Abu Daawud rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang muntah dengan tidak sengaja dalam keadaan berpuasa, maka tidak ada qadla’ baginya; dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka ia harus mengqadla (puasanya)” [As-Sunan no. 2380].
Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy no. 720, Ibnu Maajah no. 1676, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/317 no. 3117, Ad-Daarimiy no. 1770, Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 1/91, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Musnad Ahmad 2/498, Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa (Ghautsul-Makduud) 2/35-36 no. 385, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/97 no. 3410 dan dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1680, Ibnu Khuzaimah no. 1960, Ad-Daaraquthniy no. 2273-2274, Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits 1/276-277, Ath-Thuusiy dalam Al-Mukhtashar no. 660, Ibnu Hibbaan 8/284-285 no. 3518, Al-Haakim 1/426-427, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/219 (371) no. 8027, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 1755, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa4/302-303; semuanya dari jalan ‘Iisaa bin Yuunus, dari Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah secara marfuu’.
‘Iisaa bin Yuunus dalam periwayatan dari Hisyaam mempunyai mutaba’ah dari Hafsh bin Ghiyaats sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1676, Ibnu Khuzaimah no. 1961, dan Al-Baihaqiy 4/219 (371) no. 8028.
Ibnu Siirin mempunyai mutaba’ah dari Abu Sa’iid Al-Maqburiy sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 6604 dan Ad-Daaraquthniy no. 2275-2276, namun sanadnya sangat lemah karena ‘Abdullah bin Sa’iid bin Abi Sa’iid, seorang yang matruuk[Taqriibut-Tahdziib, hal. 511 no. 3376].
Para ulama berbeda pendapat tentang hadits ini. Ada yang menguatkan dengan menshahihkannya, ada pula yang melemahkannya dengan men-ta’lil-nya.
Diantara ulama yang menguatkannyaadalah Ad-Daaraquthniy rahimahullah, yang berkata : “Para perawinya semuanya tsiqaat” [As-Sunan, 3/154].Begitu juga Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibbaan, dan Al-Haakim menshahihkan dalam kitabnya. Abu Daawud menyebutkan dalam kitab Sunan-nya tanpa mengomentarinya. Dishahihkan pula oleh An-Nawawiy, Ibnu Taimiyyah, Adz-Dzahabiy, dan yang lainnya.
Adapun para ulama yang melemahkannya, berkisar pada penta’lilan:
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ، لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ هِشَامٍ، عَنْ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عِيسَى بْنِ يُونُسَ
“Hadits hasan ghariib. Kami tidak mengetahuinya dari hadits Hisyaam, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; kecuali dari hadits ‘Iisaa bin Yuunus” [Al-Jaami’ At-Tirmidziy, 2/90-91].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وَعِيسَى ثِقَةٌ فَاضِلٌ، إِلا أَنَّهُ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيثِ قَدْ وَهِمَ فِيهِ، وَأَنْكَرُوهُ عَلَيْهِ. وَقَدْ زَعَمَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُ قَدْ رَوَاهُ حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانٍ بِإِسْنَادِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“’Iisaa seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan, namun menurut ahli hadits ia mengalami wahm padanya sehingga mereka mengingkarinya. Sebagian mereka mengira hadits tersebut juga telah diriwayatkan oleh Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin Hassaan dengan sanadnya, wallaahu a’lam” [Al-Istidzkaar, no. 14462].
Sebagaimana telah dituliskan dalam takhrij di atas, ‘Iisaa bin Yuunus mempunyai mutaba’ah dari Hafsh bin Ghiyaats dari jalan ‘Aliy bin Al-Hasan bin Sulaimaan Abu Sya’tsaa’ (tsiqah) dan Yahyaa bin Sulaimaan Al-Ju’fiy (shaduuq).
Akan tetapi, sanad riwayat mutaba’ah ini mudltharib karena Abu Ma’mar Ismaa’iill bin Ibraahiim (tsiqah lagi ma’muun) meriwayatkan dari Ghiyaats dari ‘Abdullah bin Sa’iid, dari kakeknya, dari Abu Hurairah secara marfuu’sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa[2](no. 6604). Sanadnya sangat lemah karena ‘Abdullah bin Sa’iid bin Abi Sa’iid, seorang yang matruuk.
