Perdebatan yang Tidak Disyari’atkan.
Perdebatan jenis inilah yang dimaksudkan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Ushuulus-Sunnah yang sedang dibahas. Diantara dalil-dalilnya adalah:
a. Firman Allah ta’ala:
وَلَمَّا ضُرِبَ ابْنُ مَرْيَمَ مَثَلا إِذَا قَوْمُكَ مِنْهُ يَصِدُّونَ * وَقَالُوا أَآلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلا جَدَلا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Dan ketika putra Maryam (‘Iisaa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (‘Iisaa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar” [QS. Az-Zukhruf : 58].
Ada riwayat terkait ayat di atas sebagai berikut:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ، ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلا جَدَلا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
Dari Abu Umaamah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan petunjuk kecuali karena mereka melakukan perdebatan”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat : ‘Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar’ (QS. Az-Zukhruf : 58) [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3253 dan ia berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”].
Makna hadits tersebut adalah tidaklah kesesatan dan terjatuhnya mereka dalam kekufuran kecuali dengan sebab perdebatan, yaitu berbantah-bantahan dengan kebathilan terhadap Nabi mereka, menyembunyikan kebenaran dengannya, mengadu antara satu kebenaran dengan kebenaran yang lain dalam rangka membuat kontradiksi dan penafikan antara keduanya.
b. Firman Allah ta’ala:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلا الَّذِينَ كَفَرُوا
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir” [QS. Al-Mu’min : 5].
Sebagian ulama terdahulu menganggap ayat ini sebagai salah satu ayat yang paling keras mencela orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah.
عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ، قَالَ: آيَتَانِ مَا أَشَدَّهُمَا عَلَى الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي الْقُرْآنِ، مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلا الَّذِينَ كَفَرُوا و وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ
Dari Abul-‘Aaliyyah, ia berkata : “Dua ayat yang paling keras mencela orang-orang yang memperdebatkan Al-Qur’an, yaitu : ‘Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir’ (QS. Al-Mu’min : 5) dan ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran)’ (QS. Al-Baqarah : 176)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaanno. 2078].
Sikap memperdebatkan ayat-ayat Allah ta’ala - baik berupa khabar maupun hukum - merupakan ciri khas orang-orang kafir dan musyrik. Hal itu dikarenakan hawa nafsu dan lemahnya keyakinan mereka terhadap ayat tersebut sehingga cenderung untuk menolaknya.
c. Firman Allah ta’ala:
الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ الَّذِينَ آمَنُوا كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ
“(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang” [QS. Al-Mukmin : 35].
Sama seperti sebelumnya, ayat di atas merupakan dalil yang sangat jelas tentang larangan berbantah-bantahan untuk memperdebatkan ayat Allah ta’ala, karena,
d. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمِرَاءُ فِي الْقُرْآنِ كُفْرٌ
“Perdebatan tentang Al-Qur’an adalah kekufuran” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4603; shahih].
Yaitu perdebatan yang menyebabkan timbulnya keraguan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Diantaranya perdebatan terhadap ayat-ayat mutasyaabihaat yang seringkali menghasilkan pengingkaran terhadap Kalaamullah, fitnah, dan bahkan pertumpahan darah.
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْن عَمْرٍو، قَالَ: هَجَّرْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا، قَالَ: فَسَمِعَ أَصْوَاتَ رَجُلَيْنِ اخْتَلَفَا فِي آيَةٍ، فَخَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْرَفُ فِي وَجْهِهِ الْغَضَبُ، فَقَالَ: إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِاخْتِلَافِهِمْ فِي الْكِتَابِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : Pada suatu hari aku bergegas-gegas menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada pagi hari. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara dari dua orang yang berselisih tentang ayat Al-Qur’an. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami dengan wajah yang diliputi kemarahan. Beliau bersabda : “Sesungguhnya perkara yang membinasakan orang-orang sebelum kalian hanyalah perselisihan mereka tentang Al-Kitaab” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2666].
