Mengenal Syi'ah Rafidhah | Ilmu Islam

Rabu, 25 Desember 2013

Mengenal Syi'ah Rafidhah

Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab. Secara umum, Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Syi'ah Zaidiyyah, termasuk Syi'ah yang tidak menolak kepemimpinan tiga Khalifah sebelum Khalifah Ali bin Abu Thalib. Syi'ah adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak-nya adalah "Syiya'an" (شِيَعًا). Syī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Secara garis besarnya, sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.

Syi'ah Menyakiti Nabi Muhammad shalalallahu 'alaihi wa sallam
Ternyata Syi’ah pun menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ahlul bait. Tidak percaya? Perhatikan perkataan mereka dalam kitab mereka sendiri.

Syi’ah berkata, “‘Ali bin Abi Tholib lebih pemberani dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Nabi sendiri tidak diberikan keberanian sama sekali.” Lihat: Kitab Al Anwar An Nu’maniyyah karya Ni’matullah Al Jazairi, 1: 17.

Syi’ah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki anak perempuan selain Fatimah. Adapun Ruqoyyah, Ummu Kultsum, Zainab hanyalah anak tiri.” Lihat: Dairotul Ma’arif Al Islamiyah Asy Syi’iyah, 1: 27.

Syi’ah berkata, “Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma, ia merendahkan orang mukmin karena ia mau saja berbai’at kepada Mu’awiyah.” Lihat: Rijalul Al Kissyi karya Al Kissyi, hal. 103.

Di antara ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikafirkan adalah Al ‘Abbas. Mengenai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib ini sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menurunkan dua ayat padanya. Ayat pertama,

وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلًا

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). ” (QS. Al Isra’: 72). Dan juga firman Allah,

وَلَا يَنْفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنْصَحَ لَكُمْ

“Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu” (QS. Hud: 34). Kedua ayat ini kata Syi’ah diturunkan pada paman Nabi, Al ‘Abbas. Inilah yang disebutkan oleh Muhammad bin Al Hasan Ath Thusiy dalam dalam kitab beliau yang ma’ruf Rijalul Kissyi, hal. 127.

Akidah Sesat Syi'ah tentang Allah
Akar Rafidhah (Syi’ah) adalah dari Yahudi yang dipelopori oleh Abdullah bin Saba’ Al Yahuud. Ia mengaku-ngaku Islam dan mengklaim dirinya sebagai pengagum ahlul bait, namun ia bersikap ghuluw (berlebihan) terhadap ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Lalu ‘Ali diklaim sebagai khalifah sebenarnya sepeninggal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ‘Ali pun disikapi ekstrim sampai diangkat martabatnya hingga derajat ilahiyah atau ketuhanan. Inilah yang diakui oleh Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah sendiri dalam buku-buku mereka. Karena sikap ghuluw ini, mereka akhirnya dibakar oleh ‘Ali dan ‘Ali pun sebenarnya berlepas diri dari mereka.

Di antara akidah sesat Syi’ah tentang Allah adalah:

1. Mereka mengaku bahwa mereka tidaklah sama dengan Ahlus Sunnah dalam ilah (sesembahan), Nabi dan Imam. Mereka menyatakan bahwa Rabb yang disembah Abu Bakr dan Nabinya tidak sama dengan mereka. (Kitab Al Anwar An Ni’maniyyah, Ni’matullah Al Jazairi 2: 278)

2. Mereka memiliki keyakinan bahwa Allah tidaklah dilihat pada hari kiamat. Allah tidak disifati dengan tempat dan waktu. Bahkan mereka menyatakan bahwa siapa yang mengakui Allah turun ke langit dunia dan Allah akan dilihat oleh penduduk surga seperti mereka melihat rembulan (dengan begitu jelas) atau semacamnya, maka ia termasuk kafir. (‘Aqoidul Imamiyah, Ridho Muzhoffar, 58)

3. Mereka menyatakan bahwa pada hari ‘Arofah pada waktu zawal (matahari tergelincir ke barat), Allah akan turun ke bumi di atas unta lalu membuang kotoran (berak), lalu orang-orang yang berada di ‘Arofah di kanan dan kiri yang akan menyapu (membersihkan) kedua paha-Nya. (Kitab Al Ushul Sittah ‘Asharo, Tahqiq: Dhiyaud-din Al Mahmudi, 204)

4. Mereka meyakini bahwa menghadap kubur saat berdo’a adalah suatu kelaziman dan tidak perlu menghadap kiblat. Peziarah kubur ketika berdo’a dengan menghadap kubur, itu sendiri dianggap seperti menghadap wajah Allah dan arah demikian yang diperintahkan ketika berdo’a. (Baharul Anwar, Al Majlisi, 101: 369)

5. Mereka menyatakan bahwa nama “Aah (آه)” adalah di antara asmaul husna. Siapa yg menyebut “آه”, maka ia berarti telah beristighotsah pada Allah. (Mustadrok Al Wasail, Annuuri Ath Thobrosi, 2: 138)

6. Allah akan mengunjungi Husain bin ‘Ali, lalu akan menyalaminya dan duduk bersamanya di atas ranjang. (Shohifatul Abror, Mirza Muhammad Taqi, 2: 140)

Inilah di antara akidah sesat Syi’ah. Masih ada kesesatan lainnya semisal dalam keyakinan terhadap Al Qur’an yang ada di tengah-tengah kaum muslimin dan mencela sahabat-sahabat Nabi. Penyimpangan kaum Syi’ah di antaranya:

1-     Menganggap Al Qur’an kaum muslimin berbeda dengan Al Qur’an Syi’ah.