2. Wahm Hisyaam bin Hassaan.
‘Iisaa bin Yuunus berkata :
زَعَمَ أَهْلُ الْبَصْرَةِ أَنَّ هِشَامًا أَوْهَمَ فِيهِ، فَمَوْضِعُ الْخِلَافِ هَهُنَا
“Penduduk Bashrah mengira bahwa Hisyaam mengalami wahm dalam hadits tersebut. Di sinilah letak perbedaan pendapat tersebut” [Sunan Ad-Daarimiy, hal. 1079 di bawah hadits no. 1770].
Al-Bukhaariy rahimahullahberkata:
لَا أُرَاهُ مَحْفُوظًا
“Aku berpendapat ia tidak mahfuudh” [Al-Jaami’ Al-Kabiir lit-Tirmidziy, 2/91].
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
سَأَلْتُ مُحَمَّدًا عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ فَلَمْ يَعْرِفْهُ إِلا مِنْ حَدِيثِ عِيسَى بْنِ يُونُسَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَقَالَ: مَا أَرَاهُ مَحْفُوظًا.
“Aku pernah bertanya kepada Muhammad (bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy) tentang hadits ini, namun ia tidak mengetahuinya kecuali dari hadits ‘Iisaa bin Yuunus, dari Hisyaam, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah. Lantas ia berkata : ‘Aku berpendapat ia tidak mahfuudh’” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, no. 198].
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata:
وَبَعْضُ الْحُفَّاظِ لا يَرَاهُ مَحْفُوظًا، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، يَقُولُ: لَيْسَ مِنْ ذَا شَيْءٌ
“Sebagian huffaadh tidak memandangnya mahfuudh” [As-Sunan Al-Kubraa 4/219 (371)].
Ketidak-mahfudh-an riwayat Hisyaam, karena ia mengalami wahm dalam membawakan matan riwayat yang ia bawakan sebagaimana dikatakan Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Abu Daawud rahimahullah berkata:
سَمِعْتُ أَحْمَدَ، سُئِلَ مَا أَصَحُّ مَا فِيهِ، يَعْنِي: فِي " مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيءُ وَهُوَ صَائِمٌ ".قَالَ نَافِعٌ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ.قُلْتُ لَهُ: حَدِيثُ هِشَامٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: لَيْسَ مِنْ هَذَا شَيْءٌ، إِنَّمَا هُوَ حَدِيثُ: " مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا، يَعْنِي: وَهُوَ صَائِمٌ، فَاللَّهُ أَطْعَمَهُ وَسَقَاهُ "
“Aku mendengar Ahmad ditanya : “Riwayat apa yang paling shahih dalam hal : ‘barangsiapa yang muntah dalam keadaan berpuasa’; ia menjawab : ‘Naafi’, dari Ibnu ‘Umar’. Aku berkata kepadanya : ‘Hadits Hisyaam, dari Muhammad, dari Abu Hurairah ?’. Ia menjawab : ‘Ini tidak ada apa-apanya’[3]. Ia sebenarnya hanyalah hadits : ‘barangsiapa yang makan karena lupa dalam keadaan berpuasa, maka Allah telah memberi makan dan minum kepadanya” [Masaailu Abi Daawud, hal. 387 no. 1864].
Hadits yang dimaksudkan Al-Imaam Ahmad rahimahullah tersebut adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang makan dalam keadaan lupa padahal ia sedang berpuasa, hendaklah ia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberinya makan dan minum”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6669 dan dalam Al-Kabiir 1/91, Abu Daawud no. 2398, At-Tirmidziy 2/92 no. 721-722, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/356-357 no. 3262, Ahmad 2/395 & 2/493 & 2/514, Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 117, Abu Ya’laa no. 6038 & 6058, Ibnu Hibbaan 8/288-289 no. 3522, Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj no. 2835-2836, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/229 (386-387) no. 8072-8073; dari beberapa jalan (‘Auf bin Abi Jamiilah, Ayyuub, Habiib bin Asy-Syahiid, dan Qataadah), semuanya dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Di sini, Hisyaam menyelisihi empat orang perawi yang dua di antaranya – yaitu Ayyuub dan ‘Auf - lebih kuat periwayatannya dalam hadits Ibnu Siiriin dibanding dirinya.
Ibnul-Madiiniy rahimahullah berkata:
لَيْسَ أَحَدٌ أَثْبَتَ فِي ابْنِ سِيرِينَ مِنْ أَيُّوبَ، وَابْنِ عَوْنٍ.
