Al-Balaadzuriy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنِي رَوْحُ بْنُ عَبْدِ الْمُؤْمِنِ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ، أَنَّ عَلِيًّا أَتَاهُمْ عَائِدًا، فَقَالَ: " مَا لَقِيَ أَحَدٌ هَذِه الأُمَّةَ مَا لَقِيتُ، تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَحَقُّ النَّاسِ بِهَذَا الأَمْرِ، فَبَايَعَ النَّاسُ أَبَا بَكْرٍ، فَاسْتَخْلَفَ عُمَرَ، فَبَايَعْتُ وَرَضِيتُ وَسَلَّمْتُ، ثُمَّ بَايَعَ النَّاسُ عُثْمَانَ، فَبَايَعْتُ وَسَلَّمْتُ وَرَضِيتُ، وَهُمُ الآنَ يَمِيلُونَ بَيْنِي وَبَيْنَ مُعَاوِيَةَ "
Telah menceritakan kepadaku Rauh bin ‘Abdil-Mu’min, dari Abu ‘Awaanah, dari Khaalid Al-Hadzdzaa’, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakrah : Bahwasannya ‘Aliy pernah datang menjenguk mereka, lalu berkata : “Tidak ada seorang pun dari umat ini yang mengalami seperti yang aku alami. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat sedangkan aku adalah orang yang paling berhak dalam urusan ini. Lalu orang-orang membaiat Abu Bakr, kemudian ‘Umar menggantikannya. Lalu aku pun berbaiat (kepadanya), merasa ridlaa, dan menerimanya. Kemudian orang-orang membaiat ‘Utsmaan, lalu aku juga berbaiat (kepadanya), merasa ridlaa, dan menerimanya. Dan sekarang mereka cenderung antara aku dan Mu’aawiyyah” [Ansaabul-Asyraf, 2/402].
Diriwayatkan juga oleh Al-Harbiy[1]dalam Fadlaailu Abi Bakr Ash-Shiddiiq no. 17 dan ‘Abdullah bin Ahmad no. 1315-1316; semuanya dari jalan Abu ‘Awaanah.
Sanad riwayat ini shahih[2].
Terus terang saya senang ada orang Syi’ah membawakan dan mengakui riwayat ini, karena hal tersebut menunjukkan bahwa mereka (orang Syi’ah) mengakui ‘Aliy bin Abi Thaalib telah membaiat Abu Bakr, 'Umar, dan 'Utsmaan radliyallaahu ‘anhum dengan penuh keridlaan dan penerimaan, bukan keterpaksaan. Keridlaan dan penerimaan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu merupakan sikap yang sangat terpuji sebagaimana keridlaan dan penerimaan para shahabat yang lain setelah sempat berselisih tentang siapakah yang lebih berhak terhadap kekhalifahan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam[3].
Tidak mungkin keridlaan dan penerimaan dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu diungkapkan terhadap dosa dan maksiat.
Ridlaaadalah lawan kata dari as-sukhth (tidak puas, kemarahan), sehingga orang yang ridlaa tidak mungkin akan marah, jengkel, atau semacamnya.
Makna 'engkau ridlaaterhadap sesuatu' adalah:
قَنَعْت بِهِ وَاكْتَفَيْت بِهِ ، وَلَمْ أَطْلُب مَعَهُ غَيْره
“Engkau merasa puas dan merasa cukup dengannya, dan tidak menginginkan selainnya” [Syarh Shahiih Muslim, 1/51].
Ini seperti perkataan yang ada dalam hadits:
ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ، مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridla kepada Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan (nabi) Muhammad sebagai rasulnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 34].
Ridlaa menggambarkan lapangnya hati.
Adapun tasliim, maka kedudukannya lebih tinggi dari ridlaa. Tasliim adalah sikap tunduk dan patuh (inqiyaad) terhadap sesuatu, menerima secara total baik lahir dan batin [lihat : Al-Furuuq Al-Lughawiyyah, no. 1012]. Ini seperti sikap yang diterangkan dalam firman Allah ta’ala :
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
Oleh karena itu, jika ‘Aliy mengatakan ia ridlaa dan taslim terhadap kekhalifahan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum sehingga berbaiat kepada mereka, artinya ia merasa puas, cukup, tidak akan mencari/menuntut yang lain, tidak ada keberatan hati, dan melaksanakan segala konsekuensinya secara lahir dan batin.
Seandainya baiat terhadap Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan merupakan kemunkaran/kemaksiatan di sisi Allah dan Rasul-Nya, maka ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum tidak mungkin ia bersikap ridlaa dan menerima (tasliim) atas keputusan tersebut. Bahkan haram hukumnya. Kecuali, jika ada orang yang ingin menuduh ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berperilaku nifaq (beda antara mulut dan hati), dan – na’uudzubillah – sungguh sangat jauh ia dari sifat itu. Seandainya pun dikatakan terpaksa, tetap haram hukumnya merasa ridla dan taslim atas kemunkaran itu – jika itu dianggap sebagai kemunkaran - . Ini seperti firman Allah ta’ala:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar” [QS. An-Nahl : 106].
Maksudnya, seandainya seseorang dipaksa melakukan kemunkaran[4] – bahkan kekafiran – maka ia diberikan ‘udzur, akan tetapi ia tidak boleh melapangkan dadanya terhadap kemunkaran yang terpaksa ia lakukan itu.
Jika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu merasa ridlaa dan taslim (menerima), mengapa orang-orang Syi’ah pengikut ‘Abdullah bin Saba’, Khomeini, dan As-Sistaaniy yang mengaku sangat mencintai Ahlul-Bait tidak merasa ridlaa dan tasliim ?.