2-     Mencela dan menyesatkan mayoritas para sahabat Nabi.

3-   Bersikap berlebihan terhadap para imam mereka bahkan sampai beribadah pada mereka. Ada yang berkeyakinan bahwa para imam lebih mulia dari para nabi dan malaikat.

4-    Mereka mengagungkan kubur secara berlebihan dan mereka menjalani berbagai ritual kesyirikan di sana.

5-     Berdusta yang merupakan sifat munafik dijadikan keyakinan mereka yang disebut ‘taqiyyah’.

6-    Mereka menganggap para imam mereka itu ma’shum (bersih dari kesalahan)

Kesesatan Syi'ah di Hari Asyura
Di antara kelakuan sesat Rafidhah (baca: Syi’ah) adalah memukul dada, menampar pipi, memukul bahu, mengiris-ngiris kepala mereka dengan pedang sampai menumpahkan darah. Semua ini dilakukan pada hari ‘Asyura, 10 Muharram. Hal ini dilatarbelakangi karena kecintaan mereka pada Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib. Mereka sedih atas kematian Husain, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mati terbunuh.

Kenapa Kelakuan Mereka Dikatakan Sesat?

Karena setiap perkara muhdats yang tidak pernah dicontohkan dalam Islam, tentu saja sesat. Hal-hal semacam di atas jelas suatu kemungkaran dan telah dilarang oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dalam Islam tidak boleh melakukan semacam itu baik karena kematian seorang yang dianggap mulia atau kematian seorang yang syahid di jalan Allah. Kita tahu bahwa di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak di antara para sahabat yang mendapati syahid seperti Hamzah bin Abdul Muthollib (paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Tholib, ‘Abdullah bin Rowahah. Namun tidak pernah di masa beliau melakukan seperti yang dilakukan oleh Rafidhah. Law kaana khoiron, la-sabaqunaa ilaih, seandainya perkara tersebut baik, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih dahulu melakukannya.

Coba lihat pula bagaimana ketika Nabi Ya’qub ‘alaihis salam tertimpa musibah dengan hilangnya Yusuf ‘alaihis salam, apakah beliau sampai memukul-mukul dada? Apakah Nabi Ya’qub sampai menampar wajahnya sendiri? Apakah sampai ingin menumpahkan darahnya sendiri dengan mengores-ngores badan? Apakah sampai dijadikan ‘ied (perayaan) atau hari berduka seperti yang dilakukan Rafidhah? Amalan yang dilakukan Rafidhah tidak lain hanyalah warisan dari Jahiliyah, masa suram sebelum Islam. Islam dengan sangat jelas telah melarangnya.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة

“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103).

Namun lihatlah bagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah di hari ‘Asyura. Yang mereka lakukan jelas bukan ajaran Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah melakukannya. Mereka tidak pernah melakukannya ketika ada yang meninggal dunia. Padahal wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih daripada kematian Husain radhiyallahu ‘anhu.

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Setiap muslim seharusnya bersedih atas terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhu karena ia adalah sayyid-nya (penghulunya) kaum muslimin, ulamanya para sahabat dan anak dari putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Fathimah yang merupakan puteri terbaik beliau. Husain adalah seorang ahli ibadah, pemberani dan orang yang murah hati. Akan tetapi kesedihan yang ada janganlah dipertontokan seperti yang dilakukan oleh Syi’ah dengan tidak sabar dan bersedih yang semata-mata dibuat-buat dan dengan tujuan riya’ (cari pujian, tidak ikhlas). Padahal ‘Ali bin Abi Tholib lebih utama dari Husain. ‘Ali pun mati terbunuh, namun ia tidak diperlakukan dengan dibuatkan ma’tam (hari duka) sebagaimana hari kematian Husain. ‘Ali terbenuh pada hari Jum’at ketika akan pergi shalat Shubuh pada hari ke-17 Ramadhan tahun 40 H.

Begitu pula ‘Utsman, ia lebih utama daripada ‘Ali bin Abi Tholib menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. ‘Utsman terbunuh ketika ia dikepung di rumahnya pada hari tasyriq dari bulan Dzulhijjah pada tahun 36 H. Walaupun demikian, kematian ‘Utsman tidak dijadikan ma’tam (hari duka). Begitu pula ‘Umar bin Al Khottob, ia lebih utama daripada ‘Utsman dan ‘Ali. Ia mati terbunuh ketika ia sedang shalat Shubuh di mihrab ketika sedang membaca Al Qur’an. Namun, tidak ada yang mengenang hari kematian beliau dengan ma’tam (hari duka). Begitu pula Abu Bakar Ash Shiddiq, ia lebih utama daripada ‘Umar. Kematiannya tidaklah dijadikan ma’tam (hari duka).

