Ada orang Syi’ah berkata :
Di antara penakwilan mereka (yakni para Sahabat) ialah dalam azan Subuh yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAWW; yaitu tambahan seruan muazin: "Ash-shalatu khayrun min an-naum" (shalat lebih utama daripada tidur). Bahkan hal itu tak pernah ada pada zaman Abu Bakar. Justru Khalifah Kedualah yang memerintahkannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis-hadis mutawatir melalui saluran 'itrah (keluarga suci) Rasul SAWW
Ada lagi yang nyeletuk :
Nashibi dengan entengnya berkata: “Walhasil , lafadh tatswib adalah lafadh yang telah ada semenjak jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam , dan bahkan telah menjadi bagian dari sunnahnya yang suci. Bukan bikinan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu sebagaimana tuduhan Syi’ah Rafidlah. Ini merupakan kesepakatan ulama Ahlus-Sunnah.”
Jadi menurutnya, Nashibi itu enteng berkata bahwa lafadh tatswiib itu telah eksis semenjak jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Doktrinase ulama-ulama Syi’ah kepada para pengikut mereka bahwa ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu-lah yang membuat-buat lafadh tatswiib (yaitu : ash-shalaatu khairun minan-naum = shalat lebih baik daripada tidur) memang sudah lumayan parah. Orang-orang yang terpedaya tipuan mereka pun turut serta, sebagaimana dua perkataan di atas. Bahkan diberikan pilihan : Ikut adzan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau adzannya ‘Umar ?.
Para ulama berbeda pendapat tentang makna tatswiib sebagaimana diterangkan oleh At-Tirmidziy rahimahullah :
وَقَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي تَفْسِيرِ التَّثْوِيبِ:
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: يَقُولَ فِي أَذَانِ الْفَجْرِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ الْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدَ.
وقَالَ إِسْحَاق فِي التَّثْوِيبِ غَيْرَ هَذَا، قَالَ: التَّثْوِيبُ الْمَكْرُوهُ هُوَ شَيْءٌ أَحْدَثَهُ النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَاسْتَبْطَأَ الْقَوْمَ، قَالَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ.
قَالَ: وَهَذَا الَّذِي قَالَ إِسْحَاقُ: هُوَ التَّثْوِيبُ الَّذِي قَدْ كَرِهَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ، وَالَّذِي أَحْدَثُوهُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
وَالَّذِي فَسَّرَ ابْنُ الْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ أَنَّ التَّثْوِيبَ أَنْ يَقُولَ الْمُؤَذِّنُ فِي أَذَانِ الْفَجْرِ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، وَهُوَ قَوْلٌ صَحِيحٌ، وَيُقَالُ لَهُ: التَّثْوِيبُ أَيْضًا، وَهُوَ الَّذِي اخْتَارَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ، وَرَأَوْهُ.
وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، وَرُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: دَخَلْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ مَسْجِدًا، وَقَدْ أُذِّنَ فِيهِ وَنَحْنُ نُرِيدُ أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِ فَثَوَّبَ الْمُؤَذِّنُ، فَخَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ مِنَ الْمَسْجِدِ، وَقَالَ: اخْرُجْ بِنَا مِنْ عِنْدِ هَذَا الْمُبْتَدِعِ وَلَمْ يُصَلِّ فِيهِ.
قَالَ: وَإِنَّمَا كَرِهَ عَبْدُ اللَّهِ التَّثْوِيبَ الَّذِي أَحْدَثَهُ النَّاسُ بَعْدُ
“Para ulama telah berbeda pendapat tentang tafsir makna tatswiib.
Sebagian ulama berkata : Maknanya adalah seseorang berkata pada adzan fajr ash-shalaatu khairun minan-naum. Ini adalah pendapat Ibnul-Mubaarak dan Ahmad.
Ishaaq (bin Rahawaih) menjelaskan tentang tatswiib bukan dengan makna ini. Ia berkata : ‘Tatswiib yang makruh adalah sesuatu yang diada-adakan manusia setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila seorang muadzdzin mengumandangkan adzan sehingga orang-orang berlambat-lambat (bermalas-malas) untuk mendatanginya. Ia (muadzdzin) mengucapkan antara adzan dan iqamat : ‘qad qaamatish-shalaah, hayya ‘alash-shalaah, hayya ‘alal-falaah’.
Inilah yang dikatakan Ishaaq : ‘Tatswiib itulah yang dibenci para ulama yang diada-adakan sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’.
Dan tatswiib yang ditafsir oleh Ibnul-Mubaarak dan Ahmad, yaitu seorang muadzdzin yang mengatakan ketika adzan fajr : ash-shalaatu khairun minan-naum. Inilah pendapat yang benar. Dan itu juga dinamakan tatswiib. Itulah yang dipilih dan diambil oleh para ulama.
Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasannya ia pernah mengucapkan dalam adzan fajr : ‘ash-shalaatu khairun minan-naum’. Dan telah diriwayatkan dari Mujaahid, ia berkata : ‘Aku pernah masuk hendak melaksanakan shalat ke sebuah masjid bersama ‘Abdullah bin ‘Umar yang waktu itu sedang dikumandangkan adzan. Mu’adzdzin mengucapkan tatswiibdalam adzannya. Maka, ‘Abdullah bin ‘Umar keluar masjid dan berkata : ‘Keluarlah bersama kami. Orang ini adalah pelaku bid’ah’. Ia pun tidak jadi shalat di masjid tersebut.
‘Abdullah hanyalah membenci tatswiibyang diada-adakan manusia sepeninggal (Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam” [Sunan At-Tirmidziy, 1/239-240].
Apa yang dikatakan oleh Ishaaq bin Rahawaih tentang tatswiib bid’ah, maka ia adalah yang diada-adakan oleh ulama Kuufah dari kalangan Hanafiyyah [Al-Mabsuuth 1/130, Badaai’ush-Shanaai’1/148, Al-Binaayah 2/111, Mawaahibul-Jaliil 1/431, Al-Ausath3/23, dan Al-Mughniy 2/61].
Dalam hadits, iqamat juga disebut dengan tatswiibsebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا الْفُضَيْلُ يَعْنِي ابْنَ عِيَاضٍ، عَنْ هِشَامٍ. ح. قَالَ: وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ لَهُ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلَاةِ، فَلَا يَسْعَ إِلَيْهَا أَحَدُكُمْ، وَلَكِنْ، لِيَمْشِ وَعَلَيْهِ السَّكِينَةُ، وَالْوَقَارُ، صَلِّ مَا أَدْرَكْتَ، وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Al-Fudlail bin ‘Iyaadl, dari Hisyaam, ia berkata : (ح). Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb – dan lafadh ini miliknya - : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salla : “Apabila dikumandangkan ‘tatswiib’ (iqamat) untuk shalat, janganlah kalian tergesa-gesa mendatanginya. Hendaklah ia berjalan dengan tenang. Shalatlah apa yang engkau dapatkan dari imam, dan sempurnakanlah apa yang tertinggal” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 602].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قوله صلى الله عليه وسلم: (إذا ثوب بالصلاة) معناه إذا أقيمت سميت الإقامة تثويبا لأنها دعاء إلى الصلاة بعد الدعاء بالاَذان من قولهم ثاب إذا رجع
“Sabda beliau : ‘Apabila dikumandangkan ‘tatswiib’ untuk shalat’, maknanya adalah : apabila telah dikumandangkan iqamat. Dinamakan iqamah dengan tatswiib karena ia merupakan seruan/panggilan untuk shalat setelah seruan adzan. Berasal dari perkataan mereka : tsaaba: idzaa raja’a (apabila ia kembali)” [Syarh Shahiih Muslim, 5/100 – melalui perantaraan ta’liiq Al-Hilaaliy atas kitab Al-Muwaththa’ 1/362].
Tentang lafadh tatswiib ‘ash-shalaatu khairun minan-nauum’, telah shahih eksistensi lafadh tersebut dalam sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam maupun di kalangan shahabat yang semasa dengan beliau, di antaranya :
1. Hadits Anas radliyallaahu ‘anhu.
نا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ الْعِجْلِيُّ، نا أَبُو أُسَامَةَ، عَنِ ابْنِ عَوْفٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: " مِنَ السَّنَةِ إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ فِي أَذَانِ الْفَجْرِ: حَيَّ عَلَى الْفَلاحِ، قَالَ: الصَّلاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Utsmaan Al-‘Ijliy[1]: Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah[2], dari Ibnu ‘Auf[3], dari Muhammad bin Siiriin[4], dari Anas[5], ia berkata : “Termasuk sunnah adalah jika muadzdzin berkata saat adzan fajr hayya ‘alal-falaah, maka ia mengucapkan : ash-shalaatu khairun minan-naum” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 386].
Sanad riwayat ini shahih. Perkataan ‘termasuk sunnah’ menurut para ulama ahli hadits dan ushul dihukumi marfuu’ (marfuu’ hukman) - sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam - walau secara sanad ia mauquf.
