Alkisah, tentangga baik seorang Muslim adalah seorang Kristen. Suaru hari, si Kristen membagi kuah ayam kepada si Muslim, hasil sembelihan si Kristen sendiri. Si Muslim menolak memakai cara yang menurut pandangannya sangat halus. Tapi sehalus apa pun, ternyata menolak tetap saja menolak. Perasaan si Kristen tetangganya itu jadi tidak enak. Si Kristen yang tidak tahu apa-apa soal Fiqih Islam itu tahunya cuma berpikir, “Kok, begitu banget sih perlakuannya, padahal selama ini kita sangat akrab. Saya tidak menyangka pemberian saya bakal ditolak kayak gini.”
Banyak peristiwa lain yang lebih hebat, lebih besar, dan menggemparkan. Gelegar dahysat menimpa Bali dan Jakarta, dua ratus nyawa lebih meregang terpanggang. Ada yang dibakar di sebuah kereta di India, 58 orang hangus tanpa sisa. Ada dua gedung yang menyimpan ribuan nyawa, dihancurkan dua pesawat tidak dikenal. Bagi yang pernah pergi ke Cechnya, setiap hari mungkin akan melihat bagaimana saudara-saudara kita disana dieksekusi, disiksa, diperkosa, dan seterusnya. Di Palestina, banyak anak yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Mereka harus benar-benar berani menghadapi pasukan bersenjata lengkap, sementara mereka cuma pakai batu. Intifadhah. Di Aceh, banyak orang yang menahan air mata melihat mayat-mayat teman, ustadz, suami, atau ayah mereka dikubur bareng dalam satu lubang. Di Ambon, banyak yang harus tabah karena pembantaian dan pembunuhan. Di Filipina Selatan, ada sekelompok orang yang terus-menerus ditindas sepanjang tahun, hak-hak manusiawinya dicabut dan perlakuan terhadapnya sangat buruk. Di Rusia, ada Muslim yang harus kuat berada di kamar sempit penjara hanya karena mereka melaksanakan shalat.
Ada yang bilang karena ajaran agama, ada yang bilang karena kekuasaan alias politik, ada yang bilang karena gengsi kesukuan, ada juga yang bilang karena kebutuhan, dan sebagainya. Tapi yang paling jelas, tidak ada manusia waras manapun yang bilang kalau pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, atau penculikan itu perbuatan baik. Iya kan? Semuanya bentuk-bentuk kebiadaban.
Sekarang saya ingin berkata kalau saya kurang setuju dengan pendapat pertama, yang bilang semua kebiadaban itu karena ajaran agama. Tidak ada agama yang mengajarkan manusia berbuat tidak benar, apalagi Islam yang rahmatan lil ‘alamin itu. Kalau kebiadaban itu terjadi karena ajaran agama, sekali lagi, saya kurang setuju. Tapi kalau kebiadaban itu karena pemahaman manusianya dengan ajaran agama, saya masih setuju. Jadi, yang salah itu manusianya, bukan agamanya. Makanya, pantas kalau kebiadaban itu juga ada yang dilakukan oleh sebagian orang Islam. Bukan lantaran Islam adalah agama yang mengajari pembunuhan, tapi karena ada orang-orang yang pemahamannya dangkal, yang menganggap Islam itu agama pembunuh. Mereka sangat bangga melakukan kebiadaban, pakai dalil-dalil Al-Qur’an lagi. Menurut pandangan mereka, Al-Qur’an itu menyimpan 28 ayat yang menyuruh berperang (saya dengar hal ini di televisi, saat sidang Imam Samudra, salah seorang tertuduh pelaku Bom Bali). Tetapi mereka lupa satu hal: ayat yang membicarakan peperangan jumlahnya 28, sisanya—maksudnya yang membicarakan tentang kasih sayang dan saling menjaga nyawa—ada berapa? Mereka beraninya menjumlahkan, tapi tidak membandingkan. Belum lagi kalau kita telaah ayat tentang perang itu diturunkan Allah untuk apa. Mereka salah memahami ayat itu, padahal ayat-ayat yang membicarakan tentang perintah berperang itu Allah turunkan pada saat umat Muslim disiksa oleh kaum kafir dengan penganiayaan, perampasan harta, pembunuhan, dan sebagainya. Oleh karena itulah, umat Muslim diperintahkan Allah untuk membela diri dengan cara berperang melawan mereka. Hal ini bertujuan untuk melindungi keluarga-keluarga umat Muslim, anak-anak, serta istri-istri mereka dari ancaman kaum kafir.
