“Perang hanya akan melahirkan ribuan pemakaman.”
(Salah satu dialog dalam film Heaven on Earth)
Aroma “perang” kini merambah sampai ke tanah air. Sekarang, kita sering menyaksikan perang “lain” yang tidak kalah brutal. Memang tak ada desingan peluru, juga tak ada dentuman bom. Namun, “perang” ini tetap mengerikan.
Perang itu bernama tawuran. Ya, tawuran pelajar masih menyimpan misteri. Bagaimana tidak misterius, terjadinya saja fluktuatif. Meski saat ini tidak begitu heboh beritanya, tapi siapa tahu “diamnya” itu adalah diamnya gunung berapi. Sekalinya meledak membawa petaka.
Para pelajar yang sok jagoan itu telah mengganti aksesoris sekolah mereka dengan aksesoris gangster alias bandit. Anda bisa lihat sendiri, pulpen berganti obeng, penggaris dipermak jadi pedang, dan ikat pinggang ditambah gerigi roda jadi “sapu jagad.” Bersekolah bukan lagi menjadi kegiatan yang menyenangkan, tapi telah menjadi “horor” baru. Setiap remaja was-was kalau-kalau mereka menjadi sasaran amuk massa pelajar. Kalau begitu, untuk apa lagi bersekolah?
Tawuran pelajar yang terjadi hingga saat ini, ibarat sebuah film actionberseri. Kejadiannya berulang-ulang. Selesai satu episode, berlanjut episode berikutnya. Kesal dan jengkel memang. Tapi itulah barangkali “benih-benih generasi preman.”
Melihat korbannya, orang yang masih sehat akalnya pasti setuju kalau tawuran bukanlah deliquency ‘kenakalan’, tapi tindak kriminal. Bagaimana tidak? Badi, obeng, batu, bahkan samurai telah jadi senjata pamungkas dalam menyelesaikan persoalan. Menggantikan kepalan tangan dalam berkelahi atau tendangan khas berantemnya pelajar zaman si Doel Anak Sekolahan. Ah, ganas nian!
Kawan, tiap dua bulan nyawa pelajar melayang sia-sia. Angka ini berdasarkan jumlah korban tawuran antarpelajar di DKI Jakarta sejak Januari – Juli 1999, yang dikeluarkan Pusat Pengendalian Gangguan Sosial (Pusdalgangsos) Pemda DKI. Menurut kepala BIdang Pengumpulan dan Pengelolaan Data (Kabid Pulahta) Pusdalgangsos DKI, Raya Siahaan, sebanyak 13 orang tewas, 105 menderita luka-luka, dan 117 ditangkap petugas, selama Januari-Juli 1999 (Media Indonesia, 4 Agustus 1999).
Kemudian yang bisa menggiring kita kepada kesimpulan bahwa tawuran bukan lagi kenakalan, adalah unsur perencanaan dalam setiap kejadian. Para aktivis tawuran tidak lagi mengadakannya secara spontan, melainkan melalui perencanaan yang matang. Mencegat bus-bus lalu menganiaya korban beramai-ramai, atau menyerang sekolah lawan dengan serangan cepat.
Yang lebih memprihatinkan, banyak pelajar yang sengaja ngedrugs sebelum beraksi, dengan maksud menambah keberanian dan kekuatan saat tawuran. Akibatnya, arena tawuran menjadi kian ganas tak terkendali. Karena siapa yang masih punya pikiran sehat kalau akal sudah dicengkram pengaruh obat.
Dan seperti yang sering anda baca, lihat, atau dengar bahwa aksi tawuran tidak pandang bulu. Terlibat atau tidak, asalkan dari sekolah yang sama maka harus dilibas. Maka, acapkali tawuran menelan korban pelajar-pelajar yang “tak berdosa.” Sehingga, berlakulah prinsip zaman wild wild west dulu, kill or be killed, membunuh atau dibunuh. Ah, apa bedanya rimba Vietnam dengan sekolah?
Salahkah Sekolah?
Ada asap pastilah ada api. Ya, dalam kasus ini semestinya pihak-pihak terkait merenung dalam-dalam. Terutama dunia pendidikan. Sudahkah dunia pendidikan menjalankan fungsi sebagai institusi pendidikan yang baik dan benar? “Selama orde baru, pendidikan lebih banyak dititikberatkan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pendidikan moral dan agama kurang. Beban kurikulum terlalu berat, serta banyak diproyekkan’ untuk mencari keuntungan, sehingga setiap ganti kurikulum ganti buku pelajaran,” ujar Prof. Dadang Hawari, yang dikutip Media Indonesia, 2 Agustus 1999.
