Para ulama berbeda pendapat tentang hukum pakaian berwarna merah bagi laki-laki. Ada yang berpendapat mubah, haram, dan makruh. Berikut perincian dalil yang disampaikan masing-masing pendapat:
1. Mubah.
Pendapat ini dipegang oleh ulama Syaafi’iyyah[1], Maalikiyyah[2], dan sebagian Hanaabilah[3]. Sebagian ulama yang memegang pendapat ini ada yang berkata bahwa pembolehan itu jika pewarnaan dilakukan sebelum penenunan[4], bercampur dengan warna lain[5], atau dipudarkan kepekatannya[6]. Dalil yang menjadi pegangan mereka adalah:
عَنْ أبي جُحَيْفَةَ أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قُبَّةٍ حَمْرَاءَ مِنْ أَدَمٍ، وَرَأَيْتُ بِلَالًا أَخْرَجَ وَضُوءًا، فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُونَ ذَلِكَ الْوَضُوءَ، فَمَنْ أَصَابَ مِنْهُ شَيْئًا، تَمَسَّحَ بِهِ، وَمَنْ لَمْ يُصِبْ مِنْهُ، أَخَذَ مِنْ بَلَلِ يَدِ صَاحِبِهِ، ثُمَّ رَأَيْتُ بِلَالًا أَخْرَجَ عَنَزَةً فَرَكَزَهَا، وَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مُشَمِّرًا، فَصَلَّى إِلَى الْعَنَزَةِ بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ، وَرَأَيْتُ النَّاسَ وَالدَّوَابَّ يَمُرُّونَ بَيْنَ يَدَيِ الْعَنَزَة "
Dari Abu Juhaifah : Bahwasannya ia pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamberada di dalam kemah berwarna merah yang terbuat dari kulit yang disamak. Dan aku melihat Bilaal mengambilkan air wudlu. Lalu aku melihat orang-orang saling berebutan air wudlu tersebut (sisa dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Orang yang mendapatkannya (air wudlu), maka ia mengusapkannya (ke tubuh mereka); sedangkan orang yang tidak mendapatkannya, maka ia mengambil tangan temannya yang basah (untuk diusapkan ke tubuhnya). Kemudian aku melihat Bilaal mengeluarkan ‘anazah (tombak kecil) dan menancapkannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun keluar dengan mengenakan pakaian berwarna merah (hullah hamraa’) dalam keadaan tersingsing, lalu shalat dua raka’at menghadap ‘anazah mengimami orang-orang. Dan aku melihat orang-orang dan hewan-hewan lewat di depan ‘anazah tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 376 & 5859, Muslim no. 503, dan yang lainnya].
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ "
Dari Al-Barraa’ (bin ‘Aazib), ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pula pendek). Dan aku pernah melihat beliau mengenakan pakaian berwarna merah (hullah hamraa’). Aku tidak pernah melihat seseorang pun yang lebih baik daripada beliau” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3551 & 5848 & 5901, Muslim no. 2337, At-Tirmidziy no. 1724, dan yang lainnya].
عَنْ عَامِرٍ الْمُزَنِيِّ، قَالَ: " رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى يَخْطُبُ عَلَى بَغْلَةٍ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ أَحْمَرُ وَعَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَمَامَهُ يُعَبِّرُ عَنْهُ "
Dari ‘Aamir Al-Muzanniy, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Mina dan berkhuthbah di atas bighal-nya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memakai selendang berwarna merah, sedangkan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu ada di depannya mengulang semua yang diucapkan beliau” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4073; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/573].
عَنْ بُرَيْدَةَ ، قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ الْحَسَنُ، وَالْحُسَيْنُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَيْهِمَا قَمِيصَانِ أَحْمَرَانِ يَعْثُرَانِ وَيَقُومَانِ، فَنَزَلَ فَأَخَذَهُمَا فَصَعِدَ بِهِمَا الْمِنْبَرَ
Dari Buraidah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhuthbah kepada kami. Lalu Al-Hasan dan Al-Husain radliyallaahu ‘anhumaa datang dengan mengenakan pakaian berwarna merah. Keduanya terjatuh dan berdiri kembali. Melihat hal tersebut, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar, lalu menggendongnya dan mendudukkannya di atas mimbar” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3774, Abu Daawud no. 1109, Ibnu Abi Syaibah 8/180, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/539].