Lebih daripada itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah sayyid (penghulu) cucu Adam di dunia dan akhirat. Allah telah mencabut nyawa beliau sebagaimana para nabi sebelumnya juga mati. Namun tidak ada pun yang menjadikan hari kematian beliau sebagai ma’tam (hari kesedihan). Kematian beliau tidaklah pernah dirayakan sebagaimana yang dirayakan pada kematin Husain seperti yang dilakukan oleh Rafidhah (baca: Syi’ah) yang jahil. Yang terbaik diucapkan ketika terjadi musibah semacam ini adalah sebagaimana diriwayatkan dari ‘Ali bin Al Husain, dari kakeknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,

ما من مسلم يصاب بمصيبة فيتذكرها وإن تقادم عهدها فيحدث لها استرجاعا إلا أعطاه الله من الأجر مثل يوم أصيب بها

“Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah, lalu ia mengenangnya dan mengucapkan kalimat istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un) melainkan Allah akan memberinya pahala semisal hari ia tertimpa musibah” Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Demikian nukilan dari Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, 8: 221.

Demikian kesesatan Syi’ah pada hari ‘Asyura. Kematian seseorang tidaklah dengan perayaan sesat seperti yang dilakukan oleh orang Syi’ah. Moga kita terlindung dari kesesatan semacam itu.

Hukum Shalat di Belakang Orang Syi'ah
Bagaimanakah hukum shalat di belakang orang Syi’ah (Rafidhah)? Apakah dibolehkan? Padahal akidah Syi’ah jelas berbeda dengan akidah seorang muslim. Syi’ah dikenal banyak melakukan ritual syirik dan sesat. Bagaimanakah ini?

Lihat pembahasan di atas tentang “Akidah Sesat Syi’ah tentang Allah” dan “Apakah Syi’ah itu Kafir?”. Dari penjelasan singkat ini saja bisa disaksikan perbedaan yang amat mencolok antara prinsip akidah Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Sehingga mana mungkin bisa disatukan kalau prinsip dasar dan pokok saja sudah berbeda?

Ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah pernah berkata, “Shalat di belakang setiap orang musyrik yang beristighotsah pada selain Allah dan meminta pada selain-Nya tidak dibolehkan. Istighotsah kepada selain Allah dengan meminta pada berhala, jin dan selainnya termasuk kesyirikan kepada Allah.” (Fatawa Syaikh Ibnu Baz, 2: 396).

Beliau rahimahullah juga berkata di tempat yang lain, “Setiap imam yang diketahui ia bertindak berlebihan terhadap Ahlul Bait (maksudnya: Syi’ah, -pen), maka tidak boleh shalat di belakangnya. Namun jika tidak diketahui keadaannya atau keadaan kaum muslimin lainnya, maka boleh shalat di belakangnya.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz, 12: 107).

Kenapa sampai tidak boleh shalat di belakang mereka? Karena kerusakan akidah dan keyakinan Rafidhah di atas. Sehingga demikianlah fatwanya. Walau ada yang mengatakan bahwa Syi’ah juga mengucapkan syahadat ‘laa ilaha illallah’. Kami jawab, ucapan saja tidak cukup disebut muslim. Karena ucapan tersebut harus dibuktikan. Karena seorang muslim ada yang melakukan pembatal keislaman seperti syirik yang membuat Islamnya batal.

Tuduhan Keji Syi'ah Terhadap Al-Qur'an dan Kaum Muslimin
Inilah salah satu akidah sesat kaum Rafidhah (baca: Syi’ah). Mereka menganggap bahwa Al Qur’an yang saat ini ada di tengah-tengah kita bukanlah Al Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rafidhah mengatakan bahwa Al Qur’an yang ada saat ini telah diubah dan diganti bahkan ada yang ditambah dan ada pula yang dikurangi. Klaim inilah yang dinyatakan oleh mayoritas ulama hadits Syi’ah yaitu Al Qur’an yang ada telah mengalami tahrif (penyelewengan) sebagaimana disebutkan oleh ulama Syi’ah sendiri, di antaranya An Nuuri At Thabarsi dalam kitabnya “Fash-lul Khitob fii Tahrif Kitab Robbil Arbab” (hal. 32).

Sekarang kita akan melihat bukti langsung dari kitab Syi’ah tentang pernyataan mereka di atas mengenai Al Qur’an yang ada di tengah-tengah kaum muslimin saat ini.

[1] Muhammad bin Ya’qub Al Kalini berkata dalam Ushulul Kaafi pada Bab “Tidak ada yang mengumpulkan seluruh Al Qur’an selain seorang imam”.

Dari Jabir, aku mendengar Abu Ja’far berkata, “Barangsiapa menganggap bahwa seseorang bisa mengumpulkan seluruh isi Al Qur’an yang Allah turunkan maka ia telah berdusta. Tidak ada yang bisa mengumpulkan dan menjaga Al Qur’an sebagaimana yang Allah turunkan selain ‘Ali bin Abi Tholib dan para imam setelahnya” (Ushulul Kaafi, Al Kulaini, 1: 228).

