,” pikir anda. Anda benar-benar merasa bahwa orang yang paling ikhlas menyumbang hanyalah anda. Tidak ada yang lain. Apalagi ketika anda tahu kalau sumbangan anda masih jauh lebih besar dibandingkan sumbangan teman-teman anda. Perasaan bahwa anda adalah yang paling ikhlas adalah ciri kalau anda tidak ikhlas.

Ini kisah asli, true story. Teman saya di teater, sebut saja namanya si Konyol, suatu hari marah-marah. Dia menanyakan loyalitas dan komitmen teman-temannya satu grup. “Aku sudah bikin kop surat, pesan stempel, bawa dua kain bekas spanduk, menyumbang delapan ratus ribu untuk pentas ini. Aku juga paling cuma telat sepuluh menit kalau jadwal latihan. Tapi kalian? Mana bukti kalau kalian loyal dan komit sama teater kita ini? Masa semuanya dari aku. Masa cuma aku yang berjuang?”

Nah tuh, kalau ada di antara anda yang merasa bahwa semuanya dari dia, dari keringat dia, dari pikiran dia, dari kantung dia, atau dari waktu dia, lucu sekali bukan?

Padahal seharusnya dia bercermin, berpikir, dan menghitung kalau ternyata semua itu belum seberapa. Soalnya, di antara teman teater bahkan ada yang mencari spanduk bekas dari tempat sampah, tidak cuma dua potong, tapi dua kwintal! Yang lain tidak tidur dua malam untuk menyiapkan artistik dan tata panggung. Yang lain lagi bingung menyusun proposal, tidak hanya kop surat. Yang lain lagi mengorbankan uangnya sebanyak satu setengah juta untuk menyiapkan perlengkapan dan konsumsi. Yang lain kesana kemari jalan kaki menyebarkan undangan, soalnya tidak ada anggaran operasional. Yang lain lagi sempat dimarahin habis-habisan oleh ustadznya di pesantren karena pulang malam tiap latihan. How man? Mereka semuanya komit. Lebih dari itu—dan ini yang paling penting—mereka tidak pernah mengungkit-ungkit apa yang sudah mereka berikan untuk teater. Tidak seperti si Konyol. Mereka ikhlas.

Menurut saya, ikhlas itu artinya berbuat, mengabdi dan memberi yang terbaik untuk apa pun yang ada di jalan Allah tanpa pamrih alias tanpa perhitungan. Jalan Allah itu macam-macam pengertiannya. Yang paling bisa saya pahami dari makna jalan Allah adalah pengabdian terhadap sesamanya. Kalau anda sudah punya cita-cita bersama, dan cita-cita itu baik, maka anda sudah tidak boleh tanggung lagi mengorbankan semua yang anda miliki. Itu namanya loyal dan komit pada kebaikan. Dan, itulah bagian dari keikhlasan di jalan Allah. Percayalah, berkorban demi kebersamaan tidak akan membuat anda rugi. Malah hasilnya begitu besar, lebih besar dari apa yang selama ini bisa anda hitung. Lebih berharga dari apapun yang bisa anda hargai. Lebih dalam dari apapun yang bisa anda ukur. Lebih kaya dari apapun yang selama in anda anggap sebagai kekayaan materi. Buktikan kalau anda tidak percaya!

Tapi, bagaimana kalau kita hanya bisa memberi sedikit waktu, sedikit uang, sedikit perhatian, sedikit loyalitas, atau sedikit komitmen?

Nilai pemberian itu bukan diukur dari banyak-sedikitnya, tapi dari pamrih atau tidaknya. Anda memberi banyak tapi mintanya juga banyak, percuma, kan? Anda memberi sedikit, tapi minta banyak, keterlaluan, kan? Yang baik, anda memberi. Sedikit atau banyak bukan soal. Yang penting setelah itu, tidak minta lagi.
Kita ikuti kisah ini. Alkisah, ibu dari salah satu Sultan Utsmani memiliki hobi beramal. Dia membangun masjid, rumah sakit, dan tempat pemandian umum di sudut-sudut kota Istanbul yang memang sering kekurangan air. Suatu hari dia pergi melihat gedung rumah sakit yang sudah dibangunnya, dan dia melihat seekor semut yang jatuh dan menempel di atas pondasi yang masih basah. Lalu, dia mengambil semut itu dan menaruhnya di atas tanah. Dia menyelamatkan semut itu dengan penuh kasih. Beberapa tahun kemudian, dia meninggal dunia. Suatu malam, dia muncul dalam mimpi teman-temannya. Dalam mimpi itu, dia terlihat bahagia dan cantik sekali, mukanya berbinar-binar. Mereka menanyakan, apakah dia masuk surga karena semua amalnya. Ibunda Ratu menjawab, “Aku ada di surga, tapi bukan karena amalku itu. Aku masuk surga karena menyelamatkan seekor semut.” Nah, ternyata yang membuat dia diberi fasilitas kesenangan di alam kubur bukan kerjaan besar, tapi hal-hal yang remeh.

