Perselisihan Pendapat | Ilmu Islam

Jumat, 15 Juni 2012

Perselisihan Pendapat


Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
أَخْبَرَنَا قَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا مُحَمَّدٌ، قَالَ: نا خَالِدُ بْنُ سَعْدٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ فُطَيْسٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَشْهَبَ، يَقُولُ: سُئِلَ مَالِكٌ عَنِ اخْتِلافِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " خَطَأٌ وَصَوَابٌ فَانْظُرْ فِي ذَلِكَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Qaasim bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Khaalid bin Sa’d : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Futhais : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil-Hakam, ia berkata : Aku mendengar Asyhab berkata : Maalik pernah ditanya tentang perselisihan di kalangan shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjawab : “(Yang ada adalah) salah dan benar. Maka telitilah dalam permasalahan tersebut” [Jaami’ul-Bayaan, hal. 905 no. 1694, tahqiq : Abu Asybal Az-Zuhairiy, Daaru Ibnil-Jauziy, Cet. 1/1414. Pentahqiq menghukumi atsar ini shahih].
Maksud perkataan Al-Imaam Maalik rahimahullah di atas adalah : perbedaan pendapat di kalangan shahabat yang sifatnya kontradiktif, maka tidak mungkin semuanya benar. Ada pendapat yang benar, ada pula pendapat yang salah. Kita diperintahkan untuk meneliti dua pendapat tersebut dengan memegang pendapat yang lebih kuat menurut apa yang tampak pada kita sesuai dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah menyebutkan riwayat lain :
وَذَكَرَ يَحْيَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَصْبَغُ، قَالَ: قَالَ ابْنُ الْقَاسِمِ: سَمِعْتُ مَالِكًا، وَاللَّيْثَ، يقولان في اختلاف أصحاب رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَيْسَ كَمَا قَالَ نَاسٌ فِيهِ تَوْسِعَةٌ، لَيْسَ كَذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ خَطَأٌ وَصَوَابٌ "
Dan Yahyaa bin Ibraahiim menyebutkan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ashbagh, ia berkata : Telah berkata Ibnul-Qaasim : Aku mendengar Maalik dan Al-Laits (bin Sa’d) berkata tentang perselisihan (ikhtilaaf) para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seperti yang dikatakan orang-orang bahwa padanya terdapat kelonggaran. Bukan seperti itu. Yang ada hanyalah salah dan benar” [idem, hal. 906 no. 1695].
Ismaa’iil Al-Qaadliy rahimahullahmenjelaskan perkataan Maalik tersebut di atas :
إِنَّمَا التَّوْسِعَةُ فِي اخْتِلافِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوْسِعَةٌ فِي اجْتِهَادِ الرَّأْيِ، فَأَمَّا أَنْ يَكُونَ تَوْسِعَةً لأَنْ يَقُولَ النَّاسُ بِقَوْلٍ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ عِنْدَهُ فِيهِ فَلا وَلَكِنَّ اخْتِلافَهُمْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمُ اجْتَهَدُوا فَاخْتَلَفُوا
“Keluasan dalam ikhtilaaf para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu hanyalah keluasan dalam ijtihad ra’yu saja. Adapun keluasan yang disebabkan orang berpegang dengan pendapat salah satu di antara mereka (shahabat) meskipun kebenaran tidak bersamanya dalam hal tersebut, maka (keluasan seperti ini) tidak boleh. Akan tetapi perselisihan mereka (para shahabat) menunjukkan bahwa mereka berijtihaad (dalam satu permasalahan) lalu mereka berselisih pendapat (padanya)”.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah mengomentari perkataan Ismaa’iil di atas : “Perkataan Ismaa’iil ini sangat bagus” [idem, hal. 906-907].
Bahkan perselisihan di kalangan shahabat itu menunjukkan pemahaman mereka bahwa kebenaran itu hanyalah satu, tidak berbilang. Al-Muzanniy rahimahullah berkata :
وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَّأَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا وَنَظَرَ بَعْضُهُمْ فِي أَقَاوِيلِ بَعْضٍ وَتَعَقَّبَهَا، وَلَوْ كَانَ قَوْلُهُمْ كُلُّهُ صَوَابًا عِنْدَهُمْ لَمَا فَعَلُوا ذَلِكَ
“Para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berselisih pendapat, lalu sebagian mereka menyalahkan sebagian yang lainnya. Sebagian shahabat melihat pendapat-pendapat sebagian yang lainnya dan mengomentarinya/mengkritiknya. Seandainya perkataan mereka seluruhnya adalah benar menurut mereka, niscaya mereka tidak melakukan hal itu (menyalahkan dan mengkritik pendapat sebagian yang lain)” [idem, hal. 911 no. 1711].
