Katanya, kalau Pemilu haram, kenapa hasilnya (yaitu Presiden) jadi halal ? dan malah, wajib dipatuhi ?. Produk dari yang haram, kok bisa-bisanya menjadi halal. Sungguh, ini logika pendalilan yang aneh dari kelompok Salafiy.
Kata saya : Untung keanehan itu tidak dikatakan ulama. Dan memang, tidak ada yang aneh dengan hal itu. Dari Al-‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، فَقَالَ رَجُلٌ: إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: " أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ، وَالسَّمْعِ، وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ "
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi nasihat kepada kami pada suatu hari setelah shalat Shubuh dengan satu nasihat yang jelas hingga membuat air mata kami bercucuran dan hati kami bergetar. Seorang laki-laki berkata : ‘Sesungguhnya nasihat ini seperti nasihat orang yang hendak berpisah. Lalu apa yang hendak engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah ?’. Beliau bersabda : ‘Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Orang yang hidup di antara kalian (sepeninggalku nanti) akan menjumpai banyak perselisihan. Waspadailah hal-hal yang baru, karena semua itu adalah kesesatan. Barangsiapa yang menjumpainya, maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaa’ Ar-Raasyidiin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2676; shahih. Takhrij lebih lengkap bisa dibaca di sini].
Perhatikan kalimat yang bercetak tebal. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk tetap mendengar dan taat meskipun yang memerintah seorang budak. Padahal sudah diketahui, budak itu tidak boleh menjadi imam/penguasa, karena syarat menjadi imam adalah merdeka. Namun seandainya ditakdirkan ada budak yang akhirnya menjadi imam – entah bagaimana caranya - , kita tetap wajib mendengar, taat, dan berbaiat kepadanya.
Sama halnya jika ada seseorang yang memberontak dan menggulingkan kekuasaan dari pemerintahan yang sah, kita tetap wajib mendengar dan taat, dan memberikan baiat kepadanya. Tidak boleh kita memberontak ulang kepadanya karena menganggap kekuasaannya tidak konstitusional. Banyak ulama yang telah menegaskan hal ini, di antaranya :
Telah berkata Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah :
كل من غلب على الخلافة بالسيف، حتى يسمى خليفة، ويجمع الناس عليه، فهو خليفة
“Setiap orang yang berhasil menguasai kekhilafahan dengan pedang hingga ia dinamai kahliifah dan manusia berkumpul padanya, maka ia adalah khalifah” [Manaaqibusy-Syaafi’iy oleh Al-Baihaqiy, 1/448].
Telah berkata Al-Imaam Ahmad rahimahullahdalam masalah ‘aqidah yang diriwayatkan oleh ‘Abduus bin Maalik Al-‘Aththaar :
......ومن غلب عليهم- يعني : الولاة- بالسيف حتى صار خليفة، وسمي أمير المؤمنين، فلا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الأخر أن يبيت ولا يراه إماماً براً كان أو فاجراً
“…Dan barangsiapa yang mengalahkan mereka – yaitu pemimpin negara (sebelumnya) – dengan pedang hingga menjadi khalifah dan digelari Amiirul-Mukminiin, maka tidak boleh bagi seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir bermalam dengan masih beranggapan tidak ada imam (untuk dibai’at), baik imam tersebut seorang yang baik ataupun jahat (faajir)” [Al-Ahkaamus-Sulthaaniyyah oleh Al-Qaadliy Abu Ya’laa hal. 23].
Al-Imam Ahmad rahimahullah berhujjah dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, bahwasannya ia berkata :
.....وأصلي وراء من غلب
“Dan aku shalat di belakang orang yang menang (dalam perebutan kekuasaan)” [idem].
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat - dengan sanad jayyid – dari Zaid bin Aslam bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa saat jaman fitnah tidak mendatangi seorang amir melainkan ia shalat di belakangnya, dan mengeluarkan zakat hartanya kepadanya.