2. Hadits Abu Mahdzuurah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيٍّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ أَبُو الطَّبَّاعِ، ثنا سَعِيدُ بْنُ دَاوُدَ. ح وثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَسَنِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ صَالِحٍ ح وثنا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، ثنا أَبُو حُصَيْنٍ الْقَاضِي، ثنا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْحِمَّانِيُّ. ح وثنا أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ، ثنا عُبَيْدُ بْنُ الْحَسَنِ الْفَوَّالُ، ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الشَّاذَكُونِيِّ، قَالُوا: ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ، ثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ رُفَيْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا مَحْدُورَةَ، يَقُولُ: " كُنْتُ غُلامًا صَبِيًّا فَأَذّنْتُ بَيْنَ يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ الْفَجْرَ، فَلَمَّا انْتَهَيْتُ إِلَى حَيِّ عَلَى الصَّلاةِ حَيِّ عَلَى الْفَلاحِ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلْحِقْ فِيهَا الصَّلاةَ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yuusuf Abuth-Thabbaa’ : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Daawud (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan[6]: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah[7]: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Shaalih[8](ح). Dan telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin ‘Amru : Telah menceritakan kepada kami Abu Hushain Al-Qaadliy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin ‘Abdil-Hamiid Al-Himmaaniy (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Al-Hasan Al-Fawwaal : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud Asy-Syaadzakuuniy; mereka semua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy[9]: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’[10], ia berkata : Aku mendengar Abu Mahdzuurah[11]berkata : “Dulu ketika aku masih kecil, aku pernah mengumandangkan adzan di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat peperangan Hunain di waktu Shubuh. Ketika aku sampai pada bacaan hayyaa ‘alash-shalaah, hayyaa ‘alal-falaah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tambahkanlah : ash-shalaatu khairun minan-naum” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/310].
Hadits ini hasan. Terdapat beberapa jalan yang menguatkan jalan riwayat ini, di antaranya :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: لَيْسَ هُوَ الْفَرَّاءَ، عَنْ أَبِي سَلْمَانَ، عَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ، قَالَ: " كُنْتُ أُؤَذِّنُ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ، فَإِذَا قُلْتُ: حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قُلْتُ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الْأَذَانُ الْأَوَّلُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan[12]: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan[13], dari Abu Ja’far[14] – ‘Abdurrahmaan berkata : Ia (Abu Ja’far) bukanlah Al-Farraa’ - , dari Abu Salmaan[15], dari Abu Mahdzuurah, ia berkata : “Dulu aku pernah mengumandangkan adzan di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada shalat Shubuh. Apabila aku mengatakan : hayya ‘alal-falaah, maka aku katakan : ash-shalaatu khairun minan-naum” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/408].
Semua perawinya tsiqaat, kecuali Abu Salmaan, ia maqbuul. Perkataan Ibnu Mahdiy bahwa Abu Ja’far itu bukan Al-Farraa’, maka itu keliru, karena ia memang Al-Farraa’. Al-Mizziy rahimahullah telah memberikan bantahan atas perkataan Ibnu Mahdiy ini dalam Tahdziibul-Kamaal.
حَدَّثَنَا كَامِلٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا مَحْذُورَةَ، إِذَا أَذَّنَ حَيَّ عَلَى الصَّلاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاحِ: الصَّلاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
Telah menceritakan kepada kami Kaamil[16], ia berkata : Aku mendengar Abu Shaalih[17], ia berkata : Aku mendengar Abu Mahdzuurah apabila mengumandangkan adzan hayya ‘alash-shalaah, hayya ‘alal-falaah, mengucapkan : ash-shalaatu khairun minan-naum [Diriwayatkan oleh Al-Fadhl bin Dukain dalam Fadlaailush-Shalaah, no. 245].
Sanad riwayat ini hasan. Hal ini menunjukkan adzan Abu Mahdzuurah – salah satu muadzdzin Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – adalah melafadhkan tatswiib.
3. Hadits Bilaal radliyallaahu ‘anhu :
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ رَافِعٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ بِلَالٍ، أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُؤْذِنُهُ بِصَلَاةِ الْفَجْرِ، فَقِيلَ: هُوَ نَائِمٌ، فَقَالَ: " الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "، فَأُقِرَّتْ فِي تَأْذِينِ الْفَجْرِ، فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Raafi’[18]: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak[19], dari Ma’mar[20], dari Az-Zuhriy[21], dari Sa’iid bin Al-Musayyib[22], dari Bilaal[23] : Bahwasannya ia pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamdalam rangka mengumandangkan untuk beliau adzan shalat Shubuh. Dikatakan : “Beliau masih tidur”. Lalu Bilaal berkata : “Ash-shalaatu khairun minan-naum, ash-shalaatu khairun minan-naum”. Maka hal itu disetujui dalam adzan shubuh (oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam), dan jadilah ia perkara yang tetap dalam syari’at [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 716].
Semua perawinya tsiqaat, hanya saja sanadnya mursal karena Ibnul-Musayyib tidak pernah bertemu dengan Bilaal[24]. Al-Baihaqiy (1/422-423 no. 1983) dan Ahmad (4/42) membawakan perantara Ibnul-Musayyib dengan Bilaal, yaitu ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Abdi Rabbih. Diriwayatkan juga dari jalan ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa dan Suwaid bin Ghafalah. Riwayat berikut juga merupakan syaahid-nya :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ، أَنَّهُ أَرْسَلَ إِلَى مُؤَذِّنِهِ إِذَا بَلَغْتَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ فَقُلْ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، فَإِنَّهُ أَذَانُ بِلَالٍ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’[25], dari Sufyaan[26], dari ‘Imraan bin Muslim[27], dari Suwaid bin Ghafalah[28]: Bahwasannya ia memerintahkan muadzdzin jika sampai pada bacaan hayya ‘alal-falaah, maka hendaklah ia mengucapkan : ash-shalaatu khairun minan-nauum. Karena ia adalah adzan Bilaal [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 2168].
Sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah.
Sudah dimaklumi bahwa Bilaal adalah salah satu muadzdzin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika Suwaid mengatakan bahwa tatswiib merupakan adzan Bilaal, maka maksudnya adalah adzan Bilaal yang dikumandangkan di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Para fuqahaa’ telah bersepakat tentang masyru’-nya tatswiibdalam adzan Shubuh, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hubairah [Al-Ifshaah ‘an Ma’aanish-Shihaah 1/67, Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/137, Al-Bahrur-Raaiq1/274 & 275, Al-Mudawwanah Al-Kubraa 1.178, Al-Istidzkaar1/75, Al-Majmuu’ 3/100-101, Mughnil-Muhtaaj 1/136, Al-Mughniy2/61, Al-Furuu’ 1/273].
Catatan : Asy-Syaafi’iy dalam al-qadiim berpendapat tentang sunnahnya tatswiib, adapun dalam al-jadiid, ia berpendapat makruuh [Al-Majmuu’, 3/100-101]. Namun pendapat baru Asy-Syaafi’iy tidak masyhuur, hingga An-Nawawiy rahimahullahberkata :
والمذهب أنه مشروع
“Dan yang dipegang madzhab, bahwasannya tatswiib itu disyari’atkan” [idem, 3/101].
Ini menunjukkan An-Nawawiy tidak terbelenggu fanatik madzhab meskipun berselisihan pendapat dengan Asy-Syaafi’iy rahimahumallah. Inilah fiqh ahlul-hadits.
Kemudian ada orang Syi’ah tergopoh-gopoh mengatakan sebagai berikut :
BID’AH TATSWIB DALAM PANDANGAN IBN UMAR
Ibn Umar menyatakan “tatswib” adalah Bid’ah
Mujahid berkata : Aku bersama Ibn Umar dan lalu ia mendengar sesorang membaca Tatswib dalam masjid. Lalu (ibn Umar) berkata : “mari kita pergi (menjauh) dari pembuat bid’ah ini (mubtadi). (al Mushanaf Abdul Razaq , J. 1 h. 475, riwayat.1832)
Terus terang saya ‘menikmati’ ulasan orang Syi’ah ini. ‘Abdurrazzaaq telah membawakan riwayat ini dalam Bab : At-Tatswiib fil-Adzaan wal-Iqaamah, lalu berkata :
عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ، فَسَمِعَ رَجُلا يُثَوِّبُ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: " اخْرُجْ بِنَا مِنْ عِنْدِ هَذَا الْمُبْتَدِعِ "
Dari Ibnu ‘Uyainah[29], dari Laits[30], dari Mujaahid[31], ia berkata: Aku pernah bersama Ibnu ‘Umar, lalu ia mendengar seorang laki-laki mengumandangkan tatswiib di masjid. Maka ia berkata : “Keluarlah bersama kami. Di sisi kami, orang ini adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah)” [Al-Mushannafno. 1832].
Sanad riwayat ini adalah lemah dikarenakan Laits bin Abi Sulaim. Ada riwayat lain yang mendukung/menguatkan :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى الْقَتَّاتُ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ، فَثَوَّبَ رَجُلٌ فِي الظُّهْرِ أَوِ الْعَصْرِ، قَالَ: " اخْرُجْ بِنَا فَإِنَّ هَذِهِ بِدْعَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir[32]: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan[33]: Telah menceritakan kepada kami Abu Yahyaa Al-Qattaat[34], dari Mujaahid, ia berkata : Aku pernah bersama Ibnu ‘Umar, lalu ada seorang lak-laki mengumandangkan tatswiib pada shalat Dhuhur atau ‘Ashar. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Keluarlah bersama kami, karena perbuatan ini adalah bid’ah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 452].
Sanad riwayat ini hasan, para perawinya tsiqaat kecuali Abu Yahyaa Al-Qattaat – seorang yang lemah, namun riwayat Sufyaan darinya adalah muqaarib (pertengahan/hasan) sebagaimana dikatakan Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Dengan hal ini, apakah pendapat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tersebut sesuai dengan keinginan (baca : hawa nafsu) orang Syi’ah tersebut ?. Tentu saja bid’ah, karena tatswiib yang ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikumandangkan ketika adzan Shubuh. Dan yang lebih meyakinkan lagi, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa sendiri mengamalkan tatswiibdalam adzan, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي أَذَانِهِ: " الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdah[35], dari ‘Ubaidullah[36], dari Naafi’[37], dari Ibnu ‘Umar[38] : Bahwasannya ia mengatakan dalam adzannya : ash-shalaatu khairun minan-naum [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 2171].