Dalil yang menunjukkan kebenaran hanyalah satu, tidak berbilang, antara lain :
1.     Dalil dari firman Allah ta’ala :
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka” [QS. Aali ‘Imraan : 105].
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”[QS. Aali ‘Imraan : 103].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
الآيات الناهية عن الاختلاف في الدين المتضمنة لذمه، كلها شهادة صريحة بأن الحق عند الله واحد، وما عداه فخطأ، ولو كانت تلك الأقوال كلها صوابا، لم ينه الله ورسوله عن الصواب ولا ذمه
“Ayat-ayat yang melarang dari perselsihan dalam agama mengandung celaan terhadap perbuatan tersebut. Semuanya mempersaksikan secara jelas bahwa kebenaran di sisi Allah adalah satu, dan selainnya adalah kekeliruan. Dan seandainya semua perkataan yang ada adalah benar, Allah dan Rasul-Nya tidak akan melarang dari kebenaran dan mencelanya” [Mukhtashar Ash-Shawaa’iq, 2/522].
وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ * فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَوَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Daawud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kami lah yang melakukannya” [QS. Al-Anbiyaa’ : 78-79].
Allah ta’ala telah menunjukkan bahwa Sulaimaan lebih benar keputusannya dibandingkan Daawud ‘alaihimas-salaam. Seandainya keduanya benar, maka pen-takhshiish-an Allah ta’ala kepada Sulaimaan dengan pemahaman (fahm) tidak ada faedahnya.
Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :
وفي الآية قرينتان على أن حكمهما كان باجتهاد لا بوحي، وأن سليمان أصاب؛ فاستحق الثناء باجتهاده وإصابته، وأن داود لم يصب؛ فاستحق الثناء باجتهاده، ولم يستوجب لوما ولا ذما بعدم إصابته، كما أثنى على سليمان بالإصابة في قوله: (ففهمناها سليمان)، أثنى عليهما في قوله: (وكلا آتينا حكما وعلما)......... فقوله: (إذ يحكمان) مع قوله: (ففهمناها سليمان) قرينة على أن الحكم لم يكن بوحي بل باجتهاد، وأصاب فيه سليمان دون داود، بتفهيم الله إياه ذلك
“Dalam ayat ini terdapat dua keterangan bahwa hukum keduanya (Daawud dan Sulaimaan) dilakukan berdasarkan ijtihaad, bukan dengan wahyu. Dan bahwasannya Sulaimaan dalam penghukumannya tersebut benar sehingga ia berhak untuk dipuji dengan ijtihadnya dan kebenarannya. Di sisi lain, Daawud tidak benar, namun ia tetap dipuji dalam ijtihadnya tanpa mengharusnya adanya celaan akan ketidakbenaran ijtihadnya tersebut. Sebagaimana Allah memuji Sulaimaan dengan kebenaran yang diputuskannya : ‘Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)’. Dan Allah pun memuji keduanya dalam firman-Nya : ‘dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu’. ........ Firman-Nya : ‘di waktu keduanya memberikan keputusan’ bersama firman-Nya : ‘Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)’ merupakan keterangan hukum yang diberikan bukan berdasarkan wahyu, akan tetapi berdasarkan ijtihad. Dan Sulaimaan benar dalam keputusannya, sedangkan Daawud tidak; karena pemahaman Allah kepadanya (Sulaimaan) dalam masalah tersebut” [Adlwaaul-Bayaan, 4/650].
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” [QS. Al-An’aam : 153].
Terkait dengan ayat di atas, ada riwayat sebagai berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ. ح وَحَدَّثَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: " خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: " هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ "، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: " هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ: مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ "، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Yaziid : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari ‘Aashim bin Abin-Nujuud, dari Abu Waail, dari ‘Abdullah bin Mas’iid, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggambar untuk kami sebuah garis (di tanah), lalu bersabda : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggambar banyak garis di kanan dan kiri garis tersebut, kemudian bersabda : “Ini adalah jalan-jalan yang lain, dimana setiap jalan tersebut ada setan yang menyeru pada jalan tersebut”. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya’ (QS. Al-An’aam : 153)” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/435; sanadnya hasan].
