Ini sebuah cerita tentang penulis Islam terkenal, Muhammad Asad (sebelumnya bernama Leopold Weiss - seorang Yahudi keturunan Austria-Hongaria) yang baru saja masuk Islam, lalu melakukan perjalanan ke Timur Tengah dengan sebuah kapal laut. Diatas kapal itu dia berkenalan dengan serombongan orang Yaman..
"Diantara orang-orang Yaman yang ada di kapal tersebut, ada seorang yang bertubuh pendek, kurus dan memiliki hidung seperti elang yang membuat wajahnya terlihat sangar, tapi gerakannya sangat tenang dan terukur. Ketika dia mengetahui bahwa saya adalah seorang mualaf, dia menunjukkan perhatian yang sangat khusus kepada saya. Untuk beberapa waktu kami duduk bersama diatas dek kapal sementara dia berbicara tentang kampungnya di daerah pegunungan di Yaman, namanya : Muhammad Saleh.
Pada suatu malam, saya mengunjungi tempatnya yang berada di dek paling bawah, salah seorang temannya terbaring sakit, tergeletak pada sebuah tempat tidur besi. Dan saya di beritahu oleh mereka ternyata dokter kapal enggan untuk datang ketempat mereka. Kelihatannya temannya tersebut terserang malaria. Lalu saya memberinya beberapa butir pil kina. Sementara saya sedang sibuk dengan si sakit, orang-orang Yaman tersebut berkumpul di sudut lain berkeliling mengitari Muhammad Saleh dan sambil sesekali melirik kepada saya, Muhammad Saleh memberikan penjelasan kepada rekan-rekannya. Pada akhirnya salah seorang dari mereka maju mendekati saya -seorang pria tinggi dengan wajah berwarna zaitun coklat dan mata yang hitam dan tajam, dan dia menyodorkan seikat uang kertas Franc yang kusut lalu berkata :"Kami tadi telah mengumpulkan ini., sayangnya tidak begitu banyak, terimalah ini sebagai tanda penghargaan dari kami..".
Saya melangkah mundur, kaget, dan menjelaskan bahwa bukan karena uang tersebut saya bersedia menolong temannya yang sakit. Orang yaman tersebut menjawab :"Tidak..tidak.., kami tahu itu, tapi terimalah uang ini, ini bukan bayaran melainkan hadiah dari saudara-saudara anda. Kami sangat bahagia melihat anda, oleh karena itu kami bermaksud memberi anda uang ini, anda adalah seorang Muslim dan saudara kami, anda bahkan lebih baik daripada kami semua, karena kami ini terlahir sebagai Muslim, nenek moyang kami adalah Muslim, namun anda menerima Islam dengan hatimu sendiri. Terimalah uang ini saudaraku, demi Rasulullah..".
Namun saya - yang masih tidak bisa melepaskan diri dengan 'sopan-santun' Eropah - membela diri :"Saya tidak mungkin menerima uang ini saudaraku, selain itu saya masih punya cukup uang, anda pasti lebih membutuhkannya dari saya. Namun jika anda bersikeras untuk menyerahkannya juga kepada orang lain, berikanlah nanti kepada fakir miskin sesampainya kita dipelabuhan tujuan..". " Tidak..:", si Yaman tersebut mendesak kembali :"terimalah ini..., dan jika anda tidak ingin memanfaatkannya, serahkanlah kepada orang lain atas nama anda sendiri..". Mereka tetap mendesak saya, sambil terguncang dengan penolakan saya, terlihat sedih dan terdiam, seolah-olah saya bukan semata-mata sedang menolak uang mereka, tapi juga menampik ketulusan hati mereka. Tiba-tiba saya paham, bahwa saya adalah seseorang yang berasal dari komunitas yang sudah terbiasa membangun dinding antara 'aku dengan kamu', sedangkan yang saya hadapi adalah suatu komunitas tanpa sekat...
Saya lalu berkata :“Give me the money, brothers. I accept it and I thank you…”.
(Terjemahan bebas dari buku: Road to Mecca - Biografi dari Muhammad Asad)
Saya memiliki seorang teman, menikah dengan pria Amerika yang mapan. Sekali waktu teman saya tersebut menyampaikan message tentang keheranan suaminya terhadap aturan zakat dalam Islam. Al-Qur'an mengatakan bahwa salah satu pihak yang berhak menerima zakat adalah para mualaf :
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 60)
"Saya ini bukan orang yang pantas menerima pemberian dari orang lain karena bekerja dan punya penghasilan yang cukup. Banyak orang-orang selain saya yang lebih pantas menerimanya. Mengapa mualaf termasuk orang yang dikategorikan berhak menerima zakat tanpa melihat dia itu kaya atau miskin..?".
