1. Iman tidak bercabang-cabang dan tidak bertingkat-tingkat.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وبهذا يتبين الجواب عن شبهة أهل البدع من الخوارج والمرجئة وغيرهم ممن يقول إن الإيمان لا يتبعض ولا يتفاضل ولا ينقص قالوا لأنه إذا ذهب منه جزء ذهب كله لأن الشيء المركب من أجزاء متى ذهب منه جزء ذهب كله
“Dan dengan hal ini menjadi jelaslah jawaban atas syubhat Ahlul-Bida’ dari kalangan Khawaarij, Murji’ah, dan yang lainnya yang mengatakan iman tidak bercabang-cabang dan tidak bertingkat-tingkat, dan tidak bisa berkurang. Mereka berkata : Hal itu dikarenakan apabila hilang sebagian iman, maka hilang seluruhnya. Sesuatu yang tersusun dari bagian-bagian, ketika hilang satu bagian darinya, maka hilang secara keseluruhan..” [Minhaajus-Sunnah, 5/204-205].
2. Iman tidak bertambah, tidak pula berkurang.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَبِي الزَّرْقَاءِ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، قَالَ: " خِلَافُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُرْجِئَةِ ثَلَاثٌ: نَقُولُ: الإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، وَهُمْ يَقُولُونَ: الْإِيمَانُ قَوْلٌ وَلَا عَمَلَ. وَنَقُولُ: الْإِيمَانُ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا يَزِيدُ وَلَا يَنْقُصُ. وَنَحْنُ نَقُولُ: النِّفَاقُ، وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا نِفَاقَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abis-Sariy Al-‘Asqalaaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Abiz-Zarqaa’, dari Sufyaan Ats-Tsauriy, ia berkata : “Khilaaf yang terjadi antara kami (Ahlus-Sunnah) dengan Murji’ah ada tiga. (1) Kami berkata : iman itu perkataan dan perbuatan; sedangkan mereka berkata : iman itu perkataan saja, tanpa perbuatan. (2) Kami berkata : iman dapat bertambah dan berkurang; sedangkan mereka berkata : iman itu tidak bisa bertambah dan berkurang. (3) Kami berkata : (Dapat terjadi) kemunafikan; sedangkan mereka berkata : tidak ada kemunafikan” [Diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy dalam Shifatun-Nifaaq wa Dzammul-Munaafiqiin, no. 99; hasan].
3. Iman cukup dengan perkataan saja dan menafikkan amal.
وَأَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ وَاصِلٍ الْمُقْرِئُ، أَنَّ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، سُئِلَ مَنْ قَالَ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ بِلا عَمَلٍ، وَهُوَ يَزِيدُ وَلا يَنْقُصُ، قَالَ: هَذَا قَوْلُ الْمُرْجِئَةِ "
Dan telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin Ahmad bin Waashil Al-Muqri’ : Bahwasannya Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) pernah ditanya tentang iman adalah perkataan tanpa amal, bisa bertambah namun tidak bisa berkurang. Maka ia menjawab : “Ini adalah perkataan Murji’ah” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 972; shahih].
أَخْبَرَنِي حَرْبُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْكَرْمَانِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ، وَقِيلَ لَهُ: " الْمُرْجِئَةُ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: مَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيمَانَ قَوْلٌ "
Telah mengkhabarkan kepadaku Harb bin Ismaa’iil Al-Kirmaaniy, ia berkata : Aku pernah mendengar Ahmad, dan dikatakan kepadanya : “Siapakah Murji’ah itu ?”. Ia menjawab : “Orang yang menyangka bahwa iman adalah perkataan saja” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 954; shahih].
4. Keimanan seorang muslim adalah sempurna, tidak memudlaratkan kemaksiatan terhadap keimanan mereka.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah saat menjelaskan keadaan para pelaku dosa besar :
فقالت المرجئة جهميتهم وغير جهميتهم هو مؤمن كامل الايمان
“Murji’ah dari kalangan Jahmiyyah mereka dan selainnya berkata : ia (pelaku dosa besar) adalah mukmin yang sempurna imannya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/354].
