٥ - وَتَرْكُ الْخُصُومَاتِ وَالْجُلُوسِ مَعَ أَصْحَابِ الْأَهْوَاءِ
5. Meninggalkan berbantah-bantahan dan bermajelis dengan para pengikut hawa nafsu.
Penjelasan:
Para ulama telah menjelaskan klasifikasi golongan manusia yang diberikan kecintaan dan kebencian dalam Islam:
1. Golongan yang diberikan kecintaan/loyalitas secara murni tanpa ada kebencian; yaitu para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shaalih. Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shaalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” [QS. An-Nisaa’ : 69].
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang terdepan yang mesti diberikan kecintaan melebihi kecintaan terhadap diri sendiri, anak, orang tua, dan manusia seluruhnya.
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ هِشَامٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ "، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْآنَ يَا عُمَرُ "
Dari ‘Abdullah bin Hisyaam, ia berkata : Kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memegang tangan ‘Umar bin Al-Khaththaab. ‘Umar berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku sendiri”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri”. Kemudian ‘Umar berkata kepada beliau : “Sesungguhnya sejak saat ini, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sekarang (baru benar) wahai ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6632].
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Dari Anas, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman hingga aku lebih dicintai olehnya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 15].
2. Golongan yang diberikan kebencian secara murni tanpa ada kecintaan/loyalitas; yaitu orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang munafik yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, atau keluarga merekasendiri” [QS. Al-Mujadilah : 22].
3. Golongan yang diberikan kecintaan dari satu sisi dan diberikan kebencian dari sisi lain; yaitu kaum muslimin yang melakukan kemaksiatan. Mereka dicintai karena keimanan dan ketaatan mereka, serta dibenci karena kedurhakaan dan kemaksiatan mereka.
Pengikut hawa nafsu ada yang termasuk golongan kedua jika kemaksiatan mereka telah melewati batas kekafiran (baca : kufur akbar), dan ada pula yang termasuk golongan ketiga jika kemaksiatan mereka belum melewati batas kekafiran. Diantara wujud kecintaan terhadap mereka – jika termasuk golongan ketiga – adalah memberikan nasihat dan pengingkaran atas kemaksiatan yang mereka lakukan agar rujuk kepada kebenaran. Dan diantara wujud kebencian terhadap mereka tidak berbicara dan tidak bermajelis dengan mereka.
Allah ta’ala berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” [QS. An-Nisaa’ : 140].
Telah berkata Asy-Syaikh Rasyiid Ridlaa rahimahullah dalam Al-Manaar (5/463) :
يدخل في هذه الآية كل محدث في الدين، وكل مبتدع
“Masuk dalam ayat ini semua pembuat perkara-perkara baru dan mubtadi’ “ [lihat Tanbiih Ulil-Abshaar, hal. 76].
Al-Qurthubiy rahimahullah menjelaskan:
فدل بهذا على وجوب اجتناب أصحاب المعاصي إذا ظهر منهم منكر ؛ لأن من لم يجتنبهم فقد رضي فعلهم، والرضا بالكفر كفر، قال الله عز وجل: ﴿إنَّكُمْ إذًا مِّثْلُهُمْ﴾ فكل من جلس في مجلس معصية ولم ينكر عليهم يكون معهم في الوزر سواء، وينبغي أن ينكر عليهم إذا تكلموا بالمعصية وعملوا بها، فإن لم يقدر على النكير عليهم فينبغي أن يقوم عنهم حتى لا يكون من أهل هذه الآية. وإذا ثبت تجنب أصحاب المعاصي كما بينا فتجنب أهل البدع والأهواء أولى
”Ayat tersebut menunjukkan wajibnya menjauhi para pelaku kemaksiatan apabila nampak pada diri mereka kemunkaran, karena orang yang tidak menjauhi mereka berarti meridlai perbuatan mereka. Sedangkan ridla terhadap kekufuran merupakan kekufuran. Allah ’azza wa jalla berfirman : ”Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka”. Maka setiap orang yang berada di dalam majelis kemaksiatan sedangkan ia tidak mengingkari perbuatan mereka, maka ia akan menanggung dosa yang sama bersama mereka. Jadi seharusnya ia mengingkari perbuatan mereka ketika mereka berbicara dan melakukan kemaksiatan. Apabila ia tidak sanggup mengingkarinya, hendaknya ia meninggalkan mereka sehingga ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini. Apabila ditetapkan dalam syari’at Islam sikap menjauhi para pelaku maksiat sebagaimana telah kami jelaskan, maka menjauhi ahlul-bida’ dan ahlul-ahwaa’ lebih layak lagi” [Tafsir Al-Qurthubi 5/418].
