“Bukanlah orang kuat yang menang dalam bergulat”
(H.R Muslim)
Tahu kan tayangan Smackdown yang dulu sempat disiarkan oleh salah satu channelTV kita? Itu lho duel para jago gulat yang tubuhnya kekar-kekar, dan ditayangkan rutin tiap malam Sabtu. Tayangan adu gulat yang digarap penuh trik, humor, plus adegan sewot bohong-bohongan itu sukses menarik perhatian pemirsa. Terbukti, dimana-mana ada Smackdown-mania. Di dalam studionya saja bisa terlihat penontonnya berjubel, sementara itu jumlah pemirsanya di layar kaca juga tidak sedikit.
Yang mengejutkan, acara ini ternyata banyak diminati anak-anak dan remaja. Seperti yang terlihat di layar kaca, remaja dan anak-anak itu berjubel nonton di pinggir arena memberikan semangat pada jagoan mereka. Di tanah air juga serupa, penggemar acara hiburan ini kebanyakan adalah anak-anak dan remaja.
Tapi, meski bohong-bohongan, Smackdown sebenarnya memberikan pelajaran yang tidak baik bagi remaja dan anak-anak. Bayangkan saja, sudah yang berantem tubuhnya gede-gede, malah ada yang rambutnya gimbal bin gondrong, badannya bertato, eh berantemnya “brutal.” Tangan, kaki, kepala, dan badan demuanya dipakai untuk menyerang dan mempertahankan diri. Parahnya, pertandingan itu “memubahkan” pula pakai alat-alat berat. Lebih senewen lagi, duelnya bisa di luar ring. Bahkan, teman-temannya boleh ikutan nimpukin.
Itu memang hiburan, tapi nuansa kekerasannya tetap kental. Pengaruhnya tetap ada bagi pemirsa. Salah-salah anak-anak bisa menapaktilasi adegan tersebut. Namanya juga anak-anak, mana tahu yang bahaya dan yang tidak. Dan tidak hanya di layar televisi, Smackdown-mania kini juga melanda mesin Playstation. Di rental-rental Playstation, game ini lumayan digemari para gamers, selain game Pro Evolution Soccer.
Budaya Kekerasan ala Televisi
Sebetulnya pola kekerasan yang “diajarkan” televisi sudah tak terhitung jumlahnya, bisa lewat film kartun, lalu film dewasa yang kental dengan violence, dan seabrek tayangan lainnya yang menyisipkan kekerasan. Lihat saja di TinyToon, adegan ketembak, digebuk, meledak sampai ketiban bongkahan batu sudah lumrah ada.
Jadi, tayangan televisi memang sangat berpengaruh pada perkembangan penontonnya, apalagi usia penonton yang masih tergolong anak-anak dan remaja. Yang harus diakui bahwa mereka lebih mudah tergoda untuk melakukan hal-hal yang ada di televisi. Motifnya bisa beragam, mungkin ada yang cuma iseng alias mencoba-coba, ada juga yang lebih ke arah penyaluran untuk memenuhi pencarian jati dirinya. Malah tak mustahil bila ada yang betul-betul terobsesi menjadi seperti pelakunya dalam tayangan tersebut. Bila dibiarkan, wuah, bahaya besar, Bung!
Smackdown memang tidak sendirian mengajarkan kekerasan bagi penontonnya. Tapi, mungkin ikut menambah daftar panjang sebagai “teladan” yang jelek bagi pemirsanya dalam soal mengajari kekerasan.
Mengapa Diekspos?
Mengapa kekerasan menjadi menu pilihan yang ditayangkan di TV? Tak bisa dipungkiri, persaingan penyelenggara siaran di layar kaca dalam memperebutkan kue iklan yang makin terbatas sangatlah ketat. Demikian pula dengan pengiklanan suatu mata acara. Dengan durasi terbatas, kail yang dilemparkan ke pemirsa harus bisa menohok langsung ke benak. Dan, acara yang laris dijual adalah kekerasan, selain pornografi.
Coba, kalau rajin memperhatikan iklan cuplikan tayangan film, tentu unsur seks dan kekerasan itu besar porsinya. Apalagi dalam film laga yang memang menjual seputar kekerasan. Ambil contoh film The Raid: Redemption, salah satu film Indonesia yang sukses menembus pasar internasional. Kekerasan dan sadisme dapat kita saksikan dari awal hingga akhir film itu.
Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Coba anak mana sih yang tidak betah nonton serial Power Rangers? Diduga, selain menghibur, yang terutama bikin “kecanduan” ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu adegan apa yang akan terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan membosankan. Nah, yang diekspos dalam acara Smackdown kan serupa, iya kan? Banyaknya adegan yang menegangkan dan sulit terduga, itulah yang membuat para remaja dan adik-adiknya yang masih di TK sekalipun merasa betah menonton tayangan tersebut.
“Lucunya”, dalam film apapun baik yang namanya “jagoan” atau “penjahat” sama-sama melakukan tindak kekerasan. Sama-sama membunuh. Akhirnya, nilai-nilai kebaikan yang hendak diajarkan menjadi kabur. Mana sih yang pembela kebenaran, jagoan atau penjahat?
