Sejarah dan Hukum Merayakan Tahun Baru | Ilmu Islam

Kamis, 01 Januari 2015

Sejarah dan Hukum Merayakan Tahun Baru




Setiap tahun kita menyaksikan perayaan besar yang rutin dilakukan oleh masyarakat di seluruh dunia. Perayaan itu adalah perayaan tahun baru. Perayaan yang dibuat secara meriah dan tentu saja dengan biaya yang tidak murah. Malam pergantian tahun baru masehi sangat ditunggu-tunggu oleh semua kalangan.

Pada kenyataannya, pada malam tahun baru dihiasi dengan berbagai hiburan yang menarik dan sayang untuk dilewatkan. Kaum muda-mudi tumpah ruah di jalanan, berkumpul di pusat kota menunggu pukul 00.00, yang seolah-olah dalam pandangan sebagian orang “sayang” untuk dilewatkan. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru.” Tidak saja dibelahan bumi lain seperti di Eropa dan Amerika, masyarakat kita juga sibuk dan sangat menanti-nantikan malam pergantian tahun tersebut.

Sebenarnya perayaan tahun baru masehi memiliki sejarah panjang. Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan. Melihat fenomena tersebut, penulis merasa tergugah untuk sedikit mengupas sejarah dan pandangan Islam terhadap tahun baru masehi.

Sejarah Perayaan Tahun Baru Masehi
Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya.

Pada tahun 45 SM Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).


Sementara penerus Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M. Pada saat itu muncul Kalender Gregorian.

Januarius (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.

Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya diliburkan. Di bulan Februari, konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak saat itu, tahun baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari. Tahun baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.

Orang Romawi merayakan tahun baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.

Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristiani. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.

Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.

Bagi orang Kristiani yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.

13 Alasan Kita Dilarang Merayakan Tahun Baru
Fakta di atas menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya umat Muslim. Pesta tahun baru masehi pertama kali dirayakan orang kafir, yang notabene masyarakat paganis Romawi. Acara ini terus dirayakan oleh masyarakat modern dewasa ini, kebanyakan dari mereka tidak mengetahui bahwa ritual pagan adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini dengan berbagai macam permainan, menikmati indahnya langit dengan semarak cahaya kembang api, dsb. Turut merayakan tahun baru statusnya sama dengan merayakan hari raya orang kafir. Dan ini hukumnya terlarang. Di antara alasan pernyataan ini adalah:

Pertama, turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda,

Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud)

Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,

 “Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang Majusi), dan meniru kebiasaan mereka, maka sampai mati dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”

Kedua, mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai teman setia dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman,

 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)

Ketiga, Hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk Madinah,

Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).

Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk Madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang Majusi, yang memprakarsai dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.

Dengan demikian, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.

Keempat, Allah berfirman menceritakan keadaan ‘ibadur rahman (hamba Allah yang pilihan). Firman Allah SWT dalam surah al-Furqan ayat 72, yang artinya:

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”(Qs. al-Furqan:72)

Dalam ayat tersebut terdapat kata “al-Zur” (perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah). Menurut ulama tafsir, maksud al-Zur adalah perayaan-perayaan orang kafir (Ibn Katsir, 6/130). Jelas dari ayat ini Allah melarang kaum muslimin menghadiri perayaan kaum muyrikin.

Kelima, Hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim berikut ini, sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Sesungguhnya bagi setiap kaum (agama) ada perayaannya dan hari ini (Idul adha) adalah perayaan kita”.

Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan maksud hadis tersebut bahwa dilarang melahirkan rasa gembira pada perayaan kaum musyrikin dan meniru mereka (dalam perayaan). (Fathul Bari, 3/371).
 
