JAKARTA - Seperti kejadian-kejadian sebelumnya, pasca operasi Densus 88, kali ini pun terbongkar dan terungkap betapa jahat dan sadisnya aparat tidak berhati nurani ini, terhadap umat Islam Indonesia.
Usai operasi brutalnya di Ciputat, pada kelima jenazah korban Densus didapati luka-luka bekas kekerasan, seperti kepala remuk dan mata dicongkel. Dan yang mengenaskan, tidak ada bekas satu peluru pun pada tubuh jenazah para ikhwan ini, yang ada adalah memar-memar pada sekujur badannya.
Seorang aktifis Islam, Abu Azzam, pelaku proses pengurusan jenazah kelima ikhwan korban kebiadaban Densus 88 sejak dari RS Polri Kramatjati, menyaksikan pada jenazah kelimanya terlihat luka-luka bekas penyiksaan. Dia menduga mereka disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh.
“Contohnya, Edo hancur kepalanya. Di sebelah (kanan, red) badannya juga hancur bekas penyiksaan,” ujar Abu Azzam, seperti dilansir Kiblat.net Ahad (5/1/2014).
Dia juga melihat adanya keganjilan dari pernyataan polisi yang menyatakan kelimanya terbunuh akibat luka tembak.
“Logikanya, ketika ditembak itu hanya luka satu. Ini enggak, memar semua sekujur badan. Terutama si Edo, hancur kepalanya, habis tidak berbentuk. Yang kedua si Rizal, matanya dicongkel seperti dipopor. Matanya sebelah kanan gak ada,” ungkapnya. Hasbunalloh wa ni’mal wakil. La haula wala quwwata illa billah.
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam rilisnya tentang kebiadaban Densus 88 di Ciputat telah menyimpulkan:
Pertama, terdapat sejumlah keterangan dari pihak Polri yang tidak sesuai dengan gambaran dilapangan. Oleh karenanya, kedua, patut diduga terdapat pelanggaran prosedur penindakan terhadap terduga teroris. Pelanggaran ini berimplikasi pada dugaan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang dijamin oleh Konstitusi, aturan perundang-undangan sampai aturan internal Polri–ketentuan perlindungan HAM dalam tugas pemolisian, tata cara penindakan dalam operasi melawan teroris, maupun dalam tata cara penggunaan senjata. Secara umum, peristiwa diatas dapat dilihat sebagai bagian dari tren umum operasi melawan teroris yang penuh ketidak akuntabilitasan dan tidak profesional, sebagaimana terjadi pada beberapa kasus lainnya.
Oleh karenanya KontraS merekomendasikan:
Pertama, harus ada upaya serius evaluasi atas peristiwa diatas, termasuk upaya pemulihan yang tepat sesuai aturan hukum. Lembaga-lembaga seperti LPSK dan komnas HAM serta ombudsmen harusnya bisa berperan, meskipun sejauh ini lembaga-lembaga ini tidak berfungsi dengan baik.
Kedua, Pemerintah Indonesia harus segera mengundang pelaporan khusus PBB untuk isu penghormatan HAM dalam melawan terorisme dengan harapan bisa mendapatkan masukan yang konstruktif memperbaiki tindakan-tindakan penegakan hukum untuk isu ini. Kalau Polri bisa membuka diri dari negara-negara donor maka tidak ada alasan untuk tidak mengudang pelapor khusus ini.
Ketiga, Polri harus membuka siapa otak di balik jejaring panjang kelompok teroris ini, suplai senjata, alat peledak dan perekrutannya. Kami yakin melihat pola yang berulang bahwa para teroris bukanlah berdiri sendiri melainkan mendapatkan bantuan dari tangan-tangan kotor yang ingin mengambil keuntungan dari kekacauan di Indonesia. Terakhir, kami meminta komnas HAM dan lembaga-lembaga serupa seperti kompolnas agar memperbaiki diri untuk bisa menangani kasus-kasus pemberantasan terorisme.