Sebuah survei pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orangtua yang memiliki anak umur 2-17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi.
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat surveri itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika Selatan siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Peneltian Centerwall dari 1975-1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%. Padahal antara 1945-1974, tingkat pembunuhan justru menurun (Kompas, 20-3-1995).
Tapi anehnya, pengusaha televisi seperti tidak mengacuhkan data-data survei tersebut. Gawat, kan? Ya, kelihatannya show must go on, tuh!Tapi kalau ditanya mengapa film-film laga itu tetap diproduksi, jawabannya adalah faktor uang. Karena tayangan-tayangan itu terbukti mampu menyedot iklan, dengan pertimbangan masyarakat menyukai tayangan tersebut.
Cegah dan Tangkal
Tayangan televisi yang mengekspos kebrutalan dan kesadisan telah banyak berpengaruh bagi perkembangan penontonnya. Tentu saja kawan, ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus segera dihentikan. Bila tidak? Jangan heran bila akan lahir generasi preman di masa depan. Ih, naudzubillah min dzalik!
Tayangan duel bebas gaya Smackdown semakin menambah daftar panjang tayangan bernuansa kekerasan. Tidak bisa ditutup-tutupi lagi bahwa tayangan tersebut memang sangat berpengaruh kepada penontonnya. Kalau ternyata kemudian banyak anak-anak yang mengekspresikan lebih jauh, yakni dlaam kehidupan nyata, itu juga tidak mustahil. Buktinya seperti kasus Eric Harris dan Dylan Klebold di Amrik, dua bocah yang nekat menembakkan senjatanya ke teman dan gurunya gara-gara kecanduan video game. Nah kalau ini tak dicegah, bisa saja terajdi disini. Siapa tahu?
Bagaimana kalau ada yang sampai nekat membunuh gara-gara sudah nonton Smackdown? Itu tetap jadi persoalan, bila anak itu sudah masuk kategori akil baligh maka akan dihukum. Islam, sebagai sebuah ideologi tentu saja memiliki jawaban atas problem-problem masyarakat termasuk masalah ini.
Suatu ketika seorang Yahudi di masa Nabi S.A.W memukul seorang jariyah‘budah wanita’ di antara dua batu hingga tewas. Ketika kabar ini sampai ke telinga Rasulullah S.A.W, beliau segera mengadili Yahudi tersebut dan menghukumnya dengan perbuatan yang serupa. Riwayat ini menajdi bukti sejarah bahwa nyawa dalam Islam sangat dijunjung tinggi. Dalam riwayat lain Rasulullah S.A.W bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim kecuali tiga hal; pezina muhsan, seseorang atas seseorang (pembunuh), orang murtad dan memisahkan diri dari jamaah (pemberontak).”
Nah, kalau ada remaja yang tega menyerang temannya hingga tewas persis seperti dalam duel bebas gaya Smackdown atau seperti tayangan film laga lainnya di televisi, maka dalam pandangan Islam remaja tersebut akan dikenakan hukum qishash. Ya, dibunuh lagi! Kejam? Tentu tidak! Sebab, hukum Islam itu bersifat jawazir dan jawabir. Jawazir artinya hukum Islam bersifat preventif, mencegah terjadinya peluang-peluang kemaksiatan dan kejahatan. Jadi, anda perhatikan sendiri bahwa perbuatan jahat, apapun bentuknya, selalu diawali dengan adanya celah-celah. Dalam kasus tadi, peluang bisa muncul dari berbagai sisi. Bisa karena pengaruh bacaan, tontonan, atau sanksi yang dirasa terlalu ringan.
Kemudian hukum Islam juga bersifat jawabir. Artinya, hukum Islam kalau diterapkan di dunia, bekal menghapus azab Allah di akhirat kelak. Sabda Nabi S.A.W,
“Ba’iatlah aku untuk tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina. (Kemudian Rasulullah S.A.W membacakan seluruh ayat). ‘Barangsiapa di antara kalian menepati, maka Allah akan membalas (dengan pahala); barangsiapa yang melakukan hal-hal itu, maka akan diberi hukuman (uqubat) sebagai kafarat (penebus) baginya; dan barangsiapa melakukan hal-hal itu, kemudian Allah menutupinya, maka Allah akan mengampuninya jika menghendaki, dan mengazabnya jika Dia menghendaki.” (al-Hadist)
Nah, diakui atau tidak, hanya Islam agama yang mengurus masalah dari yang “sepele” hingga yang berat. Memang hanya Islam dalam harga dan harkat manusia dijunjung tinggi. Nyawa diukur lagi dengan nyawa. Darah dengan darah. Harta dengan harta. Inilah keadilan yang sesungguhnya!
Firman Allah,
“Barangsiapa membunuh manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia membunuh manusia semuanya...” (al-Maa’idah:32)
Jadi, tayangan Smackdown memang berbahaya, daripada anda terus-terusan dicekoki dengan “teladan” yang rusak, lebih baik anda pelajari Islam dengan baik. Ya, Islam sebagai sebuah ideologi.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Jangan Jadi Bebek karangan O. Solihin Hal. 35-42 dengan perubahan
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page: facebook.com/anakmuslimtaat