Allah ta’ala berfirman:
وإذَا رَأَيْتَ الَذِينَ يَخُوضُونَ في آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا في حَدِيثٍ غَيْرِهِ وإمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ القَوْمِ الظَّالِمِينَ
”Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang lalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)” [QS. Al-An’aam : 68].
Ayat ini terkandung hukum larangan duduk-duduk bersama ahlul-bida’, pengikut hawa nafsu, serta pelaku dosa besar dan maksiat. Asy-Syaukaniy rahimahullah berkata:
وفى هذه الآية موعظة لمن يتسمح بمجالسة المبتدعة الذين يحرفون. كلام الله، ويتلاعبون بكتاب وسنة رسوله، ويردون ذلك إلى أهوائهم المضلة وبدعهم الفاسدة، فإنه إذا لم ينكر عليهم ويغير ما هم فيه فأقل الأحوال أن يترك مجالستهم، وذلك يسير عليه غير عسير، وقد يجعلون حضوره معهم مع تنزهه عما يتلبسون، به شبهة يشبهون بها على العامة، فيكون في حضوره مفسدة زائدة على مجرد سماع المنكر. وقد شاهدنا من هذه المجالسة الملعونة ما لا يأتي عليه الحصر، وقمنا في نصرة الحق ودفع الباطل بما قدرنا عليه، وبلغت إليه طاقتنا، ومن عرف هذه الشريعة المطهرة حق معرفتها: علم أن مجالسة أهل البدع المضلة فيها من المفسدة أضاف أضعاف ما في مجالسة من يعصي الله بفعل شيء من المحرمات، ولا سيما لمن كان غير راسخ القدم في علم الكتاب والسنة، فإنه ربما ينفق عليه من كذباتهم وهذيانهم ما هو من البطلان بأوضح، مكان فينقدح في قلبه ما يصعب علاجه ويعسر دفعه، فيعمل بذلك مدة عمره، ويلقى الله به معتقدًا أنه من الحق، وهو من أبطل الباطل وأنكر المنكر
”Dalam ayat ini terdapat nasihat yang sangat berharga bagi orang yang mentolerir duduk-duduk bersama ahlul-bida’yang mengubah-ubah Kalamullah, mempermainkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Mereka mengembalikan semua itu kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan kebid’ahan mereka yang rusak. Sehingga bila tidak ada pengingkaran terhadap kemunkaran mereka dan tidak ada upaya untuk mengubahnya, maka solusi terakhirnya adalah tidak duduk-duduk bersama mereka. Ini merupakan sikap yang paling mudah dan tidak sulit. Dan terkadang mereka hadir dalam majelis mereka, meskipun ia tidak sependapat dengan bid’ah mutalaabisaat (kerancuan) yang ada pada mereka. Namun hal itu bagi orang awam menimbulkan kesan mendukung dan menyetujuinya sehingga kehadirannya tersebut menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar daripada hanya sekedar mendengarkan kemunkaran.
Sungguh kami menyaksikan (banyak efek negatif yang ditimbulkan) dari majelis terlaknat ini yang tidak terbatas jumlahnya, sehingga kami pun bangkit membela al-haq (kebenaran) dan menghancurkan kebathilan sekuat tenaga kami. Orang yang mengenal syari’at suci ini dengan baik akan mengetahui bahwa duduk-duduk dengan ahlul-bida’ yang sesat akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda daripada duduk-duduk dengan orang yang bermaksiat kepada Allah ta’ala denganmelakukan sesuatu yang haram. Terlebih lagi, orang yang duduk bersama ahli bida’ tersebut adalah orang yang tidak dalam ilmunya terhadap Kitabullah dan As-Sunnah, sehingga boleh jadi ahlul-bida’ tersebut akan mempengaruhinya dengan kedustaan-kedustaan dan kerusakan-kerusakan pikirannya berupa segala jenis kebathilan dengan sejelas-jelasnya sehingga menghunjam ke dalam relung hatinya, sehingga sangat sukar untuk diobati dan dihindari. Itu semua terjadi sepanjang hidupnya hingga ia bertemu dengan Rabb-nya dalam keadaan meyakini bahwa (bid’ahnya) itu adalah kebenaran, padahal ia sebenarnya adalah kebathilan yang paling besar dan kemunkaran yang paling berat” [Lihat Fathul-Qadiir 2/122].
Dalam sebuah hadits shahih, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنَّ الرَّجُلَ يَأْتِيهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَمَا يُزَالُ بِهِ حَتَّى يتبعهُ لِمَا يَرَى مَعَهُ مِنَ الشُّبُهَات [رواه الإمام أحمد وأبو داود وغيرهما - انظر صحيح الجامع : ٦٣٠١].
