Belajar dari Bermacam-macam Guru | Ilmu Islam

Kamis, 28 November 2013

Belajar dari Bermacam-macam Guru

Seorang bayi yang baru lahir tidak tahu apa-apa tentang apa yang dilihat, dicium, dan dirabanya. Ia harus diajari nama-nama benda oleh orangtuanya. Dia juga diajari macam-macam kegunaan, manfaat serta mudharatnya segala sesuatu.

Maksudnya ngomongin ini, apaan sih?

Orangtua adalah guru pertama bagi bayi, bagi manusia. Orangtua adalah dia yang mengajarkan si bayi bagaimana caranya menghadapi kehidupan. Nah, apakah kehidupan ini selesai sampai bayi saja? Apakah belajar itu cuma belajar bicara, terus belajar berjalan, terus belajar makan, cukup? Atau setelah agak dewasa, di sekolah anda belajar membaca, belajar menulis, belajar menghitung, cukup?
Hidup berjalan terus, tapi masih banyak sekali yang tidak kita mengerti. Padahal, yang kita tidak tahu itu sangat penting artinya bagi kebaikan kita dunia akhirat. Selain belajar hal-hal tersebut, kita juga harus belajar bagaimana cara berbuat baik dengan orang lain, belajar peduli pada yang menderita, belajar menjadi teman fakir miskin, belajar tidak menjadi orang sombong, belajar agar tidak pelit, belajar mencintai, belajar menghargai orang lain, belajar mengingat Allah, belajar beribadah dengan tulus dan ikhlas atau belajar memanfaatkan kekayaan alam. Pokoknya, belajar bagaimana menjadi orang baik, suci, dan sempurna sebagai manusia.

Bisa bicara, bisa jalan, bisa makan saja seperti yang diajarkan orangtua saat kita masih bayi, ternyata belum cukup. Bisa menulis, bisa membaca, bisa menghitung saja seperti yang diajarkan guru kita di sekolah, juga masih kurang. Mengerti keuangan, akuntansi, statistika, seperti yang diajarkan dosen kita di perguruan tinggi, ternyata juga masih kurang. Jadi, kalau hanya orangtua, guru, dan dosen yang dijadikan tempat untuk belajar, jelas tidak cukup. Sungguh, tidak cukup! Ternyata kita belum sempurna. Kita harus mencari guru lain lagi. Tapi, bukan berarti kita lupa dengan orangtua, guru, dan dosen kita di kampus.

Jadi, guru seperti apa yang harus kita cari itu? Luqman yang bijaksana, ketika ditanya dari siapa dia belajar menjadi orang arif, menjawab, “Dari orang buta, yang tidak melangkah sebelum mencoba tempat itu.” Apakah artinya guru Luqman itu si Buta dari Gua Hantu? Maksudnya, guru Luqman adalah seseorang yang sudah mengalami pahit getirnya hidup jauh lebih banyak dari Luqman sendiri. Dia pernah mengalami setiap pengalaman penting yang juga harus kita alami. Dia juga sudah paham betul macam-macam suasana persaan. Jadi, kalau kita berguru pada orang yang memang sudah lebih berpengalaman dari kita, kita akan menjadi semakin arif dan bijaksana.

Tapi, banyak pertanyaan tentang bagaimana menemukan guru sejati. Sering sekali orang ragu-ragu; mereka tidak tahu apakah guru yang mereka temui adalah guru yang benar atau salah. Seringkali salah satu di antara kita datang menghubungi guru yang keliru di dunia ini, karena terdapat begitu banyak kebohongan.

Tetapi, pada saat yang sama, seorang pencari guru yang sejati, adalah dia yang tidak salah pada dirinya sendiri. Dia akan senantiasa bertemu dengan yang benar, dengan yang sesungguhnya. Sebab, itu adalah keyakinan sebenarnya yang dia miliki. Kesungguhannya sendiri adalah pencariannya. Yang bersungguh-sungguhnlah yang menjadi penyuluh dirinya sendiri.

Guru Kita Selanjutya Bernama: Kesungguhan
Anda pasti sulit mendapatkan guru di luar diri anda. Karena, apa yang anda cari adalah diri anda sendiri. Apa yang bisa menggurui anda sepanjang hidup adalah kesungguhan-kesungguhan anda. Jadi, gurui saja diri anda dengan kesungguhan. Sebab, guru anda yang sejati adalah kesungguh-sungguhan anda itu. Guru yang sejati ada di dalam, dan kalau anda sungguh-sungguh mencari kebenaran, cepat atatu lambat pasti akan menemukan guru sejati itu, yaitu diri anda sendiri.