***

Lihatlah bagaimana orang Syi’ah menganggap bahwa Al Qur’an yang ada di tengah-tengah kita belum sempurna. Dan lihatlah bagaimana pengkultusan mereka terhadap ‘Ali yang menyatakan bahwa hanya ‘Ali bin Abi Tholib yang bisa mengumpulkan Al Qur’an. Secara langsung orang Syi’ah telah membantah firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah: 3). Ayat ini menunjukkan bahwa Islam telah sempurna, begitu pula Al Qur’an.

[2] Dari Hisyam bin Salim, dari ‘Abu ‘Abdillah ‘alaihis salam, ia berkata, “Al Qur’an yang dibawa oleh Jibril ‘alaihis salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat 17.000 ayat” (Ushulul Kaafi, Al Kulaini, 2: 634).

***

Padahal jumlah ayat Al Qur’an –yang disepakati- adalah 6200 ayat dan diperselisihkan lebihnya. Ini artinya kaum Rafidhah mengklaim bahwa Al Qur’an yang sebenarnya ada tiga kali dari Al Qur’an yang ada saat ini. Mushaf ini mereka sebut dengan mushaf Fathimah. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan mereka.

[3] Dalam kitab Minhaj Al Baro’ah Syarh Nahjul Balaghoh (2: 216) oleh Habibullah Al Khowai disebutkan, “Lafazh aali Muhammad wa aali ‘Ali (bin Abi Tholib) –keluarga Muhammad dan keluarga ‘Ali- telah terhapus dari Al Qur’an”.

***

Lihatlah pula bagaimana tuduhan keji Syi’ah sampai menyatakan bahwa Al Qur’an yang ada saat ini ada yang terhapus. Hal ini pun menunjukkan bagaimana pengkultusan mereka terhadap ‘Ali bin Abi Tholib.

[4] Kaum Syi’ah Imamiyah mengklaim bahwa dalam surat sebenarnya terdapat surat yang disebut Al Wilayah dimulai dengan ayat,

يا أيها الذين آمنوا آمنوا بالنورين

“Wahai orang-orang yang beriman kepada Nuroin”. Mereka menyatakan bahwa ‘Utsman bin ‘Affan (yang disebut Dzun Nuroin –karena mengawini dua puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-) telah menghapus surat ini. (Fashlul Khitob, An Nuuri Ath Thabarsi, hal. 18)

***

Lihatlah bagaimana sampai orang Syi’ah bersuudzon pada ‘Utsman bin ‘Affan, sahabat yang mulia yang menikahi dua puteri Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama sampai mengatakan bahwa tidak ada yang menikahi dua puteri seorang Nabi seperti halnya ‘Utsman. Hal ini saja sudah menunjukkan kemuliaan beliau radhiyallahu ‘anhu.

[5] Kaum Syi’ah diperintahkan tetap membaca Al Qur’an yang ada di tengah-tengah kaum muslimin saat ini dalam shalat dan keadaan lainnya, juga mengamalkan hukumnya sampai datang suatu zaman di mana Al Qur’an di tengah kaum muslimin akan diangkat ke langit, lalu keluarlah Al Qur’an yang ditulis oleh Amirul Mukminin, lalu Al Qur’an tersebut yang dibaca dan hukumnya diamalkan. (Al Anwar An Ni’maniyyah, Ni’matullah Al Jazairi, 2: 363)

***

Itulah taqiyyah, kedustaan yang sering dibuat kaum Syi’ah demi menarik hati kaum muslimin lainnya. Mereka yakini Al Qur’an kaum muslimin keliru dan telah diubah-ubah. Namun dalam rangka menarik hati, mereka tetap membaca dan mengamalkannya. Tetapi di akhir zaman, Al Qur’an kaum muslimin akan diganti dengan Al Qur’an imam mereka, itulah yang dibaca dan diamalkan. Taqiyyah, menghalalkan dusta, itulah di antara ajaran pokok Syi’ah.

[6] Di antara akidah menyimpang Syi’ah mengenai Al Qur’an adalah mereka melarang untuk membaca surat Yusuf karena di dalamnya berisi fitnah dan memerintahkan membaca surat An Nuur karena di dalamnya berisi nasehat. (Al Furu’ minal Kaafi, Al Kulaini, 5: 516)

***

Dalam surat An Nuur, Allah membantah orang-orang yang menuduh ‘Aisyah –istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang mulia dengan tuduhan keji yaitu berzina. Hal ini menunjukkan orang-orang Syi’ah sangat benci terhadap ‘Aisyah –puteri Abu Bakr- bahkan sebagian ulama mereka sampai mengkafirkan ‘Aisyah dan menyatakan ‘Aisyah itu di neraka. Na’udzu billahi min dzalik.

