Kita dan Anak Palestina | Ilmu Islam

Senin, 02 Desember 2013

Kita dan Anak Palestina

“Pemuda yang tidak punya ruhul jihad, matinya lebih baik daripada hidupnya.”
(Musthafa Kamil, pemikir Mesir)

Bayangkan jika anda punya segudang harapan, tapi tiba-tiba harapan itu buyar dan lenyap entah kemana. Atau, anda punya impian yang begitu indah, tapi kemudian tak pernah menjadi kenyataan. Menyakitkan bukan? Nah, realitas seperti inilah yang kini harus diterima anak-anak Palestina. Betapa pun getirnya keadaan itu, toh akhirnya memang harus ditelan. Karena hidup memang tak selamanya bisa memilih.

Mohammad ad-Durra, bocah Palestina berusia 12 tahun, harus meregang nyawa ditembus peluru serdadu Yahudi Israel pada 30 September 2000 silam saat terjadi bentrokan berdarah antara polisi Israel dan warga Muslim di Netzarim, Jalur Gaza. Kalau anda rajin baca berita, pasti bisa mendapatkan foto “ekslusif” yang diabadikan oleh dua wartawan Palestina yang bekerja untuk TV Prancis. Foto tersebut seolah “berbicara” dan menjelaskan bagaimana biadabnya serdadu Israel ketika membantai Mohammad ad-Durra yang berada dalam pelukan ayahnya.

Mohammad ad-Durra dan puluhan remaja seusianya harus rela kehilangan masa depan. Berjuta impian ang sudah dirajut harus punah dalam sekejap Beribu harapan sirna dalam hitungan detik. Ya, itu adalah kenyataan yang memang pahit dan getir. Ini akan terus terjadi dan bakal terulang bila umat Islam cuma diam atau hanya mengutuk, tapi minus tindakan nyata. Jelas, itu akan membuat orang-orang Israel besar kepala dan akan merasa enteng melenyapkan nyawa orang-orang Palestina.

Republika melaporkan, sampai akhir Oktober 2000 sudah 300-an orang lebih yang tewas dan sekitar 1.000 lainnya luka-luka. Anda akui atau tidak, mereka adalah saudara-saudara kita. Saudara seiman dan seakidah. Masihkah kita tidak peduli dengan nasib sesama kaum muslimin?

Gagahnya Anak Palestina
Tidak kurang dari 300 anak Palestina berusia antara lima hingga delapan tahun berkumpul di kantor Komite Palang Merah Internasional di Tyre, Lebanon Selatan. Mereka duduk di halaman itu sambil membawa sejumlah poster dan spanduk kemarahan. Di antara spanduk itu bertuliskan, “Kami semua adalah saudara syuhada Mohammad ad-Durra.” Lalu, dalam spanduk lain berbunyi, “Israel telah membantai anak-anak Palestina.” (Republika, 5 Oktober 2000).

Sementara, sebagian bocah lainnya yang berasal dari tiga tempat kamp pengungsi di Tyre itu membawa sejumlah plakat yang bisa menggelorakan semangatnya,  “Berjuang dan angkat senjata, satu-satunya jalan untuk membebaskan tanah Palestina.” “Palestina bertanggung jawab terhadap semua yang ada pada kami,” bunyi yang lainnya.

Wahai pembaca, dua hal yang bisa menganggap rintangan sebagai tantangan adalah semangat dan keberanian. Tentu keberanian yang berhasil dimunculkan dari akidah yang benar. Akidah Islam yang kuat dan bersih. Keberanian itu sekarang tumbuh pada anak-anak Palestina.

“Saya ingin membunuh orang Israel seperti mereka membunuh saudara kami Mohammad ad-Durra,” kata Mohammad Natour, 14 tahun. Heroik memang. Rekannya yang lain, Ihab al-Sadid (12 tahun), mengaku sangat kesal terhadap aksi brutal tentara Israel yang menembaki anak-anak Palestina. Ia mengatakan, “Mereka membunuh anak-anak. Sebab, mereka takut kalau nanti besar, kami akan melawan mereka.”

Tentu pikiran seperti itu tidak muncul begitu saja, tapi melalui proses. Siapa tahu, anak-anak itu dididik oleh orangtua mereka untuk menjadi pejuang Islam yang gagah berani. Masih tidak percaya? Coba anda simak pernyataan Ridha Saleh, anak berumur 13 tahun, dengan mengenakan seragam militer dan meminta wartawan foto untuk mengambil gambarnya, dia mengatakan, “Saya juga ingin mati syahid dan hanya ingin mati disana.

Palestina Tanah Kita
Ketika penggagas negara Israel, Theodore Hertzl, meminta tanah Palestina di tahun 1897, dia mendapatkan jawaban yang tegas dari Khalifah Abdul Hamid II, “Tanah itu bukan milikku, tetapi milik umatku.” Konon, saking murkanya, sang Khalifah juga meludahi wajah Hertzl. Merasa tidak mungkin mendapatkan Palestina, Hertzl kemudian melakukan kerja sama dengan Inggris untuk merampas tanah Palestina dan melakukan persekongkolan untuk memecat Abdul Hamid II dari jabatan Khalifah.