“Tidak ada seorang pun yang lebih tsabt periwayatannya dalam hadits Ibnu Siiriin daripada Ayyuub dan Ibnu ‘Aun” [Al-‘Ilal, 2/132].
Al-Burdaijiy rahimahullah berkata:
أحاديث هشام عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أكثرها صحاح ، غير أن هشام ابن حسان دون أيوب ويونس وابن عون وسلمة بن علقمة وعوف عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة فيها صحاح وفيها منكرة ومعلولة
“Hadits-hadits Hisyaam dari Ibnu Siiriin dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam kebanyakannya shahih. Namun demikian, Hisyaam bin Hassaan kedudukannya di bawah Ayyuub, Yuunus, Ibnu ‘Aun, Salamah bin ‘Alqamah, dan ‘Auf dalam periwayatan dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah. Padanya ada riwayat yang shahih, ada pula yang munkar dan ma’luul” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy li-Ibni Rajab, 2/688].
Al-Marwaziy rahimahullah berkata:
سألت أبا عبد الله عن هشام بن حسان فقال: " أيوب وابن عون أحب إلي وحسن أمر هشام
“Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang Hisyaam bin Hassaan, lalu ia berkata : ‘Ayyuub dan Ibnu ‘Aun lebih aku sukai. Dan telah baik perkara Hisyaam…” [idem, 2/688-689].
Ad-Daaraquthniy rahimahullah berkata:
أثبت أصحاب ابن سيرين أيوب وابن عون وسلمة بن علقمة ويونس بن عبيد
“Ashhaab Ibnu Siiriin yang paling tsabt adalah Ayyuub, Ibnu ‘Aun, Salamah bin ‘Alqamah, dan Yuunus bin ‘Ubaid” [idem, 2/689].
Di sini dapat diketahui bahwa Hisyaam memang mengalami wahm sehingga hadits yang ia bawakan tidak mahfuudh.
3. Bertentangan dengan pendapat Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu yang notabene merupakan shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
ولم يصح وانما يروى هذا عن عبد الله بن سعيد عن ابيه عن أبى هريرة رفعه وخالفه يحيى بن صالح قال ثنا معاوية قال ثنا يحيى عن عمر بن حكم بن ثوبان سمع ابا هريرة قال إذا قاء احدكم فلا يفطر فانما يخرج ولا يولج
“Tidak shahih. Hadits itu hanyalah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Sa’iid, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfuu’. Hadits itu diselisihi oleh hadits yang bawakan oleh Yahyaa bin Shaalih, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mu’aawiyyah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari ‘Umar bin Hakam bin Tsaubaan, ia mendengar Abu Hurairah berkata : “Apabila salah seorang di antara kalian muntah, janganlah ia berbuka (membatalkannya – anakmuslimtaat’), karena ia hanyalah sesuatu yang keluar bukan yang masuk”[At-Taariikh Al-Kabiir, 1/91-92].
Melihat tiga alasan pen-ta’lil-an para ulama di atas, maka pendapat yang melemahkan hadits tersebut lebih kuat.
Kesimpulannya : Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu di atas tidak shahih.
Ada hadits lain.
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ، عَنْ يَحْيَى، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو الْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ يَعِيشَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ هِشَامٍ، أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ، حَدَّثَنِي مَعْدَانُ بْنُ طَلْحَةَ، أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ. حدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ، فَلَقِيتُ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ، فَقُلْتُ: إِنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ. حدَّثَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ. قَالَ: صَدَقَ، وَأَنَا صَبَبْتُ لَهُ وَضُوءَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar ‘Abdullah bin ‘Amru : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Yahyaa : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru Al-Auzaa’iy, dari Ya’iisy bin Al-Waliid bin Hisyaam, bahwasannya ayahnya telah menceritakannya : Telah menceritakan kepadaku Ma’daan bin Thalhah, bahwasannya Abud-Dardaa’ pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah lalu berbuka. Lalu aku (Ma’daan) bertemu dengan Tsauban maulaa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di masjid Damaskus. Aku berkata : “Sesungguhnya Abud-Dardaa’ telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam muntah kemudian beliau berbuka”. Tsaubaan berkata : “Ia benar, dan aku yang menuangkan air wudlu untuk beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2381].