Misalnya, anda frustasi dengan permintaan guru anda yang neko-neko. Salah satu langkah terbaik adalah anda harus menjadi diri anda sendiri. Berguru kepada seseorang hanya satu cara untuk membantu anda mengenali diri. Kalau guru itu membuat anda bingung, cek dan ricek apakah kebingungan itu menguji anda untuk sesuatu yang bermanfaat bagi penemuan diri anda atau tidak? Kalau menurut anda guru anda cuma menguji, turuti permintaan itu dengan rasa tulus dan hormat walaupun harus berkorban. Tapi kalau anda sudah terlalu bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memenuhi permintaan guru anda, kembalilah kepada diri anda. Semulia apa pun permata yang diberikan guru anda, diri anda masih jauh lebih mulia. Kalau memang tidak ada cara lain yang lebih tidak membuat anda bingung, buang saja permata itu ke lautan dan kembalilah.

Kalau anda salah memilih guru, “yang sejati” di dalam diri anda mengubah yang salah itu menjadi guru yang sejati. Sebab, kebenarnan selalu lebih agung daripada kesalahan, dan kebenaran itu akan muncul sepercik demi sepercik seiring dengan kesungguhan anda mencarinya. Percayalah, masih banyak kebenaran dalam diri anda yang belum terungkap. Jadi, bersungguh-sungguhlah mengungkapnya karena itulah guru anda!

Kalau kita bicara soal kesungguhan, kita pasti bicara juga soal kegagalan. Lalu, apa hubungannya? Kegagalan adalah indikasi kesungguhan anda. Semakin bijak anda menyikapi kegagalan, akan semakin terlihat sehebat apa kesungguhan anda. Kalau anda gagal, lalu menyerah, itu pertanda anda belum bersungguh-sungguh dalam memaknai dan menjalani kehidupan. Kesungguhan tidak kenal kata menyerah. Guru anda yang bernama kesungguhan mengajari anda untuk menjadikan kegagalan sebagai batu fondai tempat bangunan keberhasilan akan dibangun. Kegagalan adalah logika hidup untuk menunjang adanya keberhasilan. Logika hidup, apa itu? Begini arti logika hidup: tidak ada mawar yang tidak berduri, tidak ada cinta tanpa benci, tidak ada suka tanpa duka. Jadi, tidak ada sukses tanpa gagal. Rasul berkata, “Man jadda wa jadd,” yang artinya “Yang sukses adalah dia yang selalu kerja keras.”

Cobalah Jadi Bumi, Awan, dan Hujan: Berguru kepada Sahabat Anda
Di bawah ini adalah kisah tentang dua remaja yang berteman baik, Viki dan Syarif. Viki berbadan tinggi besar, sedangkan Syarif pendek-kecil. Viki bersikap tegas dan kadang-kadang keras, sedangkan Syarif lembut dan perasa.

Suatu malam, Viki ikut berdesak-desakan untuk mendapatkan air wudhu di salah satu acara keagamaan. Dia memanfaatkan badannya yang besar ditambah kemampuan bela dirinya yang lumayan oke. Dia mendorong dan mendesak siapa saja, yang ada di depan, belakang, kanan, dan kirinya untuk mendapatkan posisi antrian yang aman dan nyaman.

Sementara cerita Syarif lain lagi. Malam itu, dia ada di tengah-tengah antrian dengan nasib yang sungguh mengkhawatirkan. Syarif yang berbadan kecil itu terdesak, terhimpit. Dia tidak bisa apa-apa di tengah-tengah himpitan. Remaja mungil yang penyabar itu mengalah dengan keadaan dirinya yang terdesak sedemikian rupa oleh peserta lain, yang mungkin ada puluhan ribu jumlahnya.

Ketika pagi harinya bertemu, mereka menceritakan kejadian masing-masing di acara itu semalam. Dengan bangga, Viki cerita kalau dirinya mampu mendorong lebih dari seratus orang untuk mendapatkan keran air wudhu.

“Tidak ada seorang pun yang sanggup mendorongku kembali ke belakang,” kata Viki dengan amat bangganya. Menurutnya, dia terus maju dan menyingkirkan banyak orang. Pokoknya, Viki menceritakan semuanya kepada Syarif dengan amat bangganya.

Sementara Syarif dengan muka sedikit kecewa dan enggan, bilang, “Aku terdesak begitu rupa semalam. Tidak berdaya, pasrah saja. Sadarkah kamu kalau orang besar seperti kamu telah membuat teman-temanmu sendiri yang kecil ini begitu kepayahan?” Syarif menceritakan semuanya dengan raut muka yang sedih.

Viki tertegun. “Aku pernah mengikuti malam bimbingan iman dan takwa, tapi perilakuku seperti preman. Mending kalau preman, masih ada yang sopan dan santun. Aku lebih brutal dibandingkan mereka. Aku sama sekali tidak menunjukkan sikap orang beriman dan bertaqwa”, gumamnya dalam hati.

Viki menyadari kesalahannya. Lalu, dia mengungkapkan penyesalannya pada Syarif karena secara tidak langsung dia telah menganiaya Syarif.