Palestina memang telah lama menjadi bagian tanah air kaum muslimin. Bahkan, Baitul Maqdis pernah menjadi kiblat pertama kita sebelum dialihkan ke Ka’bah. Status Palestina sebagai milik umat Islam semakin kokoh melalui perjanjian yang dibuat Amirul Mukminin Umar ibnul Khatab dengan orang-orang Kristen Palestina. Saat itu, Khalifah Umar membuat perjanjian yang terkenal dengan nama al-Ihdat al-‘Umariyyah ‘perjanjian Umar’, yang berbunyi, “...atas nama Islam dan kaum muslimin... Tidak boleh seorang Yahudi pun tinggal bersama kaum muslimin di Baitul Maqdis.” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikhul Umam wal-Muluk, pada judul “Iftitah Baitul Maqdis” “Penaklukkan Baitul Maqdis”).

Setelah Khilafah Islamiyyah “pemerintahan Islam” runtuh, orang-orang Yahudi seperti mendapat angin untuk kembali mendapatkan tanah Palestina. Dengan dukungan Inggris, Amerika, dan PBB, mereka mendirikan negara Israel Raya. Anda bisa simak bagaimana para pemimpin Yahudi “bersuara” untuk mengesahkan tindakan brutal mereka dalam merampok tanah Palestina.

“Negeri ini berdiri semata-mata akibat janji Tuhan sendiri. Oleh karena itu, meminta pengakuan atas keabsahannya tentulah tindakan yang menggelikan,” teriak Golda Mesir, PM wanita Israel pertama, dengan sewotnya. “Negeri ini telah dijanjikan kepada kita dan karena itu kita berhak sepenuhnya atas tanah itu,” ujar Menachem Begin. Beginilah orang yang berhasil menggiring Presiden Anwar Sadat ke meja perundingan Camp David yang penuh tipu daya Amerika dan Israel untuk membodohi rakyat Mesir dan kaum Muslimin.

Satu suara dengan teman-temannya, Moshe Dayan, jenderal Israel yang terkenal keji dan selalu bermata satu, berkomentar tak kalah menyakitkan, “Jika terdapat buku injili serta bangsa injili, maka haruslah ada pula negeri injili,” Dan satu lagi pernyataan yang bikin “gerah” kita, “Negeri ini merupakan rumah historis bangsa Yahudi.” Demikian pernyataan dalam memorandum organisasi Zionis tahun 1919.

Tapi, benarkah alasan mereka itu? Bohong besar! Dr. Roger Geraudy, seorang intelektual Nasrani asal Prancis yang kemudian masuk Islam, berkomentar, “Ia sama sekali tidak mempunyai keabsahan, baik secara historis, injili, maupun yuridis untuk berdiri di tempat yang ia tegakkan sekarang ini,” tegasnya dalam buku yang ditulisnya, The Case of Israel: a Study of Political Zionism.

Jadi, memang tanah Palestina itu adalah milik kita, bukan milik “bangsa kera” itu. Setiap jengkal dari tanah milik kaum muslimin tidak boleh dikuasai oleh orang-orang kafir. Nekat menjarahnya, berarti urusannya darah. Kita tegas saja!

Maka, solusinya adalah seperti yang dilontarkanoleh salah seorang bocah Palestina di atas. Apa itu? “Angkat senjata dan basmi orang-orang Yahudi Israel terkutuk itu!” Memang hanya itu satu-satunya jalan, tidak ada jalan lain.

Bagaimana dengan perundingan damai. Ya, seperti yang bisa anda lihat, entah sudah berapa puluh kali perundingan damai dilakukan antara PLO dan Israel tapi nihil. Bukannya perdamaian, tapi malah memperpanjang jumlah warga muslim Palestina yang menjadi korban. Shabra dan Shatila, contohnya. Dengan dingin, pasukan Israel dibawah komando Ariel Sharon, Perdana Menteri Israel yang sekarang sudah mati, membuat tanah Palestina penuh dengan genangan darah para pengungsi Palestina. Maka, jangan memaksakan berdamai, toh perundingan damai cuma buang waktu saja.

Bagaimana dengan Kita?
Kita dan anak-anak Palestina memang dipisahkan oleh ruang dan waktu. Antara kita dan anak-anak Palestina terbentang lautan dan daratan yang luas sekali. Tapi, sebetulnya kita punya rasa, kita punya cinta, dan kita punya luka yang sama dengan mereka.

Wahai pembaca, mereka siap menggelorakan semangat jihad untuk mengusir serdadu Israel yang telah merampok tanah mereka. Kita pun semestinya punya sikap seperti itu.