2.     Dalil dari As-Sunnah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ الْمَكِّيُّ، حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ، حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yaziid Al-Muqri’ Al-Makkiy : Telah menceritakan kepada kami Haiwah bin Syuraih : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin ‘Abdillah bin Al-Haad, dari Muhammad bin Ibraahiim bin Al-Haarits, dari Busr bin Sa’iid, dari Abu Qais maulaa ‘Amru bin Al-‘Aash, dari ‘Amru bin Al-‘Aash, bahwasannya ia mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan (ijtihadnya) benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan (ijtihadnya) salah, baginya satu pahala” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7352].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa ijtihad seorang hakim atau ulama adakalanya benar adakalanya salah, meskipun ijtihad itu dilakukan oleh shahabat radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زِيَادٍ بْنِ أَنْعَمُ الْأَفْرِيقِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ، حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ، وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي "
Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Ghailaan : Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud Al-Hafariy, dari Sufyaan Ats-tsauriy, dari ‘Abdurrahmaan bin Ziyaad bin An’um Al-Ifriiqiy, dari ‘Abdullah bin Yaziid, dari ‘Abdullah bin ‘Amru ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh akan datang pada umatku apa yang pernah terjadi pada Bani Israaiil seperti sandal dengan sandal, hingga kalau pun di kalangan mereka terjadi orang yang menzinai ibunya sendiri, maka di kalangan umat ini pun akan terjadi. Dan sesungguhnya Bani Israaiil telah terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya dalam neraka kecuai satu golongan”.Para shahabat bertanya : "Siapakah golongan tersebut wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab : "Apa yang aku dan para shahabatku telah jalani"[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641; hasan[1]].
Asy-Syaathibiy rahimahullah berkata :
إن قوله عليه الصلاة والسلام: «إلا واحدة» قد أعطى بنصه أن الحق واحد لا يختلف، إذ لو كان للحق فرق أيضا؛ لم يقل: «إلا واحدة»
“Sesungguhnya sabda beliau ‘alaihis-shalaatu was-salaam : ‘kecuali satu (golongan)’, telah menyatakan dengan nashnya bahwa kebenaran itu, tidak berselisih. Seandainya kebenaran itu banyak, beliau tidak akan mengatakan : kecuali satu” [Al-I’tishaam, 2/249].
Jika kebenaran itu satu dalam perselisihan yang sifatnya kontradiktif, lalu bagaimana dengan riwayat berikut :
وَذَكَرَ ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ نَافِعِ بْنِ أَبِي نُعَيْمٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ قَالَ: لَقَدْ أَعْجَبَنِي قَوْلُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: " مَا أُحِبُّ أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا ؛ لأَنَّهُ لَوْ كَانُوا قَوْلا وَاحِدًا كَانَ النَّاسُ فِي ضِيقٍ وَإِنَّهُمْ أَئِمَّةٌ يُقْتَدَى بِهِمْ وَلَوْ أَخَذَ رَجُلٌ بِقَوْلِ أَحَدِهِمْ كَانَ فِي سَعَةٍ "
Dan Ibnu Wahb, dari Naafi’ bin Abi Nu’aim, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, dari ayahnya, ia berkata : “Sungguh telah menakjubkanku perkataan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz radliyallaahu ‘anhu : “Aku tidak senang seandainya para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak berselisih pendapat. Karena seandainya mereka berada dalam satu pendapat saja, maka manusia akan berada dalam kesempitan. Dan sesungguhnya mereka adalah para imam yang diteladani. Seandainya seseorang mengambil pendapat salah seorang di antara mereka, maka ia berada dalam kelonggaran” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Al-Jaami’, hal. 901-902 no. 1689].
????.
Perkataan itu bisa kita jawab dari beberapa sisi, di antaranya :
1.     Riwayat tersebut mu’allaq, ada keterputusan antara Ibnu ‘Abdil-Barr dan Ibnu Wahb rahimahumallah, sehingga kualitasnya lemah.