Kita memang harus selalu menyadari bahwa kekuatan kita—dalam bentuk apa pun, entah itu kekuatan pikiran, kekuatan harta, atau kekuatan tubuh—seharusnya digunakan untuk melindungi kaum yang lemah.

Kini Viki menjadi bumi yang tersirami air akhlaq oleh Syarif. Dia tidak ingin lagi melukai telapak kaki siapa pun, dan juga meninggalkan debu. Dia ingin menjadi bumi. Anda tahu apa lagi keistimewaan bumi? Walaupun bumi yang basah tidak meninggalkan debu, tapi ia dapat meninggalkan jejak kebaikan ataupun keburukan di atasnya. Jejak macan, jejak gajah, semua kelihatan dengan jelas.

Nah, kalau anda menjadi bumi, artinya anda dapat melihat dengan jelas semua kesalahan anda untuk diintrospeksi, dan juga semua kebaikan anda untuk dikembangkan. Bukannya malah gampang melihat kesalahan orang, tapi susah melihat keslaahan sendiri. Seperti bunyi pepatah “semut di seberang kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.”

Orang arif nan bijak berkata, “Orang yang bahagia adalah mereka yang menemukan kesalahan dalam diri mereka sendiri lebih daripada menemukan kesalahan orang lain.” Nah tuh!

Tapi ingat, kesalahan diketahui dan diakui bukan untuk disesali, melainkan dijadikan cermin untuk berbuat lebih benar. Sedangkan kebaikan dilakukan bukan untuk mencari kebanggan, melainkan semata-mata untuk mencari ridha dan cinta Allah Swt. Aamiin.

Tapi nanti dulu. Selain menjadi bumi, kata guru Bayazid, anda juga harus dapat menjadi awan, yang melindungi segala yang ada di bawahnya dari terik matahari tanpa pandang bulu. Ingat: tanpa pandang bulu!

Dan ketiga, anda juga mencoba diri anda untuk menjadi hujan. Hujan itu sumbernya tidak ada batasnya, tetapi ia turun sesuai dengan musimnya. Tidak ada hujan yang turun setiap hari sepanjang tahun. Benar kan?

Artinya?

Orang yang arif adalah dia yang memberikan sesuatu, berbuat dan berkata sesuai dengan kebutuhan. Anda yang memiliki sifat hujan adalah anda yang kalau bicara dan bertindak seperlunya. Meskipun setiap persoalan tahu jawabannya, anda tidak perlu menjawab dan mengatasi semuanya kalau memang tidak benar-benar penting dan dibutuhkan. Apalagi kalau anda memang benar-benar tidak tahu cara mengatasinya. Imam Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat, tidak pernah ragu untuk berkata, “tidak tahu” kalau memang beliau tidak tahu jawaban untuk pernyataan yang ditujukan kepadanya.

Ada sebuah buku yang di dalamnya terdapat sebuah syair yang berbunyi: “Menjadi sufi berarti menjadi sebongkah tanah pada bumi yang terayak-ayak, dengan sedikit air yang tersiramkan di atasnya. Anda akan menjadi tanah yang tidak melukai telapak kaki siapa pun yang lewat di atasnya dan juga tidak meninggalkan sisa-sisa debu di belakangnya.”

Ambillah maknanya begini: kalau kita ingin jadi orang yang mulia, mari kita biarkan diri kita tersiram akhlaq yang mulia. Kita harus sudah mulai menyadari kalau kehebatan silat dan kelebihan fisik atau tubuh tidak boleh digunakan untuk menganiaya orang lain. Malah seharusnya, orang seperti Viki itu melindungi Syarif dari serangan orang lain seperti awan melindungi Rasulullah kemana pun beliau pergi. Awan tidak hanya melindungi Rasulullah, tapi juga melindungi dari panas, dan awan memberitahu kalau hujan akan segera turun. Viki sekarang menjadi awan bagi bumi yang bernama Syarif. Viki dan Syarif sama-sama memberi satu sama lain. Viki memberi Syarif hujan dan perlindungan, dan Syarif pun memanfaatkannya untuk menumbuhkan tanaman-tanaman bermanfaat. Mereka hidup dalam damai dan produktif. Mereka saling memberi dan menerima dalam bentuk hujan, tanda berkah Allah. Begitulah persahabatan, dan anda bisa saling berguru kepada sahabat anda seperti itu. Hujan, awan, bumi, dan hasil-hasil hubungan ketiganya bisa anda tafsirkan sendiri.
 ----------------------------------------------------------------------------------------------------------
 Dikutip dari buku Nyari Identitas Diri Karangan M. Ikhsan Hal. 51-61 dengan perubahan

YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page: facebook.com/anakmuslimtaat

Belajar dari Bermacam-macam Guru Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top