“Barangsiapa yang mendengar tentang Dajjal, hendaklah ia menjauh darinya semampunya. Sesungguhnya kelak ada seorang laki-laki yang menyangka dirinya dalam keadaan beriman – dan keadaannya terus demikian – hingga kemudian ia mengikuti Dajjal dikarenakan berbagai syubhat yang ia temui pada dirinya (Dajjal)”[Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya – lihat Shahihul-Jaami’ no. 6301].
Ibnu Baththah rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits di atas:
هذا قول الرسول صلى الله عليه وسلم، فالله الله يا معشر المسلمين لا يحملن أحدًا منكم حسنُ ظنِّه بنفسه وما عهد من معرفته بصحة مذهبه على المخاطرة بدينه في مجالسة بعض أهل هذه الأهواء فيقول أداخله لأناظره، أو لأستخرج منه مذهبه، فإنهم أشد فتنة من الدجال، وكلامهم ألصق من الجرب، وأحرق للقلوب من اللهب، ولقد رأيت جماعة من الناس كانوا يلعنونهم، ويسبونهم في مجالسهم على سبيل الإنكار والرد عليهم، فما زالت بهم مباسطة، وخفي المكر، ودقيق الكفر، حتى صَبَوْا إليهم
“Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini, maka bertaqwalahkepada Allah wahai sekalian kaum muslimin ! Janganlah ada seorangpun di antara kalian yang berprasangka baik pada dirinya sendiri dan pengetahuan tentang kebenaran madzhabnya sehingga ia mempertaruhkan agamanya untuk bermajelis/duduk-duduk bersama sebagian pengekor hawa nafsu. Ia melakukannya dengan alasan : ‘Aku masuk kepada mereka untuk mendebatnya’ atau ‘aku akan keluarkan mereka dari madzhabnya yang bathil’. Karena sesungguhnya mereka (para pengekor hawa nafsu/mubtadi’) ini lebih hebat fitnahnya daripada Dajjal. Perkataan mereka lebih gampang menempel pada jiwa dibanding penyakit kudis dan lebih dapat membakar hati dibanding api. Sungguh aku pernah melihat sekelompok manusia yang dulunya melaknat dan mencaci-maki mereka pada majelis-majelis mereka dalam rangka pengingkaran dan bantahan kepada mereka. Dan ketika mereka senantiasa senang bermajelis dengan pengekor hawa nafsu/mubtadi’seperti itu, akhirnya timbullah kecenderungan dan kecintaan kepada mereka, karena samarnya makar dan lembutnya kekufuran mereka” [Al-Ibaanah, 3/470].
Alangkah tragis nasib ‘Imraan bin Hiththaan. Dulu ia seorang Ahlus-Sunnah. Namun ketika terfitnah oleh wanita Khawaarij yang cantik dan berprasangka baik akan keadaan dirinya sendiri, ia menikahinya dengan niat ingin mengambalikannya kepada pemahaman Ahlus-Sunnah. Apa yang terjadi ? Setelah menikahinya, justru ia lah yang berhasil diubah termakan syubhat si wanita.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
عمران بن حطان الخارجي، كان أولا من أهل السنة والجماعة فتزوج امرأة من الخوارج حسنة جميلة جدا فأحبها. وكان هو دميم الشكل، فأراد أن يردها إلى السنة فأبت فارتد معها إلى مذهبها
“’Imraan bin Hiththaan Al-Khaarijiy. Awalnya ia termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Ia menikahi seorang wanita Khawaarij cantik jelita, lalu ia pun jatuh cinta kepadanya – padahal ia (‘Imraan) seorang yang cebol lagi buruk rupa. ‘Imraan (menikahinya karena) hendak mengembalikannya kepada sunnah, namun wanita itu enggan dan malah ‘Imraan murtad (dari sunnah) bersama wanita itu kepada madzhabnya (Khawaarij)” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 9/64].
Bahkan ‘Imraan bin Hiththaan memuji Ibnu Muljam, pembunuh ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
أن القلوب ضعيفة، والشبه خطافة
“Hati-hati itu lemah, sedangkan syubhat senantiasa menyambar” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 7/261].
Banyak atsar salaf yang berisi nasihat dan sikap mereka menjauhi ahlul-bida’ dan ahlul-ahwaa’.
وعن أنس، وقد جاءه رجل فقال له : يا أبا حمزة، لقيت قومًا يكذبون بالشفاعة، وبعذاب القبر، فقال : "أولئك الكذابون فلا تجالسهم".