2.     Seandainya riwayat ini shahih, maka banyak ulama salaf telah melemahkan dhahir makna perkataannya. Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وهذا مذهب ضعيف عند جماعة من أهل العلم، وقد رفضه أكثر الفقهاء وأهل النظر
“Ini adalah madzhab yang lemah menurut sekelompok ulama. Dan kebanyakan fuqahaadan peneliti telah menolak perkataan ini” [Jaami’ul-Bayaan, hal. 898 no. 1694].
فَهَذَا مَذْهَبُ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ وَمَنْ تَابَعَهُ وَقَالَ بِهِ قَوْمٌ، وَأَمَّا مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَمَنْ سَلَكَ سَبِيلَهُمَا مِنْ أَصْحَابِهِمَا، وَهُوَ قَوْلُ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ، وَالأَوْزَاعِيِّ، وَأَبِي ثَوْرٍ وَجَمَاعَةِ أَهْلِ النَّظَرِ أَنَّ الاخْتِلافَ إِذَا تَدَافَعَ فَهُوَ خَطَأٌ وَصَوَابٌ، وَالْوَاجِبُ عِنْدَ اخْتِلافِ الْعُلَمَاءِ طَلَبُ الدَّلِيلِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالإِجْمَاعِ وَالْقِيَاسِ عَلَى الأُصُولِ عَلَى الصَّوَابِ مِنْهَا، وَذَلِكَ لا يُعْدَمُ فَإِنِ اسْتَوَتِ الأَدِلَّةُ وَجَبَ الْمَيْلُ مَعَ الأَشْبَهِ بِمَا ذَكَرْنَا بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَإِذَا لَمْ يَبِنْ ذَلِكَ وَجَبَ التَّوَقُّفُ وَلَمْ يَجُزِ الْقَطْعُ إِلا بِيَقِينٍ، فَإِنِ اضْطُرَّ أَحَدٌ إِلَى اسْتِعْمَالِ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ جَازَ لَهُ مَا يَجُوزُ لِلْعَامَّةِ مِنَ التَّقْلِيدِ وَاسْتَعْمَلَ عِنْدَ إِفْرَاطِ التَّشَابُهِ وَالتَّشَاكُلِ وَقِيَامِ الأَدِلَّةِ عَلَى كُلِّ قَوْلٍ بِمَا يُعَضِّدُهُ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الصَّدْرِ فَدَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لا يَرِيبُكَ
“Ini adalah madzhab Al-Qaasim bin Muhammad dan orang-rang yang mengikutinya. Dan sekelompok orang juga berpendapat dengannya. Adapun Maalik dan Asy-Syaafi’iy radliyallaahu ‘anhumaa dan orang-orang yang menempuh jalan mereka berdua dari kalangan murid-murid mereka, juga pendapat Al-Laits bin Sa’d, Al-Auzaa’iy, Abu Tsaur, dan sekelompok peneliti berpendapat bahwa perselisihan yang sifatnya kontradiktif, maka ada yang benar dan yang salah. Dan wajib dalam perselisihan para ulama untuk mencari dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyassebagai landasan dalam mencari kebenaran dari perselisihan tersebut. Hal itu pastilah ada. Seandainya dalil-dalil telah tegak, maka kecenderungan wajib ada pada yang lebih mendekati pada hal yang kami sebutkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seandainya dalilnya belum jelas, maka wajib untuk bertawaquf dan tidak boleh memutuskan kecuali dengan keyakinan. Seandainya seseorang terpaksa untuk menggunakan sesuatu dari perselisihan tersebut (sementara ia belum mendapatkan kejelasan dalil untuk menetapkan yang raajih di antara kedua pendapat – anakmuslimtaat’) untuk dirinya secara khusus, maka diperbolehkan sebagaimana diperbolehkan bagi orang awam untuk bertaqlid. Ia menggunakan pendapat - bersamaan dengan banyaknya keserupaan, kemiripan, dan tegaknya dalil masing-masing pendapat – dibantu dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Kebaikan adalah apa yang menentramkan jiwa dan dosa adalah apa menggelisahkan dada. Tinggalkan apa yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu ” [idem, hal. 903].
Dhahir perkataan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah tersebut bertentangan dengan dalil celaan terhadap adanya perselisihan. Allah ta’ala berfirman :
وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ * إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Akan tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu” [QS. Huud : 118-119].
