Pembagian Bid’ah Secara Syar’i dan Lughawi Buatan Wahabi | Ilmu Islam

Rabu, 13 Mei 2015

Pembagian Bid’ah Secara Syar’i dan Lughawi Buatan Wahabi

Tanya : Benarkah pembagian bid’ah menjadi lughawi dan syar’i merupakan pembagian yang dilakukan Wahabi, khususnya ketika mereka mengatakan perkataan bid’ah yang diucapkan ‘Umar tentang shalat tarawih maksudnya adalah bid’ah secara lughawi ?.
Jawab : Wahabi – terlepas dari pembicaraan apakah setuju atau tidak setuju dengan istilah ini - , jika yang Anda maksudkan adalah orang-orang yang menokohkan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, dan Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah, maka itu tidak benar. Tidak benar perkataan itu dibuat-buat oleh orang-orang Wahabi.
Pembagian bid’ah dari sisi lughawiy dan syari’iy telah disebutkan oleh para ulama kita, khususnya ketika mereka menjelaskan makna bid’ah secara lughawiy yang secara ringkasnya adalah segala sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencakup yang tercela dan terpuji; sedangkan bid’ah secara syar’iy adalah khusus untuk makna yang tercela. Makna kedua inilah yang terdapat dalam banyak nash yang mencela bid’ah dalam agama[1].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
و " الْمُحْدَثَات " بِفَتْحِ الدَّالّ جَمْع مُحْدَثَة وَالْمُرَاد بِهَا مَا أُحْدِث ، وَلَيْسَ لَهُ أَصْل فِي الشَّرْع وَيُسَمَّى فِي عُرْف الشَّرْع " بِدْعَة " وَمَا كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا
“Dan al-muhdatsaat’ adalah jamak dari kata muhdats. Yang dimaksud dengannya adalah segala sesuatu yang baru/diadakan, tidak ada asalnya dalam syari’at, dan kemudian dinamakan dalam ‘urf syari’at dengan bid’ah. Adapun segala sesuatu yang mempunyai asal yang ditunjukkan oleh syari’at, maka itu bukan bid’ah. Maka, bid’ah dalam ‘urf syar’iy adalah tercela. Berbeda halnya dengan bid’ah secara bahasa, karena segala sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya dinamakan bid’ah, baik terpuji maupun tercela” [Fathul-Baariy, 13/253].
وَأَمَّا " الْبِدَع " فَهُوَ جَمْع بِدْعَة وَهِيَ كُلّ شَيْء لَيْسَ لَهُ مِثَال تَقَدَّمَ فَيَشْمَل لُغَة مَا يُحْمَد وَيُذَمّ ، وَيَخْتَصّ فِي عُرْف أَهْل الشَّرْع بِمَا يُذَمّ وَإِنْ وَرَدَتْ فِي الْمَحْمُود فَعَلَى مَعْنَاهَا اللُّغَوِيّ
“Adapun al-bida’, maka ia adalah jamak dari kata bid’ah, yaitu segala sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Secara bahasa, bid’ah meliputi segala sesuatu, baik yang terpuji maupun yang tercela. Dan dikhususkan dalam ‘urf (peristilahan) ahlusy-syar’i (ulama syari’at) untuk sesuatu yang tercela saja. Seandainya bid’ah digunakan dalam pujian, maka maknanya adalah (bid’ah) lughawiy” [idem, 13/278].
Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
والبدعة على قسمين: تارة تكون بدعة شرعية، كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة. وتارة تكون بدعة لغوية، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارهم: نعْمَتْ البدعةُ هذه
“Dan bid’ah tebagi menjadi dua macam. Kadang ia  menjadi bid’ah yang syar’iyseperti sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ’Sesungguhnya setiap hal yang baru (muhdats) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan’. Dan kadang menjadi bid’ah lughawiyyah (= bid’ah secara bahasa), seperti perkataan Amiirul-Mukminiin ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu dalam usahanya untuk mengumpulkan orang-orang dalam shalat tarawih dan terus menerus melakukannya : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini” [Tafsiir Ibni Katsiir, 1/398].
Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
فقوله صلى الله عليه وسلم : (( كلُّ بدعة ضلالة )) من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ ، وهو أصلٌ عظيمٌ من أصول الدِّين ، وهو شبيهٌ بقوله : (( مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنا ما لَيسَ مِنهُ فَهو رَدٌّ )) ، فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
وأما ما وقع في كلام السَّلف مِنِ استحسان بعض البدع ، فإنَّما ذلك في البدع اللُّغوية ، لا الشرعية ، فمِنْ ذلك قولُ عمر رضي الله عنه لمَّا جمعَ الناسَ في قيامِ رمضان على إمامٍ واحدٍ في المسجد ، وخرج ورآهم يصلُّون كذلك فقال : نعمت البدعةُ هذه .