Apakah Syi'ah itu Kafir?
Perlu dipahami bahwa tidaklah semua orang yang bersaksi laa ilaha illallah (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), wa anna Muhammadar Rosulullah (bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya) disebut sebagai seorang muslim. Orang munafik pun mengaku demikian, namun itu tidak cukup. Allah Ta’ala menyifati mereka,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An Nisa’: 145). Seseorang bisa disebut bukan muslim jika ia melakukan pembatal keislaman semacam kesyirikan, kemunafikan dan mencaci maki diinul Islam.  Nah, sekarang saatnya kita meninjau golongan Rafidhah yang ma’ruf dengan Syi’ah, apakah mereka termasuk muslim?

Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya, “Kami sangat butuh penjelasan mengenai beberapa kelompok Syi’ah. Kami mohon bisa dijelaskan mengenai aqidah mereka?”

Jawaban beliau rahimahullah,

Perlu diketahui bahwa Syi’ah terdiri dari berbagai macam kelompok, tidak bisa kita menjabarkan satu per satu di waktu yang singkat ini.

Ringkasnya, di antara mereka ada yang kafir, yaitu yang menyembah ‘Ali (bin Abi Tholib) dan mereka menyembah ‘Ali. Ada juga di antara mereka yang menyembah Fatimah, Husain dan selainnya. Di antara kelompok Syi’ah ada yang berpendapat bahwa Jibril ‘alaihis salam telah berkhianat. Kata mereka, seharusnya kenabian diserahkan kepada ‘Ali dan bukan pada Muhammad. Ada juga kelompok yang disebut Imamiyyah atau dikenal dengan Rafidhah Itsna ‘Asyariyah, yaitu ‘ubad ‘Ali, di mana mereka berkata bahwa imam mereka lebih mulia dari para malaikat dan para nabi.

Syi’ah memiliki golongan yang banyak, ada yang kafir dan ada yang tidak kafir. Golongan yang kesesatannya tidak separah lainnya yaitu yang mengatakan bahwa ‘Ali lebih utama dari Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman. Keyakinan seperti ini jelas keliru dan telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan para sahabat). Akan tetapi, golongan ini tidaklah kafir. Intinya, kesesatan kelompok Syi’ah bertingkat-tingkat. Siapa saja yang ingin mengetahui secara jelas tentang mereka, silakan merujuk pada kalam para ulama semisal dalam kitab Al Khuthuth Al ‘Aridhoh karya Muhyiddin Al Khotib dan Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Buku lainnya lagi seperti Syi’ah was Sunnah karya Ihsan Ilahi Zhohir dan berbagai kita lainnya yang amat banyak yang telah mengulas kesesatan dan kejelekan mereka. Semoga Allah memberikan kita keselamatan.

Golongan yang paling sesat dari mereka di antaranya adalah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah An Nashiriyyah, yang disebut Rafidhah. Mereka bisa disebut Rafidhah (artinya: menolak) karena mereka menolak Zaid bin ‘Ali ketika Zaid menolak berlepas diri dari Abu Bakr dan ‘Umar. Lantas Rafidhah menyelisihi dan menolak Zaid.

Jika di antara orang Syi’ah ada yang mengklaim dirinya sebagai muslim, maka mereka adalah muslim. Namun perlu dibuktikan klaim mereka. Siapa saja yang beribadah pada Allah semata (tidak berbuat syirik, pen), membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman pada wahyu yang diturunkan pada beliau, ia adalah muslim. Jika ia mengklaim dirinya muslim, namun ia menyembah Husain, menyembah Fatimah, menyembah Badawi, menyembah ‘Aidarus dan selainnya, maka jelas ia bukan muslim. Kita mohon pada Allah keselamatan.

Begitu pula jika di antara  mereka ada yang mencela Islam atau meninggalkan shalat, walau ia mengatakan bahwa ia muslim, hakekatnya ia bukan muslim. Atau di antara mereka ada yang mengolok-olok Islam, mengolok-olok ajaran shalat, zakat, puasa atau mengolok-olok Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendustakan beliau, atau mengatakan bahwa beliau itu bodoh, atau menyatakan bahwa risalah Muhammad belumlah sempurna atau beliau tidak menyampaikan ajaran Islam dengan jelas, maka itu semua menunjukkan kekufuran.

Nas-alullah al ‘aafiyah, kita mohon kepada Allah keselamatan.

Kafirnya Orang yang Mencela Sahabat Nabi
Kalau kita melihat tindak tanduk Rafidhah (baca: Syi’ah), mereka tidaklah lepas dari mencela sahabat. Ulama-ulama mereka tidak segan-segan mengatakan bahwa ‘Aisyah –istri tercinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam- itu kafir dan pantas menempati neraka. Banyak literatur Syi’ah yang menyebutkan ajaran demikian, bukan hanya satu atau dua pernyataan, bahkan sudah menjadi ajaran pokok mereka. Tulisan kali ini akan menunjukkan bagaimana pujian Allah pada mereka, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Juga akan dijelaskan pula mengenai kafirnya orang yang mencela sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sifat mulia para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, termaktub dalam ayat berikut setelah Allah memuji Rasul-Nya yang mulia. Allah Ta’ala berfirman,

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Fath: 29).