Para shahabat, Ahlul-Bait, dan kaum muslimin merasa ridlaa dengan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan sebagaimana ‘Aliy merasa ridlaa.
Kita bersama ‘Aliy bin Abi Thaalib dan Ahlul-Baitnya dalam satu perahu, sementara ‘Abdullah bin Saba’, Khomeini, As-Sistaaniy, dan pengikutnya dari kalangan Syi’ah Raafidlah dalam perahu yang lain.
Hanya kepada Allah ta’ala kita memuji atas nikmat Islam ini dan kita doakan semoga orang-orang Syi’ah Raafidlah diberikan petunjuk mau mengikuti agama Islam yang diajarkan ‘Aliy dan Ahlul-Baitnya.
Wallaahul-musta’aan.
[anakmuslimtaat’ – perumahan ciomas permai – 25032015 – 01:03].
[1] Akan tetapi Al-Harbiy menyebutkan syaikh dari Khaalid Al-Hadzdzaa’ adalah ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr, dan ini keliru, karena yang benar adalah ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakrah sebagaimana riwayat yang lainnya.
[3] Para shahabat sempat bersitegang siapakah yang akan menggantikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kaum Anshaar mengajukan Sa’d bin ‘Ubaidah radliyallaahu ‘anhu, karena mereka merasa sebagai ‘tuan rumah’ sehingga lebih berhak. Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu menyarankan khalifah berasal dari Quraisy. Begitu juga ‘Aliy berpendapat ia mempunyai hak atas kepemimpinan tersebut karena faktor kekerabatannya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, alasan yang sama ketika ia berpendapat mendapatan warisan Fadak.
Namun yang pasti, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan mandat kepemimpinan yang jelas secara khusus kepada seseorang. Tidak kepada Abu Bakr, tidak ‘Umar, tidak ‘Utsmaan, tidak pula ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا يَحْيَى، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ، قَالَ: انْطَلَقْتُ أَنَا وَالْأَشْتَرُ إِلَى عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقُلْنَا: هَلْ عَهِدَ إِلَيْكَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا لَمْ يَعْهَدْهُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً؟ قَالَ: لَا، إِلَّا مَا فِي كِتَابِي هَذَا، قَالَ: وَكِتَابٌ فِي قِرَابِ سَيْفِهِ، فَإِذَا فِيهِ: " الْمُؤْمِنُونَ تَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ، وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ، أَلَا لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ، وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ، مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا، أَوْ آوَى مُحْدِثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, dari Al-Hasan, dari Qais bin ‘Ubaad, ia berkata : Aku pergi bersama Al-Asytar menuju ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Kami bertanya : “Apakah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah berwasiat sesuatu kepadamu yang tidak beliau wasiatkan kepada kebanyakan manusia ?”. Ia berkata : “Tidak, kecuali apa-apa yang terdapat dalam kitabku ini”. Perawi berkata : Dan kitab yang terdapat dalam sarung pedangnya dimana padanya bertuliskan : ‘Orang-orang mukmin sederajat dalam darah mereka. Mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dimana orang-orang yang paling rendah dari kalangan mereka berjalan dengan jaminan keamanan mereka. Ketahuilah, tidak boleh dibunuh seorang mukmin karena membunuh orang kafir. Tidak pula karena membunuh orang kafir yang punya perjanjian dengan kaum muslimin. Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru (dalam agama) atau melindungi orang yang jahat, maka laknat Allah atasnya, laknat para malaikat dan manusia seluruhnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/122; shahih].
اتّفقت الإماميّة على أنّ من أنكر إمامة أحد من الأئمّة وجحد ما أوجبه الله تعالى له من فرض الطّاعة فهو كافر ضالّ مُستحقّ للخلود في النّار
“Madzhab Imaamiyyah telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang mengingkari imaamahsalah seorang di antara para imam, dan mengingkari apa yang telah Allah ta’ala wajibkan padanya tentang kewajiban taat, maka ia kafir lagi sesat berhak atas kekekalan neraka” [Awaailul-Maqaalaat, hal 44 – sumber : http://www.al-shia.org/html/ara/books/lib-aqaed/avael-maqalat/a01.htm].
Jadi, proses pengangkatan dan pembaiatan khalifah Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan menurutnya – dan kemudian diikuti oleh segenap penganut agama Syi’ah – merupakan bentuk kemunkaran dan pengingkaran atas keimamahan ‘Aliy. Ya, tegasnya, itu merupakan kekafiran.
Kata Al-Kulainiy:
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ أَبِي نَصْرٍ عَنْ أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ مَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَواهُ بِغَيْرِ هُدىً مِنَ اللَّهِ قَالَ يَعْنِي مَنِ اتَّخَذَ دِينَهُ رَأْيَهُ بِغَيْرِ إِمَامٍ مِنْ أَئِمَّةِ الْهُدَى
Sejumlah shahabat kami, dari Ahmad bin Muhammad, dari Ibnu Abi Nashr, dari Abul-Hasan (‘alaihis-salaam) tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun’ (QS. Al-Qashshash : 50), ia berkata : “Yaitu orang yang tidak mengambil agamanya dengan pendapatnya sendiri tanpa bimbingan dari imam dari imam-imam yang memberikan bimbingan/petunjuk (baca : imam Syi’ah)” [Al-Kaafiy, 1/374].
Al-Majilisy (4/213) dan Al-Bahbudiy (1/43) bilang, riwayat di atas shahih.
Artinya, ketika pengangkatan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan sebagai khalifah dan kemudian mengakui kepemimpinan, keputusan, dan agama mereka merupakan bentuk kesesatan yang dibicarakan ayat. Begitu kata orang Syi’ah.