Keenam, Perayaan tahun baru identik dengan terompet. Bahkan meniup terompet dianggap sebagai perayaan yang paling sederhana menyambut tahun baru. Selain harganya murah, juga mudah dilakukan. Tapi tahukah kita bahwa meniup terompet adalah kebiasaan Yahudi sehingga ketika ada sahabat mengusulkan meniup terompet sebagai tanda masuknya shalat, Rasulullah s.a.w bersabda,

“Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi” (HR. Abu Daud; shahih)

Ketujuh, Merayakan tahun baru, khususnya dengan acara musik dan pesta kembang api serta acara sejenisnya, pastilah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal ini termasuk bentuk pemborosan yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah membenci tiga hal pada kalian; kabar burung, membuang-buang harta, dan banyak bertanya.” (HR. Bukhari)

Kedelapan, Salah satu bentuk perayaan tahun baru yang paling umum adalah menunggu detik-detik pergantian tahun, yakni tepat pukul 00:00. Dengan demikian, orang-orang yang merayakan tahun baru senantiasa begadang hingga dini hari. Begadang yang tidak memiliki kemaslahatan merupakan salah satu hal yang dibenci oleh Rasulullah. Jika tidak ada keperluan penting, Rasulullah biasa tidur di awal malam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat isya’ dan ngobrol setelah isya’ (HR. Bukhari)

Kesembilan, Sering kali, karena begadang sepanjang malam dan baru tidur menjelang fajar atau pagi hari, orang yang merayakan tahun baru meninggalkan Shalat Subuh. Bahkan terkadang shalat isya’ juga tidak dihiraukan karena acara perayaan sudah dimulai sejak petang. Meninggalkan shalat adalah salah satu dosa besar. Bahkan meninggalkan shalat dengan sengaja, bisa menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran.

Kesepuluh, Merayakan tahun baru dengan berbagai bentuk aktifitasnya, apalagi yang hura-hura, adalah termasuk menyia-nyiakan waktu. Padahal, dalam Islam, waktu sangatlah berharga sehingga Allah bersumpah demi waktu. Dan di akhirat nanti, seseorang juga tidak bisa beranjak dari tempatnya hingga ditanya waktunya untuk apa dihabiskan. Imam Syafi’i membuat kesimpulan yang sangat tepat terkait dengan waktu: “Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil)”

Kesebelas, Perayaan tahun baru umumnya tidak memisahkan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Sehingga terjadilah ikhtilath yang luar biasa. Bersentuhan lawan jenis menjadi tidak terelakkan, bahkan memang disengaja.

“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thabrani; shahih)

Keduabelas, Perayaan tahun baru dengan musik dan acara sejenis, kadang juga disertai dengan hal yang jelas-jelas haram. Misalnya minuman keras. Jika ini yang dilakukan tentu dosanya semakin banyak.

Ketigabelas, Termasuk hal yang paling parah dalam perayaan tahun baru adalah terjerumus zina. Ini bukan kekhawatiran semata, karena faktanya banyak berita yang melaporkan pembelian kondom meningkat menjelang tahun baru dan paginya di tanggal 1 Januari ditemukan banyak kondom bekas di lokasi perayaan tahun baru. Ada yang berzina karena memang sudah direncanakan dari awal. Namun ada juga perempuan yang terjerumus ke dalam zina saat perayaan tahun baru karena dimulai dari ikhtilath dan mengkonsumsi minuman keras hingga mabuk. Na’udzubillah min dzalik.


Keempatbelas, topi tahun baru yang berbentuk kerucut ternyata adalah topi dengan bentuk yang disebut Sanbenito, yakni topi yang digunakan Muslim Andalusia untuk menandai bahwa mereka sudah murtad dibawah penindasan Gereja Katholik Roma yang menerapkan inkuisisi Spanyol. Kini, 6 abad setelah peristiwa yang sangat sadis tersebut berlalu, para remaja muslim, anak-anak muslim justru memakai topi Sanbenito untuk merayakan tahun baru masehi dan merayakan ulang tahun. Sungguh ironis.

Sumber:  


YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer

Sejarah dan Hukum Merayakan Tahun Baru Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top