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Setiap bid’ah adalah kesesatan’ termasuk jawaami’ul-kalim[2], yang tidak keluar dari keumumannya. Dan ia merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok agama, dan menyerupai sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada di dalamnya, maka tertolak’. Maka setiap orang yang mengadakan sesuatu, lalu ia menisbatkannya kepada agama dan perkara tersebut tidak ada asalnya dari agama, maka kembali kepadanya (yaitu : kesesatan) dan agama pun berlepas diri darinya. Baik pada perkara keyakinan maupun amalan, yang dhahir maupun yang batin.
Adapun yang ada dalam perkataan salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah, maka itu hanyalah ada pada bid’ah lughawiyyah (secara bahasa), bukan syar’iyyah (secara syari’at). Yang termasuk dalam bagian tersebut adalah perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu ketika ia mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih di bulan Ramadlaan dengan satu imam di masjid, serta orang-orang setelah mereka pun keluar melakukannya juga : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 597 – tahqiq : Al-Fahl].
Perkataan Ibnu Rajab tersebut juga disitir oleh Al-Mubaarakfuriy dalam Tuhfatul-Ahwadziy 7/439-440.
Jika kita perhatikan, kata bid’ah itu bisa ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan segi syari’at. Perbuatan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu yang mengumpulkan orang-orang dalam shalat tarawih dengan satu imam di masjid bukan termasuk bid’ah, karena ia ada contohnya sebelumnya dari perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti melakukannya karena khawatir shalat tersebut akan diwajibkan kepada mereka, sebagaimana sabdanya:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 882 dan Muslim no. 761].
Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dan syari’at telah sempurna, maka ‘illat tersebut di atas tidak ada. Tidak ada kewajiban selain apa yang diwajibkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya[3]. Oleh karena itu, pensyari’atan pelaksanaan shalat taraawih kembali pada keumuman sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1375, At-Tirmidziy no. 806 dan ia berkata : ‘Hasan shahih’, An-Nasaa’iy no. 1364 & 1605, Ibnu Maajah no. 1327, dan yang lainnya; shahih[4]].
Suata perkara yang ditinggalkan atau tidak ada dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena adanya faktor penghalang, kemudian hal itu dilakukan sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena faktor penghalangnya sudah tidak ada; maka itu bukan termasuk bid’ah secara syari’iy. Contohnya adalah shalat tarawih berjama’ah di masjid sebagaimana dilakukan (kembali) oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Contoh lain adalah pengumpulan mushhaf di jaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu.[5]
Dengan demikian, perkataan ‘Umar : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’, bukan dalam konteks makna syar’iy, namun lughawiy sebagaimana dikatakan para ulama di atas. Bisa dikatakan sebagai bid’ah yang terpuji.
Lain halnya jika ada orang yang melakukan halaqah-halaqah dzikir berjama’ah khusus yang dipimpin oleh orang tertentu, maka ini bid’ah dalam makna syari’iy (tercela) sehingga dicela oleh Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Begitu pula ketika ada orang yang mengucapkan shalawat ketika bersin, maka ini juga bid'ah sehingga diingkari oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Tidak ada faktor penghalang bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan dua perbuatan, namun kenyataannya beliau tidak melakukannya. Tidak ada ruang bid’ah hasanah/mahmuudah dalam perkara ini.
Intinya, pembagian bid’ah menjadi lughawi dan syar’i ini bukan produk orang-orang Wahabi, tapi memang berdasarkan penjelasan para ulama. Dan itu memang tepat sebagaimana konteksnya.
Wallaahu a’lam.
[anakmuslimtaat’ – perumahan ciomas permai – 13052015 – 00:09].