Barangkali kisah dari Muhammad Asad tersebut bisa menjelaskan kepada kita tentang makna zakat, bahwa Islam memandang harta bukan hanya dari aspek pemanfaatan ekonomi saja, tetapi lebih jauh dari itu, adalah sarana untuk mengaplikasikan iman yang ada dalam dada. Tentu saja aspek ekonominya tetap ada karena salah satu pihak yang berhak menerima zakat adalah kaum dhuafa, namun harta tidak melulu harus dialirkan dari orang yang berpunya kepada mereka yang membutuhkannya saja, bisa juga terbalik, dari yang miskin kepada yang lebih kaya. Dasar mengalirnya harta tersebut adalah iman yang dimanifestasikan dalam persaudaraan Islam, suatu sikap yang sulit untuk dinilai secara materi..
Pemberian uang dari orang yang sudah berlebihan memiliki uang bukanlah sesuatu yang yang aneh dan memikat, namun ketika ada sekelompok manusia yang sebenarnya membutuhkannya, lalu dengan penuh keikhlasan diberikan kepada orang yang tidak begitu memerlukan bantuan, hanya karena kekaguman dan kerendahan hati, ikut merasakan bahagia dengan adanya anugerah Allah yang membukakan pintu hati orang lain untuk menerima Islam, ini merupakan demonstrasi sikap yang sangat mempesona. Hampir semua orang sangat mengerti bahwa harta yang dimiliki hanyalah titipan Tuhan, orang-orang biasa mengatakan :"Harta tidak akan dibawa mati..", namun Islam mengaplikasikan pemahaman tersebut dalam sistem pengaliran harta yang bernama zakat, suatu sistem yang bermakna luas, jauh melebih pengertiannya yang hanya sebagai faktor ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan materi dan jasad, melainkan sebagai sarana untuk mendapatkan akhirat dan ridho Allah.
Memang kita menemukan orang-orang Islam yang sudah teracuni oleh sikap mereka yang tidak beriman terkait soal harta ini. Ada ketamakan, ada keserakahan, ada kekikiran yang dipupuk secara masif. Dengan semua itu mereka mengejar kebahagiaan dunia dan mengharapkan datangnya penghargaan dari manusia lain, sebagai suatu tindakan bodoh ibarat meminum air laut, makin diminum makin kehausan.
Namun kalau anda termasuk orang yang bisa melihat secercah sinar kebenaran Islam dalam menilai harta ini, maka anda akan memiliki kecerdasan untuk bersikap dengan tepat, sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh sekelompok orang Yaman diatas kapal, bahwa uang bukanlah segalanya.
"Diantara orang-orang Yaman yang ada di kapal tersebut, ada seorang yang bertubuh pendek, kurus dan memiliki hidung seperti elang yang membuat wajahnya terlihat sangar, tapi gerakannya sangat tenang dan terukur. Ketika dia mengetahui bahwa saya adalah seorang mualaf, dia menunjukkan perhatian yang sangat khusus kepada saya. Untuk beberapa waktu kami duduk bersama diatas dek kapal sementara dia berbicara tentang kampungnya di daerah pegunungan di Yaman, namanya : Muhammad Saleh.
Pada suatu malam, saya mengunjungi tempatnya yang berada di dek paling bawah, salah seorang temannya terbaring sakit, tergeletak pada sebuah tempat tidur besi. Dan saya di beritahu oleh mereka ternyata dokter kapal enggan untuk datang ketempat mereka. Kelihatannya temannya tersebut terserang malaria. Lalu saya memberinya beberapa butir pil kina. Sementara saya sedang sibuk dengan si sakit, orang-orang Yaman tersebut berkumpul di sudut lain berkeliling mengitari Muhammad Saleh dan sambil sesekali melirik kepada saya, Muhammad Saleh memberikan penjelasan kepada rekan-rekannya. Pada akhirnya salah seorang dari mereka maju mendekati saya -seorang pria tinggi dengan wajah berwarna zaitun coklat dan mata yang hitam dan tajam, dan dia menyodorkan seikat uang kertas Franc yang kusut lalu berkata :"Kami tadi telah mengumpulkan ini., sayangnya tidak begitu banyak, terimalah ini sebagai tanda penghargaan dari kami..".
Saya melangkah mundur, kaget, dan menjelaskan bahwa bukan karena uang tersebut saya bersedia menolong temannya yang sakit. Orang yaman tersebut menjawab :"Tidak..tidak.., kami tahu itu, tapi terimalah uang ini, ini bukan bayaran melainkan hadiah dari saudara-saudara anda. Kami sangat bahagia melihat anda, oleh karena itu kami bermaksud memberi anda uang ini, anda adalah seorang Muslim dan saudara kami, anda bahkan lebih baik daripada kami semua, karena kami ini terlahir sebagai Muslim, nenek moyang kami adalah Muslim, namun anda menerima Islam dengan hatimu sendiri. Terimalah uang ini saudaraku, demi Rasulullah..".