Mula-mula ayat ini berisi pujian Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak disangsikan lagi adalah benar. Lalu beliau dipuji sebagai utusan Allah, di mana pujian ini mencakup semua sifat yang mulia. Kemudian setelah itu, barulah datang pujian kepada sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa saja pujian bagi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Pertama: Mereka keras terhadap orang kafir namun begitu penyayang terhadap sesama mereka yang beriman sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas,

وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”

Pujian seperti itu terdapat pula dalam ayat lainnya,

فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir” (QS. Al Maidah: 54).

Inilah sifat yang semestinya dimiliki oleh orang beriman. Mereka keras dan berlepas diri dari orang kafir dan mereka berbuat baik terhadap orang-orang beriman. Mereka bermuka masam di depan orang kafir dan bermuka ceria di hadapan saudara mereka yang beriman. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa” (QS. At Taubah: 123).

Dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam” (HR. Muslim no. 2586).

Dari Abu Musa, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan satu dan lainnya” (HR. Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2585).

Kedua: Para sahabat nabi adalah orang yang gemar beramal sholeh, juga memperbanyak shalat dan shalat adalah sebaik-baik amalan

Ketiga: Mereka dikenal ikhlas dalam beramal dan selalu mengharapkan pahala di sisi Allah, yaitu balasan surga.

Kedua sifat ini disebutkan dalam ayat di atas,

تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا

“Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”

Keempat: Mereka terkenal khusyu’ dan tawadhu’. Itulah yang disebutkan dalam ayat,

سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”.

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tanda yang baik. Mujahid dan ulama tafsir lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah khusyu’ dan tawadhu’.

Ulama pakar tafsir lainnya, yaitu As Sudi berkata bahwa yang dimaksud adalah shalat telah membaguskan wajah mereka.

Sebagian salaf berkata,

من كثرت صلاته بالليل حسن وجهه بالنهار

“Siapa yang banyak shalatnya di malam hari, maka akan berserilah wajahnya di siang hari.”

Sebagian mereka pula berkata,

إن للحسنة نورا في القلب، وضياء في الوجه، وسعة في الرزق، ومحبة في قلوب الناس.

“Setiap kebaikan akan memancarkan cahaya di hati dan menampakkan sinar di wajah, begitu pula akan melampangkan rizki dan semakin membuat hati manusia tertarik padanya.”

Karena baiknya hati, hal itu akan dibuktikan dalam amalan lahiriyah. Sebagaimana kata ‘Umar bin Al Khottob,

من أصلح سريرته أصلح الله علانيته.

“Siapa yang baik hatinya, maka Allah pun akan memperbaiki lahiriyahnya.”

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum, niat mereka dan amal baik mereka adalah murni hanya untuk Allah. Sehingga siapa saja yang memandang mereka, maka akan terheran dengan tanda kebaikan dan jalan hidup mereka. Demikian kata Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya.

Kelima: Para sahabat dipuji oleh umat sebelum Islam dan mereka adalah sebaik-baik umat.

Imam Malik rahimahullah berkata bahwa telah sampai pada beliau, jika kaum Nashoro melihat para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menaklukkan Syam, mereka berkata, “Demi Allah, mereka sungguh lebih baik dari Hawariyyin (pengikut setia Nabi ‘Isa ‘alaihis salam), sebagaimana yang sampai pada kami.” Kaum Nashrani telah membenarkan hal ini. Ini menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang dalam anggapan umat-umat sebelum Islam sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka. Dan umat Islam yang paling mulia dan utama adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu dalam ayat yang kita bahas di atas disebutkan,

ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ

“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya.”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Demikianlah sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menguatkan, mendukung dan menolong Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga mereka selalu bersamanya sebagaimana tunas yang selalu menyertai tanaman”. Tunas itulah ibarat para sahabat dan tanaman itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panutan mereka.

Syi'ah Mengkafirkan Orang yang tidak Mengikuti Imam Mereka
Imamah menurut ulama Syi’ah adalah kepemimpinan spiritual atau rohani, pendidikan, agama dan politik bagi umat Islam telah ditentukan Allah secara turun-temurun (theo monarchi) sampai imam ke-12. Menurut Syi’ah, siapa saja yang tidak mengimani imamah mereka, maka ia kafir. Maka jangan heran jika Syi’ah tidak pernah akur dengan golongan Sunni.

Syi’ah berkata dalam kitab mereka, “Siapa saja yang tidak mengimani imamah, imannya tidaklah sempurna sampai ia beriman kepada imamah dan beri’tiqod padanya.” Lihat dalam kitab Syi’ah: ‘Aqoidul Imamah karya Muhammad Ridho, hal. 78.

Syi’ah berkata, “Imamah adalah kelanjutan dari kenabian. Wajib rasul dan nabi itu diutus. Setelah rasul, wajib mengimani imamah.” Lihat dalam kitab Syi’ah: ‘Aqoidul Imamah karya Muhammad Ridho, hal. 88.