2. Haram.
Ibnu Hajar tidak menisbatkan pendapat ini pada ulama tertentu[7]. Dikatakan : “Jika pakaian diwarnai dengan warna merah setelah ditenun”.[8]
عَنْ عَلِيٍّ، أَنَّهُ قَالَ: نَهَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَخَتُّمِ الذَّهَبِ، وَعَنْ لُبْسِ الْقَسِّيِّ، وَعَنِ الْمُعَصْفَرِ الْمُفَدَّمِ، وَعَنِ الْقِرَاءَةِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ وَلا أَقُولُ نَهَاكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ
Dari ‘Aliy, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangku memakai cincin emas, mengenakan pakaian bersulam sutera, mengenakan pakaian al-mu’ashfar al-mufaddam (pakaian yang berwarna merah menyala karena dicelup dengan ‘ushfur), serta membaca Al-Qur’an ketika rukuk. Dan aku tidak mengatakan bahwa beliau melarang kalian wahai sekalian manusia” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1042 & 5173, Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj no. 1830-1834 & 1836-1841, Al-Baihaqiy 5/60, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 1/340].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: " نُهِيتُ عَنِ الثَّوْبِ الْأَحْمَرِ، وَخَاتَمِ الذَّهَبِ، وَأَنْ أَقْرَأَ وَأَنَا رَاكِعٌ "
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Aku dilarang untuk mengenakan pakaian berwarna merah, cincin emas, dan membaca Al-Qur’an ketika rukuk” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 5265 dan Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj no. 1835; dishahihkan sanadnya oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 3/401].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قال: رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ، فَقَالَ: " أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ " قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا، قَالَ: " بَلْ أَحْرِقْهُمَا "
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatku mengenakan dua helai pakaian mu’ashfar. Beliau bersabda : ‘Apakah ibumu yang memerintahkanmu demikian ?’. Aku menjawab : ‘Apakah aku mesti mencucinya?’. Beliau bersabda : ‘Bahkan bakarlah keduanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2077].
3. Makruh.
Pendapat ini dipegang oleh ulama Hanafiyyah[9]. Adapun ulama Hanaabilah menyatakan makruh apabila merah murni. Di sebagian riwayat, mereka (Hanaabilah) berkata : Apabila warnanya merah masak[10]. Sebagian mereka berkata : Makruh apabila dimaksudkan untuk perhiasan dan ketenaran (syuhrah).[11]
Dalil mereka adalah hadits-hadits yang disebutkan di atas dengan memahami hadits-hadits larangan tidak sampai pada derajat haram karena terdapat nash pemalingannya, yaitu hadits-hadits yang dibawakan pihak yang membolehkannya.
Yang raajih di sini – wallaahu a’lam – adalah pendapat yang menyatakan kebolehannya, karena telah shahih hadits-hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan kebolehannya. Jika dikatakan bahwa syarat kebolehannya itu harus bercampur dengan warna lain[12], maka itu bertentangan dengan dhaahir hadits yang dibawakan pendapat pertama. Para shahabat adalah orang yang paling fasih lisannya dan mereka telah mengatakan warna pakaian yang dikenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah merah. Seandainya merah di situ maksudnya bukan merah murni, tentu para shahabat yang menyifatinya. Apalagi telah shahih pula beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mentaqrir pakaian merah yang dikenakan Al-Hasan dan Al-Husain radliyallaahu ‘anhumaa.
Yang dilarang hanyalah jika pakaian dicelup dengan tumbuhan ‘ushfur – sehingga disebut pakaian mu’ashfar yang berwarna merah[13]- , karena ini termasuk kebiasaan orang kafir (di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Jika tidak dicelup dengan ‘ushfur, tidak mengapa. Adapun makna al-mufaddam, maka ini pun terkait warna merah yang dihasilkan celupan tumbuhan ‘ushfur ini.
حَدَّثَنَا عَلِيٌّ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ سُهَيْلٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْقَسِيَّةِ وَالْمُفَدَّمِ "، قَالَ يَزِيدُ: قُلْتُ لِلْحَسَنِ: مَا الْمُفَدَّمُ ؟ قَالَ: الْمُشَبَّعُ بِالْعُصْفُرِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy, dari Yaziid bin Abi Ziyaad, dari Al-Hasan bin Suhail, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang pakaian bersulam sutera dan pakaian al-mufaddam”. Yaziid berkata : Aku bertanya kepada Al-Hasan : “Apa itu al-mufaddam ?”. Ia menjawab : “Pakaian yang berwarna menyala karena dicelup ‘ushfur” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/182; sanadnya lemah].
