Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ مُحَمَّدٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ أَبِي قَتَادَةَ عَلَى ظَهْرِ بَيْتِنَا، فَرَأَى كَوْكَبًا انْقَضَّ فَنَظَرُوا إِلَيْهِ، فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: إِنَّا قَدْ نُهِينَا أَنْ نُتْبِعَهُ أَبْصَارَنَا "
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari Muhammad, ia berkata : Kami pernah bersama Abu Qataadah di atas atap rumah kami. Lalu ia melihat bintang jatuh. Orang-orang memandanginya. Kemudian Abu Qatadah berkata : 'Sungguh kami dilarang untuk memperhatikannnya" [Al-Musnad 5/299; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Tahqiq dan Takhrij-nya terhadap Musnad Al-Imaam Ahmad, 37/244].
Hisyaam mempunyai mutaba’ah dari:
1. Ayyuub As-Sikhtiyaaniy sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 11/290 no. 20007, Al-Haakim 4/286, dan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1155.
2. ‘Aashim Al-Ahwal sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1154.
Perkataan ‘kami dilarang’, maksudnya dilarang oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hadits di atas dihukumi marfuu’.
Diriwayatkan pula Ibnu Abi Syaibah 9/103 (13/557-558) no. 27163 dari jalan ‘Abdurrahiim bin Sulaimaan, dari ‘Aashim (Al-Ahwal), dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Qataadah secara mauquuf. Riwayat marfuu’ lebih kuat daripada yang mauquuf ini.
Ibnu Muflih berdalil dengan hadits di atas terhadap larangan untuk melihat bintang, kecuali jika dipergunakan untuk penunjuk kiblat [Aadaabusy-Syar’iyyah, hal. 434].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab Al-Wushaabiy hafidhahullah pernah ditanya:
"Apakah shahih doa yang dipanjatkan ketika bintang jatuh ?".
Beliau menjawab :
"Aku tidak mengetahui hadits (shahih) tentang hal tersebut. Hadits yang ada hanyalah terkait bahwa apabila ada orang yang melihat bintang yang digunakan untuk melempar setan (bintang jatuh) agar tidak memperhatikannya. Tidak boleh memperhatikannya. Inilah yang aku ketahui, yaitu tidak boleh memperhatikannya" [sumber : olamayemen].
Tentang hadits ruqyah :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، أَخْبَرَنَا حُصَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: " كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، فَقَالَ: أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ الْبَارِحَةَ؟ قُلْتُ: أَنَا، ثُمَّ قُلْتُ: أَمَا إِنِّي لَمْ أَكُنْ فِي صَلَاةٍ، وَلَكِنِّي لُدِغْتُ، ......
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Husyaim : Telah mengkhabarkan kepada kami Hushain bin ‘Abdirrahmaan, ia berkata : Aku pernah berada di sisi Sa’iid bin Jubair, lalu ia berkata : Siapakah di antara kalian yang melihat bintang jatuh semalam ?”. Aku berkata : “Aku”. Lalu aku berkata : “Akan tetapi aku tidak sedang mengerjakan shalat. Aku terbangun karena disengat binatang.....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 220].
Pertama, Hushain bin ‘Abdirrahmaan dan Sa’iid bin Jubair hanyalah melihat secara tidak sengaja (sekilas) bintang yang kebetulan jatuh, bukan memperhatikan/memandanginya. Ini jelas beda konteksnya. Kedua, seandainya hadits di atas dipahami bahwa keduanya benar-benar memperhatikan bintang yang jatuh, maka hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah akan gugur dengan perbuatan selain beliau. Sa’iid bin Jubair adalah seorang taabi’iy.
Semoga artikel ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[anakmuslimtaat’ – 18 Dzulhijjah 1435].