Isi Pikiran Sama dengan Garis Nasib | Ilmu Islam

Jumat, 29 November 2013

Isi Pikiran Sama dengan Garis Nasib

Nabi Isa adalah nabi yang hatinya penuh dengan cinta dan kasih sayang. Dalam dirinya, ada contoh yang sangat cocok untuk contoh kerendahan hati, kemurahan, dan cinta Ilahi. Sedangkan Yohanes adalah sepupu Isa yang sangat kejam dan sangat menakutkan. Pada suatu hari, Yohanes marah kepada Isa karean senyumnya yang tiada habisnya.

Sambil marah, Yohanes bertanya, “Apakah kamu tidak pernah memikirkan kemarahan Allah?”

Lalu, Isa balik bertanya masih dengan tersenyum, “Apa kamu sendiri tidak pernah memikirkan kebaikan cinta Allah?”

Seseorang secara tidak sengaja mendengar percakapan keduanya. Orang itu lalu bertanya kepada Allah, yang mana di antara kedua saudara sepupu itu yang lebih dipilih-Nya. Maka Allah menjawab, “Orang yang pikirannya lebih baik kepada-Ku!”

Sebenarnya kita tidak pernah dirugikan oleh apapun yang Allah beri, termasuk musibah dan bencana. Sekali lagi, kita tidak pernah rugi oleh bencana dan musibah.

Yang membuat kita merasa rugi adalah pikiran dan anggapan buruk kita sendiri kepada Allah. Kita sering sekali punya pikiran negatif. Padahal,pikiran itu sendiri yang jadi dampak negatif pada diri sendiri. “You are what you think,” begitu pepatah Barat mengatakan. Pikiran kita yang membuat kita sengsara, pikiran kita juga yang membuat kita bahagia. “Ibda bi nafsika,” kata Rasulullah. Artinya, semua nasih hidup kita harus dimulai dari pikiran yang positif dan optimis. Percayalah, pikiran itulah yang akan menentukan garis hidup kita.

Saya punya seorang teman yang katanya tidak bisa hidup bebas gara-gara sebuah ramalan. Ramalan itu sudah duk menempel di benaknya karena si peramal itu memang terkenal sangat ampuh ramalannya. Orang itu juga dikenal sebagai ahli hikmah (lebih tepatnya dukun kali, ya!).

Si peramal bilang tentang masa depan teman saya, “Orang yang lahir di hari Rebo, hidup kayak daun: ada di atas, dihargain, dan kelihatan indah bareng bunga-bunga selama masih ijo. Tapi giliran kering, dia terjatuh, diinjak-injak orang, dibawa angin kesana kemari, dan nggak ada yang peduli.”

“Kamu bakal jadi orang sukses,” tambahnya. “Kamu disenangi banyak orang, tapi juga sering disakitin, terutama sama cewek. Masa depan kamu bagus, tetapi rumah tangga kamu bakal ngalamin gangguan. Kamu nikah dua kali. Istri pertama nyakitin kamu, dia selingkuh, habis itu dia minta cerai. Buat sementara, hidupmu hampir ancur. Kebahagiaan dan sukses baru kamu dapetin setelah kamu ngejalanin hidup sama istri kedua.”

Wah, wah, menarik banget ya. Ramalan seperti ini memang meyakinkan, kan? Apalagi yang meramal adalah orang yang dikenal sebagai ahlinya. Banyak orang yang percaya! Padahal, itulah yang membuat teman saya jadi setengah gila. Dia tidak bisa lagi jadi dirinya sendiri. Bayangkan saja, saat dia ingat kalau masa depannya bagus, dia jadi terbuai. Dia hampir tidak percaya dengan yang namanya kerja keras. “Lha wong nasibuku udah bagus kok, ngapain juga kerja keras,” katanya. Lalu, saat dia ingat ramalan kalau dia akan disakiti wanita, dia menganggap pacarnya sebagai monster. Setiap kali pacarnya (Ngomong-ngomong, pacaran hukumnya haram lho...)—yang dia harapkan jadi calon istrinya—ngobrol dengan pria lain, dicurigai berkhianat. Dia menjadi sangat posesif. Ketika diramal kalau istri pertamanya nanti akan selingkuh, dia tidak ingin punya calon istri yang baik. Kalau bisa yang brengsek sekalian, soalnya kan nanti bakal cerai. “Karena dia yang bakal ngancurin hidupku pas nikah nanti, pikirnya.” Dia tidak ingin pacarnya yang menurutnya baik itu menjadi istri pertamanya. Nah lho, konyol, kan?