Berkaitan dengan ayat di atas, berikut penjelasan beberapa ulama salaf :
عَنْ ابْنِ التَّيْمِيِّ، عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ { 118 } إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: " إِلا أَهْلَ رَحْمَتِهِ، فَإِنَّهُمْ لا يَخْتَلِفُونَ، وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ "
Dari Ibnu Taimiy, dari Ja’far, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman Allah : ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu” (QS. Huud : 118-119), ia berkata : “Kecuali orang-orang yang dirahmati-Nya, karena mereka tidak berselisih. Oleh karena itu Allah menciptakan mereka” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam At-Tafsiir no. 1264; shahih].
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرو، قَالَ: ثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، قَالَ: ثَنَا عِيسَى، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ: " وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ، قَالَ: أَهْلُ الْبَاطِلِ، إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: أَهْلُ الْحَقِّ "
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa, dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid : “Firman Allah : ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat’ (QS. Huud : 118), yaitu ahlul-baathil. ‘Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu’ (QS. Huud : 119), yaitu ahlul-haq” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya, 15/532; shahih].
حَدَّثَنَا بِشْرٌ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلَهُ: " وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ { 118 } إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، فَأَهْلُ رَحْمَةِ اللَّهِ أَهْلُ جَمَاعَةٍ، وَإِنْ تَفَرَّقَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ، وَأَهْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ أَهْلُ فُرْقَةٍ، وَإِنْ اجْتَمَعَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ
Telah menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid (bin Zurai’), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid (bin Abi ‘Aruubah), dari Qataadah tentang firman-Nya : ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu” (QS. Huud : 118-119)’, ia berkata : “Orang-orang yang diberikan rahmat adalah ahlul-jama’ah meskipun berpisah negeri-negeri mereka dan badan-badan mereka. Orang-orang yang bermaksiat kepada Allah adalah ahlul-furqah(orang yang berpecah-belah), meskipun berkumpul negeri-negeri mereka dan badan-badan mereka” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya, 15/533; shahih].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُلَيَّةَ، عَنْ مَنْصُورِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: قُلْتُ لِلْحَسَنِ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ { 118 } إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ قَالَ: " النَّاسُ يَخْتَلِفُونَ عَلَى أَدْيَانٍ شَتَّى، إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، وَمَنْ رَحِمَ رَبُّكَ غَيْرُ مُخْتَلِفٍ "، قُلْتُ: وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ قَالَ: " نَعَمْ، خَلَقَ هَؤُلاءِ لِلْجَنَّةِ، وَهَؤُلاءِ لِلنَّارِ، وَهَؤُلاءِ لِرَحْمَتِهِ، وَخَلَقَ هَؤُلاءِ لِعَذَابِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, dari Manshuur bin ‘Abdirrahmaan, ia berkata : Aku bertanya kepada Al-Hasan (Al-Bashriy) tentang firman-Nya ‘azza wa jalla: ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu” (QS. Huud : 118-119). Ia menjawab : “Manusia berselisih pada agama yang beraneka-ragam. Kecuali yang dirahmati oleh Rabbmu. Barangsiapa yang dirahmati oleh Rabbmu bukanlah orang yang berselisih”. Aku berkata : “(Tentang firman-Nya) ‘Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka’(QS. Huud : 119) ?”. Ia menjawab : “Ya. Allah menciptakan mereka untuk menempati surga. Dan Allah menciptakan (sebagian) mereka untuk rahmat-Nya, dan menciptakan (sebagian) mereka yang lain untuk ‘adzab-Nya” [Diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy dalam Al-Qadar no. 62; shahih].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ayat tersebut :
فأخبر أن أهل الرحمة لا يختلفون، وأهل الرحمة هم أتباع الأنبياء قولا وفعلا، وهم أهل القرآن والحديث من هذه الأمة، فمن خالفهم في شيء؛ فاته من الرحمة بقدر ذلك
“Allah ta’ala telah mengkhabarkan bahwa ahlur-rahmah (orang-orang yang diberikan rahmat) tidak berselisih. Mereka itu adalah orang yang mengikuti para Nabi dalam perkataan maupun perbuatan. Mereka adalah ahlul-Qur’aan wal-hadiits dari umat ini. Barangsiapa yang menyelisihi mereka dalam sesuatu hal, ia akan luput dari rahmat sesuai kadar penyelisihannya itu” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/25].
