Apakah Agama Tuhan (Bagian Ketiga) | Ilmu Islam

Minggu, 08 Maret 2015

Apakah Agama Tuhan (Bagian Ketiga)

Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal

Apa, bahas Agama Tuhan lagi? Ya iya dong, kenapa nggak? Soalnya masih ada yang bisa dijadikan pelajaran. Artikel Agama Tuhan yang pertama  bisa dibaca disini: Apakah Agama Tuhan? (Bagian Pertama). Dan artikel Agama Tuhan yang kedua disini: Apakah Agama Tuhan? (Bagian Kedua)


Pangkal diskusinya masih sama, yaitu pada tweet lucu yang satu ini. Pada artikel pertama, kita sudah bahas kekeliruan yang diakibatkan dari ketidakpahaman akan makna diin. Pada artikel kedua, kita sudah bahas kekeliruan logika seorang Muslim yang bertanya soal Tuhan kepada pastur. Pada hakikatnya, meski sama-sama menyebut kata “Tuhan”, tapi yang kita pertuhankan berbeda. Karena itu, jika ada Muslim yang belajar soal Tuhan dari umat lain, jelas problemnya ada pada ‘izzahdan logikanya sendiri.

Kali ini, saya ingin berikan pertanyaan lebih menantang lagi.


Pertanyaan saya: Mengapa sang Pastur bertanya seperti itu? Pertanyaan yang diajukan oleh sang Pastur adalah retorika. Kita dapat dengan mudah menerka jawaban yang ia kehendaki. Jawaban yang ia kehendaki itu adalah cerminan dari pemahaman dalam benaknya sendiri. Tapi mengapa seorang Pastur harus mempertanyakan apa agama Tuhan? Ada apa di balik pertanyaan ini? Bagi seorang Muslim, tidak ada perlunya mempertanyakan agama Tuhan (cek artikel pertama). Lalu ada apa dengan pastur ini?

Akar perbedaan setiap agama adalah pada konsep ketuhanannya. Konsep ketuhanan bukan hanya membedakan masing-masing agama, tapi juga membedakan cara berpikir umat beragama. Disinilah, lagi-lagi, kita melihat kenaifan paham pluralisme agama. Umat Muslim dan Kristiani boleh jadi sama-sama menggunakan kata “Tuhan”, tapi yang dibicarakan tidaklah sama. Sebagian agama di dunia berusaha mendeskripsikan tuhannya dengan sebuah imej visual, tapi Islam tidak demikian. Bagi seorang Muslim, menggambarkan Allah s.w.t ke dalam sebuah imej visual adalah absurd. Sebab, segala hal yang kita dapat saksikan wujudnya di alam semesta ini memiliki keterbatasan.

Dalam agama Kristen, Yesus dianggap bagian dari Trinitas, ia dianggap tuhan juga. Penjelasannya memang rumit. Ada masalah besar yang muncul ketika Tuhan ‘mewujud’ menjadi manusia, konsepnya jadi berantakan. Sebab, ketika Tuhan digambarkan seperti manusia, maka semua keterbatasan manusia pun ‘dibawa serta’. Contoh sederhana saja, jika ‘tuhan’ berjalan, kita semestinya bertanya: Apa Tuhan harus berjalan? Padahal, ruang dan waktu ini adalah ciptaan Tuhan. Lalu mengapa ‘tuhan’ harus berjalan menempuh ruang? Jika kita melihat ‘tuhan’ makan, kita semestinya kritis: Apa Tuhan butuh makan? Apa yang terpikirkan dalam benak jika kita melihat ‘tuhan’ berkeringat karena kelelahan? Jika kita melihat ‘tuhan’ buang air, apakah kita masih akan menganggapnya sebagai Tuhan?

Para pemeluk agama Kristen bahkan meyakini tuhan yang berdo’a. Berdo’a kepada siapa? “Ketika Yesus disalib, lagi-lagi ia berdoa lirih, “Eli.. Eli.. Lama sabachtani...”

Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Bibel – Matius 27:46)

Bagi umat Muslim, berdo’a itu memang pekerjaan manusia. Yang berdo’a sudah pasti manusia, bukan Tuhan. Mengapa manusia berdo’a? Sebab ada keterbatasannya. Kemampuan kita memang terbatas. Manusia makan karena memang tubuhnya butuh makan. Demikian juga berkeringat dan buang air. Tubuh manusia memang akan mati jika disalib. Maka, yang mati disalib pastilah manusia, bukan Tuhan. Lucunya, sekarang ada yang mendebat: “Bukankah tak ada yang tak mungkin jika Tuhan berkehendak?”



Menurut logikanya, Tuhan bisa mewujud menjadi manusia jika Dia menghendakinya. Jadi, Tuhan akan berbuat APA SAJA, hanya karena DIA BISA? Itukah logika yang benar? Mari formulasikan teori tersebut dalam kepala. Jika kita setuju Tuhan itu Maha Mulia, apakah teori ini sesuai?

