Disebutkan dalam satu artikel sebagai berikut:
Dari Sa’id bin Jumhan rahimahullah, ia berkata, : “Aku pernah mendatangi Abdullah bin Abi Aufa –radhiyallahu ‘anhu- dan beliau adalah seorang yang buta. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia berkata kepadaku “Siapakah kamu?” Aku berkata, “aku Said bin Jumhan”. Beliau berkata, “Apa yang terjadi pada bapakmu?” Aku berkata, “Kaum Khawarij Al Azariqah telah membunuhnya”. Beliau berkata, “Semoga Allah melaknat Al Azariqah, semoga Allah melaknat Al Azariqoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam mengabarkan kepada kami bahwa mereka adalah anjing-anjing neraka”. Aku berkata , “Apakah Al Azariqah saja atau Khawarij seluruhnya?” Beliau berkata, “Bahkan Khawarij seluruhnya”. Aku berkata, “Sesungguhnya penguasa telah menzalimi manusia dan semena-mena terhadap mereka”. Beliaupun menarik tanganku dengan keras seraya berkata, “Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan, hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul a’zhom (Ahlus Sunnah). Apabila penguasa mau mendengar nasehatmu, maka datangilah ia di rumahnya, lalu kabarkan kepadanya apa yang kamu ketahui, semoga ia menerima nasehat darimu. Jika tidak, maka tinggalkan ia, karena sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya.” (HR. Ahmad dalam Musnad (4/382), Al Hakim dalam Al Mustadrak (no. 6435) dan Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah (no.905), dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 905). Demikian para remaja itu menukilkan.
Jawabannya ialah sayangnya, anak-anak muda itu masih saja berputar-putar mencari riwayat pendukung pandangannya. Dan riwayat yang dibawakan ini juga sangat lemah pada dua rawi yang terdapat padanya, yaitu:
1. Hasyraj bin Nubatah Al Asyja’ie, dimana Ibnu Hajar Al Asqalani menukilkan dalam Tahdzibut Tahdzib, bahwa Ibnu Hibban menyatakan : Dia ini haditsnya sedikit, riwayatnya munkar dan tidak boleh berhujjah dengan riwayatnya bila dia meriwayatkannya sendirian.
2. Said bin Jumhan Al Aslami, dimana orang ini dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al Jarhu Wat Ta’dilu, bahwa orang ini boleh ditulis haditsnya tetapi tidak boleh berhujjah dengannya. Al Hafidl Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tahdzibut Tahdzib, bahwa Al Imam Al Bukhari menyatakan tentang Sa’ied bin Jumhan terdapat pada haditsnya berbagai keanehan. As Saji menyatakan bahwa hadits Sa’ied bin Jumhan tidak bisa diperkuat dengan hadits yang lainnya.
Dengan kelemahan yang separah ini, amat aneh kalau kemudian Syeikh Al Albani rahimahullahmenganggapnya hasan dengan riwayat-riwayat lainnya.
[selesai kutipan]
Saya (anakmuslimtaat’) berkata:
Saya (anakmuslimtaat’) berkata:
Riwayat tersebut beserta sanadnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الْحَشْرَجُ بْنُ نُبَاتَةَ الْعَبْسِيُّ كُوفِيٌّ، حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ، قَالَ: أَتَيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى وَهُوَ مَحْجُوبُ الْبَصَرِ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، قَالَ لِي: مَنْ أَنْتَ؟ فَقُلْتُ: أَنَا سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ، قَالَ: فَمَا فَعَلَ وَالِدُكَ؟ قَالَ: قُلْتُ: قَتَلَتْهُ الْأَزَارِقَةُ، قَالَ: لَعَنَ اللَّهُ الْأَزَارِقَةَ، لَعَنَ اللَّهُ الْأَزَارِقَةَ، حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كِلَابُ النَّارِ، قَالَ: قُلْتُ: الْأَزَارِقَةُ وَحْدَهُمْ، أَمْ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا؟ قَالَ: بَل الْخَوَارِجُ كُلُّهَا، قَالَ: قُلْتُ: فَإِنَّ السُّلْطَانَ يَظْلِمُ النَّاسَ، وَيَفْعَلُ بِهِمْ، قَالَ: فَتَنَاوَلَ يَدِي، فَغَمَزَهَا بِيَدِهِ غَمْزَةً شَدِيدَةً، ثُمَّ قَالَ: وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ، إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ، فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ، فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ، وَإِلَّا فَدَعْهُ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Abun-Nadlr : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasyraj bin Nubaatah Al-‘Absiy – orang Kuufah - : Telah menceritakan kepadaku Sa’iid bin Jumhaan, ia berkata : Aku menemui Abdullah bin Abi Aufaa, ketika itu ia tidak bisa melihat. Kemudian aku mengucapkan salam atasnya. Ia bertanya : "Siapakah engkau?". Aku menjawab : "Aku adalah Sa'iid bin Jumhaan." Ia bertanya lagi : "Apakah yang dilakukan oleh ayahmu?". Aku menjawab : "Ia telah dibunuh oleh kelompok Al-Azariqah." Ia pun berkata, "Semoga Allah melaknati kelompok Al-Azariqah. Semoga Allah melaknati kelompok Al-Azariqah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami, bahwa mereka itu adalah anjing-anjingnya neraka". Aku bertanya : "Apakah hanya kelompok Al-Azariqah saja, ataukah semua kaum Khawarij?". Ia menjawab : "Ya, benar. Semua kaum Khawarij". Aku berkata : "Sesungguhnya para penguasa tengah mendhalimi rakyat dan berbuat tidak adil kepada mereka". Akhirnya Abdullah bin Abi Aufa menggandeng tanganku dan menggenggamnya dengan sangat erat, kemudian berkata : "Duhai celaka kamu wahai Ibnu Jumhaan. Hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham, hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham. Jika engkau ingin penguasa itu mendengar nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah dia apa-apa yang kamu ketahui hingga ia menerimanya. Jika tidak, maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/382-383].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 905, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 3/374, Ibnu Abi Khaitsamah dalam At-Taariikh no. 927, ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 1553, dan Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 3/569 dari beberapa jalan (‘Abdullah bin Al-Mubaarak, ‘Aashim bin ‘Aliy, Hisyaam bin ‘Abdil-Maalik Al-Baahiliy, dan Abun-Nadlr), dari Al-Hasyraj bin Nubaatah Al-‘Absiy, dari Sa’iid bin Jumhaan.
Riwayat ini paling sedikit kualitasnya hasan.
Adapun kritikan terhadap diri Al-Hasyraj dan Sa’iid bin Jumhaan, maka beliau (Penulis) hafidhahullah keliru, karena tidak membawakan semua perkataan para ulama secara utuh dan hanya membawakan jarh-nya saja. Rinciannya sebagai berikut:
1. Hasyraj bin Nubaatah Al-Asyja’iy, Abu Mukram Al-Waasithiy atau Al-Kuufiy.
Ahmad bin Hanbal berkata : “Tsiqah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Shaalih”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah, tidak mengapa dengannya”. Abu Zur’ah berkata : “Tidak mengapa dengannya, mustaqiimul-hadiits(haditsnya lurus)”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Daawud berkata : “Tsiqah”. ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim berkata : “Tsiqah”. Ya’quub bin Sufyaan Al-Fasawiy berkata : “Tsiqah”. ‘Aliy bin Al-Madiiniy berkata : “Tsiqah”.
Abu Haatim berkata : “Shaalih, ditulis haditsnya, namun tidak boleh berhujjah dengannya”. An-Nasaa’iy berkata : “Laisa bil-qawiy (tidak kuat). Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Al-Bukhaariy saat mengomentari haditsnya yang berasal dari Sa’iid bin Jumhaan, dari Safiinah tentang hadits khilaafah, ia berkata : “Tidak ada mutaba’ah-nya”. As-Saajiy berkata : “Dla’iif”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia sedikit haditsnya, munkaru al-riwaayah, tidak boleh berhujjah dengan haditsnya apabila ia menyendiri”. Al-‘Uqailiy memasukkannya dalam Adl-Dlu’afaa’. Begitu juga dengan Abu Zur’ah yang memasukkannya dalam Asaamiyyudl-Dlu’afaa’.
Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, yahimu (sering ragu)”.
[Tahdziibul-Kamaal 6/506-509 no. 1352, Tahdziibut-Tahdziib 2/377-378 no. 651, Al-Jarh wat-Ta’diil 2/396 no. 1319, Al-Majruuhiin 1/338 no. 291, Suaalaat Ibni Abi Syaibah hal. 70, Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir hal. 319 no. 370, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 1/177 no. 922, Taqriibut-Tahdziib hal. 252 no. 1372].
