Ath-Thuusiy berkata :
ولا بأس أن يتمتع الرجل بالفاجرة، ألا أنه يمنعها بعد العقد من الفجور.
وليس على الرجل أن يسألها: هل لها زوج أم لا، لان ذلك لا يمكن أن تقوم له به بينة.
“Dan tidak mengapa seorang laki-laki melakukan nikah mut’ah dengan pelacur (WTS), kecuali ia mesti melarangnya setelah terjadinya ‘aqad dari perbuatan keji (melacur). Dan tidak menjadi kewajiban bagi seorang laki-laki untuk bertanya kepadanya : ‘Apakah ia mempunyai suami ataukah tidak ?’, karena tidak memungkinkan bagi laki-laki untuk mendapatkan bukti dengannya….[1]” [An-Nihaayah, hal. 490, Bab : Al-Mut’ah wa Ahkaamuhaa].
Yuusuf Al-Bahraaniy – ulama Syi’ah – berkata :
وما رواه في كتاب قرب الاسناد في الصحيح عن علي بن رئاب " قال: سألت أبا عبد الله عليه السلام عن المرأة الفاجرة يتزوجها الرجل المسلم؟ قال: نعم، وما يمنعه؟ ولكن إذا فعل فليحصن بابه مخافة الولد
“Dan apa yang diriwayatkan dalam kitab Qarbul-Isnaad dalam kelompok hadits shahih dari ‘Aliy bin Riaab, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam tentang wanita pelacur yang dinikahi laki-laki muslim[2]?. Ia menjawab : “Ya (boleh), lantas apa yang menghalanginya ?. Akan tetapi apabila ia melakukannya, hendaknya ia ‘kuatkan pintunya’ agar tidak beranak” [Al-Hadaaiqun-Naadlirah, 23/494-495].
Ath-Thuusiy berkata : “Dan telah diriwayatkan adanya keringanan melakukan mut’ah dengan pelacur, namun ia mesti melarangnya berbuat keji (setelah itu dengan laki-laki lain)”. Lalu ia membawakan riwayat sebagai berikut :
روى محمد بن أحمد بن يحيى عن أحمد بن محمد عن علي ابن حديد عن جميل عن زرارة قال: سأل عمار وانا عنده عن الرجل يتزوج الفاجرة متعة قال: لابأس وان كان التزويج الآخر فليحصن بابه
Telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Ahmad bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad, dari ‘Aliy bin Hadiid, dari Jamiil, dari Zuraarah, ia berkata : ‘Ammaar pernah bertanya – dan saat itu aku ada di sisinya – tentang seorang laki-laki yang melakukan nikah mut’ah dengan pelacur. Ia (imam) berkata : “Tidak mengapa. Namun seandainya hal itu adalah pernikahan yang lain, hendaklah ia ‘kuatkan pintunya’.
عنه عن سعدان عن علي بن يقطين قال: قلت لابي الحسن عليه السلام: نساء اهل المدينة قال: فواسق قلت: فاتزوج منهن؟ قال: نعم.
Darinya, dari Sa’daan, dari ‘Aliy bin Yaqthiin, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abul-Hasan ‘alaihis-salaamtentang wanita penduduk Madiinah. Ia menjawab : “Orang-orang fasiq[3]”. Aku berkata : “Bolehkah aku menikahi mereka ?”. ia menjawab : “Ya (boleh)” [Tahdziibul-Ahkaam, 7/253].
Al-Hurr Al-‘Aamiliy dalam kitabnya yang berjudul Wasaailusy-Syii’ah membuat satu bab berjudul : ‘Peniadaan keharaman nikah mut’ah dengan wanita pelacur meskipun ia tetap menjalankan profesinya itu’. Setelah itu ia membawakan beberapa riwayat, di antaranya:
وبإسناده عن الحسن بن محبوب ، عن إسحاق بن جرير قال : قلت لابي عبدالله ( عليه السلام ) : إن عندنا بالكوفة امرأة معروفة بالفجور ، أيحل أن أتزوجها متعة ؟ قال : فقال : رفعت راية ؟ قلت : لا ، لو رفعت راية أخذها السلطان ، قال : نعم تزوجها متعة.......
Dan dengan sanadnya dari Al-Hasan bin Mahbuub, dari Ishaaq bin Jariir, ia berkata : Aku pernah berkata kepada Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) : “Sesungguhnya di sisi kami di kota Kuufah ada seorang wanita yang terkenal dengan perbuatan asusilanya. Apakah dihalalkan bagiku untuk menikahinya secara mut’ah ?”. Ia berkata : “Apakah ia mengibarkan bendera ?[4]”. Aku berkata : “Tidak. Seandainya ia mengibarkan bendera, niscaya Sulthaan telah mengambilnya”. Ia berkata : “Ya, engkau boleh menikahinya secara mut’ah……” [Wasaailusy-Syii’ah, 21/29].