Para shahabat radliyallaahu ‘anhu sendiri membenci perselisihan.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ عُبَيْدَةَ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ فَإِنِّي أَكْرَهُ الِاخْتِلَافَ حَتَّى يَكُونَ لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ja’d : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, dari Ayyuub, dari Ibnu Siiriin, dari ‘Ubaidah, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Putuskanlah sebagaimana kalian dulu telah putuskan. Sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga manusia berada dalam satu jama’ah atau aku mati sebagaimana para shahabatku telah mati” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3707].
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu pernah berkata :
الْخِلَافُ شَرٌّ
Khilaaf(perselisihan) itu jelek” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1960, Abu ‘Awaanah no. 3512, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 1641, dan yang lainnya; shahih].
Faedah : Ini sebagai bantahan atas perkataan sebagian orang bahwa perselisihan itu adalah rahmat.
3.     Seandainya shahih, maka beberapa ulama membawa makna perkataan ini kelonggaran jalan untuk berijtihad, bukan kelonggaran atas kebenaran masing-masing pendapat.
Setelah membawakan riwayat ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz di atas, Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahumallah berkata :
هذا فيما كان طريقه الاجتهاد
“Perkataan ini berlaku pada permasalahan yang jalannya ditempuh melalui ijtihad” [Jaami’ul-Bayaan, hal. 902].
4.     Ada riwayat lain dari ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah yang membenci perselisihan.
أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، قِرَاءَةً عَنِ ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ، وَحَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ عَبْدَكٍ، عَنِ الْمُقْرِئُ، ثنا الْمَسْعُودِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، يَقُولُ هَذِهِ الآيَةُ: وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ { 118 } إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ قَالَ: خَلَقَ أَهْلَ رَحْمَتِهِ أَلا يَخْتَلِفُوا
Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa secara qira’at, dari Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin Yaziid. Dan telah mengkhabarkan kepadaku Yahyaa bin ‘Abdak, dari Al-Muqri’ : Telah menceritakan kepada kami Al-Mas’uudiy, ia berkata : Aku mendengar ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz berkata tentang ayat ini : ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka” (QS. Huud : 118-119), ia berkata : “Allah menciptakan ahlur-rahmah (orang-orang yang diberikan rahmat) agar mereka tidak berselisih pendapat” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 11296; shahih].
Secara tegas ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah mengatakan orang-orang yang mendapatkan rahmat adalah orang-orang yang tidak suka perselisihan. Lantas bagaimana ia bisa mencintai perselisihan pendapat yang di kalangan shahabat ?.
Berhujjah dengan Khilaaf/Perselisihan Pendapat
(-) Lo,... itu kan masih diperselisihkan para ulama. Anda jangan memaksakan diri begitu dong....
(+) Tidak memaksakan. Tapi bukankah Anda tadi telah sepakat bahwa dalil-dalil yang ada bertentangan dengan pendapat yang Anda pegang ?.
(-) Benar. Tapi sekali lagi, bukankah ini adalah masalah yang diperselisihkan para ulama kita. Saya yakin para ulama yang saya pegang pendapatnya pun punya dalil, meskipun saat ini tidak saya ketahui.
(+) Permasalahannya adalah, dalil yang Anda kemukakan tadi sudah saya jelaskan kelemahannya, sementara Anda sendiri mengakui bahwa dalil yang saya bawakan itu shahih dan maknanya  bertentangan dengan pendapat Anda. Apakah Anda akan berdalil dengan sesuatu yang tidak Anda ketahui ?.
(-) Kita saling menghargai saja. Seandainya permasalahan yang kita bicarakan merupakan perkara yang qath’iy dan disepakati, niscaya para ulama kita tidak berselisih pendapat.
(+) ???
Pernahkah Anda mengalami, membaca, atau mendengarkan perbincangan seperti di atas ?. Sebagian orang berhujjah dengan khilaf untuk membenarkan pendapat yang ia pegang, meskipun ia tahu pendapatnya lemah karena bertentangan dengan dalil.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
الاخْتِلافُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ عِنْدَ أَحَدٍ عَلِمْتُهُ مِنْ فُقَهَاءِ الأُمَّةِ، إِلا مَنْ لا بَصَرَ لَهُ، وَلا مَعْرِفَةَ عِنْدَهُ، وَلا حُجَّةَ فِي قَوْلِهِ
“Perbedaan pendapat (ikhtilaaf) bukanlah hujjah menurut orang yang aku ketahui dari kalangan fuqahaa’ umat; kecuali orang yang tidak mempunyai ilmu dan pengetahuan serta orang yang tidak ada hujjah dalam perkataannya” [Jaami’ul-Bayaan, hal. 922].
