Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (7) – Meninggalkan Perdebatan dalam Masalah Agama | Ilmu Islam

Selasa, 05 Mei 2015

Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (7) – Meninggalkan Perdebatan dalam Masalah Agama

٦ - تَرْكُ الْمِرَاءِ وَالْجِدَالِ وَالْخُصُومَاتِ فِي الدِيْنِ
6.     Meninggalkan perdebatan, berbantah-bantahan, dan pertengkaran dalam (masalah) agama.
Penjelasan:
Ketiga istilah ini (al-miraa’, al-jidaal, dan al-khushuumaat) mempunyai makna satu atau berdekatan, yaitu perdebatan. Perdebatan dalam agama ada 2 (dua) macam, yaitu : perdebatan yang disyari’atkan/diperintahkan dan perdebatan yang tidak disyari’atkan/dilarang.
Perdebatan yang Disyari’atkan.
Diantara dalilnya adalah:
a.     Firman Allah ta’ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” [QS. An-Nahl : 125].
Melalui ayat ini Allah ta’ala memerintahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mendebat lawannya dengan baik, yaitu menjelaskan kebenaran dengan lemah lembut. Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
وقوله: { وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ } أي: من احتاج منهم إلى مناظرة وجدال، فليكن بالوجه الحسن برفق ولين وحسن خطاب
“Dan firman-Nya : ‘dan bantahlah mereka dengan cara yang baik’, maksudnya : barangsiapa yang membutuhkan dialog dan bantahan, hendaklah ia lakukan dengan cara yang baik, lemah-lembut, dan tutur kata yang baik” [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/613].
b.     Firman Allah ta’ala:
وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dhalim di antara mereka” [QS. Al-Ankabuut : 46].
Sama seperti sebelumnya. Adapun maksud ‘kecuali dengan orang-orang dhalim di antara mereka’ adalah orang-orang yang memerangi kaum muslimin (kafir harbiy) yang tidak mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin. Ulama lain berpendapat, mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan membutakan diri dari bukti-bukti yang jelas, menentang, lagi sombong. Golongan yang seperti ini mesti diperangi dengan pedang sehingga mereka beriman atau membayar jizyahdengan tangan mereka dalam keadaan terhina.
Berlaku baik dan ‘adil dalam muamalah tetap diperintahkan untuk dilakukan kepada orang kafir yang tidak berbuat dhalim kepada kaum muslimin. Allah ta’ala berfirman:
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].
Karena berlaku adil merupakan kewajiban yang harus ditegakkan seorang muslim terhadap siapapun.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” [QS. Al-Maaidah : 8].
Peringatan : Ayat ini (QS. Al-Maaidah : 8) sering digunakan sebagian orang untuk mempromosikan partai politik tertentu. Yang seperti ini tidak dapat dibenarkan, karena ayat Allah ta’ala diturunkan bukan untuk tujuan melariskan barang dagangan, akan tetapi sebagai petunjuk bagi manusia yang menuntun mereka kepada jalan yang lurus.
c.      Firman Allah ta’ala:
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar" [QS. Al-Baqarah : 111].
Melalui ayat ini Allah ta’ala memerintahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk membantah kebathilan perkataan orang-orang Yahudi dan Nashrani, dan menantang mereka untuk menunjukkan bukti atas perkataan mereka, karena Allah ta’ala berfirman:
لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَا مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ
Agar orang yang binasa itu binasanya dengan bayyinah/keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan bayyinah/keterangan yang nyata (pula)” [QS. Al-Anfaal : 42].
Allah tidaklah menyesatkan, mengadzab, atau membinasakan suatu kaum tanpa didahului dengan adanya peringatan dan penjelasan terlebih dahulu, karena Dia tidak akan pernah berlaku dhalim terhadap hamba-Nya sedikitpun. Allah ta’ala berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Israa’ : 15].
Yaitu, Rasul yang memberikan penjelasan.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
Dan tidak adalah Rabbmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedhaliman” [QS. Al-Qashshash : 59].
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi” [QS. At-Taubah : 115].