Sanadnya shahih, semua perawinya tsiqaat. Dalam riwayat Muhammad bin ‘Ajlaan dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, adzan yang ia kumandangkan dengan lafadh tatswiibtersebut adalah adzan awal pada shalat Shubuh. Juga riwayat berikut :
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ، وَأُسُامَةُ، قَالَ نَافِعٌ: " وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا رَأَى الْفَجْرَ أَذَّنَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ بِالنِّدَاءِ الْأُولَى، وَيَقُولُ فِي آذَانِهِ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "
Telah berkata ‘Abdullah[39]dan Usaamah[40] : Telah berkata Naafi’ : “Adalah Ibnu ‘Umar jika melihat fajr, ia mengumandangkan adzan untuk shalat Shubuh dengan panggilan pertama, dan ia berkata dalam adzannya tersebut : ash-shalaatu khairun minan-naum” [Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’ no. 476].
Sanadnya hasan.
Sampai di sini, perkataan orang Raafidlah dalam membawakan perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa gagal total.
IMAM MA’SHUM MELAKUKAN BID’AH ?
حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ، وَمُسْلِمِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، أَنَّ عَلِيَّ بْنَ حُسَيْنٍ كَانَ يُؤَذِّنُ، فَإِذَا بَلَغَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَالَ: حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ، وَيَقُولُ: " هُوَ الْأَذَانُ الْأَوَّلُ "
Telah menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa’iil[41], dari Ja’far[42], dari ayahnya[43]dan Muslim bin Abi Maryam[44]: Bahwasannya ‘Aliy bin Al-Husain[45]pernah mengumandangkan adzan, dan apabila sampai pada perkataan hayya ‘alal-falaah, ia mengucapkan : “Hayya ‘alaa khairil-‘amal”. Dan ia berkata : “Ucapan itu ada pada adzan pertama (waktu Shubuh)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 2251].
Sanadnya shahih.
Dengan cara pikir ortodok ala Syi’ah dalam menyikapi tatswiib yang dianggap sebagai bid’ahnya ‘Umar radliyallaahu ‘anhu – padahal tuduhan ini keliru - , maka bagaimana mereka menyikapi adzannya imam ma’shum ini ?. Tidak ada riwayat shahih lagi marfuu’ hingga Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang melegalkan lafadh hayya ‘alaa khairil-‘amal.
Imam ma’shum melakukan bid’ah ? – sama seperti (anggapan) bid’ahnya ‘Umar ?.
Lantas apa bedanya antara ‘Aliy bin Al-Husain dengan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa kalau begitu ?.
Apakah itu kembali pada dua aturan :
Pasal 1. Imam ma’shum tidak boleh salah.
Pasal 2. Jika terbukti bersalah, maka kembali pada Pasal 1.
? ? ?.
Jika ‘Umar senantiasa dituduh sebagai perusak syari’at – dan ia berlepas diri dari tuduhan orang-orang tolol itu – , sementara sang imam....... (?).
تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى
“Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil”[QS. An-Najm : 22].
Mungkin sebagian golongan pandir dari mereka berkata :
Bukankah Ibnu ‘Umar juga mengucapkan hayya ‘alal khairil-‘amal dalam adzannya ?.
Benar bahwasannya ternukil dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu bahwa ia mengucapkan hayya ‘alaa khairil-‘amal dalam adzannya, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، قَالَ: نَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ رُبَّمَا زَادَ فِي أَذَانِهِ حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, ia berkata : “Ibnu ‘Umar kadang-kadang menambahkan dalam adzannya perkataan : ‘hayya ‘alaa khairil-‘amal” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah; shahih].
Akan tetapi, tidak ada bedanya antara Ibnu ‘Umar, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, atau yang lain di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum, karena yang menjadi hujjah adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’. Ucapan siapapun boleh diterima dan ditolak kecuali ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ahlus-Sunnah tidak mengharamkan menolak pendapat siapapun yang tidak dilandasi dalil. Pun dalam masalah ini adalah Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.
Dan, sejak kapan orang Raafidlah itu berhujjah dengan perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa ?. Jawabnya, sejak perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaatersebut bermanfaat untuk membersihkan sang imam ma’shum dari kesalahan. Tentu mereka gusar jika sang imam terbukti valid melakukan kekeliruan, meski dalam ijtihadnya. Lantas, mengapa orang-orang pandir itu menyalahkan ‘Umar dalam masalah tatswiib – padahal ‘Umar radliyallaahu ‘anhu tidak keliru dalam masalah itu - dan tidak menyalahkan sang imam ?. Jawabnya, karena ‘Umar harus salah, dan imam harus benar. Klasik lagi basi.