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 5/195 & 5/277 & 6/443, At-Tirmidziy no. 87, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 3107, Ad-Daarimiy no. 1769, Ibnu Abi Syaibah 2/39 (6/183-184) no. 9292, Ibnu Khuzaimah no. 1956, Ibnu Hibbaan no. 1097, dan Al-Haakim 1/426 ; semuanya dari jalan Yahyaa bin Abi Katsiir yang selanjutnya seperti riwayat di atas.
Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/64.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي مَرْزُوقٍ، عَنْ حَنَشٍ، عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَدَعَا بِشَرَابٍ، فَقَالَ لَهُ بَعْضُ أَصْحَابِهِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَمْ تُصْبِحْ صَائِمًا، قَالَ: " بَلَى، وَلَكِنْ قِئْتُ "
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ishaaq, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari Yaziid bin Abi Habiib, dari Abu Marzuuq, dari Hanasy, dari Fadlaalah bin ‘Ubaid : Bahwasannya pada suatu pagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa, lalu beliau meminta air minum. Sebagian shahabat beliau berkata : “Wahai Rasulullah, bukankah pagi ini engkau berpuasa ?”. Beliau menjawab : “Benar, akan tetapi tadi aku telah muntah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/19].
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 6/18 & 6/21 & 6/22, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/96-97 no. 3406-3409, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/220 (372) no. 8032; semuanya dari Yaziid bin Abi Habiib yang selanjutnya seperti riwayat di atas.
Shahih.
Hadits di atas juga tidak dipahami bahwa muntah menyebabkan batalnya puasa. Apalagi dijadikan dalil muntah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah disengaja, sehingga beliau berbuka. Mustahil beliau melakukannya hanya sekedar menyengaja membatalkan puasa, karena membatalkan puasa tanpa ‘udzur adalah berdosa.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلانِ، فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ، فَأَتَيَا بِي جَبَلا وَعْرًا، فَقَالا لِي: اصْعَدْ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ، فَإِذَا أَنَا بِصَوْتٍ شَدِيدٍ، فَقُلْتُ: مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ؟ قَالَ: هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ، ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٍ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلاءِ؟ فَقِيلَ: هَؤُلاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
Dari Abu Umamah Al-Bahili radliyallaahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Ketika tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal seraya berkata : “Naiklah”. Hingga sampailah aku di puncak gunung. Tiba-tiba aku mendengar suara yang keras sekali. Maka aku tanyakan : ”Suara apakah itu?”. Salah satu dari mereka menjawab : ”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka”. Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan ternyata aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalir darah. Kemudian aku bertanya : ”Siapakah mereka itu?”. Maka dikatakan : ”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (dengan sengaja) sebelum tiba waktunya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraano. 3274, Ibnu Hibbaan no. 7491, Ibnu Khuzaimah no. 1986, dan lain-lain. Lihat Ta’liqatul-Hisaan ‘alaa Shahih Ibni Hibban 10/456 no. 7448].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka karena badan beliau lemah untuk meneruskan puasa setelah muntah.
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
وَلَيْسَ فِي هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ، دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْقَيْءَ كَانَ مُفْطِرًا لَهُ، إِنَّمَا فِيهِ أَنَّهُ قَاءَ فَأَفْطَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
“Dua hadits ini (yaitu hadits Fadlaalah) bukanlah sebagai dalil yang menunjukkan muntah menyebabkan beliau berbuka puasa (batal). Kandungan hadits tersebut hanya menunjukkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam muntah, lalu beliau berbuka setelah itu” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 2/97].
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، وَثَوْبَانَ، وَفَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " قَاءَ فَأَفْطَرَ " وَإِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ صَائِمًا مُتَطَوِّعًا، فَقَاءَ فَضَعُفَ فَأَفْطَرَ، لِذَلِكَ هَكَذَا رُوِيَ فِي بَعْضِ الْحَدِيثِ مُفَسَّرًا، وَالْعَمَلُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَنَّ الصَّائِمَ إِذَا ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَإِذَا اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ " وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاق
“Dan telah diriwayatkan dari Abud-Dardaa’, Tsaubaan, dan Fadlaalah bin ‘Ubaid bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah lalu berbuka. Makna hadits tersebut hanyalah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah puasa sunnah, lalu muntah sehingga beliau merasa lemahyang menyebabkan beliau berbuka karenanya. Begitulah yang diriwayatkan dari sebagian hadits beserta tafsirnya. Para ulama mengamalkan hadits Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Bahwasannya jika orang yang berpuasa tidak sengaja muntah, maka tidak ada qadlaa’ baginya. Namun apabila ia sengaja muntah, hendaknya ia mengqadlanya’. Pendapat inilah yang dipegang oleh Sufyaan Ats-Tsauriy, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan Ishaaq” [Al-Jaami’ Al-Kabiir, 2/92].