Pedas memang komentar pemerhati masalah sosial ini. Tapi harus jujur kan. Sekarang bukan saatnya lagi menutup-nutupi kekurangan kita semua. Apalagi ini menyangkut nyawa dan situasi sosial bersama.
Ibarat cerita wayang, sekolah harusnya menjadi kawah “Candradimuka” bagi pelajar. Yang dalam cerita wayang kawah itu mampu melahirkan Jabang Tetuko alias Gatotkaca, ksatria sakti nan baik hati. Nah, tidak salah kan kalau remaja berharap sekolah bisa berperan seperti itu. Menjadi arena pendidikan akal dan hati nurani. Bukan institusi pendidikan sekuler yang cuma berorientasi mengejar nilai. Dimana segala kemajuan diukur dengan nilai atau prestasi fisik, bukan akal dan hati nurani. Maka, jangan heran kalau mendiang Romo Mangunwijaya pernah berkomentar “sadis” dengan menyebut sekolah sebagai arena pelatihan ala sirkus yang hanya akna melahirkan neo-fasisme.
Moga-moga Romo Mangun salah, tapi kenyataan memang menunjukkan sekolah hanya berperan sebatas sarana transfer ilmu belaka, sedangkan pembentukan kepribadian diserahkan kepada diri sendiri kepada siswa-siswi. Tidak heran bila muncul “fasis-fasis” kecil. Preman atau jagoan tawuran, atau melahirkan borjuis-borjuis kelas pemula yang bergaya hedonis dan pamer harta tanpa peduli pada keadaan sekitar.
Krisis Identitas
Tapi “dosa” tawuran tidak hanya ditanggung pihak sekolah. Pakar pendidikan dan juga presenter acara Hikmah Fajar di RCTI Dr. Arief Rachman, menyebut empat penyebab utama pemicu tawuran. Pertama, berkarakter labil. Sikap pelajar tersebut cepat marah dan reaktif. Bahkan, emosinya tidak seimbang dengan penggunaan nalarnya, dan imannya sangat rendah.
Kedua, keluarga pelajar tersebut bermasalah. Boleh dibilang tidak cocok untuk perkembangan kepribadian anak. Seringkali orangtua menerapkan pola asuh yang represif alias melakukan penekanan terus-menerus.
Ketiga, ini menyangkut masalah manajemen sekolah. Keempat, tayangan televisi yang cenderung menyajikan sadisme, vulgarisme, dan hedonisme. Jelas dakmpaknya tak mendorong penonton untuk menyelesaikan konflik (diringkas dari Media Indonesia, 11 Juli 1999).
Pak Arief benar, remaja umumnya memang berada di persimpangan jalan, alias berkarakter labil. Dengan begitu, mudah saja ia terpengaruh teman-teman dan lingkungan. Sehingga, punya pengalaman terjun di medan “pertempuran” bisa jadi merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka yang hobi tawuran. Ibarat jagoan yang sedang berlaga menghadapi lawan, ia akan menjadi pusat perhatian banyak orang. Melalui penampilan itulah ia jadi dikenal, diperhatikan, dan diakui eksistensi dirinya.
Memang, keinginan untuk dikenal, diperhatikan, dan diakui oleh orang lain, merupakan sesuatu yang alami dalam diri manusia. Sebab, dalam diri manusia terdapat apa yang disebut “naluri mempertahankan diri” (gharizah al-baqa’). Naluri ini muncul dalam bentuk keinginan seseorang untuk dikenal, diperhatikan, dan diakui eksistensinya. Termasuk pula keinginan untuk berkuasa, memiliki harta, dan mempertahankan diri atau membela diri jika ada serangan/ancaman dari pihak lain.
Nah, remaja yang hobi tawuran merasakan hal seperti itu. Di saat mereka tidak mendapat perhatian dari keluarga atau lingkungannya, dan di saat mereka tidak mampu menampilkan citra diri secara positif, mereka bertindak apa saja supaya orang lain memberi perhatian. Jadi tawuran tak lain adalah sarana mengekspresikan diri. Seperti kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi. Tak bisa jadi ilmuwan, jadi aktivis tawuran pun tak apa-apa.
Kalau bicara kepribadian, maka mau tidak mau berpulang pada orangtua sebagai pendidik awal anak-anak. Sejauh mana sih orangtua kita perhatian pada diri kita, apakah sebatas memberi materi ataukah juga dengan kasih sayang? Memang, banyak orangtua yang sanggup memberi materi tapi tidak mampu memberi kasih sayang. Karena alasan kesibukan kerjalah atau memang karena tak punya perhatian lagi kepada anak-anaknya.