Ini selaras dengan hadits yang telah disebutkan sebelumnya.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[anakmuslimtaat’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 14041435/14022014 – 00:55 - diantaranya mengambil faedah dari buku At-Tasyabbuh Al-Manhiy 'anhu fil-Fiqhil-Islaamiy hal. 416-424 - diedit tanggal 14022014, 21:23].
[1] Raudlatuth-Thaalibiin 1/575 dan Al-Majmuu’ 4/452 oleh An-Nawawiy, dan Fathul-Baariy oleh Ibnu Hajar 10/305.
[2] Al-Muwaththa’ 2/912, dan Asy-Syaukaaniy menisbahkan pendapat tersebut kepadanya dalam Nailul-Authaar2/96.
[3] Al-Mughniy oleh Ibnu Qudaamah 2/302 dan Al-Inshaaf oleh Al-Mardaawiy 1/482.
[4] Ini adalah perkataan Al-Khatththaabiy dalam Ma’aalimus-Sunan 4/338 – yang dicetak bersama dengan Sunan Abi Daawud.
[5] Ini adalah pendapat ulama Hanaabilah. Lihat Al-Mustau’ib oleh As-Saamiriy 2/433 dan Al-Inshaaf oleh Al-Mardaawiy 1/481.
[6] Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbaas. Lihat Fathul-Baariy 10/306.
[7] Fathul-Baariy 10/305.
[8] Ini adalah perkataan Al-Khaththaabiy dalam Ma’aalimus-Sunan4/388.
[9] Asy-Syaukaaniy menisbahkannya kepada ulama Hanafiyyah dan Nailul-Authaar 2/96). Lihat pula Syarh Fathil-Qadiir oleh Ibnul-Hammaam 2/71-72.
[10] Aadaabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih 3/515.
[11] Ini adalah madzhab Ibnu ‘Abbaas. Lihat Fathul-Baariy 10/306.
[12] Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan makna hullah hamraa’ :
والحلة : إزار ورداء ولا تكون الحلة إلا اسما للثوبين معا وغلط من ظن أنها كانت حمراء بحتا لا يخالطها غيره وإنما الحلة الحمراء : بردان يمانيان منسوجان بخطوط حمر مع الأسود كسائر البرود اليمنية وهي معروفة بهذا الإسم باعتبار ما فيها من الخطوط الحمر
“Dan hullah adalah kain sarung dan selendang. Hullah tidak lain hanyalah nama dua pakaian secara bersamaan. Telah keliru orang yang menyangka hullah itu berwarna merah murni tanpa ada percampuran warna lain. Hullah hamraa’ hanyalah dua mantel yang berasal dari Yamaan yang ditenun dengan benang berwarna merah dan putih sebagaimana (lazimnya) mantel-mantel Yaman. Ia sangat terkenal dengan nama ini karena keberadaan benar-benang mereka padanya” [Zaadul-Ma’aad, 1/137].
[13] Para ulama kemudian berbeda pendapat tentang warna mu’ashfar. Sebagian mereka mengatakan warna kuning, sebagian lagi berpendapat warna merah.
Yang raajih di sini – wallaahu a’lam – mu’ashfar adalah pakaian yang dicelup dengan warna merah.
Setelah membawakan hadits dla’if dari ‘Abdullah bin ‘Amru:
مَرَّ رَجُلٌ وَعَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَحْمَرَانِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ
“Ada seorang laki-laki mengenakan dua potong pakaian berwarna merah lewat, lalu mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak menjawabnya”
Kemudian At-Tirmidziy berkata:
وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ، أَنَّهُمْ كَرِهُوا لُبْسَ الْمُعَصْفَرِ، وَرَأَوْا أَنَّ مَا صُبِغَ بِالْحُمْرَةِ بِالْمَدَرِ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مُعَصْفَرًا
“Makna hadits ini menurut para ulama, yaitu mereka membenci memakai pakaian mu’ashfar. Dan mereka berpendapat bahwa pakaian yang diberi warna dengan tanah liat (yang berwarna merah) atau yang lainnya adalah tidak mengapa selama bukan mu’ashfar (diwarnai/dicelup dengan tumbuhan ‘ushfur)” [Jaami’ At-Tirmidziy4/501].
Selain itu, At-Tirmidziy memasukkan hadits ini dalam bab : Maa Jaa-a fii Karaahiyyati Lubsil-Mu’ashfar lir-Rajul wal-Qassiy.
Dengan memahami perkataan At-Tirmidziy di atas, mu’ashfar itu berwarna merah.
Akan tetapi merahnya di sini bukan merah darah, akan tetapi merah yang agak kekuningan, karena tumbuhan ‘ushfur sendiri berwarna orange.