فقالت الجهمية والمرجئة قد علمنا أنه ليس يخلد فى النار وأنه ليس كافرا مرتدا بل هو من المسلمين واذا كان من المسلمين وجب أن يكون مؤمنا تام الايمان
“Jahmiyyah dan Murji’ah berkata : Kami telah mengetahui bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di dalam neraka, dan tidak kafir lagi murtad; akan tetapi ia termasuk kaum muslimin. Apabila ia termasuk kaum muslimin, maka wajib menganggapnya mukmin yang sempurna imannya” [idem, 13/50].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ الْعَطَّارُ، نا هَارُونُ بْنُ مَسْعُودٍ الدَّهَّانُ، نا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ حَسَّانَ، قَالَ: قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، " اتَّقُوا هَذِهِ الأَهْوَاءَ الْمُضِلَّةَ " قِيلَ لَهُ: بَيِّنْ لَنَا، رَحِمَكَ اللَّهُ. قَالَ سُفْيَانُ: " أَمَّا الْمُرْجِئَةُ فَيَقُولُونَ: الإِيمَانُ كَلامٌ بِلا عَمَلٍ، مَنْ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ مُسْتَكْمِلُ الإِيمَانِ، عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَالْمَلائِكَةِ، وَإِنْ قَتَلَ كَذَا وَكَذَا مُؤْمِنٍ، وَإِنْ تَرَكَ الْغُسْلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَإِنْ تَرَكَ الصَّلاةَ، وَهُمْ يَرَوْنَ السَّيْفَ عَلَى أَهْلِ الْقِبْلَةِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin makhlad : Telah mengkhabarkan kepada kami Harauun bin Mas’uud Ad-Dahhaan : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdush-Shamad bin Hassaan, ia berkata : Telah berkata Sufyaan Ats-Tsauriy : “Berhati-hatilah kalian terhadap hawa nafsi yang menyesatkan”. Dikatakan kepadanya : “Terangkanlah kepada kami, semoga Allah merahmatimu”. Sufyaan berkata : “Adapun Murji’ah, mereka berkata : iman adalah perkataan tanpa amal. Barangsiapa yang mengucapkan asyhadu an laa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh (aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya), maka ia mukmin yang sempurna imannya seperti imannya Jibriil dan para malaikat. Meskipun ia membunuh demikian dan demikian, maka ia (tetap) mukmin. Meskipun ia meninggalkan mandi janabah dan meninggalkan shalat. Dan mereka berpendapat bolehnya mengangkat pedang terhadap ahlul-kiblat (kaum muslimin)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Syaahiin dalam Syarh Madzaahib Ahlis-Sunnahno. 15].
5. Kebaikan menurut mereka pasti diterima, dan orang yang beriman menurut mereka pasti masuk surga (tanpa ada tersentuh api neraka).
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَيَّارٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: أَخْبَرَنِي وَهْبُ بْنُ زَمْعَةَ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَعْيَنَ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ، يَقُولُ: " الْمُرْجِئَةُ، تَقُولُ: حَسَنَاتُنَا مُتَقَبَّلَةٌ، وَأَنَا لا أَدْرِي تُقْبَلُ مِنِّي حَسَنَةٌ أَمْ لا، وَيَقُولُونَ إِنَّهُمْ فِي الْجَنَّةِ، وَأَنَا أَخَافُ أَنْ أُخَلَّدَ فِي النَّارِ، وَتَلا عَبْدُ اللَّهِ هَذِهِ الآيَةَ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأَذَى، وَتَلا أَيْضًا: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ إِلَى قَوْلِهِ: أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ وَمَا يُؤْمِنِّي "
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sayyaar : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-Kariim bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Wahb bin Zam’ah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin A’yun, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah (bin Al-Mubaarak) berkata : “Murji’ah berkata : ‘Kebaikan-kebaikan kami diterima (di sisi Allah)’, sedangkan aku tidak mengetahui apakah amal kebaikanku diterima ataukah tidak. Mereka berkata bahwasannya mereka kelak berada di surga, sedangkan aku khawatir/takut akan kekal diadzab di neraka”. Kemudian ‘Abdullah membaca ayat ini : ‘Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)’ (QS. Al-Baqarah : 264). ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari’ (QS. Al-Hujuraat : 2). Dan aku tidak merasa aman (segala amalku pasti diterima oleh Allah ta’ala)” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, no. 704; shahih].