d.     Firman Allah ta’ala tentang dialog/debat/bantahan Ibraahiim terhadap kaumnya:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ * وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ * فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ * فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ * فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ * إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ * وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِي وَلا أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ إِلا أَنْ يَشَاءَ رَبِّي شَيْئًا وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا أَفَلا تَتَذَكَّرُونَ * وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلا تَخَافُونَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُمْ بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ أَحَقُّ بِالأمْنِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan (ingatlah) di waktu Ibraahiim berkata kepada bapaknya Aazar: "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata". Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibraahiim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibraahiim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat". Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)?. Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui?". Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” [QS. Al-An’aam ayat 74-82].
Rangkaian ayat-ayat dalam QS. Al-An’aam ini menceritakan perdebatan yang dilakukan Ibraahiim dengan kaumnya tentang ketauhidan. Ketika Ibraahiim mengatakan terhadap bintang, bulan, dan matahari : ‘Inilah Tuhanku’, bukan berarti ia meyakini 3 hal tersebut sebagai tuhannya. Akan tetapi untuk membantah kaumnya dan mengajak mereka berpikir bahwa jika bintang, bulan, dan matahari itu adalah tuhan, tentu tidak akan lenyap dan sirna tergantikan oleh yang lain. Ini sekaligus menunjukkan kecerdasan dan kefasihan Ibraahiim dalam berbicara dan berdebat sehingga kaumnya tidak dapat membantahnya. Sama seperti ketika ia menghancurkan berhala-berhala kaumnya dan menyisakan satu berhala yang paling besar sebagaimana diceritakan dalam QS. Al-Anbiyaa’ mulai ayat 52, dan kemudian Allah ta’ala berfirman tentangnya:
قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ * فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ * ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلاءِ يَنْطِقُونَ * قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ * أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلا تَعْقِلُونَ
Ibraahiim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)", kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): "Sesungguhnya kamu (hai Ibraahiim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara". Ibraahiim berkata: "Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudlarat kepada kamu?". Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?” [QS. Al-Anbiyaa : 63-67].
Ketika Ibraahiim mengatakan : ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya’ – bukan berarti ia meyakini patung yang besar itulah pelakusebenarnya. Ia mengatakan itu untuk mendebat kaumnya sehingga kelanjutan perkataannya adalah : ‘maka tanyakanlah kepada berhala itu, jikamereka dapat berbicara’ – dan kenyataannya patung yang besar itu tidak dapat berbicara. Mereka menyadari itu sehingga terdiam. Mereka juga sadar, patung yang besar tadi tidak dapat memberikan mudlarat kepada berhala-berhala yang lain dengan menghancurkannya. Jika demikian, mengapa mereka menyembah sesuatu yang tidak dapat memberikan manfaat dan mudlarat kepada mereka ?.
Ilmu dan pemahaman saja tidak cukup sebagai modal dalam perdebatan, tapi mesti disertai dengan kemampuan berbicara, pemilihan kata/kalimat, daya nalar, dan pengambilan permisalan-permisalan sehingga dapat dipahami oleh lawan debatnya. Ibraahiim ‘alaihis-salaam memiliki hal tersebut, sehingga dialog Ibraahiim dengan kaumnya dalam QS. Al-An’aam di atas ditutup dengan firman Allah:
وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ
Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat” [QS. Al-An’aam : 83].
Seorang yang berilmu namun tidak memiliki kemampuan dalam berbicara dan berdebat, dapat menimbulkan fitnah bagi orang-orang yang menyaksikan/mendengarnya, terutama orang awam yang masih lemah dalam iman dan ilmunya. Orang awam akan menyangka pihak yang memenangkan perdebatan berada di atas kebenaran, padahal kenyataannya tidaklah seperti itu. Boleh jadi orang yang salah dan tidak berilmu menang dalam perdebatan hanya karena kepandaiannya dalam berbicara.
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ, وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ, فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ, مِنْهُ فَمَنْ قَطَعْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا, فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ اَلنَّارِ
Dari Ummu Salamah radliyallaahu'anhaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Sesungguhnya kalian senantiasa mengadukan persengketaan kepadaku. Bisa jadi sebagian darimu lebih pandai mengemukakan alasan daripada yang lainnya, lalu aku memutuskan untuknya seperti yang aku dengar darinya. Maka barangsiapa yang aku berikan kepadanya sesuatu yang menjadi hak saudaranya, sebenarnya aku telah mengambilkan sepotong api neraka untuknya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7169 dan Muslim no. 1713].