Adapun sikap ahlus-sunnah, maka setiap orang selain Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ma’shum. Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, dan orang-orang yang thabaqah-nya di bawah mereka di kalangan shahabat tidaklah mendapat perkecualian dalam hal ini. ‘Aliy bin Al-Husain adalah seorang ulama ahlul-bait yang shalih. Kita mencintainya, namun kita tidak menuhankannya dengan menyucikan dari kekeliruan, meski dalam ijtihadnya.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya....
Wallaahu a’lam.
[anakmuslimtaat’ – wonokarto, wonogiri, 29072012].
[1] Muhammad bin ‘Utsmaan bin Karaamah Al-‘Ijliy, Abu Ja’far/Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 256 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 877 no. 6174].
[2] Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy Abu Usaamah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, kadang melakukan tadlis. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 201 H dalam usia 80 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 267 no. 1495]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua mudallisiin, sehingga ‘an’anah yang dibawakannya tidak memudlaratkannya.
[3] Begitulah yang tertulis dalam Shahiih Ibni Khuzaimah. Yang benar adalah Ibnu ‘Aun sebagaimana yang terdapat dalam Sunan Al-Baihaqiy, Sunan Ad-Daaruquthniy, Al-Ausath li-Ibnil-Mundzir, Al-Mukhtarah, dan yang lainnya.
Ibnu ‘Aun adalah : ‘Abdullah bin ‘Aun bin Arthabaan Al-Muzanniy, Abu ‘Aun Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 150 H di Kuufah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 533 no. 3543].
[4] Muhammad bin Siiriin Al-Anshaariy, Abu Bakr bin Abi ‘Amrah Al-Bashriy; seorang tabi’iy masyhur, tsiqah, lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 110 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 853 no. 5985].
[5] Anas bin Maalik bin An-Nadlr bin Dlamdlam bin Zaid bin Haraam bin Jundab bin ‘Aamir bin Ghunm bin ‘Adiy bin An-Najjaar Al-Anshaariy An-Najjaariy, Abu Hamzah Al-Madaniy; salah seorang shahabat masyhuur. Wafat tahun 93 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 154 no. 570].
[6] Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan bin Ishaaq bin Ibraahiim bin ‘Abdillah, Abu ‘Aliy – terkenal dengan nama Ibnush-Shawwaaf; seorang yang tsiqah lagi ma’muun. Lahir tahun 270 H dan wafat tahun 359 H [Taariikh Baghdaad, 2/115-116 no. 90].
[7] Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, Abu Ja’far Al-‘Absiy Al-Haafidh; seorang yang ‘aalim dan luas wawasannya dalam hadits dan rijaal, haditsnya hasan. Para ulama berbeda pendapat tentangnya, ada yang mentautsiqnya, ada pula yang men-jarh-nya, bahkan mendustakannya. Namun perkataan yang ‘adil tentangnya adalah : ia seorang yang shaduuq, hasan haditsnya. Lahir tahun 214 H, dan wafat tahun 297 H [Lisaanul-Miizaan7/340-342 no. 7158 dan Muqaddimah Kitaab Al-‘Arsy hal. 226-234].
[8] ‘Abdul-Hamiid bin Shaalih bin ‘Ajlaan Al-Burjumiy, Abu Shaalih Al-Kuufiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “shaduuq”. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 230 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 565 no. 3790]. Bahkan ia seorang yang tsiqah. Telah ditsiqahkan oleh Muthayyin, Ibnu Hibbaan, dan Maslamah bin Al-Qaasim. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Ibnul-Qaani’ berkata : “Shaalih” [lihat : Tahriirut-Taqriib, 2/229 no. 3766].
[9] Abu Bakr bin ‘Ayyaasy bin Saalim Al-Asadiy Al-Kuufiy Al-Muqri’ Al-Hanaath; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, namun ketika beranjak tua, hapalannya berubah/jelek, dan kitabnya adalah shahih. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 95 H/96 H/100 H, dan wafat tahun 194 H atau dikatakan setahun atau dua tahun sebelum itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1118 no. 8042].
[10] ‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’ Al-Asadiy, Abu ‘Abdillah Al-Makkiy Ath-Thaaifiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 130 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 612 no. 4123].
[11] Abu Mahdzurah Al-Qurasyiy Al-Jumahiy Al-Makkiy Al-Muadzdzin; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 59 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1200 no. 8407].
[12] ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy bin Hassaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Anbariy Abu Sa’iid Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabt, lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 135 H, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 601 no. 4044].
[13] Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 97 H, dan wafat tahun 161 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].
[14] Abu Ja’far Al-Farraa’ Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufraddan Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1126 no. 8078].
[15] Abu Salmaan Al-Muadzdzin, dikatakan bahwa namanya adalah Hammaam; seorang yang maqbuul. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1155 no. 8200].