6. Melarang istitsnaa’[1]dalam iman.
سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَحْمَدَ بْنِ شَبَّوَيْهِ الْمَرْوَزِيَّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا خَيْثَمَةَ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ مَهْدِيٍّ: " أَصْلُ الإِرْجَاءِ مَنْ قَالَ: إِنِّي مُؤْمِنٌ
Aku mendengar ‘Abdullah bin Ahmad bin Syabbawaih, ia berkata : Aku mendengar Abu Khaitsamah berkata : Telah berkata ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy : “Asas/pokok irjaa’ adalah orang yang berkata : ‘sesungguhnya aku mukmin (tanpa istitsnaa’)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 1023; shahih].
Dalam riwayat lain :
إذا ترك الإستثناء، فهو أصلُ الإرجاء.
“Apabila seseorang meninggalkan istitsnaa’, maka hal itu merupakan asas irjaa’[2]” [Asy-Syarii’ah oleh Al-Aajurriy, 2/664].
Telah berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
فالذين يُحَرِّمونه هم المرجئة والجهمية ونحوهم.
“Mereka yang mengharamkan istitsnaa’ adalah kelompok Muji’ah, Jahmiyyah, dan yang lainnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/429].
7. Membatasi kekufuran hanya pada kufur juhuud dan inkar saja.
Asy-Syihristaaniy rahimahullah saat menjelaskan ‘aqidah Murji’ah berkata :
الإيمان هو التَّصديق بالقلب واللسان جميعاً والكفر هو الجحود والإنكار ، والسجود للشمس والقمر والصنم ليس بكفر في نفسه ولكنه علامة الكفر
“Iman adalah pembenaran dalam hati dan lisan secara bersamaan. Dan kekufuran adalah juhuud(pengingkaran) dan inkaar (ketidaktahuan) saja. Sujud kepada matahri, bulan, dan patung/berhala bukanlah kekufuran itu sendiri, namun tanda-tanda kekufuran” [Al-Milal wan-Nihaal, 1/144].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
قولهم كل من كفره الشارع فانما كفره لانتفاء تصديق القلب بالرب تبارك وتعالى
“Dan perkataan mereka (Murji’ah) bahwa setiap orang yang dikafirkan Syaari’ (Allah) sesungguhnya hanya disebabkan ketiadaan pembenaran dalam hati tabaaraka wa ta’ala” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/364].
8. Menghalalkan darah dan cenderung pada pemberontakan.
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، ثنا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْفَزَارِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ، وَالأَوْزَاعِيَّ، يَقُولانِ: " إِنَّ قَوْلَ الْمُرْجِئَةِ يَخْرُجُ إِلَى السَّيْفِ "
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin ‘Umar Abu ‘Abdirrahmaan : Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Abu Ishaaq Al-Fazaariy, ia berkata : Aku mendengar Sufyaan dan Al-Auzaa’iy berkata : “Sesungguhnya perkataan Murji’ah keluar menuju penghalalan pedang” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 363; shahih].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[anakmuslimtaat’ – perumahan ciomas permai – 02012013 – 01:00].
[1] Yaitu perkataan : ‘saya mukmin insya Allah’.
[2] Murji’ah menganggap istitsnaa’ dalam iman adalah haram karena menurut pemahaman mereka iman adalah satu kesatuan, yaitu keyakinan dalam hati saja. Maka, orang yang ber-istitsnaa’ – menurut mereka – adalah orang yang diliputi keraguan.
Adapun Ahlus-Sunnah membolehkan istitsnaa’ dalam iman karena mereka tidak mengklaim iman mereka telah sempurna (seperti ‘aqidah Murji’ah). Namun mereka tidak ragu bahwa mereka memiliki ashlul-iman(pokok iman) dalam diri mereka sehingga mereka tidak tergolong kafir.