Jika wanita itu mengibarkan bendera, artinya ia telah masyhuur dengan perbuatan asusilanya. Namun jika ia tidak mengibarkan benderanya alias dilakukan sembunyi-sembunyi, boleh bermut’ah ria dengannya. Ini selaras dengan riwayat berikut:
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ يُونُسَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْفُضَيْلِ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْحَسَنِ ( عليه السلام ) عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَسْنَاءِ الْفَاجِرَةِ هَلْ يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَتَمَتَّعَ مِنْهَا يَوْماً أَوْ أَكْثَرَ فَقَالَ إِذَا كَانَتْ مَشْهُورَةً بِالزِّنَا فَلَا يَتَمَتَّعْ مِنْهَا وَ لَا يَنْكِحْهَا
‘Aliy bin Ibraahiim, dari Muhammad bin ‘Iisaa, dari Yuunus bin Muhammad bin Al-Fudlail, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abul-Hasan (‘alaihis-salaam) tentang wanita pelacur yang cantik, apakah diperbolehkan bagi seorang laki-laki melakukan nikah mut’ah selama sehari atau lebih dengannya ?. Ia menjawab : “Apabila wanita itu masyhur dengan perbuatan zina, maka tidak boleh nikah mut’ah dengannya dan tidak pula boleh untuk menikahinya (secara tetap)” [Al-Kaafiy, 5/454 – Al-Majlisiy menilainya muwatstsaq].
Al-Khu’iy pernah ditanya:
رجل يعرف زانية ، ولكنه لا يعرف بأنها مشهورة أو غير مشهورة .. فهل يجوز التمتع بها ؟
“Seorang laki-laki mengetahui seorang wanita pelacur, akan tetapi ia tidak mengetahui apakah ia masyhur ataukah tidak. Apakah boleh ia melakukan nikah mut’ah dengannya?”.
Dijawab :
لا بأس ما لم يعلم بالوصف ( أهي مشهورة ، أم غير مشهورة ؟).
“Tidak mengapa selama ia tidak mengetahui sifat tersebut (apakah wanita itu masyhur atau tidak masyhur sebagai pelacur)” [sumber : http://www.al-khoei.us/fatawa1/?id=2122].
Screnn shot-nya adalah sebagai berikut (klik untuk memperbesar):
Dalam tataran praktis, sangat susah untuk membedakan antara masyhur atau tidak masyhur, karena perbedaan keduanya sangat tipis dan multi-interpretasi.
Oleh karenanya, muncullah fatwa-fatwa ulama Syi’ah kenamaan yang membolehkan mut’ah dengan semua jenis pelacur, apakah pelacur itu ia temui di night club, lokalisasi, atau yang lainnya.
Diantaranya Ayatullah Ar-Ruuhaaniy pernah ditanya:
“Suatu saat, saya pernah pergi ke Night Club. Ada seorang pelacur meminta kepada saya uang sekitar 100 dolar. Aku pun membayarnya. Lantas ia berkata kepadaku : ‘Engkau boleh nikahi mut’ah seluruh badanku sebagai imbalan uang yang engkau berikan. Namun durasinya hanya sehari saja’. Apakah yang seperti ini dapat dianggap sebagai pernikahan mut’ah ?”.
Ar-Ruuhaaniy menjawab :
“Dengan menyebut nama Allah,.... Apabila yang ia katakan adalah dengan tujuan pernikahan, dan engkau pun berkata setelah itu : ‘aku terima bagi diriku yang demikian’, maka yang seperti itu adalah pernikahan mut’ah (sehingga boleh)” [screen shot-nya dapat dibaca di sini].
As-Sistaaniy pernah ditanya:
وجد في مناطق تكون الحالة الاقتصادية فيها سيئة ، والنساء في هذه المناطق يتمتعن من أجل كسب المال فقط لا من أجل الشهوة .. فهل يجوز التمتع بهن ؟
"Ada tempat-tempat yang dimana keadaan ekonomi masyarakat di tempat tersebut sangat buruk, dan wanita di tempat tersebut menjadikan praktek mut'ah untuk mencari uang (demi kelangsungan hidupnya) dan bukan untuk nafsu. Jadi apakah diperbolehkan untuk ber-mut'ah dengan mereka?"
Dijawab:
يجوز
“Boleh” [sumber : sini].
Dari sini dapat diketahui bahwa melakukan mut’ah dengan pelacur bukan pendapat pribadi ulama Syi’ah, akan tetapi pendapat agama.