[16] Kaamil bin Al-‘Alaa’ At-Tamiimiy As-Sa’diy, Abul-‘Alaa’/Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun banyak keliru. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 807 no. 5639].
Berikut perinciannya :
Ibnu Ma’iin, Al-Fasawiy, dan Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”, namun dalam riwayat lain : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Aku lihat dalam sebagian haditsnya sesuatu yang aku ingkari. Dan aku harap tidak mengapa dengannya”. Ibnu Sa’d berkata : Sedikit haditsnya, dan ia tidak seperti itu (laisa bi-dzaaka)”. Ibnul-Mutsannaa berkata : “Aku tidak mendengar Ibnu Mahdiy meriwayatkan darinya sedikitpun”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia adalah orang yang membolak-balikkan sanad, memarfu’kan sanad mursal tanpa ia ketahui, sehingga tidak boleh berhujjah dengan riwayatnya”. Oleh karena itu, penghukuman yang lebih tepat baginya, ia adalah seorang yang shaduuq, hasan haditsnya selama tidak terdapat perselisihan [lihat : Tahriirut-Taqriib, 3/191 no. 5604].
[17] Dzakwaan, Abu Shaalih As-Sammaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 101 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 313 no. 1850].
[18] ‘Amru bin Raafi’ bin Al-Furaat bin Raafi’ Al-Bajaliy, Abu Hajar Al-Qazwiiniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 237 H. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 735 no. 5063].
[19] ‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy At-Tamiimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 181 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3595].
[20] Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 154 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
[21] Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, hafiidh, lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 125 H, atau dikatakan sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 896 no. 6336].
[22] Sa’iid bin Al-Musayyib bin Huzn bin Abi Wahb bin ‘Amru bin ‘Aaidz bin ‘Imraan bin Makhzuum Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang telah disepakati ketsiqahan dan keimamannya. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 93 H/94 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 388 no. 2409].
[23] Bilaal bin Rabbaah Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu ‘Abdillah/Abu ‘Abdirrahmaan/Abu ‘Abdil-Kariim/Abu ‘Amru Al-Muadzdzin maulaa Abi Bakr; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan termasuk golongan yang pertama kali masuk Islam. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 17 H/18 H/20 H di Syaam. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 179 no. 787].
[24] Sebagian ulama ada yang menerima mursal Ibnul-Musayyib, seperti Asy-Syaafi’iy rahimahullah. Al-Khathiib menukil riwayat dari Ahmad dan Ibnu Ma’iin bahwasannya mursal Ibnul-Musayyib adalah mursal yang paling shahih [Al-Kifaayah, hal. 404].
[25] Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy, Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 196/197 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1037 no. 7464].
[26] Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, telah lewat keterangan tentangnya.
[27] ‘Imraan bin Muslim Al-Ju’fiy Al-A’maa; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6 [Taqriibut-Tahdziib, hal. 752 no. 5204].
[28] Suwaid bin Ghafalah bin ‘Ausajah bin ‘Aamir bin Wadaa’ bin Mu’aawiyyah bin Al-Haarits bin Maalik bin ‘Auf Al-Ju’fiy, Abu Umayyah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 80 H (dalam usia 130 tahun). Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziibhal. 424 no. 2710 dan Al-Kaasyif 1/473 no. 2197].
[29] Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-Kuufiy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 107 H, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].
[30] Al-Laits bin Abi Sulaim Aiman/Anas bin Zunaim Al-Qurasyiy Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 817-818 no. 5721].
[31] Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy, Abul-Hajjaaj Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah lagi imam di bidang tafsir. Termasuk thabaqah ke-3 dan wafat tahun 101/102/103/104 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 921 no. 6523].
[32] Muhammad bin Katsiir Al-‘Abdiy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 133 H, dan wafat tahun 223 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 891 no. 6292].
[33] Sufyaan Ats-Tsauriy, telah lewat keterangan tentangnya.
[34] Abu Yahyaa Al-Qattaat; seorang yang lemah haditsnya (layyinul-hadiits). Termasuk thabaqahke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1224 no. 8512].
Berikut perinciannya :
Syariik melemahkan haditsnya. Ahmad berkata : “Israaiil telah meriwayatkan darinya hadits-hadits yang sangat munkar dalam jumlah banyak. Adapun hadits Sufyaan darinya, maka pertengahan (muqaarib)”.
Dalam riwayat Ad-Duuriy Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Dalam riwayat Ibnu Muhriz, ia berkata : “Tidak mengapa dengannya, tsiqah”. Dalam riwayat Ibnu Thuhmaan, ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Dalam riwayat Ahmad bin Sinaan Al-Qaththaan, ia berkata : “Abu Yahyaa Al-Qattaat alam riwayat penduduk Kuufah semisal dengan Tsaabit dalam riwayat penduduk Bashrah”.
Abu Daawud berkata : “Seandainya apa yang dikatakan Abu Bakr bin ‘Ayyaasy tentang Abu Yahyaa Al-Qattaat adalah benar, maka tidak halal bagi seorang pun untuk meriwayatkan dari Abu Yahyaa Al-Qattaat, dan menulis hadits darinya”.
