Dulu sekali, sebelum kamu ada:
[1] Ayahmu adalah lelaki yang mengerahkan segala jerih termampu tuk mencari modal agar bisa menikahi ibumu.
[2] Jikalau rupanya kakekmu lah yang menanam modal pelaminan, tentu ayahmu dulu telah berupaya suburkan modal batin.
Lalu, ketika kau terlahir dan tumbuh kecil:
[1] Ingatlah ketika ayahmu pulang malam dari kerja; disambut olehmu dan ibumu.
[2] Letih dan payah agaknya tertera di baris bulu matanya. Sungguh ia berupaya mencari nafkah untukmu dan ibumu.
[3] Pernah dulu ayahmu sakit...tak mampu merangkulmu kembali. Dan kau dan ibumu pun merindukan ceria ayah kala itu.
[4] Dan setelah ayahmu pulih, kembali ia bangkit menata jam-jam hidup yang sebelumnya terberai.
[5] Dan kala itu, masa-masa itu...ayahmu begitu muda. Senyumnya tiada gersang, seri wajahnya sering terpandang dan senja umurnya belum menjelang.
Kini, setelah dewasa:
[1] Jikalau ayahmu masih belum pergi meninggalkan, lihatlah goresan perjuangan di raut dan keriput kulitnya...terlebih wajahnya.
[2] Jikalau ayahmu masih belum pergi meninggalkan, simaklah batuk-batuk senja menahan rasa sakit...kau tahu jika pagi telah terjelang, senja kemudian akan menjelang.
[3] Jikalau ayahmu masih bisa kau tatap wajahnya dan masih kau dengar suaranya, satu pintu surga masih terbuka...
Jikalau ia telah tiada...harga tak lagi tertera...mahalnya tak lagi terbeli...segala sesuatu takkan kau fahami seberapa besar termakna, kecuali setelah hilangnya ia...
[a courtesy to : Hasan Al-Jaizy].