Suatu ketika Rasulullah Muhammad S.A.W sedang duduk-duduk bersama sahabat-sahabatnya. Serombongan orang Yahudi datang sambil mengusung jenazah menuju kuburan. Tiba-tiba Nabi berdiri menghormat dan—tentu saja—diikuti sahabat-sahabatnya.
Seorang sahabat bertanya, “Untuk apa kita berdiri ya Rasulullah?”
Nabi menjawab, “Apa kamu tidak melihat ada jenazah lewat?”
“Tapi jenazah itu Yahudi ya Rasulullah,” kata sahabat tadi.
Nabi bersabda, “Betul, dia memang seorang Yahudi, tapi dia juga manusia.”
Saya tertarik sekali dengan kata-kata Nabi Muhammad tersebut, terutama kalimat beliau yang terakhir: Dia memang Yahudi, tapi dia manusia. Perhatikan baik-baik kalimat ini, terutama kata “Yahudi” dan kata “manusia.” “Yahudi” adalah nama agama, sedangkan “manusia” merujuk pada nilai-nilai baik yang ada dalam nurani kita masing-masing. Saat Nabi dihadapkan pada dua pilihan, mana yang harus didahulukan, Nabi memilih mendahulukan nilai baik kemanusiaan. Jadi, walaupun si mayat adalah Yahudi, dia adalah manusia seperti kita, makhluk Allah yang benar-benar dimuliakan-Nya. Agama penting, tapi kemanusiaan juga penting. Jadi kalau anda mau punya teman, alasan pertama anda jangan cuma karena sdia seagama, tapi karena nuraninya punya nilai baik. Anda boleh lho punya teman yang beda agama, prinsipnya asal bisa saling menghormati dan menghargai.
Suatu hari, Nabi Ibrahim A.S mengundang seseorang untuk makan malam. Tapi saat mengetahui kalau orang itu kafir, beliau membatalkan undangan itu, lalu menyuruh orang kafir itu keluar. Segera saja sebuah suara dari langit menegurnya:
“Kamu tidak mau memberi makanan untuk sehari hanya karena dia beda agama denganmu? Sedangkan Aku, selama tujuh puluh tahun memberi dia makan, meskipun dia kafir. Kamu tidak akan menjadi miskin karena memberi makan satu malam orang kafir.”
Karena sikap Ibrahim itulah, Allah langsung menegurnya saat itu juga. Kata Allah, beliau tidak akan menjadi miskin karena memberi makan satu malam orang kafir.
Dunia ini bisa menjadi surga saat kita saling mencintai dan mengasihi, saling menghormati satu sama lain, terlepas dari agama yang dianutnya. Sebaliknya, dunia juga bisa menjadi neraka kalau kita saling menyakiti, saling berkhianat, saling menumpahkan darah, saling menghapus belas kasih dan cinta, saling menumbuhkan kebencian, dan saling membuat asing dari dunianya sendiri satu sama lain. Dunia ini adalah tempat pertama untuk merasakan manisnya minuman surgawi dan juga untuk merasakan panasnya bara api neraka. Anda tidak akan jadi kafir karena memberi makan, punya teman, atau menghormati hak orang kafir. Nabi Muhammad sendiri bersabda kalau sampai orang-orang kafir yang tidak mengajak bermusuhan itu disakiti hatinya, berarti sama saja kita juga menyakiti hati beliau.
Mengingat banyaknya peristiwa mengerikan di dunia ini, mungkin kita harus bertanya berulang-ulang dengan hati nurani, mana yang lebih dulu Allah ajarkan: kasih sayang atau kekerasan? Tanya, tanya, tanya!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Nyari Identitas Diri Karangan M. Ikhsan Hal. 161-167 dengan perubahan