Keikhlasan juga bisa digunakan sebagai bahan bakar anda menjalani hidup, sumber kekuatan batin anda. Dengan keikhlasan, anda bisa mengalahkan nafsu anda yang nakal. Bahkan, keikhlasan anda itu juga bisa mengalahkan setan yang bersemayam dalam nafsu anda.

Ihwal keikhlasan, saya ceritakan lagi satu kisah menarik. Suatu hari, seorang penebang pohon yang alim mendengar sebuah suku yang masyarakatnya menyembah pohon. Dia memutuskan untuk menebang pohon yang disembah itu. Dalam perjalanan, setan datang dan bertanya, “Mau kemana kamu?”

“Aku mau menebang pohon itu.”

“Jangan, jangan lakukan itu!”

“Siapa kamu, berani-beraninya mengatur apa yang harus aku kerjakan! Aku akan menebang pohon semata-mata karena Allah.”

“Aku adalah setan. Aku minta agar kamu tidak melakukan itu. Aku tidak akan membiarkan kamu menebang pohon itu.”

Penebang pohon itu tetap teguh, “Kamu! Kamu tidak bisa menghentikanku!” Dia mendorong setan hingga tersungkur ke tanah. Dia menodongkan kapak ke leher setan karena akan membunuhnya.

Setan mengatakan, “Kamu ini tidak berpikir. Kamu ingin mencoba menebang pohon itu, tetapi masyarakat suku disana tidak akan membiarkanmu menebang Tuhan mereka. Malah bisa jadi mereka akan membunuhmu. Lantas keluargamu nanti terlantar. Aku tahu, sebagai penebang, kamu cuma sanggup menebang dua pohon sehari. Kamu seorang yang taat, kamu punya keluarga, dan kamu juga sangat suka membantu orang lain. Setiap pagi aku akan meletakkan dua koin emas di bawah kasurmu. Daripada kamu terbunuh, kamu bisa menghabiskan harta itu untuk keperluan keluargamu dan juga menolong orang miskin.”

Penebang kayu itu balas menjawab, “Aku tidak percaya. Kamu hanya mau menipuku. Semua orang tahu, setan adalah penipu dan pembohong. Kamu cuma ingin menyelamatkan dirimu sendiri.”

“Tidak lagi, aku tidak akan menipumu. Cobalah. Kalau kamu tidak menemukan dua koin emas setiap pagi, kamu dapat mengambil kapakmu dan menebang pohon itu.”

Si penebang pun setuju. Esok paginya, dia menemukan dua koin emas di bawah tempat tidurnya. Dia membeli makanan dan pakaian untuk keluarganya dan membagikan sisanya kepada kaum miskin. Pagi berikutnya, ketika memeriksa ke bawah tempat tidurnya, dia tidak menemukan apa-apa. Dia mencari ke seluruh ruangan kamar, tapi ia tidak menemukan satu koin emas pun.

Dengan marah, si penebang kayu itu mengambil kapaknya dan bersiap-siap menebang pohon itu. Di tengah jalan, dia bertemu lagi dengan setan. Setan bertanya lagi, “Kamu pikir kamu mau pergi kemana?”

“Kamu telah menipuku! Kamu pembohong! Aku akan menebang pohon itu!” balas si penebang.

Setan membanting si penebang hanya dengan jari-jarinya, dan penebang pohon pun jatuh terkapar. Setan mengatakan, “Apakah kamu ingin aku membunuhmu sekarang juga? Aku ingin kamu janji tidak akan merusak pohon itu.”

“Oh, jangan! Jangan bunuh aku! Aku tidak akan menyentuh pohon itu. Tapi aku ingin bertanya satu hal kepadamu. Dua hari lalu aku mengalahkanmu dengan mudah. Aku hanya mendorong dan melemparkanmu hingga terjatuh. Sekarang, darimana kamu mendapatkan kekuatanmu yang hebat ini?”

“Dengarkan baik-baik! Pada hari itu, kamu mau menebang pohon demi Allah semata. Hari ini kamu melawanku demi dua koin emas. Kamu tidak ikhlas, sekarang. Jadi, hari ini kamu bisa aku kalahkan.”

Nah, salah satu yang bisa kita ambil dari cerita tersebut adalah banyak kekuatan batin yang akan hilang kalau anda sudah tidak ikhlas lagi.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Nyari Identitas Diri Karangan M. Ikhsan Hal. 122-130 dengan perubahan

YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page: facebook.com/anakmuslimtaat

Halusnya Keikhlasan Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top