Mari berbelok sejenak. Bayangkanlah seorang penguasa yang mulia. Ini manusia, lho! Ada seseorang berkuasa secara politis, fisik, finansial, dan lain-lain. Bisa dikatakan ia bisa melakukan (nyaris) apa saja. Karena ia sangat berkuasa, maka ia merasa bebas berbuat apa saja. Ia tidak menjaga sikapnya. Ia tertawa terbahak-bahak, bersendawa, dan buang angin sembarangan seperti rakyat jelata. Karena ia berkuasa penuh, maka ia pun berbuat zalim kepada rakyatnya. Contoh yang seperti ini banyak sekali di dunia. Melakukan sesuatu hanya karena anda bisa melakukannya sebenarnya BUKANLAH tindakan mulia.

Hanya karena Tuhan Maha Kuasa, bukan berarti Dia sudi melakukan segalanya. Sebab, selain Maha Kuasa, Tuhan juga Maha Mulia. Rasanya kita semua sepakat dengan hal ini. Oleh karena itu, meski Tuhan Maha Kuasa, ia takkan melakukan apapun yang merusak kemuliaan-Nya. Bagaimana jika di akhirat kelak orang-orang beriman dan kafir sama-sama dimasukkan ke Neraka? Di satu sisi, itu hak prerogatif Tuhan, tapi itu justru ‘merusak kemuliaan-Nya’. Sebab, Tuhan sendiri yang menyuruh manusia untuk menepati janji. Menepati janji itu mulia. Tuhan juga menyuruh manusia membalas kebaikan dengan kebaikan. Itulah perbuatan mulia. Maka, apakah wajar jika Tuhan melanggar janji-Nya sendiri dan membalas kebaikan dengan siksaan? Meskipun Tuhan Maha Kuasa melakukan hal tersebut, tapi kita meyakini Dia takkan melakukannya. Allah s.w.t itu Maha Perkasa, namun Dia juga menamai diri-Nya sebagai Maha Penyayang. Meski Allah mampu menyiksa semua manusia tanpa terkecuali, namun kasih sayang-Nya mendahului siksa-Nya.

Logika yang sama bisa kita gunakan dalam hal apa pun. Tuhan Maha Kuasa, tapi apa Dia sudi mewujud menjadi makhluk-Nya? Apakah Tuhan sudi merendahkan diri-Nya hingga ke level makhluk-Nya?

Bagaimana dengan yang ngotot ‘berlogika’ tadi? Ujung-ujungnya malah menolak logika tuh. Karena hal-hal seperti inilah saya malas berdebat di Twitter. Orang terlalu gampang menjilat ludah sendiri dalam 140 karakter. Bagi umat Muslim, konsep semacam ini sudah sangat dipahami. Anak kecil pun paham.

Allah s.w.t mengirimkan para Nabi dan Rasul untuk menjadi teladan, karena mereka 100% manusia. Para Nabi harus mencontohkan cara makan dan minum dengan benar. Oleh karena itu, mereka pun makan dan minum. Bahkan manusia harus pula diajari cara buang air yang benar, maka, para Nabi pun melakukannya. Allah s.w.t tidak perlu ‘turun tangan’ langsung untuk menjelaskan cara manusia memenuhi kebutuhannya. Umat Muslim tidak pernah gamang membedakan antara Tuhan dan manusia, karena memang jelas bedanya.

Tapi tidak demikian halnya bagi agama-agama yang ‘memanusiakan’ tuhan mereka. Jauh sebelum agama Kristen lahir, masyarakat Yunani kuno pun mengalami ‘kebingungan’ yang sama. Dewa-dewi mereka sangat manusiawi. Meskipun punya kemampuan hebat, tetap saja manusiawi. Pada akhirnya, mereka pun bingung membedakan antara manusia dan dewa-dewinya. Ada dewa-dewi seperti Zeus, Hades, Poseidon, Hera, dan seterusnya. Ada manusia separuh dewa seperti Hercules dan Perseus. Tapi, ada juga manusia yang kepahlawanannya bak dewa seperti Achilles dan Odysseus. Adakalanya, manusia separuh dewa dan manusia yang bak dewa bisa mengalahkan dewa yang sesungguhnya. Di saat lain, para dewa melakukan hal-hal yang tidak mulia seperti manusia, bahkan lebih hina daripada manusia biasa.

Kalau sudah begini, niscaya kerancuan berpikir akan selalu terjadi. Akibatnya, manusia tidak mengenal Rabb-nya. Maka janganlah heran jika ada Pastur yang kemudian bertanya: “Apa sebenarnya Agama Tuhan?” Yang paling ajaib sesungguhnya adalah mereka yang sudah mengenal tauhid namun latah dengan kegamangan orang-orang kafir. Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah atas nikmat iman dan Islam ini. Semoga kita semua senantiasa berada di jalan-Nya yang lurus. Aamiin, Allaahumma aamiin...


YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/anakmuslimtaat

Apakah Agama Tuhan (Bagian Ketiga) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top