Kata Rasulullah S.A.W, generasi sebelum kita telah dihancurkan karena mereka gagal menghukum pencuri-pencuri kelas kakap, yaitu para penguasa korup. Dan sebaliknya, mereka kejam sekali dengan pencopet kecil. Saat ini, banyak sekali peristiwa penyiksaan terhadap maling kelas teri, baik oleh aparat maupun masyarakat sendiri. Sementara maling kelas kakap, alias para perampok uang bangsa, dibiarkan beroperasi dan bebas menikmati hasil curiannya. Sudah jadi rahasia umum rasanya.
Saya pernah melihat adegan paling mengerikan sepanjang hidup. Ada seorang pemuda yang mencuri dua ekor ayam dan tertangkap basah. Mula-mula tangannya diikat, lehernya dikalungi ban mobil bekas, lalu tubuhnya disiram bensin, dan... whusss..., dia dibakar. Masya Allah! Tubuhnya musnah hanya karena mencuri dua ekor ayam.
Anda tidak usah ingin tahu lebih dekat peristiwa seperti itu. Yang jelas, perilaku orang-orang di negeri ini sudah banyak yang gila. Anda juga tidak perlu berpikir begini, “Kalau yang nyuri dua ekor ayam saja sampai hangus, yang nyuri uang negara dua triliun harusnya dapat apa ya?” Itu namanya dendam. Konyol juga karena dendam itu tidak ada yang taat aturan. Sama kayak membakar maling tadi.
Selain melihat kisah-kisah mengerikan lainnya, bagi-bagi juga pikiran anda untuk melihat ke sekitar. Coba anda hitung, betapa banyak orang-orang miskin di sekitar lingkungan anda tinggal. Kalau semuanya dihitung, ada berapa juta orang yang nasib hidupnya tidak sebaik nasib anda. Mereka yang mencari nafkah sebisa mungkin, menjadi kuli bangunan menguras tenaga di tengah teriknya matahari siang, menjadi tukang sol sepatu keliling dari rumah ke rumah, tukang es cendol yang menahan haus dan lapar untuk mencari pelanggan. Coba kita bayangkan kalau kita jadi mereka. Tahan tidak, ya?
Andai dalam kemiskinan itu mereka didatangi oleh kita yang mampu, mereka pasti senang sekali. Jika datang seseorang yang mau mengulurkan perhatian, ingin tahu keadaan mereka, apalagi membeli jualan atau menggunakan jasa mereka, pasti mereka senang. Meskipun anda hanya membeli sedikit saja barang dagangan atau menggunakan jasa mereka, bagi mereka itu adalah sesuatu yang berharga.
Sekarang, coba kita berkunjung ke penjara. Atau, paling tidak, anda lihat berita-berita di televisi yang ada sangkut-pautnya dengan penjara, dimana banyak yang dapat hukuman penjara hanya karena kejahatan kecil yang mereka lakukan. Jangan dulu memandang mereka sebagai orang yang sudah tidak berdaya menerima nasib, tidak hanya nasib sebagai orang miskin, tapi juga nasibnya sebagai orang yang dicap jutaan orang lain—melalui siaran televisi, misalnya—sebagai penjahat.
Ambillah contoh orang miskin yang tertangkap basah sedang mencuri. Mereka pencuri? Benarkah mereka mencuri semata-mata lantaran ingin mencuri? Sementara di sel tahanan mereka sudah kadung disiksa polisi, ditendang, dipukul, diludahi, bahkan ditelanjangi. Mencuri memang perbuatan tidak baik. Mencuri itu dosa. Tapi, sekali lagi, apakah mereka yang mencuri itu semuanya mencuri semata-mata karena ingin berbuat dosa?
Banyak alasan kenapa manusia jadi maling. Sebagian orang mencuri lantaran kebiasaan yang tidak bisa dilepaskan. Dia punya penyakit kejiwaan atau penyakit psikologis yang bernama kleptomania. Kalau tidak mencuri, batinnya tertekan. Pejabat negara kita sepertinya banyak yang mengidap penyakit kleptomania ini. Karena kalau mereka tidak mencuri, mereka merasa kurang sreg jadi pejabat. Banyak pejabat yang kalau tidak mencuri, ya... korupsi atau memanipulasi. Sebagian rajin sekali mencuri untuk modal foya-foya. Sebagian lagi mencuri karena dalam dirinya ada sifat serakah dan ingin dapat uang dengan cara apapun, meski harus mencuri atau memalak. Kita bisa lihat orang-orang seperti ini menjadi preman-preman di jalanan yang suka malakin orang, atau preman yang berkedok sebagai pengamen di angkutan umum. Pura-pura ngamen, tapi disertai kata-kata intimidasi agar para penumpang memberikan uang kepadanya.
Tapi, sebagian lagi mencuri karena desakan kebutuhan. Bayangkan, kalau seseorang punya tujuh anak, istri hampir melahirkan anak yang kedelapan, rumah gubuknya sudah reyot, mencari kerja yang agak benar sulitnya minta ampun, sementara anak dan istrinya masing-masing punya kebutuhan mendesak, minjam kesana kemari sudah tidak ada lagi orang yang percaya. Dia hanya ingin mencuri seekor ayam untuk beli beras besok hari. Satu ekor saja! Mencuri bagi dia adalah suatu perbuatan yang sulit dilakukan karena selain tidak bisa, di dadanya juga masih punya iman. Sekali dia coba mencuri, hasilnya? Kalau tidak hangus tanpa sisa dibakar massa, polisi plus serombongan wartawan datang menangkap dan menyiarkannya ke seluruh negeri.
Bagi pejabat negara, wong cilik alias orang kecil tidak pernah dianggap sebagai aktor utama dalam kehidupan. Hidupnya seolah digariskan hanya sebagai aktor pembantu. Bagi saya aktor adalah aktor. Dalam teater di kampus saya, saya selalu bilang agar tidak usah ada istilah aktor utama dan aktor pembantu. Sebagai aktor, mereka seharusnya tidak perlu dibeda-bedakan, apalagi yang satu dianggap yang lebih rendah daripada yang lain. Kalau hidup kita anggap sebagai sebuah pentas teater, biarkan semuanya bebas menjadi aktor, jangan dibeda-bedakaan dan jangan disia-siakan.
Berkhidmat terhadap sesama itu artinya juga benar-benar menghayati dan meresapi apa yang dirasakan orang lain, terutama orang kecil dan juga orang-orang yang sedang menderita. Mereka pun aktor. Anda berusaha sebisa mungkin “menjadi” mereka, merasakan benar-benar apa yang mereka rasakan, apa yang mereka butuhkan, dan alasan apa yang melatarbelakangi perbuatan-perbuatan mereka. Bahasa sekolahnya: empati.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Nyari Identitas Diri Karangan M. Ikhsan Hal. 168-173 dengan perubahan