Ketika anak-anak Palestina meregang nyawa ditembus peluru Israel, sedang apakah kita? Main basket? Tidur nyenyak? Atau, malah sedang berkelahi dengan anggota keluarga? Ironis bukan?

Juga, ketika teman-teman kita menderita di pengungsian akibat diusir dari negeri mereka sendiri, kita sedang berbuat apa? Main game, pacaran, nonton konser musik, atau malah sedang asyik melahap makanan “bule” di restoran kelas wahid dengan harga selangit? Lalu, dimana rasa peduli kita terhadap saudara sendiri?

Kawan, anak-anak Palestina sudah kenyang dengan segala penderitaan dan kekecewaan akibat ulah orang-orang Yahudi yang menggasak tanah mereka dan mengusirnya bak pesakitan. Sekali lagi mereka adalah saudara kita. Saudara yang seharusnya “bersatu” dalam suka dan duka, dalam sedih dan gembira. Masihkah kita mengatakan bahwa mereka adalah orang lain? Tidak, kawan, mereka adalah kita. Ya, kita. Bukan siapa-siapa dan bukan orang lain. Kaum muslimin di Palestina, Uzbekistan, Tajikistan, Kashmir, Filipina, Malaysia, atau di negeri sendiri, Ambon, Aceh, dan yang lainnya, pokokna seluruh kaum muslimin di penjuru dunia ini adalah saudara kita. Kita dipersatukan dan dipersaudarakan dengan Islam. Bukan dengan yang lain.

Kalau sekarang kita tidak merasa kecewa bahwa mereka adalah saudara, itu dikarenakan kita tersekat oleh dinding nasionalisme. Ya, itulah penyebab terbesar matinya rasa persaudaraan kita! Ternyata, ide nasionalisme telah membutakan mata kita. Sehingga, kita tidak bisa “menengok” saudara kita yang tengah menderita. Kita menjadi orang yang super cuek alias tidak mau peduli terhadap urusan saudara kita sendiri, padahal Rasulullah S.A.W telah mengibaratkan persaudaraan kita bak satu tubuh,

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal berkasih sayang dan saling mencintai adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badannya merasa kesakitan, seluruh anggota tubuh yang lain turut merasakan sakit.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Dalam hadist ke-13 dari kumpulan Hadits Arba’in karya Imam Nawawi tertulis,

“Dari Abu Hamzah (yaitu) Anas bin Malik R.A, pelayan Rasulullah S.A.W, dari Nabi S.A.W, dari Nabi S.A.W, beliau bersabda, “Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai suadaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Dua hadist di atas semestinya cukup memberikan “sentuhan” kepada kita bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya adalah ibarat satu tubuh. Kita bersaudara. Tidak mungkin kalau tangan kiri kita kejepit pintu, tangan kanan malah nyukurin. Kan aneh kalau begitu. Nah, begitu pun dengan saudara kita di Palestina. Mereka sedang menderita. Tidak waras kalau kita cuek bahkan tidak mau tahu. Kalau itu terjadi, itu namanya muslim “biadab.” Jangan sampai hati nurani kita begitu bebal. Kita kan bukan batu. Kita manusia yang memiliki perasaan. Rasa cinta, rasa sayang, dan “berjuta” rasa lainnya. Sebaiknya memang kita merenungkan kembali firman Allah S.W.T sekaligus meneladani Rasul-Nya,

“Muhammad itu adalah utusan Allah orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”(al-Fath:29)

Kita harus peduli pada nasib saudara kita di belahan bumi manapun termasuk Palestina.

Tentu, andai Khilafah Islamiyyah belum runtuh, kediannya akan berbeda. Anda lihat sikap Khalifah Abdul Hamid II begitu tegas dan berani menghadapi “rengekan” Theodore Hertzl yang meminta tanah Palestina. Pernyataan Khalifah Abdul Hamid II sama saja dengan mengajak perang kepada kaum Yahudi zionis, hebat bukan?

Jadi, bagaimana sekarang? Memang solusi untuk membebaskan Palestina dari cengkraman Israel adalah dengan mengangkat senjata. Berarti pemecahannya adalah dengan jihad. Anda perlu tahu bahwa jihad adalah farhu ‘ain bagi penduduk yang berada di daerah konflik (Palestina dan sekitarnya), sedangkan yang jauh seperti kita disini, “jatuhnya” adalah fardhu kifayah.

Dan perlu anda tahu, Palestina barulah satu medan penderitaan, masih banyak “medan” yang lain. Ada Ambon yang begitu dekat dengan kita, lalu Moro di Filipina, tragedi muslim Rohingya di Myanmar, Pattaya di Thailand, tragedi Kashmir. Kepada mereka, kita curahkan perhatian dan segala bantuan yang kita mampu. Minimal, ya paling minimal adalah dengan mendoakan mereka agar tetap kuat melawan musuh-musuh agama.
 

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Jangan Jadi Bebek karangan O. Solihin Hal. 174-184 dengan perubahan

YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer

Kita dan Anak Palestina Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top