e.     Dan dalil-dalil yang lain.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
هَذَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَهُوَ مِمَّنْ جَاءَ عَنْهُ التَّغْلِيظُ فِي النَّهْيِ عَنِ الْجِدَالِ فِي الدِّينِ وَهُوَ الْقَائِلُ: مَنْ جَعَلَ دِينَهُ غَرَضًا لِلْخُصُومَاتِ أَكْثَرَ التَّنَقُّلَ، وَلَمَّا اضْطُرَّ وَعَرَفَ الْفَلَحَ فِي قَوْلِهِ وَرَجَا أَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِهِ لَزِمَهُ الْبَيَانُ فَبَيَّنَ وَجَادَلَ، وَكَانَ أَحَدَ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ رَحِمَهُ اللَّهُ
“Inilah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah. Ia termasuk orang yang sangat keras dalam melarang perdebatan dalam masalah agama. Ia adalah orang yang mengatakan : ‘Barangsiapa yang menjadikan agamanya sebagai sarana untuk berdebat, maka ia akan lebih banyak berpindah-pindah pemahaman agamanya’. Namun ketika ia dalam keadaan terpaksa dan mengetahui ia akan berhasil dalam membela perkataannya, serta berharap Allah memberikan petunjuk dengannya; maka ia mewajibkan dirinya untuk memberikan penjelasan dan mendebatnya. Ia adalah salah seorang yang sangat dalam ilmunya, rahimahullah” [Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih, hal. 967 no. 1838].
Ibnu ‘Abdil-Barr menukil perkataan Al-Muzanniy rahimahumallah:
وَحَقُّ الْمُنَاظَرَةِ أَنْ يُرَادَ بِهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يُقْبَلَ مِنْهَا مَا يَتَبَيَّنُ
“Hak perdebatan yang mesti dilakukan adalah agar perdebatan itu hanyalah diniatkan dengannya keridlaan Allah ‘azza wa jalla saja dan harus diterima darinya apa yang nampak jelas (kebenarannya)” [idem, hal. 972no. 1851].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah melanjutkan:
وَقَالُوا: لا تَصِحُّ الْمُنَاظَرَةُ وَيَظْهَرُ الْحَقُّ بَيْنَ الْمُتَنَاظِرَيْنِ حَتَّى يَكُونَا مُتَقَارِبَيْنِ أَوْ مُتَسَاوِيَيْنِ فِي مَرْتَبَةٍ وَاحِدَةٍ مِنَ الدِّينِ وَالْفَهْمِ وَالْعَقْلِ وَالإِنْصَافِ وَإِلا فَهُوَ مِرَاءٌ وَمُكَابَرَةٌ
“Para ulama berkata : Tidak sah perdebatan dan upaya menampakkan kebenaran antara dua orang yang berdebat hingga keduanya hampir sama atau sama dalam tingkatan agama, pemahaman, akal/kecerdasan, dan keadilannya. Jika tidak demikian, maka yang terjadi hanyalah debat kusir dan sikap sombong/keras kepala” [idem no. 1852].
Beberapa point kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan perdebatan yang disyari’atkan adalah sebagai berikut:
1.     Perdebatan harus dilakukan dengan niat ikhlash untuk mendapatkan keridlaan Allah ta’ala semata.
2.     Asas yang melandasi perdebatan adalah hujjah yang berasal dari Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah, dan ijmaa’ yang dipahami menurut pemahaman as-salafush-shaalih.
3.     Perdebatan dilakukan oleh orang yang kokoh ilmunya tentang hujjah dan kebathilan yang hendak ia bantah, tentang keadaan orang yang didebat, dan tentang ilmu/teknik dalam perdebatan; sehingga dengan perdebatan itu akan terjadi pemisahan antara kebenaran dan kebathilan.
4.     Perdebatan dilakukan oleh dua pihak yang setara/selevel dalam ilmu, keadilan, dan ketaqwaan, sehingga tidak terjadi debat kusir dan sikap sombong dari pihak-pihak yang berdebat.
5.     Adanya keyakinan bahwa perdebatan tersebut tidak akan merusak keyakinan yang benar dari orang yang berdebat.
6.     Perdebatan dilakukan jika ada maslahat yang besar bagi kaum muslimin, pendengar, dan/atau orang yang berdebat; serta menolak mafsadat yang dikhawatirkan akan timbul/menimpa.
7.     Perdebatan dilakukan dengan lemah lembut, memperhatikan etika dan sopan-santum, serta menjauhi caci-maki dan sikap merendahkan/mengejek lawan.
8.     Perdebatan dilakukan untuk menjelaskan kebenaran, sehingga apabila kebenaran itu telah jelas, mesti disepakati dan diterima oleh semua pihak yang berdebat.
9.     Perdebatan tidak harus selalu dilakukan, namun ia menjadi pilihan terakhir setelah dakwah dan nasihat yang diberikan tidak diterima.
Bersambung, insya Allah.
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 18-04-2015 – anakmuslimtaat’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiqAl-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 37-38, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, dengan beberapa referensi lain sebagai tambahan penjelasan].

Silakan baca pembahasan sebelumnya :
Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (6) – Tanda-Tanda Ahlul-Bid’ah

Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (7) – Meninggalkan Perdebatan dalam Masalah Agama Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top