Seragam Salafiy | Ilmu Islam

Selasa, 22 Mei 2012

Seragam Salafiy


Seseorang berkata kepada rekannya yang memakai songkok nasional warna hitam, kemeja, dan sarung saat menghadiri ta’lim : ‘Sudah lama ngaji kok pakaiannya seperti orang awam’. Dengan kemasan sedikit berbeda, ada orang berkata : ‘Kayak sururiy saja ente ini’. Jadi terbayang di benak saya, seragam resmi apakah yang mesti dipakai bagi orang yang ingin ngaji Salafiy ?. Peci (haji) putih ?. Gamis Saudi/Pakistan ?. Tapi sebelumnya, mari kita dengarkan rekaman penjelasan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berikut :
.

Kurang lebih terjemahannya adalah :
Pertanyaan :
ما حكم من صلى بالناس إمامًا وليس على رأسه غطاء ؟
“Apa hukum seorang yang shalat mengimami manusia tanpa memakai penutup di kepalanya (peci atau imamah – anakmuslimtaat’) ?.
Beliau rahimahullah menjawab :
لا حرج في ذلك ؛ لأن الرأس ليس من العورة ، إنما السنة أن يُصلى بالإزار والرداء ؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء
فإذا صلى مكشوف الرأس فلا حرج في ذلك ، لكن إذا أخذ زينته واستكمل زينته يكون أفضل ؛ لقول الله سبحانه : يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
فإذا استكمل الزينة التي اعتادها في بلاده مع جماعته ، وكان من عادتهم أنهم يسترون الرؤوس فهذا أفضل ، أما إذا كان في بلاده ليس من عادتهم هذا ، بل من عادتهم كشف الرؤوس فلا بأس أن يصلي بهم مكشوف الرأس
“Tidak mengapa akan hal itu, karena kepala bukan termasuk aurat. Yang termasuk sunnah hanyalah shalat dengan memakai sarung dan baju, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan memakai satu pakaian saja, dimana tidak ada sesuatu pun yang menutupi pundaknya’.
Apabila ia shalat tanpa memakai penutup kepala, maka tidak mengapa. Akan tetapi apabila ia mengenakan perhiasannya dan menyempurnakannya (dengan mengenakan tutup kepala), maka hal itu afdlal (lebih utama), berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’ala : ‘Wahai Bani Aadam, gunakanlah perhiasan kalian setiap kali menuju masjid’ (QS. Al-A’raaf : 31). Oleh karena itu, apabila ia menyempurnakan perhiasan yang biasa berlaku pada negerinya bersama jama’ahnya, dimana termasuk di antara kebiasaan mereka (penduduk negeri) adalah menutup kepala; maka hal ini afdlal (lebih utama dilakukan). Sebaliknya, jika kebiasaan yang berlaku dalam negerinya tidak seperti itu, bahkan termasuk kebiasaan mereka adalah tidak memakai penutup kepala; maka tidak mengapa shalat bersama mereka dengan keadaan kepala terbuka (tanpa memakai penutup)” [selesai – lihat juga transkripnya di : http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=5&View=Page&PageNo=1&PageID=2907].
Asy-Syaikh Muhammad Khaliil Harraas rahimahullah pernah ditanya :
ما حكم الشرع فيمن يصلي عاري الرأس ؟
“Apa hukum syar’iy orang yang shalat dengan kepalanya terbuka (tanpa penutup) ?”.
Beliau rahimahullah menjawab :
لا بأس أن يصلي الرجل عاري الرأس ؛ فإن الرأس ليست من العورة التي أمرنا الله بسترها ، ولم يكن الرسول صلى الله عليه وسلم يلتزم تغطية الرأس في الصلاة ، بل كان كثيرا ما يصلي عاري الرأس ، وكان بعض الأئمة يستحب الصلاة عاري الرأس ، ويرى أنه أبلغ في التعبد
“Tidak mengapa seorang laki-laki shalat kepalanya terbuka, karena kepala bukan termasuk aurat yang Allah perintahkan kepada kita untuk menutupnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga tidak melazimkan menutup kepala dalam shalat. Bahkan beliau sering shalat dalam keadaan kepala terbuka. Dan sebagian imam menyukai shalat dengan kepala terbuka, dan mereka berpendapat hal tersebut lebih sampai pada ta’abbud” [An-Nibraas min Fataawaa Muhammad Khaliil Harraas; Daarul-Aatsaar].
Apabila kepala bukan merupakan aurat yang mesti ditutup saat shalat, maka memakai penutup kepala (peci, ‘imaamah/surban, ghutrah, dan yang semisalnya) tidaklah diwajibkan. Jika dalam shalat tidak diwajibkan, maka di luar shalat hukumnya (tentu) lebih ringan.
Jika demikian, benarkah kemudian jika memakai dan tidak memakai peci dianggap sebagai barometer kesalafian seseorang ? – sementara kita mengetahui tidak wajib memakai peci. Jika jawabannya adalah ‘tidak’, bukankah lebih layak untuk tidak membicarakan masalah warna peci dalam hal identitas kesalafian seseorang ?.