Namun saya - yang masih tidak bisa melepaskan diri dengan 'sopan-santun' Eropah - membela diri :"Saya tidak mungkin menerima uang ini saudaraku, selain itu saya masih punya cukup uang, anda pasti lebih membutuhkannya dari saya. Namun jika anda bersikeras untuk menyerahkannya juga kepada orang lain, berikanlah nanti kepada fakir miskin sesampainya kita dipelabuhan tujuan..". " Tidak..:", si Yaman tersebut mendesak kembali :"terimalah ini..., dan jika anda tidak ingin memanfaatkannya, serahkanlah kepada orang lain atas nama anda sendiri..". Mereka tetap mendesak saya, sambil terguncang dengan penolakan saya, terlihat sedih dan terdiam, seolah-olah saya bukan semata-mata sedang menolak uang mereka, tapi juga menampik ketulusan hati mereka. Tiba-tiba saya paham, bahwa saya adalah seseorang yang berasal dari komunitas yang sudah terbiasa membangun dinding antara 'aku dengan kamu', sedangkan yang saya hadapi adalah suatu komunitas tanpa sekat...
Saya lalu berkata :“Give me the money, brothers. I accept it and I thank you…”.
(Terjemahan bebas dari buku: Road to Mecca - Biografi dari Muhammad Asad)
Saya memiliki seorang teman, menikah dengan pria Amerika yang mapan. Sekali waktu teman saya tersebut menyampaikan message tentang keheranan suaminya terhadap aturan zakat dalam Islam. Al-Qur'an mengatakan bahwa salah satu pihak yang berhak menerima zakat adalah para mualaf :
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 60)
"Saya ini bukan orang yang pantas menerima pemberian dari orang lain karena bekerja dan punya penghasilan yang cukup. Banyak orang-orang selain saya yang lebih pantas menerimanya. Mengapa mualaf termasuk orang yang dikategorikan berhak menerima zakat tanpa melihat dia itu kaya atau miskin..?".
Barangkali kisah dari Muhammad Asad tersebut bisa menjelaskan kepada kita tentang makna zakat, bahwa Islam memandang harta bukan hanya dari aspek pemanfaatan ekonomi saja, tetapi lebih jauh dari itu, adalah sarana untuk mengaplikasikan iman yang ada dalam dada. Tentu saja aspek ekonominya tetap ada karena salah satu pihak yang berhak menerima zakat adalah kaum dhuafa, namun harta tidak melulu harus dialirkan dari orang yang berpunya kepada mereka yang membutuhkannya saja, bisa juga terbalik, dari yang miskin kepada yang lebih kaya. Dasar mengalirnya harta tersebut adalah iman yang dimanifestasikan dalam persaudaraan Islam, suatu sikap yang sulit untuk dinilai secara materi..
Pemberian uang dari orang yang sudah berlebihan memiliki uang bukanlah sesuatu yang yang aneh dan memikat, namun ketika ada sekelompok manusia yang sebenarnya membutuhkannya, lalu dengan penuh keikhlasan diberikan kepada orang yang tidak begitu memerlukan bantuan, hanya karena kekaguman dan kerendahan hati, ikut merasakan bahagia dengan adanya anugerah Allah yang membukakan pintu hati orang lain untuk menerima Islam, ini merupakan demonstrasi sikap yang sangat mempesona. Hampir semua orang sangat mengerti bahwa harta yang dimiliki hanyalah titipan Tuhan, orang-orang biasa mengatakan :"Harta tidak akan dibawa mati..", namun Islam mengaplikasikan pemahaman tersebut dalam sistem pengaliran harta yang bernama zakat, suatu sistem yang bermakna luas, jauh melebih pengertiannya yang hanya sebagai faktor ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan materi dan jasad, melainkan sebagai sarana untuk mendapatkan akhirat dan ridho Allah.
Memang kita menemukan orang-orang Islam yang sudah teracuni oleh sikap mereka yang tidak beriman terkait soal harta ini. Ada ketamakan, ada keserakahan, ada kekikiran yang dipupuk secara masif. Dengan semua itu mereka mengejar kebahagiaan dunia dan mengharapkan datangnya penghargaan dari manusia lain, sebagai suatu tindakan bodoh ibarat meminum air laut, makin diminum makin kehausan.
Namun kalau anda termasuk orang yang bisa melihat secercah sinar kebenaran Islam dalam menilai harta ini, maka anda akan memiliki kecerdasan untuk bersikap dengan tepat, sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh sekelompok orang Yaman diatas kapal, bahwa uang bukanlah segalanya.
Sumber: hikmah.muslim-menjawab.com