Jika kita melihat data di atas, maka Hasyraj telah di-ta’dil/di-tsiqah-kan oleh jumhur kibar ulama naqd. Jarh Al-Bukhaariy hanyalah terkait hadits Safiinah tentang khilaafah. Alasan pendla’ifan Al-Bukhaariy ini diikuti oleh Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’. Begitu juga Ibnu Hibbaan, kritikannya dalam Al-Majruuhiin terkait hadits Safiinah sebagaimana disinggung Al-Bukhaariy. Sebagaimana telah jamak diketahui, Ibnu Hibbaan juga sering berlebih-lebihan dalam men-jarh perawi. Ibnu ‘Adiy telah memberikan komentar bahwa selain hadits Safiinah yang dikritik Al-Bukhaariy dll., maka haditsnya tidak mengapa.
Adapun jarh Abu Haatim Ar-Raaziy, Abu Zur’ah, dan As-Saajiy tidak dikejaskan sebabnya, dan kemungkinan kritikan mereka terkait dengan hadits Safiinah.
Maka penghukuman yang tepat atas diri Hasyraj bin Nubaatah Al-Asyja’iy, ia adalah seorang yang shaduuq, hasan haditsnya. Tidak lebih rendah dari itu [Tahriirut-Taqriib, 1/296 no. 1363].
2. Sa’iid bin Jumhaan Al-Aslamiy, Abu Hafsh Al-Bashriy.
Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Ibnu ‘Adiy : “Aku harap, tidak mengapa dengannya”. Abu Daawud berkata : “Tsiqah, insya Allah. Sekelompok orang mendla’ifkannya”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ahmad berkata : Tsiqah (dan ia menolak perkataan Ibnul-Madiiniy tentangnya)”. Al-Fasawiy berkata : “Tsiqah”.
Abu Haatim Ar-Raaziy : “Ditulis haditsnya, namun tidak boleh berhujjah dengannya”. Al-Bukhaariy berkata : “Dalam haditsnya terdapat hal-hal yang mengherankan”. As-Saajiy : “Haditsnya tidak ada mutaba’ah-nya”.
Adz-Dzahabiy berkata : “Shaduuq, pertengahan”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq lahu afraad (mempunyai riwayat-riwayat yang ia bersendirian dalam periwayatannya)”.
[Tahdziibul-Kamaal10/376-379 no. 2246, Tahdziibut-Tahdziib 4/14-15 no. 15, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 1293 no. 1472, Al-Kaasyif 1/433 no. 1861, dan Taqriibut-Tahdziib hal. 375 no. 2292].
Sama seperti sebelumnya, Sa’iid bin Jumhaan telah ditsiqahkan oleh jumhur ulama naqd. Adapun jarh Ibnu Abi Haatim, maka diketahui ia seorang ulama yang ketat dalam masalah jarh dan ta’dil. Adapun perkataan Al-Bukhaariy, maka itu tidak mengkonsekuensikan semua riwayatnya menjadi lemah – apalagi melihat tautsiq para ulama naqd di atas. Jarh As-Saajiy, maka kemungkinan ini terkait dengan hadits Safiinah tentang khilaafah– sama seperti bahasan Hasyraj sebelumnya.
Satu hal penting yang harus dituliskan di sini adalah kekeliruan Penulis dalam menterjemahkan laa yutaaba’u ‘alaa hadiitsihi dengan : ‘hadits Sa’ied bin Jumhan tidak bisa diperkuat dengan hadits yang lainnya’. Ini merupakan kekeliruan yang fatal, karena maksud perkataan As-Saajiy itu adalah hadits yang dibawakan Sa’iid tidak ada penguat/pendukungnya. Jelas berbeda antara yang dikatakan Penulis – hafidhahullah – dengan dikatakan As-Saajiy.
Oleh karena itu, kesimpulan terhadap diri Sa’iid bin Jumhaan adalah shaduuq yang lebih dekat ke tsiqah.
Walhasil, atsar Ibnu Abi ‘Aufaa di atas adalah hasan sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah. Menghukuminya dla’iif adalah keliru, apalagi dla’iif jiddan (sangat lemah), maka ini sangat berlebihan dan sangat aneh.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[anakmuslimtaat’ – perumahan ciomas permai – 08112014 – 14:50].