Saya mendapatkan hak pilih saya semenjak era reformasi digulirkan. Hanya sekali saya gunakan saat heboh Mega-Bintang di Solo dan sekitarnya yang diprakarsai pak Mudrick Sangidoe. Setelah itu vakum dengan melewatkan moment Pemilu tanpa peduli. Saat itu saya sangat memegang erat fatwa ulama yang melarang andil dalam Pemilu.
Di tengah masa itu, kebetulan saya menyaksikan jam-jam pemilihan presiden via televise di era Pemilu tahun 1999. Kandidat presidennya adalah Gus Dur, Megawati, dan Yusril. Sambil menyaksikan, dalam hati saya khawatir Megawati - yang didukung nasionalis, sekuler, Kristen, dan anti Islam - akan naik tahta presiden yang kebijakannya mengangkangi kepala saya. Secara syar'i pun saya tahu, haram hukumnya kepala negara dipegang oleh wanita. Suara Islam pecah menjadi dua, sementara kubu merah dalam satu bungkusan.
Sambil menikmati pesimitas saya, saya berharap ada 'sesuatu' yang berubah. Dan benar..... di detik-detik terakhir, Yusril yang lebih saya harapkan naik, mundur setelah ada kompromi. Suara nasionalis Islam jadi satu di bawah Gus Dur. Tinggal pilihan antara Gus Dur dan Megawati.
Ya....... saya tahu Gus Dur dan rekam jejaknya saat itu. Tapi pilihan lain adalah Megawati. Saya masih bisa husnudhdhan dengan Gus Dur waktu itu karena di belakangnya adalah gabungan partai Islam (melalui gerbong Poros Tengah). Tapi saya sangat susah berhusnudhdhan dengan Megawati dengan dasar kapasitas dirinya dan pihak-pihak yang membonceng di belakangnya. Berharap-harap cemas saat menyaksikan berjalannya voting anggota dewan. Dan.... akhirnya Gus Dur menang dengan selisih suara yang tak terlalu banyak dibandingkan Megawati. Wallahi, saya begitu senang melihatnya. Bukan senang dengan Gus Dur dan paham pluralitas yang dibawanya, tapi senang karena presiden saya bukan wanita. Senang karena terhindar mendapatkan pilihan paling jelek dari dua pilihan yang ada. Senang karena partai yang condong ke Islam 'menang' terhadap partai nasionalis sekuler, Kristen, dan anti Islam.
Tapi kesenangan saya sebatas senang saja dalam hati, karena saya abstain alias golput.
Seiring waktu, saya menjadi berpikir ulang secara bertahap. Sungguh aneh sikap saya.... senang, tapi golput. Gak suka Megawati jadi presiden, tapi golput. Senang jika keputusan mereka sesuai dengan yang saya harapkan, dan susah jika sebaliknya. Sepertinya saya hidup di suatu planet dan menyaksikan peristiwa di planet lain yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan saya.
Kemudian...... setelah saya lebih sering bergaul dengan internet, saya pun lebih mendapat informasi yang lebih luas. Membaca beberapa literatur berbahasa Arab dan Inggris. Dengannya, saya mendapatkan informasi antimainstream dari para ulama kibar di luar negeri dengan segala analisanya yang membolehkan Pemilu dan bahkan andil di parlemen, yang itu semua jarang dipopulerkan para ustadz dalam negeri. Memang, pendapat ini sangat sangat tidak populer di tanah air waktu itu, dan saya menyikapi informasi tersebut sebatas untuk pengetahuan pribadi saja. Saya jadi memahami istidlal dan istinbathpara ulama yang saya anggap masih antimainstream di sini.....
Ya.... memilih pemimpin adalah satu keniscayaan. Kita bersikap atau abstain, tetap saja sistem berjalan dan menghasilkan produk pimpinan dari sistem yang tidak kita sukai tersebut. Suka atau tidak suka, yang terpilih akan memimpin kita dan kita akan letakkan loyalitas kepadanya.
Kok saya nggakpercaya ya kalau ada orang mengatakan mau terpilih siapa saja presidennya, baginya sama saja. Tetap istiqamah, tawakal kepada Allah. Tidak masuk logika rasanya. Apalagi ditinjau dari sisi maqaashidusy-syari'ah, maslahat dan mafsadat. Apa iya, ketika kita dikasih pilihan hukuman yang tak bisa kita tolak antara digebuk satpam 5 kali sehari dengan 10 kali sehari kita katakan sama saja. Toh sama-sama hukuman..... Kalau saya, meski sama-sama menyakitkan, saya memilih hukuman gebuk 5 kali sehari saja.
Taruhlah sekarang kita diberikan hukuman diberikan calon pemimpin yang satu maling saja dan yang lain maling plus tukang sodomi. Masak kita akan bilang sama saja, terserah teman teman milih apa, saya golput, ngikut saja. Siapapun yang terpilih saya akan mematuhinya…......(?). Kalau saya, ya kalau memang pilihannya cuma dua tanpa ada ketiganya, saya akan pilih pemimpin yang maling saja. Logika saya, kalau cuma maling, paling banter harta saya yang hilang. Tapi kalau maling plus tukang sodomi, bisa jadi penderitaan saya bertambah. Anak saya berpotensi diserang secara seksual oleh orang-orang yang genetika psikisnya sama dengan Emon Sukabumi. Dapat herpes pula...... Saya punya pilihan untuk mencegah kemungkinan paling buruk menimpa diri saya.
Saya rasa, itu bukan sesuatu yang tak masuk akal ya.....
Rekan, ..... pilihan itu ada di depan kita sekarang. Mereka bukan maling, bukan pula teman si Emon tukang sodomi. Tapi mereka orang-orang yang punya kelebihan dan kekurangan. Mungkin pilihan yang ada saat ini laiknya pilihan barang kualitas kaki lima. Semua di bawah rata-rata, tak ada yang ideal, minus semua. Tapi saya yakin rekan..... bahwa diantara pilihan barang kualitas kaki lima itu, ada yang lebih mending dibannding yang lain. Yang lebih memberikan maslahat dan lebih sedikit mafsadatnya kepada Islam, kaum muslimin, dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Dan saya saat ini lebih milih Prabowo-Hatta.
#myselfdeclare
#bukan_pro_demokrasi
#bukan_jurkam_partai