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ditulis haditsnya”. Ibnu Sa’d berkata : “Padanya terdapat kelemahan”. Ibnu Numair berkata : “Abu Yahyaa Al-Qattaat hasanul-hadiits”. Al-Fasawiy berkata : “Tidak mengapa dengannya. Al-Bazzaar berkata : “Tidak mengapa dengannya, telah meriwayatkan darinya sekelompok ahli ilmu”. Ibnu Hibbaan berkata : “Orang yang jelek kekeliruannya serta banyak wahm-nya, hingga keluar dari jalan keadilan dalam periwayatan. Wajib menjauhi riwayatnya jika ia bersendirian, dan boleh menjadikan i’tibar jika berkesesuaian dengan riwayat perawi tsiqaat”.
[35] ‘Abdah bin Sulaimaan Al-Kilaabiy, Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 187 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 635 no. 4297].
[36] ‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Hafsh bin ‘Aashim bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy Al-‘Umariy Al-Madaniy, Abu ‘Utsmaan; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 140-an H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 643 no. 4353].
[37] Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat,faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[38] ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Makkiy Al-Madaniy; salah seorang shahabat Nabi yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 73 H/74 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 528 no. 3514].
[39] ‘Abdullah bin ‘Umar bin Hafsh bin ‘Aashim bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-‘Umariy Al-Madaniy; seorang yang dla’iif, ahli ibadah. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 171 H di Madinah. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 528 no. 3513].
[40] Usaamah bin Zaid Al-Laitsiy, Abu Zaid Al-Madaniy; seorang yang shaduuq, namun sering ragu (yahimu). Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 153 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 124 no. 319].
[41] Haatim bin Ismaa’iil Al-Madaniy, Abu Ismaa’iil Al-Haaritsiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “Shaduuq, tapi sering ragu (yahimu), shahiihul-kitaab”. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 186 H/187 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 207 no. 1002].
Berikut perinciannya :
Ahmad berkata : “Ia lebih aku sukai daripada Ad-Daarawardiy. Mereka menyangka bahwa pada diri Haatim terdapat kelalaian, hanya saja, kitabnya shaalih (baik)”. Abu Haatim berkata : “Ia lebih aku sukai daripada Sa’iid bin Saalim”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Di lain tempat ia berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”.Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah lagi ma’muun, banyak haditsnya”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-Ijliy berkata : “Tsiqah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”.
Melihat perkataan para imam di atas, maka Haatim lebih dekat pada ketsiqahan. Menurut Ahmad, kedudukannya lebih tinggi di atas Ad-Daraawardiy. Ad-Daraawardiy sendiri menurut pendapat yang paling kuat, adalag seorang yang tsiqah, kecuali periwayatannya dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar. Begitu juga dengan pandangan Abu Haatim, bahwa ia kedudukannya lebih tinggi daripada Sa’iid bin Saalim (Al-Qaddaah). Abu Haatim menghukumi Sa’iid dengan mahalluhush-shidq (tempatnya kejujuran). Minimal, di sisi Abu Haatim, hadits Haatim bin Ismaa’iil ini tidak jatuh dari derajat hasan. Adapun kritikan An-Nasaa’iy, maka itu bisa dijamak dengan penta’dilannya. Beberapa ulam mengatakan bahwa lafadh laisa bi-qawiy berbeda dengan laisa bil-qawiy. Yang pertama menunjukkan kelemahan secara mutlak, dan yang kedua menunjukkan adanya kelemahan yang menyebabkan dirinya tidak ada pada puncak ketsiqahan. Wallaahu a’lam[lihat : Tahriirut-Taqriib, 1/229 no. 994].
[42] Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “shaduuq, faqiih, lagi imaam”. Termasuk thabaqah ke-6, lahir tahun 80 H, dan wafat tahun 148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 200 no. 958]. Bahkan ia seorang yang tsiqah. Telah ditsiqahkan para imam seperti : Asy-Syaafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’iin, Syu’bah bin Al-Hajjaaj, Ibnu Abi Khaitsamah, An-Nasaa’iy, Abu Haatim, Ibnu ‘Adiy, Ibnu Hibbaan, Al-Haakim, Al-‘Ijliy, dan yang lainnya. Tautsiq inilah yang dikuatkan oleh Adz-Dzahabiy [Al-Mughniy, 1/211 no. 1156].
[43] Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy Al-Madaniy, Abu Ja’far Al-Baaqir; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 114 H/115 H/116 H/117 H/118 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6191].
[44] Muslim bin Abi Maryam Yasaar Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 940 no. 6691].
[45] ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy Abul-Husain/Abul-Hasan/Abu Muhammad Al-Madaniy, dikenal dengan nama : Zainul-‘Aabidiin; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 93 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 693 no. 4749].