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: سَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْمًا يَتَدَارَءُونَ، فَقَالَ: إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِهَذَا، ضَرَبُوا كِتَابَ اللَّهِ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ، وَإِنَّمَا نَزَلَ كِتَابُ اللَّهِ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا، فَلَا تُكَذِّبُوا بَعْضَهُ بِبَعْضٍ، فَمَا عَلِمْتُمْ مِنْهُ فَقُولُوا، وَمَا جَهِلْتُمْ فَكِلُوهُ إِلَى عَالِمِهِ
Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar suatu kaum yang bertengkar. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian hanyalah karena sebab ini. Mereka mempertentangkan Kitabullah sebagian dengan sebagian yang lainnya. Kitabullah turun hanyalah untuk membenarkan satu dengan yang lainnya. Maka, janganlah kalian mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya. Apa saja yang kalian ketahui darinya, maka katakanlah; dan apa saja yang kalian tidak mengetahuinya, maka serahkan kepada orang yang mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 85, Ahmad 2/185 & 195-196, Ibnu Hibbaan no. 1464, dan yang lainnya; hasan].
عَنْ زِيَادِ بْنِ حُدَيْرٍ، قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ: هَلْ تَعْرِفُ مَا يَهْدِمُ الْإِسْلَامَ؟، قُلْتُ: لَا، قَالَ: " يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ، وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ، وَحُكْمُ الْأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ "
Dari Ziyaad bin Hudair, ia berkata : ‘Umar pernah berkata kepadaku : “Tahukah engkau apa yang merobohkan Islam ?”. Aku menjawab : “Tidak”. Ia berkata : “Yang merobohkannya adalah ketergelinciran ulama, perdebatan orang munafiq tentang Al-Kitaab, dan hukum para pemimpin yang menyesatkan” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 220, Al-Faryabiy dalam Shifatun-Nifaaq no. 31, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 833, dan yang lainnya; shahih].
Ibnu Hibbaan rahimahullah berkata:
إِذَا مَارَى الْمَرْءُ فِي الْقُرْآنِ أَدَّاهُ ذَلِكَ إِنْ لَمْ يَعْصِمْهُ اللَّهُ إِلَى أَنْ يَرْتَابَ فِي الآيِ الْمُتَشَابِهِ مِنْهُ، وَإِذَا ارْتَابَ فِي بَعْضِهِ أَدَّاهُ ذَلِكَ إِلَى الْجَحْدِ، فَأَطْلَقَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَ الْكُفْرِ الَّذِي هُوَ الْجَحْدُ عَلَى بِدَايَةِ سَبَبِهِ الَّذِي هُوَ الْمِرَاءُ
“Seseorang yang berdebat tentang Al-Qur’an, apabila Allah tidak melindunginya, maka dapat menyebabkannya meragukan ayat-ayat mutasyaabihaat. Dan apabila ia telah meragukan sebagian ayat, maka itu akan menyebabkan pengingkaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memutlakkan nama kekufuran, yaitu (kufur) pengingkaran (juhuud) yang awal penyebabnya adalah karena perdebatan” [Shahiih Ibni Hibbaan, 2/326].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
والمعنى: إنّما يتمارى اثنان في آية، يجحدها أحدهما ويدفعها ويصير فيها إِلى الشك، فذلك هُوَ المراء الّذي هُوَ الكفر.وأما التنازع في أحكام القرآن ومعانيه فقد تنازع أصحاب رَسُول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في كثير من ذَلِكَ، وهذا يبين لك أن المراء الّذي هُوَ الكفر هُوَ الجحود والشك، كما قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: وَلا يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي مِرْيَةٍ مِنْهُ الآية..... ونهى السلف رضي الله عنهم عَن الجدال في الله جل ثناؤه وصفاته وأسمائه.وأما الفقه فأجمعوا عَلَى الجدال فيه والتناظر، لأنه علم يحتاج فيه إِلى رد الفروع عَلَى الأصول للحاجة إِلى ذَلِكَ، وليس الاعتقادات كذلك لأن الله عَزَّ وَجَلَّ لا يوصف عند الجماعة أهل السنة إلا بما وصف بِهِ نفسه أو وصفه بِهِ رَسُول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أو أجمعت الأمة عَلَيْهِ،