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata :
وليس الاختلاف حجة، وبيان السنة حجة على المختلفين من الأولين والآخرين
“Perbedaan pendapat bukanlah hujjah. Dan penjelasan sunnah itu merupakan hujjah bagi orang-orang yang berselisih pendapat dari kalangan orang-orang terdahulu dan kemudian” [A’laamul-Hadiits, 3/2092].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وليس لأحد أن يحتج بقول أحد في مسائل النزاع، وإنما الحجة: النص، والإجماع، ودليل مستنبط من ذلك تقرر مقدماته بالأدلة الشرعية، لا بأقوال بعض العلماء؛ فإن أقوال العلماء يحتج لها بالأدلة الشرعية، لا يحتج بها على الأدلة الشرعية
Dan tidak boleh bagi seseorang untuk berhujjah dengan pendapat seseorang dalam permasalahan yang diperselisihkan. Hujjah itu hanyalah nash, ijma’, dan dalil yang dihasilkan darinya yang ditetapkan muqaddimah-muqaddimah-nya dengan dalil-dalil syar’iy, tidak dengan perkataan sebagian ulama. Karena perkataan sebagian ulama dijadikan hujjah dengan (keberadaan) dalil-dalil syar’iy, dan ia tidak dijadikan hujjah untuk menentang dalil-dalil syar’iy” [Majmu’ Al-Fataawaa, 26/202-203].
Asy-Syaathibiy rahimahullah berkata :
فربما وقع الإفتاء في المسألة بالمنع، فيقال: لم تمنع؛ والمسألة مختلف فيه؟! فيجعل الخلاف حجة في الجواز لمجرد كونها مختلفاً فيها، لا لدليل عليه يدل على صحة مذهب الجواز، ولا لتقليد من هو أولى بالتقليد من القائل بالمنع، وهو عين الخطأ على الشريعة، حيث جعل ما ليس بمعتمد معتمداً، وما ليس بحجة حجة
“Dan kadangkala terjadi pemberian fatwa dalam satu permasalahan dengan pelarangan, lalu dikatakan : ‘Mengapa engkau melarang, padahal permasalahan itu adalah diperselisihkan ?’. Maka ia menjadikan perselisihan pendapat (khilaaf) sebagai hujjah dalam pembolehan dengan sebab sekedar keberadaan perselisihan padanya saja, bukan karena dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat yang membolehkan, bukan pula karena taqlid pada orang yang lebih pantas ditaqlidi pendapatnya dari orang yang melarangnya. Hal itu merupakan kekeliruan dalam syari’at dimana ia menjadikan sesuatu yang bukan sebagai sandaran sebagai sandaran, dan sesuatu yang bukan hujjah sebagai hujjah” [Al-Muwaafaqaat, 4/141].
Pembesar salaf berpegang dan menuntut keberadaan dalil ketika ada perselisihan.
 حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، أَخْبَرَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الشَّامِ وَهُوَ يَسْأَلُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، عَنِ التَّمَتُّعِ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: هِيَ حَلَالٌ، فَقَالَ الشَّامِيُّ: إِنَّ أَبَاكَ قَدْ نَهَى عَنْهَا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ أَبِي نَهَى عَنْهَا وَصَنَعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَمْرَ أَبِي يُتَّبَعُ أَمْ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ بَلْ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: لَقَدْ صَنَعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah mengkhabarkan kepadaku Ya’quub bin Ibraahiim bin Sa’d : Telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Shaalih bin Kaisaan, dari Ibnu Syihaab, bahwasannya Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar telah menceritakan kepadanya, bahwasannya ia mendengar seorang laki-laki dari penduduk Syaam bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar tentang masalah tamattu’ dengan melaksanakan ‘umrah dahulu, baru kemudian haji. Maka ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Hal itu halal”. Orang Syaam itu berkata : “Sesungguhnya ayahmu telah melarangnya”. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Bagaimana pendapatmu seandainya ayahku melarangnya, padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya. Apakah perkara ayahku yang mesti diikuti ataukah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Laki-laki itu menjawab : “Tentu saja perkara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita ikuti”. Ibnu ‘Umar berkata : “Sungguh, hal itu (haji tamattu’) telah dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 824; shahih].