Kemudian,..... pernah ditanyakan kepada Asy-Syaikh Ibnul-Utsaimiin rahimahullah :
لبس العمامة هل هي سنة ثبتت عن الرسول صلى الله عليه وسلم ؟
“Memakai ‘imaamah, apakah ia termasuk sunnah yang tetap dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”.
Beliau rahimahullah menjawab :
لا ، لباس العمامة ليس بسنة ، لكنه عادة ، والسنة لكل إنسان أن يلبس ما يلبسه الناس ما لم يكن محرماً بذاته ، وإنما قلنا هذا ؛ لأنه لو لبس خلاف ما يعتاده الناس لكان ذلك شهرة ، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة ، فإذا كنا في بلد يلبسون العمائم لبسنا العمائم ، وإذا كنا في بلد لا يلبسونها لم نلبسها ، وأظن أن بلاد المسلمين اليوم تختلف ، ففي بعض البلاد الأكثر فيها لبس العمائم ، وفي بعض البلاد بالعكس ، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يلبس العمامة ؛ لأنها معتادة في عهده ، ولهذا لم يأمر بها ، بل نهى عن لباس الشهرة ، مفيداً إلى أن السنة في اللباس أن يتبع الإنسان ما كان الناس يعتادونه ، إلا أن يكون محرماً......
“Tidak. Pakaian ‘imaamah itu bukan termasuk sunnah, akan tetapi termasuk kebiasaan (‘aadah). Yang sunnah bagi setiap orang adalah ia memakai pakaian yang dipakai oleh orang-orang selama tidak diharamkan secara dzatnya. Kami hanyalah mengatakan hal ini karena jika ia memakai pakaian yang menyelisihi kebiasaan orang-orang, maka itu termasuk syuhrah. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammelarang pakaian syuhrah. Apabila kita berada di negeri yang penduduknya mempunyai kebiasaan memakai ‘imaamah, maka kita memakai ‘imaamah. Dan apabila kita berada di negeri yang penduduknya tidak biasa memakai ‘imaamah, kita pun tidak memakainya. Dan aku menduga negeri kaum muslimin saat ini berbeda-beda keadaannya. Sebagian negeri banyak yang memakai ‘imaamah, dan sebagian negeri lainnya sebaliknya. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa memakai ‘imaamah, karena ia biasa dipakai di jaman beliau. Oleh karena itu, beliau tidak memerintahkan manusia untuk memakainya. Namun di sisi lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai pakaian syuhrah. Hal ini memberikan faedah bahwa sunnah dalam pakaian adalah seseorang mengikuti apa yang biasa orang-orang memakainya, kecuali jika pakaian tersebut diharamkan..... “ [Pertemuan Terbuka, 23/60].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan As-Suhaim pernah ditanya tentang hukum memakai pakaian ala Punjabiy bagi wanita yang menyerupai pakaian model Pakistan. Beliau menjawab :
إذا لم يكن من لباس أهل البلد فيُمنع منه ؛ لأنه يدخل في حُكم لِباس الشُّهْرَة ، وهو اللباس الذي تشتهر به المرأة أو تتميّز به عن غيرها.
وقد قال عليه الصلاة والسلام : من لبس ثوب شهرة في الدنيا ألبسه الله ثوب مذلة يوم القيامة . رواه الإمام أحمد وأبو داود
“Apabila pakaian tersebut bukan termasuk pakaian penduduk negeri, maka terlarang memakainya, karena ia masuk dalam hukum pakaian syuhrah. Yaitu pakaian dimana seorang wanita menjadi masyhur dengannya atau berbeda sendiri dari wanita lainnya.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : ‘Barangsiapa yang memakai pakaian ketenaran (syuhrah) di dunia, niscaya Allah akan kenakan padanya pakaian kehinaan pada hari kiamat’. Diriwayatkan oleh Al-Imaam Ahmad dan Abu Daawud” [sumber : http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=59333].
Lihatlah atribut pakaian beberapa orang ulama berikut :
1.     Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah (Yordania) :

2.     Asy-Syaikh Dr. Ihsaan Ilahi Dhaahir rahimahullah (Pakistan) :
3.     Asy-Syaikh Muhammad bin Ismaa’iil Al-Muqaddam hafidhahullah (Mesir) :
Apakah mereka akan keluar dari lingkup salafiy hanya karena tidak ‘berpakaian salafiy’ sesuai standar yang ditentukan oleh sebagian orang ?.
Sama halnya,.... seandainya ada seseorang yang berpakaian muslim nasional seperti di bawah dan ingin ngaji salafiy, akankah ia diharuskan menanggalkan pakaiannya tersebut lalu menggantinya dengan pakaian ala Saudi atau Pakistan ?.

Wallaahul-musta’aan.
[anakmuslimtaat’ – ciper, ciomas, bogor – 22052012. Baca juga artikel : Siapa Bilang Peci Hitam Dilarang ?].

Seragam Salafiy Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top