“Makna nya (yaitu hadits : ‘Perdebatan tentang Al-Qur’an adalah kekufuran’) adalah : apabila ada dua orang yang saling berdebat tentang suatu ayat, lalu salah seorang diantara keduanya mengingkarinya, menolaknya, dan berusaha membawa ayat tersebut kepada keraguan; maka itulah perdebatan yang disebut dengan kekufuran. Adapun perselisihan tentang hukum-hukum dalam Al-Qur’an beserta makna-maknanya, maka para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun telah sering berselisih dalam hal tersebut. Ini menjelaskan kepada kalian bahwasannya perdebatan yang merupakan kekufuran adalah pengingkaran dan peraguan (terhadap Al-Qur’an), sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al-Qur'an’ (QS. Al-Hajj : 55)…. Kaum salaf radliyallaahu ‘anhum telah melarang berdebat tentang (Dzat) Allah, sifat-sifat-Nya, dan nama-nama-Nya. Adapun tentang fiqh, maka mereka bersepakat boleh untuk berdebat dan berdiskusi padanya, karena ilmu dibutuhkan untuk mengambalikan perkara cabang kepada yang pokok. Lain halnya dengan i’tiqaad. Menurut Ahlus-Sunnah, hal itu dikarenakan Allah ‘azza wa jalla tidak dapat disifati kecuali dengan apa yang Ia sifatkan diri-Nya dengannya, atau yang disifatkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau yang telah disepakati oleh umat” [Jaami’u Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih, 2/928-929].
e. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras dalam perbantahan/pertengkaran” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2457 & 7188 dan Muslim no. 2668].
f. Hadits:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَقَالَ: خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ، فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ، وَالسَّابِعَةِ، وَالْخَامِسَةِ
Dari ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dari rumahnya untuk memberitahukan Lailatul-Qadr. Lalu ada dua orang dari kaum muslimin yang (bertengkar) saling mencela. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku keluar untuk memberitahukan kepada kalian tentang Lailatul-Qadr. Lalu Fulaan dan Fulaan (bertengkar) saling mencela, sehingga (pengetahuan tentang Lailatul-Qadr) diangkat. Semoga itu baik bagi kalian. Maka carilah Lailatul-Qadr itu pada hari kesembilan, ketujuh, dan kelima[1]” [Diriwayat oleh Al-Bukhaariy no. 2023].
Al-Bukhaariy meletakkan hadits di atas dalam Baab : Raf’il-Ma’rifah Lailatil-Qadr li-Talaahan-Naas (Diangkatnya Pengetahuan tentang Lailatul-Qadr karena Orang-Orang Saling Bertengkar/Mencela).
Dalam riwayat Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu yang dibawakan oleh Muslim dalam Shahiih-nya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنِّي خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِهَا، فَجَاءَ رَجُلَانِ يَحْتَقَّانِ مَعَهُمَا الشَّيْطَانُ فَنُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، الْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
“Sesungguhnya aku keluar untuk memberitahukan kepada kalian tentangnya. Lalu datanglah dua orang yang saling berdebat yang setan bersama keduanya, sehingga aku terlupakan. Maka carilah ia pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlaan. Carilah pada hari kesembilan, ketujuh, dan kelima” [Shahiih Muslim no. 1167].
An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan makna rajulaani yahtaqqaani adalah dua orang yang saling mengklaim dirinya benar.
g. ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahumallah berkata:
مَنْ جَعَلَ دِينَهُ غَرَضًا لِلْخُصُومَاتِ، أَكْثَرَ التَّنَقُّلَ
“Barangsiapa yang menjadikan agama sebagai sarana/tujuan untuk berdebat, maka ia akan banyak berpindah-pindah pemahaman agamanya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 312; shahih].