Kita sebenarnya sering percaya dengan sesuatu dengan sesuatu yang sebenarnya tidak layak dipercaya. Kata Rasulullah Muhammad, benar atau tidaknya sebuah ramalan, itu soal lain. Yang jadi masalah, kata beliau, kalau anda percaya ramalan, itu akan banyak mengganggu sikap anda selama hidup. “Salah atau benar ucapan tukang ramal adalah kebohongan!” begitulah Rasul bersabda dengan tegas.

Rasulullah S.A.W melarang kita mendengarkan ramalan, karena bisa saja kita lebih mudah percaya ketimbang tidaknya. Yang jelas, yang menentukan nasib kita, masa depan kita, sukses dan gagalnya kita, adalah kita sendiri. Bukan orang lain. Dan, semua dimulai dari pikiran yang jernih dan baik.

Tapi jangan lupa berdo’a. Soalnya begini. Secara syariat, memang kita yang mengubah baik dan buruknya nasib. Tapi hakikatnya, tetap saja Allah yang menentukan semua. Nah, disinilah kita harus “bekerja sama” dengan Allah untuk menentukan masa depan. Antara usaha dan do’a harus sama-sama kerasnya. Harus sama-sama sungguhnya.

Tapi, banyak di antara kita yang do’anya tidak dikabulkan. Bagaimana ya?

Allah tahu betul siapa diri anda dan apa yang anda butuhkan untuk meraih sukses. Di mata Allah, anda mirip seorang bayi di mata ibunya. Anda sering merengek minta ini dan itu. Tapi coba anda pikir, siapa yang lebih tahu kebutuhan seorang bayi, ibunya atau si bayi sendiri? Tentu ibunya, kan?

Ada juga yang mengeluh karena postur tubuhnya tidak sebaik yang lain, atau anda mengeluh karena gaji anda tidak sebanyak orang lain, atau jabatan anda tidak sebaik yang lain, atau cara bergaul anda tidak pede seperti yang lain, atau cara anda bicara di depan orang banyak tidak selancar yang anda bayangkan, dan sebagainya. Semuanya itu menjadi virus dalam pikiran anda. Putus asa? Konyol itu, namanya!

Banyak yang postur tubuhnya tidak sempurna, bahkan cacat. Tapi, dia tetap menjaga semangat untuk hidup dan menghidupi orang lian. Kelemahannya itu malah dijadikan sebagai kelebihan. Cacatnya dianggap sebagai karunia.

Bapak saya, kakinya cacat selama dua tahun lebih setelah mengalami sebuah kecelakaan mobil. Tapi, selama itu pula, ia masih bisa memberi makan keluarga. Tidak sehari pun nafkah kami didapat dari belas kasih orang lain. Seratus persen dari bapak. Kok bisa, sih?

Bapak menghabiskan waktu pada tahun pertama cacatnya sambil duduk dengan membuat sangkar burung dari bambu. Hampir semuanya terjual setiap hari. Setelah berjalan, kira-kira pada tahun kedua cacatnya, dengan masih memakai tongkat, beliau malah menjual gorengan. Dalam pikiran jernih beliau, cacat bukanlah kelemahan yang sering dijadikan alasan untuk menjadi peminta-minta, tapi justru karunia-Nya yang harus disyukuri dengan kerja keras.

Saudara-saudara kita yang tidak punya tangan dan kaki yang normal, malah pandai melukis, pandai membuat sangkar burung, dan sebagainya, yang justru menjadi pekerjaan orang-orang normal. Kita yang normal sudah pernah buat apa coba?

Kalau kemampuan anda di suatu bidang kurang, kenapa tidak memikirkan bakat anda yang lain? Mungkin anda pintar di bidang seni, keagamaan, sastra, atau olahraga. Salah satu di antara semua bidang itu pasti bidang anda. Jadi, ubah cara pikir anda yang serba pesimis. Percayalah, bidang anda pasti ada!

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Nyari Identitas Diri Karangan M. Ikhsan Hal. 110-118 dengan perubahan

YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page: facebook.com/anakmuslimtaat

Isi Pikiran Sama dengan Garis Nasib Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top