Dalam permasalahan ini, para ulama berbeda tentang masalah muntah sebagai faktor pembatal puasa.
1. Jumhur ulama berpendapat dengan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu di awal artikel bahwa muntah yang disengaja dapat membatalkan puasa, sedangkan jika tidak sengaja maka tidak batal puasa. Bahkan sebagian ulama menukil adanya ijmaa’.
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata:
وأجمعوا على أنه لا شيء على الصائم إذا ذرعه القيء، وانفرد الحسن البصري، فقال: عليه، ووافق في أُخرى.
“Para ulama bersepakat bahwa tidak ada keraguan bagi orang yang berpuasa apabila ia muntah tanpa sengaja, maka tidak ada kewajiban (qadlaa’) apapun baginya. Al-Hasan Al-Bashriy menyendiri dalam hal ini dimana ia berkata : ‘Wajib baginya qadlaa’’. Dan ia menyepakatinya dalam lain riwayat” [Al-Ijmaa’hal. 59 no. 149].
Riwayat lain dari Al-Hasan yang akan dibawakan di bawah.
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata:
لا أعلم خلافا بين أهل العلم في أن من ذرعه القيء فإنه لا قضاء عليه ولا في أن من استقاء عامدا أن عليه القضاء ولكن اختلفوا في الكفارة
“Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa siapa saja yang muntah tanpa sengaja, maka tidak ada qadlaa’ baginya; dan bagi orang yang muntah dengan sengaja, maka wajib baginya untuk mengqadlaa’. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam kaffarah” [Ma’aalimus-Sunan, 2/539 – dicetak bersama Sunan Abi Daawud].
Klaim ijmaa’ ini tidak benar.
Berikut beberapa riwayat madzhab para ulama mutaqaddimiin yang memegang pendapat ini:
أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: " مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتِقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ ".
Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik bin Anas, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka tidak ada (kewajiban) qadlaa' baginya. Namun barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka wajib baginya qadlaa'" [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm, 2/111; shahih].
حَدَّثَنَا أَزْهَرُ السَّمَّانُ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنِ الْحَسَنِ، وَابْنِ سِيرِينَ، قَالَا: " إذَا ذَرَعَ الصَّائِمَ الْقَيْءُ لَمْ يُفْطِرْ، وَإِذَا تَقَيَّأَ أَفْطَرَ "
Telah menceritakan kepada kami Az-har As-Sammaan, dari Ibnu ‘Aun, dari Al-Hasan dan Ibnu Siiriin, mereka berdua berkata : “Apabila orang yang berpuasa muntah tanpa sengaja, ia tidak perlu berbuka (batal). Namun apabila muntah dengan sengaja, maka batal telah berbuka (batal)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/38 (6/181) no. 9281; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مُغِيرَةَ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، قَالَ: " إذَا ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ وَإِنْ تَهَوَّعَ فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ "
Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Mughiirah, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Apabila seseorang muntah tanpa sengaja, maka ia tidak perlu mengulangnya (mengqadlanya). Namun apabila muntah dengan sengaja, maka ia wajib mengulangnya” [idem, (6/181-182) no. 9282; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُطَرِّفٍ، عَنْ عَامِرٍ، قَالَ: " إذَا تَقَيَّأَ مُتَعَمِّدًا فَهُوَ أَفْطَرَ "
Telah menceritakan kepada kami Asbaath bin Muhammad, dari Mutharrif, dari ‘Aamir, ia berkata : “Apabila seseorang muntah dengan sengaja, maka ia telah berbuka (batal)” [idem, 2/39 (6/182) no. 9286; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، قَالَ: " إذَا تَقَيَّأَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَإِنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah, ia berkata : “Apabila seorang muntah dalam keadaan berpuasa, maka wajib baginya qadlaa’. Namun apabila ia tidak sengaja muntah, tidak wajib baginya qadlaa’” [idem, 2/39 (6/182) no. 9288; sanadnya shahih].