h. Al-Hasan (Al-Bashriy) pernah berkata kepada orang yang hendak mendebatnya :
أَمَّا أَنَا فَقَدْ أَبْصَرْتُ دِينِي فَإِنْ كُنْتَ أَضْلَلْتَ دِينَكَ فَالْتَمِسْهُ
“Adapun aku, maka aku telah tahu tentang agamaku. Apabila engkau telah menghilangkan agamamu, maka carilah” [Diriwayatkan oleh Al-Faryabiy dalam Al-Qadar no. 379, Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah (atsar) no. 241; hasan lighairihi].
i. Dari Ahmad bin Abil-Hawaariy, ia berkata : Telah berkata kepadaku ‘Abdullah bin Al-Busriy – dan ia termasuk diantara orang-orang yang khusyuu’ - :
لَيْسَ السُّنَّةُ عِنْدَنَا أَنْ تَرُدَّ عَلَى أَهْلِ الأَهْوَاءِ، وَلَكِنَّ السُّنَّةَ عِنْدَنَا أَنْ لا تُكَلِّمَ أَحَدًا مِنْهُمْ
“Sunnah di sisi kami bukanlah membantah para pengikut hawa nafsu, akan tetapi sunnah di sisi kami adalah tidak berbicara kepada seorang pun diantara mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/471].
Apa yang dikatakan oleh ‘Abdullah bin Al-Busriy sama seperti yang dikatakan Al-Hasan dan Ibnu Siiriin rahimahumullah:
لَا تُجَالِسُوا أَصْحَابَ الْأَهْوَاءِ، وَلَا تُجَادِلُوهُمْ، وَلَا تَسْمَعُوا مِنْهُمْ
“Jangan kalian duduk-duduk bersama pengikut hawa nafsu, jangan berdebat dengan mereka, dan jangan mendengarkan perkataan mereka” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 415; shahih].
Mengapa? Jawabannya ada pada riwayat perkataan Abu Qilaabah rahimahullah berikut:
لَا تُجَالِسُوا أَهْلَ الْأَهْوَاءِ وَلَا تُجَادِلُوهُمْ، فَإِنِّي لَا آمَنُ أَنْ يَغْمِسُوكُمْ فِي ضَلَالَتِهِمْ، أَوْ يَلْبِسُوا عَلَيْكُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْرِفُونَ
“Jangan kalian duduk-duduk bersama pengikut hawa nafsu dan jangan berdebat dengan mereka. Karena aku khawatir mereka akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan mereka atau membuat kerancuan kepada kalian pada apa yang telah kalian ketahui sebelumnya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 405; shahih].
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menjelaskan ada 3 (tiga) jenis perdebatan yang tercela, yaitu:
1. Berdebat dengan kebathilan untuk melenyapkan kebenaran.
Allah ta’ala berfirman:
وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ
“Dan mereka membantah dengan (alasan) yang bathil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang bathil itu” [QS. Al-Mukmin : 5].
2. Berdebat tentang kebenaran setelah jelas kebenaran tersebut.
Allah ta’ala berfirman:
يُجَادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ
“Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah jelas kebenaran itu” [QS. Al-Anfaal : 6].
3. Berdebat tentang perkara yang tidak diketahui oleh pihak yang berdebat.
Allah ta’ala berfirman:
هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ
“Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui?” [QS. Aali ‘Imraan : 66].
[Ar-Radd ’alal-Mukhaalif, hal. 51-52].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ، وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ، وَإِنْ كَانَ مَازِحًا، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ "
“Aku menjamin rumah di tepi surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar, (menjamin) rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun hanya sekedar bergurau, serta (menjamin) rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4800; hasan].
Tidak dapat dipungkiri menahan untuk tidak mendebat dengan orang lain saat ia memandang orang lain salah dan dirinya benar adalah sangat sulit. Suka berdebat itu adalah tabiat, sehingga seringkali seseorang melakukannya mempunyai sangkaan bahwa apa yang dilakukannya benar dan mendapatkan pahala. Ia menganggap dirinya sebagai penolong agama Allah melalui debatnya. Tentu saja, tidak seperti itu keadaannya.