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ، أَنَّ أَبَا صَالِحٍ الزَّيَّاتَ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: الدِّينَارُ بِالدِّينَارِ، وَالدِّرْهَمُ بِالدِّرْهَمِ، فَقُلْتُ لَهُ: فَإِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ لَا يَقُولُهُ، فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: سَأَلْتُهُ، فَقُلْتُ: سَمِعْتَهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ وَجَدْتَهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ، ......
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Adl-Dlahhak bin Makhlad : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Diinaar, bahwasannya Abu Shaalih Az-Zayyaat telah mengkhabarkan kepadanya, bahwa ia mendengar Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu berkata : “Dinar dengan dinar, dan dirham dengan dirham”. Aku (Abu Shaalih) berkata : “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbaas tidak mengatakannya”. Abu Sa’iid berkata : “Aku telah bertanya kepadanya, dan aku berkata : ‘Apakah engkau mendengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau engkau dapati dari Kitabullah ?....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2179].
Beralasan Keluar dari Khilaf
Di atas telah dijelaskan bahwa beralasan dengan khilaf itu adalah tidak benar. Namun seringkali kita membaca dan mendengar sebagian orang beralasan keluar dari khilaf untuk menguatkan dan memegang satu pendapat. Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah menjelaskan permasalahan ini dengan perkataannya :
إن التعليل بالخلاف لا يصح، لأننا لو قلنا به لكرهنا مسائل كثيرة في أبواب العلم، لكثرة الخلاف في المسائل العلمية! وهذا لا يستقيم؛ فالتعليل بالخلاف ليس علة شرعية، ولا يقبل التعليل بقولك: خروجاً من الخلاف؛ لأن التعليل بالخروج من الخلاف، هو التعليل بالخلاف، بل إن كان لهذا الخلاف حظ من النظر، والأدلة تحتمله فنكرهه، لا لأن فيه خلافاً؛ ولكن لأن الأدلة تحتمله، فيكون من باب: (دع ما يريبك إلى مالا يريبك). أما إذا كان الخلاف لا حظ له من النظر، فلا يمكن أن نعلل به المسألة، ونأخذ منه حكماً. وليس كل خلاف جاء معتبراً إلا خلافاً له حظ من النظر لأن الأحكام لا تثبت إلا بدليل، ومراعاة الخلاف ليست دليلاً شرعياً تثبت به الأحكام، فيقال: هذا مكروه، أو: غير مكروه
“Sesungguhnya beralasan dengan khilaf (perselisihan pendapat) tidaklah benar, karena seandainya kita berpendapat dengannya, maka kita akan membenci banyak permasalahan dalam berbagai ilmu dikarenakan banyaknya perselisihan dalam permasalahan ilmiah. Ini tidak benar. Beralasan dengan khilaf bukanlah alasan yang syar’iy. Tidak diterima alasan perkataanmu : ‘Keluar dari khilaf’, karena alasan keluar dari khilaafsama saja beralasan dengan khilaaf. Seandainya khilaaf ini mempunyai sisi pandang yang dibenarkan dan dalil-dalil yang ada memberikan kemungkinan, maka kita pun membencinya. Bukan dikarenakan keberadaan khilaafpadanya, namun karena dalil-dalil yang ada memberikan kemungkinan demikian, sehingga masuk dalam bab : ‘tinggalkan apa-apa yang meragukanmu menuju apa-apa yang tidak meragukanmu’. Adapun seandainya khilaaf tersebut tidak mempunyai sisi pandang, maka tidak mungkin kita beralasan dalam masalah tersebut (keluar dari khilaaf), dan kemudian kita mengambil darinya hukum. Tidaklah setiap khilaf itu diakui, kecuali khilaf yang mempunyai sisi pandang. Karena, hukum-hukum tidaklah ditetapkan kecuali berdasarkan dalil. Sementara itu, memperhatikan khilaf bukanlah dalil syar’iy yang dapat menetapkan hukum, yang dengan itu dikatakan : ini makruh, atau tidak makruh” [Asy-Syarhul-Mumti’, 1/52].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[anakmuslimtaat’ – ngaglik, sleman, yogyakarta – 15062012 - banyak mengambil faedah dari kitab Zajrul-Mutahaawin karya Hamd bin Ibraahiim Al-'Utsmaan, pernah dipublikasikan di www.sahab.net].

Perselisihan Pendapat Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top