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ اسْتَقَاءَ إِنْسَانٌ نَاسِيًا أَوْ جَاهِلا؟ قَالَ: لا يُبْدِلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ، وَيُتِمُّهُ "، قَالَ: وَقَالَ عَطَاءٌ: " إِنِ اسْتَقَاءَ إِنْسَانٌ عَامِدًا فِي رَمَضَانَ فَقَدْ أَفْطَرَ، وَإِنْ سَهَا فَلَمْ يُفْطِرْ "،
قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: وَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ : Ada seseorang yang muntah karena lupa atau tidak tahu. Ia (‘Athaa’) berkata : “Ia tidak perlu mengganti puasanya hari itu, dan hendaknya ia menyempurnakannya”. ‘Athaa’ melanjutkan: “Apabila seseorang muntah dengan sengaja di bulan Ramadlaan, sungguh puasanya telah batal. Namun apabila ia lupa, maka tidak batal”.
Ibnu Juraij berkata : “’Amru bin Diinaar mengatakan hal yang semisal itu” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7547; shahih].
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، وَعَنْ حَفْصٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالا: مَنِ اسْتَقَاءَ فَقَدْ أَفْطَرَ، وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ فَلَمْ يُفْطِرْ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy; dan dari Hafsh, dari Al-Hasan; mereka berdua berkata : “Barangsiapa yang muntah dengah sengaja, sungguh ia telah berbuka (batal puasanya), wajib baginya qadlaa’. Dan barangsiapa yang muntah tanpa disengaja, maka tidak batal puasanya” [idem, no. 7550; shahih].
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ ابْنِ طَاوُسٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: إِنْ قِئْتَ أَوِ اسْتَقَأْتَ سَهْوًا لَمْ تُفْطِرْ "
Dari Ma’mar, daru Ibnu Thaawuus, dari ayahnya (Thaawuus bin Kaisaan), ia berkata : “Apabila seseorang muntah tanpa sengaja atau muntah dengan sengaja karena lupa, maka tidak batal puasanya” [idem, no. 7552; shahih].
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي، وَغَيْرُهُ قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، أنبأ الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، أنبأ الشَّافِعِيُّ، قال: " وَمَنْ تَقَيَّأَ وَهُوَ صَائِمٌ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Al-Hasan Al-Qaadliy dan yang lainnya, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah memberitakan Ar-Rabii’ bin Sulaimaan : Telah memberitakan Asy-Syaafi’iy, ia berkata : “Barangsiapa muntah dengan sengaja dalam keadaan berpuasa, wajib baginya qadlaa’. Dan barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka tidak ada kewajiban qadlaa’ baginya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 4/219 (370) no. 8025; shahih].
Abu Daawud rahimahullah berkata:
سَمِعْتُ أَحْمَدَ، سُئِلَ عَمَّنْ قَاءَ فِي رَمَضَانَ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ مُتَعَمِّدًا قَضَى، وَإِنْ ذَرَعَهُ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ ".
“Aku mendengar Ahmad ditanya tentang orang yang muntah di bulan Ramadlaan. Ia menjawab : ‘Apabila ia sengaja muntah, ia wajib mengqadlanya. Namun apabila tidak sengaja, maka tidak ada qadla’ baginya” [Masaailu Abi Daawud, hal. 130 no. 623].
2. Sebagian ulama berpendapat muntah tidak membatalkan puasa secara mutlak.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَقَدْ رَوَى يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ: أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ لا يَرَى الْقَيْءَ يُفْطِرُ الصَّائِمَ
“Dan telah diriwayatkan oleh Yahyaa bin Abi Katsiir, dari ‘Umar bin Al-Hakam, bahwasannya Abu Hurairah tidak berpendapat muntah membatalkan puasa seseorang” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, no. 198].
وَقَالَ لِي يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ: حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ ثَوْبَانَ، سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: " إِذَا قَاءَ فَلَا يُفْطِرُ إِنَّمَا يُخْرِجُ وَلَا يُولِجُ
Dan telah berkata kepadaku Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Mu’aawiyyah bin Sallaam : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari ‘Umar bin Al-Hakam bin Tsaubaan, ia mendengar Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : ‘Apabila seseorang muntah, janganlah ia berbuka. Karena yang menyebabkan berbuka (batal puasanya) hanyalah sesuatu yang dimasukkan, bukan yang dikeluarkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya setelah hadits 1937].