Yang memprihatinkan, banyak orangtua yang keliru dalam memberikan kasih sayang, yaitu memberikannya tanpa landsasan agama. Hanya lebih buruk lagi orangtua yang sudah tak mampu memberi harta, juga tidak mau memberikan kasih sayang. Mereka membiarkan anak-anaknya dididik oleh jalanan, sehingga tumbuh menjadi generasi preman. Dan, jumlah mereka tidak sedikit.
Solusi Komplit
Seperti kata Pak Arief Rachman, salah satu pemicu tindak kekerasan remaja adalah tayangan yang vulgar dan sadis. Nah, rasanya para pengusaha televisi swasta tidak punya kepedulian terhadap masalah yang satu ini. Rasanya, sudah puluhan kali protes ditayangkan ihwal adegan-adegan yang tak santun itu, tapi kok seperti dianggap angin lalu. Terbukti tayangan televisi yang mengekspos kebrutalan telah banyak berpengaruh bagi perkembangan penontonnya.
Ada cerita dari zaman baheula, film Taxi Driver yang dibintangi Jodie Foster pada tahun 1976, yang mengisahkan tentang sopir taksi yang gila, diduga kuat memicu John Hickley menembak Presiden Ronald Reagen. Belum lagi film-film bertemakan kekerasan lainnya yang tak mustahil memicu remaja berfantasi yang aneh-aneh. Film-film tentang peperangan antargeng seperti Crows Zero misalnya, bisa jadi memberikan inspirasi bagi remaja dan juga masyarakat luas untuk bertindak serupa. Nah, apakah para pengelola televisi swasta dan bioskop masih mau tidak peduli?
Tapi, untuk menghentikan aksi tawuran jelas butuh penanganan yang lebih komplit. Tidak bisa sekadar menghentikan film-film action di televisi atau bioskop, butuh lebih dari itu. Sebut saja, remaja memerlukan institusi pendidikan yang memadai. Lengkap fasilitas juga kurikulum yang lebih “manusiawi.” Tidak menganggap pelajar sebagai komputer yang tinggal diisi program lalu bisa beroperasi sendiri. Pelajar adalah manusia, perlu sentuhan agama dan kasih sayang.
Tindak tawuran juga tidak akan berhenti tanpa adanya tindakan tegas dari negara. Sudah terlihat jelas bahwa tawuran itu adalah tindak kejahatan, bukan lagi kenakalan. Apakah merusak sarana umum, melukai orang apalagi membunuhnya adalah suatu kenakalan? Rasa-rasanya semua orang sepakat kalau itu adalah suatu kejahatan. Lagipula secara fisik remaja sudah termasuk ke dalam kategori akil baligh, yang dalam pengertian syariat sudah terkena ganjaran pahala dan dosa. Jadi, perlakukan saja para pelaku tawuran itu seperti para penjahat kambuhan lainnya.
Nah, kalau ada pelajar yang tega membacok kepala atau menggorok leher pelajar lain hingga tewas dalam tawuran, maka dalam pandangan Islam pelajar tersebut layak dikenakan qishash.
Kejamkah ini? Sesungguhnya tidak, ini adalah hukuman yang adil dan tegas, nyawa dibalas nyawa. Lagipula, dengan memberikan sanksi semisal qishash, maka akan segera memadamkan api kemarahan dan dendam. Keluarga korban dan teman-temannya merasa lega, sementara orang lain tidak akan berani mengulangi perbuatan serupa. Sebab, hukum Islam itu bersifat jawazir dan jawabir. Jawazir artinya hukum Islam bersifat preventif, mencegah terjadinya peluang-peluang kemaksiatan dan kejahatan. Kemudian hukum Islam juga bersifat jawabir. Artinya, hukum Islam kalau diterapkan di dunia akan menghapus azab Allah di akhirat kelak.
Jadi meski berat vonis hukuman yang dijatuhkan, Insya Allah pelaku tindak kejahatan akan terlepas dari azab Allah di akhirat kelak, yang jauh lebih dahsyat. Adil kan?
Tapi seperti kata pepatah bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Daripada menangkapi para pelajar dan mengganjar mereka dengan vonis yang berat, seperti qishash, tentunya akan jauh lebih baik bila segera dilakukan perbaikan terhadap dunia pendidikan dan lingkungan sosial. Dengan apa? Apalagi kalau bukan dengan Islam.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Jangan Jadi Bebek karangan O. Solihin Hal. 73-81 dengan perubahan
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page: facebook.com/anakmuslimtaat