Dalam Shahih Al-Bukhaariy, Kitaabul-Ahkaam, Baab Kaifa Yubaayi’ul-Imaaman-Naas (Bagaimana membaiat Pemimpin/Imam Manusia) (no. 7203) : dari ‘Abdullah bin Diinaar, ia berkata : Aku pernah menyaksikan Ibnu ‘Umar saat manusia berkumpul membaiat ‘Abdul-Malik. Ia berkata :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ، قَالَ: شَهِدْتُ ابْنَ عُمَرَ حَيْثُ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَى عَبْدِ الْمَلِكِ، قَالَ: كَتَبَ أني أُقِرُّ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِعَبْدِ اللَّهِ عَبْدِ الْمَلِكِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ علَى سُنَّةِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ مَا اسْتَطَعْتُ، وَإِنَّ بَنِيَّ قَدْ أَقَرُّوا بِمِثْلِ ذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Diinaar, ia berkata : Aku pernah menyaksikan Ibnu ‘Umar saat manusia berkumpul membaiat ‘Abdul-Malik. Ia berwasiat : “Sesungguhnya aku menyatakan akan mendengar dan taat kepada hamba Allah yang bernama ‘Abdul-Malik, amiirul-mukminiin, berdasarkan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya sesuai dengan kesanggupanku. Dan sesungguhnya anak-anakku juga menyatakan hal yang semisal dengan itu” [selesai].
Maksud perkataan ‘Abdullah bin Diinaar : “saat manusia berkumpul membaiat ‘Abdul-Malik”; yaitu Ibnu Marwaan bin Al-Hakam. Dan yang dimaksud dengan berkumpul (al-ijtimaa’) adalah berkumpulnya kalimat, karena sebelum itu terjadi perpecahan, yaitu menjadi dua wilayah kekuasaan. Setiap wilayah mendakwakan diri sebagai khilafah yang sah. Mereka itu adalah ‘Abdul-Malik bin Marwaan dan ‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhu.
Ibnu ‘Umar pada waktu itu melarang berbaiat kepada Ibnuz-Zubair ataupun ‘Abdul-Malik. Namun ketika ‘Abdul-Malik memenangkan pertempuran dan memegang kendali kekuasaan, ia (Ibnu ‘Umar) pun berbaiat kepadanya [Lihat : Al-Fath, 13/194]
Ibnu Hajar rahimahullahu ta’ala telah mengatakan adanya kesepakatan (ijma’) terhadap perkara ini dalam Al-Fath. Ia berkata :
وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه، وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء، وتسكين الدهماء
Para fuqahaa’ telah bersepakat tentang wajibnya taat kepada sulthaan yang menang (saat merebut kekuasaan) dan berjihad bersamanya. Dan bahwasannya ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena hal itu dapat melindungi darah dan menenangkan rakyat jelata” [Fathul-Baariy, 13/7].
Padahal,…. kita tahu memberontak itu haram hukumnya. Namun jika ditakdirkan ada orang yang memberontak dan berhasil menggulingkan pemerintahan yang sah, kita wajib memberikan ketaatan kepadanya. Ini maksud dari perkataan ulama di atas. Adapun tentang dosa, maka penguasa itu yang akan mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya (yang telah mengadakan pemberontakan). Jika penguasa baru itu telah melakukan kemunkaran, kita jangan melakukan kemunkaran yang serupa. Tapi tetap tunduk pada sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ketaatan kepadanya.
So,…. menurut logika para ulama, tidak ada yang aneh, karena semua ini mempertimbangkan adanya maslahat dan mafsadat. Seandainya ada pemimpin yang dihasilkan dari proses yang tidak syar’iy, maka kita tetap harus memberikan ketaatan kepadanya selama ia menegakkan shalat atau tidak terjatuh pada kufur akbar. Ini adalah untuk menjaga persatuan kaum muslimin dan menghindari mafsadat yang lebih besar dari adanya pertumpahan darah dan berbagai kekacauan.
Wallaahu a’lam.
[anakmuslimtaat’ – perum ciper, 20092012].