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، ثنا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: " الإِفْطَارُ مِمَّا دَخَلَ وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ، وَالْوُضُوءُ مِمَّا خَرَجَ، وَلَيْسَ مِمَّا دَخَلَ "
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Teklah menceritakan kepada kami Yaziid bin Zurai’, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia berkata : “Berbuka itu karena sesuatu yang masuk, bukan karena sesuatu yang keluar. Adapun wudlu itu (batal) karena sesuatu yang keluar, bukan karena sesuatu yang masuk” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mudzir dalam Al-Ausath 1/185 no. 81; sanadnya lemah karena keterputusan antara Yaziid dengan ‘Ikrimah. Akan tetapi ia mempunyai penguat dari jalan yang lain sehingga derajatnya hasan lighairihi, wallaahu a’lam].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدَةَ، عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنِ الرَّجُلِ يَسْبِقُهُ الْقَيْءُ وَهُوَ صَائِمٌ أَيَقْضِي ذَلِكَ الْيَوْمَ، قَالَ: لَا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaidah[4], dari Ya’quub bin Qais[5], ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Sa’iid bin Jubair tentang seorang laki-laki yang mengalami muntah dalam keadaan berpuasa. Apakah ia mesti menqadla (puasa) hari itu?. Ia menjawab : “Tidak” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/39 (6/182) no. 9285; shahih].
Pendapat inilah yang nampak dipegang Al-Bukhaariy. Khususnya saat ia menta’lil hadits marfuu’Abu Hurairah dan kemudian membawakan riwayat mauquuf darinya.
Tarjih
Yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat yang menyatakan muntah tidak membatalkan puasa secara mutlak, karena ketiadaan dalil shahih dan sharih yang menjadi dasar.
Semoga artikel ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[anakmuslimtaat’ – 6 Ramadlaan 1435 H].
[1] ‘Iisaa dalam periwayatan dari Hisyaam diselisihi oleh banyak perawi yang membawakan dengan matan yang berbeda.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya no. 1933 dan dalam Al-Kabiir 1/91, Muslim no. 1155, Abu Daawud no. 2398, Ad-Daarimiy no. 1767, Ahmad 2/425 & 2/491 & 2/513, Abu Ya’laa no. 6058, Ibnu Khuzaimah no. 1989, Ibnu Hibbaan no. 3520 & 3522, Abu ‘Awaanah no. 2835 & 2836, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj no. 2620, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/229 (386) no. 8071, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1754, Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 4/356, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/179-180; dari banyak jalan [Yaziid bin Zurai’, Ibnu ‘Ulayyah, Hammaad bin Salamah, Jariir bin ‘Abdil-Hamiid, Yaziid bin Haaruun, Muhammad bin Ja’far (Ghundar), Rauh bin ‘Ubaadah, ‘Abdul-A’laa bin ‘Abdil-A’laa, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, dan ‘Abdullah bin Bakr As-Sahmiy] semuanya dari Hisyaam bin Hassaan, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah ia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberinya makan dan minum”.
Bahkan ‘Iisaa bin Yuunus dalam An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/357 no. 3263 dan Ibnu Hibbaan (no. 3519) meriwayatkan dari jalan dari Hisyaam dengan matan seperti yang dibawakan jama’ah di atas.
Sanadnya shahih.
‘Illat riwayat ini akan ditegaskan dalam pembahasan setelahnya (point 2).
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ، فَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ "
[3] Al-Khaththaabiy rahimahullah saat mengomentari perkataan Ahmad : ‘Ini tidak ada apa-apanya’, ia berkata:
يريد أن الحديث غير محفوظ
“Yang ia kehendaki bahwa hadits tersebut tidak mahfuudh” [Ma’aalimus-Sunan, 2/539 – dicetak bersama Sunan Abi Daawud].
[4] Begitulah yang tertulis dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah. Yang benar adalah : Muhammad bin Abi ‘Ubaidah, guru dari Ibnu Abi Syaibah.
Nama lengkapnya adalah : Muhammad bin Abi ‘Ubaidah ‘Abdil-Malik bin Ma’n bin ‘Abdirrahmaan nom ‘Abdillah bin Mas’uud Al-Mas’uudiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10 dan wafat tahun 205 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 876 no. 6165].
[5] Ya’quub bin Qais Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Ahmad berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [Al-Jarh wat-Ta’diil 9/213 no. 890 dan Ats-Tsiqaat 7/643].