Ar-Raaghib Al-Ashfahaaniy rahimahullah pernah berkata:
الخصومة عديمة الفائدة قليلة العائدة، فإن الجدل مع ما فيه قد يوقظ الفهم و يثير الأنفة لإقتباس العلم، و الخصومة لا تثمر إلا بالعداوة و إنكار الحق، و لهذا جعلها الله شرا من الجدال فقال تعالى:" بل هم قوم خصمون ". و قال:" فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ " أي جيد الخصومة، " مُبِينٌ " يس77. و لم يذكر الخصام في موضع إلا عابه.
و أيضا، فالمتجادلان يجريان مجرى فحلين تعاديا، و كبشين تناطحا، و رئيسين تحاربا، و كل واحد منهما يجتهد أن يكون هو الفاعل، و صاحبه المنطبع، و القائل كالمؤثر، و السامع كالمتأثر، و لم يتولد منهما خير بوجه.
و قال حكيم: المجادل المدافع يقع في نفسه عند الخوض في الجدال ألا يقنع بشيء، و من لا يقنعه إلا أن يقنع، فما إلى إقناعه سبيل، و لو اتفقت عليه الحكماء بكل بينة، بل لو اجتمعت عليه الأنبياء بكل معجزة كما قال تعالى:" وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَى وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ" الأنعام111.
“Berbantah-bantahan/pertengkaran itu tidak ada manfaatnya lagi sedikit keuntungannya. Sesungguhnya berdebat dengan orang yang mempunyai ilmu kadangkala memberikan pemahaman dan membangkitkan semangat untuk mencari ilmu. Adapun (sekedar) berbantah-bantahan/pertengkaran tidaklah menghasilkan kecuali permusuhan dan pengingkaran terhadap kebenaran. Oleh karena itu, Allah ta’ala menganggap berbantah-bantahan/pertengkaran lebih buruk daripada perdebatan. Allah ta’ala berfirman : ‘Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar’ (Az-Zukhruf : 58). Allah ta’ala juga berfirman : ‘Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata’ (QS. Yaasiin : 77). Allah tidaklah menyebut kata al-khishaam (perbantahan/pertengkaran) dalam beberapa tempat dalam pada Al-Qur’an kecuali mencelanya.
Dua orang yang melakukan perdebatan seperti dua ekor kuda jantan yang saling bermusuhan, atau seperti dua ekor domba yang saling menyeruduk. Masing-masing berusaha menjadi pelaku utama sedangkan lawannya menjadi orang yang terpengaruh olehnya. Orang yang berkata adalah pihak yang memberikan pengaruh dan orang yang mendengar adalah pihak yang dipegaruhi. Maka, tidak ada kebaikan apapun yang timbul dari dua orang tersebut.
Seorang yang bijak pernah berkata : Orang yang gemar berdebat dan mempertahankan diri pasti tidak akan pernah puas saat melakukan perdebatan. Barangsiapa yang tidak pernah merasa puas kecuali setelah ia merasa puas, maka tidak ada jalan untuk memenuhi kepuasannya itu. Meskipun orang-orang bijak berkumpul memberikan nasihat dan para nabi menunjukkan mukjizatnya, sebagaimana firman Allah ta’ala: ‘Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui’ (QS. Al-An’aam : 111)” [Adz-Dzarii’ah ilaa Makaarimisy-Syarii’ah, hal. 127].
Asy-Syaathibiy rahimahullah menukil:
أن أبا العرب التميمي حكى عن ابن فروخ أنه كتب إلى مالك بن أنس إن بلدنا كثير البدع ، وإنه ألف كلاما في الرد عليهم.