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya ia pernah didatangi seseorang. Ia pun berkata kepada Anas : “Wahai Abu Hamzah, aku pernah menemui satu kaum yang mendustakan syafa’at dan ‘adzab kubur”. Anas berkata : “Mereka itu adalah para pendusta. Janganlah engkau bermajelis dengan mereka !!” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah 2/448 – dengan sanad laa ba’sa bihi].
Diantara firqah masa kini yang mendustakan adzab kubur adalah Hizbut-Tahriir (HT).
وعن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال : "لا تجالس أهل الأهواء، فإن مجالستهم ممرضة للقلوب".
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya ia pernah berkata : “Janganlah kalian bermajelis dengan para pengekor hawa nafsu (ahlul-ahwaa’), karena bermajelis dengan mereka itu menjadi sebab sakitnya hati" [Sanadnya shahih – Asy-Syari’ah, atsar no. 55. Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah no. 619 dari jalan Al-Aajurriy].
Telah berkata Abu Al-Jauzaa’, Aus bin ‘Abdillah rahimahumallah – ia merupakan salah seorang pembesarkalangan tabi’in – :
لأن يجاورني قردة وخنازير أحب إليّ من أن يجاورني أحد منهم - يعني : أصحاب الأهواء - .
“Sungguh, seandainya aku bertetangga dengan monyet-monyet dan babi-babi itu lebih aku sukai dibanding aku bertetangga dengan mereka – yaitu para pengekor hawa nafsu – “ [Al-Laalikaaiy no. 231, dengan sanad laa ba’sa bihi].
Al-Fudlail bin ‘Iyaadl rahimahullah berkata:
لا تجلس مع صاحب البدعة، فإني أخاف أن تنزل عليك اللعنة
“Janganlah engkau bermajelis dengan ahli bid’ah. Sesungguhnya aku takut jika turun kepadamu laknat (dari Allah)”.
Pernah ada dua orang laki-laki dari kalangan pengekor hawa nafsu yang masuk menemui Muhammad bin Siiriin. Mereka berdua berkata : “Wahai Abu Bakr, kami akan membacakan kepadamu sebuah hadits”. Muhammad bin Sirin menjawab : “Tidak !!”. Mereka kembali berkata : “Kalau begitu, kami akan membacakan kepadamu satu ayat dari Kitabullah”. Muhammad bin Sirin kembali menjawab : “Tidak ! Kalian berdua pergi dariku atau aku yang akan pergi ?!”. mendengar itu mereka pun pergi. (Setelah itu), beberapa orang bertanya kepadanya : Wahai Abu Bakr, mengapa engkau tidak mau dibacakan satu ayat dari Al-Qur’an (oleh mereka) ?”. Ia pun menjawab :
إني خشيت أن يقرآ عليّ آية فيحرفانها فيقرذلك في قلبي
“Aku takut mereka membacakan satu ayat kepadaku, lalu mereka men-tahrif (menyelewengkan)-nya yang kemudian itu menetap di hatiku” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 397 dan Al-Laalikaaiy, dengan sanad shahih].
Dari ‘Abdurrazzaq, ia pernah berkata : Telah berkata kepadaku Ibrahim bin Abi Yahya : “Aku melihat banyak orang Mu’tazillah di sisimu”. Akupun berkata : “Benar, mereka menyangka bahwasannya dirimu merupakan bagian dari mereka”. Ia bertanya : “Tidakkah engkau bersamaku ke dalam warung/kedai sehingga aku dapat berbincang denganmu ?”. Aku berkata : “Tidak”. Ia kembali bertanya : “Mengapa ?”. Aku pun menjawab :
لأن القلب ضعيف، والدين ليس لمن غلب
“Karena hati itu lemah, dan urusan agama bukanlah milik orang yang menang (dalam perdebatan)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah no. 401 dan Al-Laalikaaiy no. 249, dengan sanad shahih].
Dari Mubasysyir bin Isma’il Al-Halabiy, ia berkata :
قيل للأوزاعي : إن رجلا يقول : أنا أجالس أهل السنة، وأهل البدعة؟. فقال الأوزاعي : هذا رجل يريد أن يساوي بين الحق والباطل.
“Dikatakan kepada Al-Auza’iy : ‘Sesungguhnya ada seseorang yang mengatakan : Kami akan bermajelis dengan Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Bid’ah ?’. Maka Al-Auza’iy berkata : ‘Sesungguhnya orang tersebut hendak menyamakan kebenaran dan kebathilan’ “ [Al-Ibaanah 2/456].
Bersambung, insya Allah.
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 04-04-2015 – anakmuslimtaat’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 30-33, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, dengan beberapa referensi lain sebagai tambahan penjelasan].
Silakan baca pembahasan sebelumnya :
Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (4) – Bid’ah