Syi’ah berkata, “Yang dimaksud imamah adalah penunjukkan ilahiyah yang telah Allah pilih dengan ilmu Allah yang telah lebih dulu ada. Penunjukkan imamah ini sebagaimana pengangkatan nabi. Nabi memerintah untuk mengangkat imamah setelah beliau wafat dan beliau memerintahkan untuk mengikutinya.” Lihat dalam kitab Syi’ah: Ashlusy Syi’ah wa Ushuluhaa karya Muhammad Husain, hal. 102.

Syi’ah berkata, “Siapa saja yang menantang imamah amirul mukminin ‘Ali bin Abi Tholib dan imam setelah itu, maka itu sama halnya dengan menentang kenabian. Siapa saja yang menetapkan amirul mukminin dan ia mengingkari satu imam saja, maka itu sama halnya dengan mengimani seluruh Nabi dan mengingkari kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Dilanjutkan pula, “Siapa saja yang menentang imamah yaitu salah satu dari imam 12, maka itu sama saja menentang salah satu nabi dari seluruh nabi yang diutus.” Lihat Minhajun Najah karya Al Faidh Al Kasyani, hal. 48.

Syi’ah berkata tegas tentang kafirnya orang yang tidak mengimani imamah mereka. Mereka berkata, “Para imam bersepakat bahwa siapa saja yang mengingkari imamah salah satu imam lalu ia menentang yang Allah wajibkan untuk taat pada imamah, maka ia kafir dan sesat serta pantas kekal dalam neraka.” Lihat kitab Haqqul Yaqin fi Ma’rifati Ushulud Diin karya ‘Abdullah Syibr, 2: 189.

Sama halnya juga mereka berkata, “Lafazh syirik dan kufur disematkan pada orang yang tidak meyakini kepemimpinan amirul mukminin dan imamah dari orang tuanya, lalu mengutakan imam yang lain. Mereka-mereka ini kekal dalam neraka.” Lihat kitab Biharul Anwar, karya Al Majlisi, 23: 390.

Di antara dalil yang dijadikan doktrin imamah Syi’ah adalah hadits Jabir bin Samurah, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَكُونُ اثْنَا عَشَرَ أَمِيرًا فَقَالَ كَلِمَةً لَمْ أَسْمَعْهَا فَقَالَ أَبِي إِنَّهُ قَالَ كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ

“Akan ada 12 amir atau pemimpin.” Lalu beliau mengatakan sesuatu yang tidak aku dengar. Kata ayahku beliau bersabda, “Semuanya dari Quraisy.” (HR. Bukhari no. 7222)

Dalam Shahih Muslim redaksinya sebagai berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ دَخَلْتُ مَعَ أَبِى عَلَى النَّبِىِّ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ إِنَّ هَذَا الأَمْرَ لاَ يَنْقَضِى حَتَّى يَمْضِىَ فِيهِمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً. قَالَ ثُمَّ تَكَلَّمَ بِكَلاَمٍ خَفِىَ عَلَىَّ فَقُلْتُ لأَبِى مَا قَالَ قَالَ كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ

Jabir ibn Samurah berkata: Aku bersama ayahku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar beliau bersabda, “Sungguh urusan ini tidak akan berakhir sampai berlalu di tengah-tengah umat 12 khalifah.” Kemudian beliau mengatakan sesuatu yang tidak terdengar olehku. Aku bertanya kepada ayahku, “Apa yang beliau katakan?” Kata beliau, “Semuanya dari Quraisy.” (HR. Muslim no. 1821)

Dalam riwayat Abu Daud disebutkan,

لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّينُ قَائِمًا حَتَّى يَكُونَ عَلَيْكُمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً كُلُّهُمْ تَجْتَمِعُ عَلَيْهِ الأُمَّةُ

“Agama ini akan senantiasa tegak sampai ada 12 khalifah yang kesemuanya disepakati oleh umat -semuanya dari Quraisy-.” (HR. Abu Daud no. 4279)

Ke-12 imam yang dimaksud Syi’ah adalah

1- Ali ibn Abi Thalib,

2- Husain,

3- ‘Ali Zainal ‘Abidin,

4- Muhammad Al-Baqir,

5- Ja’far As-Shadiq,

6- Musa Al-Kazhim,

7- ‘Ali Ar-Ridla,

8- Muhammad Al-Jawwad,

9- ‘Ali Al-Hadi,

10- Hasan Al-‘Askari,

11- Muhammad al-Muntazhar yang wafat di usia 8 tahun.

Sesudah itu, imamah dilanjutkan oleh para wakilnya, yakni para wali/mullah/faqih (wilayatul-faqih) yang mengikuti madzhab Ahlul-Bait versi Syi’ah sampai datangnya imam ke-12 yakni imam mahdi (Lihat Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1998).

Sanggahan Klaim Imamah
Yang diklaim oleh Syi’ah sebagai imamah ternyata tidak disepakati oleh para ulama. Dan menurut Syi’ah, agama Islam itu belum tegak pada zaman Abu Bakr dan ‘Utsman. Apa yang mereka klaim sungguh berbeda dengan realita. Ditambah lagi sudah ditegaskan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu generasi sesudahnya.