فكتب إليه مالك يقول له : إن ظننت ذلك بنفسك ، خفت أن تزل فتهلك ، لا يرد عليهم إلا من كان ضابطا عارفا بما يقول لهم ، لا يقدرون أن يعرجوا عليه ، فهذا لا بأس به ، وأما غير ذلك ، فإني أخاف أن يكلمهم فيخطئ فيمضوا على خطئه ، أو يظفروا منه بشيء فيطغوا ويزدادوا تماديا على ذلك ، انتهى
“Abul-‘Arab menghikayatkan dari Ibnu Farruukh bahwasanya ia pernah menulis surat kepada Maalik bin Anas menjeaskan di negerinya banyak tersebar bid’ah dan ia (Ibnu Farruukh) menulis perkataan untuk membantah mereka. Lalu Maalik membalas suratnya dan berkata kepadanya : ‘Apabila engkau menyangka dirimu dikhawatirkan akan tergelincir sehingga akan membinasakanmu, maka jangan engkau bantah mereka (ahlul-bida’). Kecuali itu dilakukan oleh orang yang kokoh lagi berilmu tentang apa yang akan dikatakan kepada mereka sehingga mereka tidak mampu mengalahkannya. Maka ini tidak mengapa. Adapun selain itu, aku khawatir ia (orang yang membantah) berbicara kepada mereka lalu keliru dan kemudian mereka fokus menghajar kekeliruannya. Atau mereka dapat mengalahkannya dalam satu hal, sehingga mereka malah melampaui batas dan semakin menjadi-jadi di atas bid’ahnya tersebut” [Al-I’tishaam, 1/44].
Secara umum, kita tetap dianjurkan untuk tidak memperbanyak perdebatan dan meninggalkannya, kecuali pada hal yang membawa manfaat dan menolak mafsadat yang besar pada Islam dan kaum muslimin dimana hal itu tidak dapat dilakukan kecuali dengan perdebatan.
Apabila seseorang melihat orang lain melakukan bid’ah dan penyimpangan dalam agama, hendaknya ia menasihatinya dengan kelembutan, bukan dengan langsung mendebatnya. Karena apabila ia (langsung) mendebatnya, maka itu akan dianggap sebagai tipuan Iblis sehingga orang yang didebat akan mengabaikannya dan tetap melakukan bid’ah. Bahkan bisa jadi bid’ah itu tambah menguat di hatinya melalui perdebatan yang dilakukan (karena orang yang berdebat cenderung merasa benar, lawannya salah, dan mempertahankan pendapatnya mati-matian). Jika nasihat yang diberikan tidak membuahkan manfaat bagi yang mendengarnya, hendaknya ia meninggalkannya dan melakukan aktivitas lainnya. Orang yang terbiasa berdebat dan orang lain memberikan pujian terhadapnya, maka dapat timbul sikap riyaa’, sombong, senang pujian, dan cenderung tidak mau menerima kritikan meski ia nyata-nyata salah. Itulah awal kehancuran bagi dirinya.
Jika diringkas, perdebatan yang dicela adalah:
1. Perdebatan dengan kebathilan untuk melenyapkan kebenaran yang ada dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’.
2. Perdebatan untuk membela kebathilan setelah nyata kebathilannya berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’.
3. Perdebatan terhadap perkara-perkara yang tidak diketahui oleh orang yang berdebat.
4. Perdebatan dengan orang yang susah diharapkan kembali kepada kebenaran dari kalangan pelaku bid’ah dan orang-orang yang menyimpang lainnya, karena nampak dari mereka sikap sombong terhadap kebenaran, permusuhannya yang keras terhadap orang-orang yang benar, dan kukuhnya dalam membela kebathilan.
5. Perdebatan pada perkara yang telah jelas dan tidak ada kesamaran padanya, baik bagi yang mendebat maupun yang didebat.
6. Perdebatan yang tidak diniatkan ikhlash untuk menggapai keridlaan Allah ta’ala.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Bersambung, insya Allah.
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 02-05-2015 – anakmuslimtaat’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarhdan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 37-38, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, dengan beberapa referensi lain sebagai tambahan penjelasan].
Silakan baca pembahasan sebelumnya :
[1] Para ulama berbeda pendapat tentang maksud hari kesembilan, ketujuh, dan kelima di sini. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa maksud hari kesembilan adalah sembilan hari terakhir, yaitu hari/malam ke-21 Ramadlaan. Begitu seterusnya. Ini yang dirajihkan oleh Al-Baajiy rahimahullah. Ulama lain berpendapat maksud hari kesembilan adalah hari ke-29 Ramadlaan. Ini yang dirajihkan Ibnu Haajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah [lihat : Tanwiirul-Hawaalik, 1/304].