[1]      Diantaranya hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada di dalamnya, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2697 dan Muslim no. 1718].
dalam riwayat lain dibawakan dengan lafadh:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang beramal dengan satu amalan yang tidak ada keterangannya dari kami, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718].
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ، وَيَقُولُ: بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى ، وَيَقُولُ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sedang berkhutbah, mata beliau memerah, suaranya keras dan kemarahan beliau memuncak, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan (dari musuh). Beliau bersabda : "Hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari tengah)". Kemudian beliau melanjutkan: "Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah kesesatan" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 867].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا هُمَا اثْنَتَانِ: الْكَلَامُ، وَالْهَدْيُ، فَأَحْسَنُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ، وَأَحْسَنُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، أَلَا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya hanya ada dua hal : perkataan dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkataan (kalaam) adalah Kalaamullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (yang diada-adakan), setiap hal baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 46; shahih].
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Irbaadl bin Saariyyah : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Siapa saja yang hidup di antara kalian sepeninggalku nanti, akan menjumpai banyak perselisihan. Wajib atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah dan sunnah para khalifah yang mendapatkan hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham. Waspadalah kalian terhadap hal-hal yang baru, karena setiap hal-hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih].
[2]      Perkataan singkat namun mengandung makna yang banyak dan luas.
[3]      Ibnu ‘Abdil-Barr rahimaullah berkata:
فيه أن قيام رمضان سنة من سنن النبي عليه السلام مندوب إليها مرغب فيها ولم يسن منها عمر إلا ما كان رسول الله يحبه ويرضاه وما لم يمنعه من المواظبة عليه إلا أن يفرض على أمته وكان بالمؤمنين رؤوفا رحيما صلى الله عليه و سلم فلما علم عمر ذلك من رسول الله وعلم أن الفرائض في وقته لا يزاد فيها ولا ينقص منها أقامها للناس وأحياها وأمر بها وذلك سنة أربع عشرة من الهجرة صدر خلافته
“Dalam hadits terdapat faedah bahwa shalat (tarawih) di bulan Ramadlaan termasuk diantara sunnah-sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disunnahkan dan dianjurkan untuk melakukannya. ‘Umar tidaklah men-sunnah-kannya, karena perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dicintai dan diridlai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sehingga ‘Umar sekedar menghidupkannya – anakmuslimtaat’). Tidak ada halangan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk terus melakukannya, kecuali karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya, sedangkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sayang terhadap kaum mukminiin. Ketika ‘Umar mengetahui hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa kewajiban-kewajiban di masanya tidak akan bertambah dan berkurang (karena Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah wafat), maka ia (‘Umar) mendirikannya, menghidupkannya, dan memerintahkannya melakukan shalat tarawih berjama’ah bersama orang-orang. Peristiwa itu terjadi tahun 14 hijriyyah di masa pemerintahannya” [Al-Istidzkaar, 1/62-63].
[5]      Dulu di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hal ini tidak dilakukan karena masih adanya penghalangnya, yaitu masih banyaknya shahabat yang menghapal Al-Qur’an sehingga Al-Qur’an masih terjaga. Namun ketika terjadi perang Yamaamah dan banyak penghapal Al-Qur’an yang gugur, maka faktor penghalangnya yang sebelumnya eksis menjadi tidak ada. Ada faktor pendorong untuk melakukannya, yaitu menjaga Al-Qur’an. Dapat dibaca artikel terkait : Apakah Setiap Amal yang Tidak Dilakukan di Jaman Nabi Disebut Bid'ah ?.

Pembagian Bid’ah Secara Syar’i dan Lughawi Buatan Wahabi Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top