أحمد بن محمد بن عيسى في ( نوادره ) : عن ابن أبي عمير ، عن هشام بن الحكم ، عن أبي عبدالله ( عليه السلام ) في المتعة قال : ما يفعلها عندنا إلا الفواجر
Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisaa dalam Nawaadir-nya : Dari Ibnu Abi ‘Umair, dari Hisyaam bin Al-Hakam, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) tentang mut’ah, ia berkata : “Tidak ada yang melakukannya di sisi kami kecuali para pelacur” [Wasaailusy-Syii’ah, 21/30].
Di satu sisi, riwayat ini menguatkan muatan bahasan di atas (bahwa mut’ah dengan pelacur adalah boleh), di sisi lain riwayat ini membenarkan firman Allah ta’ala :
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” [QS. An-Nuur : 3].
Pelacur hanya boleh dinikahi sesama pelacur.
Tidak ada pegiat nikah mut’ah kecuali orang Syi’ah, dan nikah mut’ah hanyalah dilakukan para pelacur.
Wallaahul-musta’aan.
[anakmuslimtaat’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 25021435/28122013 – 14:45].
[1] Seorang laki-laki hamba mut’ah tidak berkewajiban untuk mengecek dan melakukan penyelidikan terhadap wanita yang akan dinikahinya, apakah ia telah bersuami atau tidak, pelacur atau wanita baik-baik. Cukup ia menikahinya tanpa bertanya macam-macam, atau membenarkan apapun yang dikatakannya.
عن فضل مولى محمد بن راشد عن أبي عبد الله عليه السلام قال: قلت اني تزوجت امرأة متعة فوقع في نفسي أن لها زوجا ففتشت عن ذلك فوجدت لها زوجا قال: ولم فتشت؟!.
Dari Fadhl maulaa Muhammad bin Raasyid, dari Abu 'Abdillah 'alaihis-salaam; aku (Fadhl) berkata : "Sesungguhnya aku menikah dengan seorang wanita secara mut'ah. Lalu timbullah dalam hatiku (keraguan) bahwasannya ia sudah mempunyai suami. Kemudian aku selidiki tentang hal itu, dan ternyata aku dapati ia memang sudah mempunyai suami". Abu 'Abdillah berkata : "Dan kenapa pula engkau selidiki ?" [Tahdziibul-Ahkaam, 7/253].
عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) إِنِّي أَكُونُ فِي بَعْضِ الطُّرُقَاتِ فَأَرَى الْمَرْأَةَ الْحَسْنَاءَ وَ لَا آمَنُ أَنْ تَكُونَ ذَاتَ بَعْلٍ أَوْ مِنَ الْعَوَاهِرِ قَالَ لَيْسَ هَذَا عَلَيْكَ إِنَّمَا عَلَيْكَ أَنْ تُصَدِّقَهَا فِي نَفْسِهَا
Dari Abaan bin Tsaghlib, ia berkata : Aku pernah berkata kepada Abu 'Abdillah 'alaihis-salaam : "Sesungguhnya aku pernah berada di jalanan, lalu aku melihat seorang wanita cantik (dan ingin aku nikahi), namun aku merasa tidak aman jangan-jangan ia sudah punya suami atau termasuk wanita jalang". Abu 'Abdillah berkata : "Bukan kewajibanmu untuk untuk menyelidikinya. Yang wajib bagimu adalah membenarkan pengakuannya terhadap dirinya saja" [Al-Kaafiy, 5/462].
عَنْ مُيَسِّرٍ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) أَلْقَى الْمَرْأَةَ بِالْفَلَاةِ الَّتِي لَيْسَ فِيهَا أَحَدٌ فَأَقُولُ لَهَا هَلْ لَكِ زَوْجٌ فَتَقُولُ لَا فَأَتَزَوَّجُهَا قَالَ نَعَمْ هِيَ الْمُصَدَّقَةُ عَلَى نَفْسِهَا
Dari Muyassir, ia berkata : Aku berkata kepada Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) : “Aku pernah berjumpa dengan seorang wanita di tengah padang sahara yang tidak ada seorang pun bersamanya (= seorang diri). Lalu aku katakan kepadanya : ‘Apakah engkau telah bersuami ?’. Wanita itu menjawab : ‘Tidak’. Bolehkah aku menikahinya ?”. Abu ‘Abdillah menjawab : “Ya, boleh. Ia dibenarkan pengakuannya atas dirinya” [idem].
[3] Dapat kita lihat bagaimana penyifatan orang Syi’ah terhadap penduduk Madiinah, khususnya para wanita mereka, sebagai orang-orang fasiq. Wanita fasiq di sini maksudnya pelacur. Sudah jamak diketahui bahwa penduduk Madinah di sini adalah Ahlus-Sunnah.
[4] Wanita yang berprofesi sebagai pelacur jaman dahulu biasanya rumahnya dipasangi bendera sebagai tanda keprofesiannya (sebagai pelacur).