Al Qodhi ‘Iyadh berkata, “Boleh jadi yang dimaksud 12 khalifah adalah saat Islam mengalami kejayaan dan khilafah ini disepakati. Karena dalam riwayat lain dikuatkan dengan lafazh,  ”Mereka semua disepakati oleh umat.” (Lihat Fathul Bari, 13: 212 )

Imam Nawawi membawakan perkataan Al Qodhi ‘Iyadh. Dalam memahami hadits di atas, ada dua pertanyaan yang muncul. Pertama, dalam hadits lain terdapat lafazh, “Khilafah setelahku selama 30 tahun, lalu tibalah setelah itu raja.” Hadits ini bertentangan dengan hadits 12 khalifah. Dalam kurun 30 tahun tersebut hanyalah terdapat empat khulafaur rosyidin yang empat dan yang paling masyhur dibai’at setelah itu adalah Al Hasan bin ‘Ali. Bisa dijawab dengan dikatakan bahwa khilafah 30 tahun adalah khilafah setelah kenabian. Karena dalam sebagian riwayat disebutkan, “Khilafah kenabian setelahku adalah 30 tahun dan setelah itu dipimpin oleh raja.” Di sini tidak disyaratkan mesti melewati 12 khalifah.

Pertanyaan kedua, boleh jadi kepemimpinan setelah itu lebih dari 12. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengatakan, setelah itu hanya ada 12 imam. Namun beliau berkata bahwa setelah beliau ada 12 imam, boleh jadi lebih dari jumlah tersebut. Boleh jadi pula yang dimaksud adalah 12 imam yang adil. Dua belas imam bisa jadi sudah terlewat. Dan jumlah 12 imam ini akan sempurna sebelum hari kiamat datang. Lihat Syarh Shahih Muslim, 12: 176.

Penjelasan yang dinukil di atas menunjukkan bahwa para ulama tidaklah menentukan siapakah 12 imam tersebut. Berbeda halnya dengan Syi’ah. Dua belas imam yang mereka klaim pun belum disepakati oleh ulama lainnya. Jadi, itu hanya klaim dari Syi’ah saja.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan 12 imam tersebut, beliau tidak merincinya, sehingga kita pun tidak perlu memberikan rincian. Yang paling pokok, tidak jadi akidah kemestian mengikuti imam Syi’ah. Mereka pun tidak boleh seenaknya mengkafirkan.

Hanya Allah yang memberi taufik pada kebenaran.

Syi'ah Mencela Aisyah (Istri Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam)
Syi’ah ternyata bersikap keterlaluan terhadap ibunda kaum mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, tega-teganya mereka menuduh ‘Aisyah berzina bahkan sampai mengkafirkan. Berikut beberapa buktinya dari referensi Syi’ah.

Syi’ah berkata, “Sesungguhnya istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu kafir sebagaimana istri Nabi Nuh dan Nabi Luth yang juga kafir.”

Yang dimaksud secara khusus dengan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Demikian disebutkan dalam kitab mereka, Haditsul Ifik karya Ja’far Murtadho, hal. 17.

Syi’ah juga berkata, “‘Aisyah sebenarnya telah murtad sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana murtadnya Al Jamm Al Ghofir dari kalangan sahabat.” Lihat Kitab Asy Syahaab fii Bayani Ma’nan Naashib karya Yusuf Al Bahroni, hal. 236.

Syi’ah berkata pula, “Aisyah telah mengumpulkan 40 dinar sebagai uang khianat di mana ia menyalurkannya untuk usaha memusuhi ‘Ali (bin Abi Tholib) radhiyallahu ‘anhu.” Lihat Kitab Masyariq Anwaril Yaqin karya Rajab Al Barsi, hal. 86.

Syi’ah mencela ‘Aisyah dengan mengatakan, “Sesungguhnya Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah melakukan perbuatan zina, wal ‘iyadzu billah. Dalam ayat disebutkan,

أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ

“Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu).” (QS. An Nur: 26). Maksud mereka -orang Syi’ah- dengan ayat ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibersihkan dari zina bukan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Lihat Kitab Ash Shirothol Mustaqim karya Zainuddin An Nabathi Al Bayadhi, 3: 165.

Apa yang dituduhkan Syi’ah telah terjawab pada ayat yang sama,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). ” (QS. An Nur: 26).

Ibnu Katsir secara tidak langsung membantah perkataan Syi’ah,

ما كان الله ليجعل عائشة زوجة لرسول الله صلى الله عليه وسلم إلا وهي طيبة؛ لأنه أطيب من كل طيب من البشر، ولو كانت خبيثة لما صلحت له، لا شرعا ولا قدرا

“Allah tidak mungkin menjadikan ‘Aisyah sebagai istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali jika ia adalah istri yang thoyyib (yang baik). Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik manusia. Seandainya ‘Aisyah selaku istrinya adalah khobits (jelek), maka tentu ia tidak pantas untuk Rasul secara syar’i maupun qodari.” Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 516.

Semoga Allah menyelamatkan kita dari kesesatan Syi’ah.

Sumber: rumaysho dan wikipedia

YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page: facebook.com/anakmuslimtaat

Mengenal Syi'ah Rafidhah Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top