Begitulah yang tertulis dalam satu judul artikel. Penulis artikel kemudian menyimpulkan bahwa penyebutan kufur ‘amaliy sebagai kufur ashghar membawa kepada pemahaman irjaa’. Maka tidak heran jika kemudian sebagian kompatriotnya pun menuduh beberapa ulama Ahlus-Sunnah[1]sebagai Murji’ (orang berpemahaman Murji’ah).[2]
Benar, kufur ‘amaliy itu ada yang dapat mengeluarkan dari Islam (kufur akbar) dan ada pula yang tidak mengeluarkan (kufur ashghar). Ibnul-Qayyim rahimahullahberkata :
أن الكفر نوعان: كفر عمل وكفر جحود وعناد, فكفر الجحود أن يكفر بما علم أن الرسول جاء به من عند الله جحودا وعنادا من أسماء الرب وصفاته وأفعاله وأحكامه, وهذا الكفر يضاد الإيمان من كل وجه. أما كفر العمل فينقسم إلى ما يضاد الإيمان وإلى ما لا يضاده. فالسجود للصنم والاستهانة بالمصحف وقتل النبي وسبه يضاد الإيمان, وأما الحكم بغير ما أنزل الله وترك الصلاة فهو من الكفر العملي قطعا ولا يمكن أن ينفي عنه اسم الكفر بعد أن اطلقه الله ورسوله عليه فالحاكم بغير ما أنزل الله كافر وتارك الصلاة كافر بنص رسول الله صلى الله عليه وسلم, ولكن هو كفر عمل لا كفر اعتقاد
“Bahwasannya kekufuran itu ada dua : (1) kufur amal, serta (2) kufur pengingkaran (juhuud) dan penentangan (‘inaad). Kufur pengingkaran adalah kufur dengan apa yang diturunkan kepada Rasul dari sisi Allah dengan pengingkaran dan penentangan terhadap nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya. Kekufuran ini bertolak belakang dengan keimanan dari segala sisi. Sedangkan kufur amal dibagi menjadi dua, yaitu yang bertolak belakang dengan iman dan yang tidak bertolak belakang. Sujud kepada berhala, menghina mushhaf Al-Qur’an, membunuh Nabi dan mencelanya adalah kufur amal yang bertolak-belakang dengan iman. Berhukum dengan selain hukum Allah dan meninggalkan shalat merupakan kufur ‘amaliy, tidak mungkin untuk menafikkan darinya nama kekufuran setelah Allah dan Rasul-Nya memutlakkannya. Hakim yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah adalah kafir dan orang yang meninggalkan shalat pun kafir berdasarkan nash Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi ia adalah kufur amal, bukan kufur i’tiqad” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 56-57].
Akan tetapi mesti diingat bahwa banyak ulama sering menggunakan lafadh ‘kufur ‘amaliy’ secara mutlak dengan makna kufur ashghar. Kufur ‘amaliy disebut sebagai lawan dari kufur i’tiqadiy yang dapat mengeluarkan dari agama. Tidak terkecuali dalam hal ini Ibnul-Qayyim rahimahullah yang berkata :
فالإيمان العملي يضاده الكفر العملي، والإيمان الاعتقادي يضاده الكفر الاعتقادي، وقد أعلن النبي صلى الله عليه وسلم بما قلناه في قوله في الحديث الصحيح: "سباب المسلم فسوق وقتاله كفر". ففرق بين قتاله وسبابه وجعل أحدهما فسوقا لا يكفر به والآخر كفر, ومعلوم أنه إنما أراد الكفر العلمي لا الاعتقادي, وهذا الكفر لا يخرجه من الدائرة الإسلامية والملة بالكلية كما لا يخرج الزاني والسارق والشارب من الملة وإن زال عنه اسم الإيمان....
“Maka iman ‘amaliy lawannya adalah kufur ‘amaliy dan iman i'tiqadiy lawannya adalah kufur i’tiqadiy. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan dengan apa yang disabdakannya dalam sebuah hadits shahih : ‘Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran’. Beliau membedakan antara memerangi dan mencela, serta menjadikan salah satu di antara keduanya kefasikan – bukan kekafiran – sedangkan yang lain kekafiran. Dan telah diketahui bahwasannya yang beliau maksudkan dengannya hanyalah kufur ‘amaliy, bukan i’tiqadiy. Kekufuran jenis ini tidak mengeluarkan pelakunya dari wilayah Islam dan agama secara keseluruhan; sebagaimana seorang pezina, pencuri, dan peminum khamr tidaklah dikeluarkan dari agama meskipun hilang darinya nama iman....” [Ash-Shalaah, hal. 58].
Begitu juga ulama yang lainnya :
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibraahiim rahimahullah berkata :
فَانْظُرْ كَيْفَ سَجَّلَ تَعَالى عَلَى الحَاكِمِينَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللهِ بالْكُفْرِ وَالظُّلْمِ وَالفِسْقِ وَمِنَ الْمُمْتَنَعِ أَنْ يُسَمِّي اللهُ سُبْحَانَهُ الحاكِمَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللهُ كَافِرًا وَلا يَكُونُ كَافِرًا بَلْ هُوَ كَافر مُطْلَقًا إِمَّا .كُفْرُ عَمَلٍ وَإِمَّا كُفْرُ اعْتِقَاد وَمَا جَاءَ عَنْ ابنِ عَبَّاسٍ في تَفْسِير هَذِهِ الآيَةِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الحَاكِمَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللهُ كَافِرٌ إِمَّا كُفْرُ اعْتِقَادٍ نَاقِلٍ عَنْ الْمِلَّةِ وَإِمَّا كُفْرُ عَمَلٍ لا يَنْقُلِ عَنْ الْمِلَّةِ
“Perhatikanlah bagaimana Allah ta’ala menghukumi para pemimpin yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah dengan kufur, dhalim, dan fasiq. Tidak mungkin Allah subhaanahu wa ta’ala menamakan penguasa yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah dengan kekafiran, namun ia tidak menjadi kafir. Bahkan, ia kafir secara mutlak. Mungkin ia kufur ‘amaliy atau kufur i’tiqadiy. Dan perkataan dari Ibnu ‘Abbaas dalam tafsir ayat ini yang berasal dari riwayat Thaawuus dan yang lainnya menunjukan bahwasannya seorang hakim/penguasa yang menghukumi dengan selain yang diturunkan Allah adalah kaafir; mungkin ia kufur i’tiqadiy yang mengeluarkan dari agama, mungkin pula kufur amal yang tidak mengeluarkan dari agama” [Tahkiimul-Qawaaniin, hal. 15].
Asy-Syaikh Haafidh Al-Hakamiy rahimahullah berkata :
الكفر كفران: كفر أكبر يُخرج من الإيمان بالكلية وهو الكفر الاعتقادي المنافي لقول القلب وعمله أو لأحدهما. وكفر أصغر ينافي كمال الإيمان ولا ينافي مطلقه وهو الكفر العملي الذي لا يناقض قول القلب ولا عمله ....
“Kekufuran ada dua macam. Pertama adalah kufur akbar yang mengeluarkan pelakunya dari iman secara keseluruhan. Ia adalah kufur i’tiqaadiy yang bertentangan dengan perkataan dan amal hati, atau salah satu dari keduanya. Kedua adalah kufur ashghar yang menafikkan kesempurnaan iman, namun tidak menafikkan kemutlakannya. Ia adalah kufur ‘amaliy yang tidak berlawanan dengan perkataan dan amal hati...” [A’laamus-Sunnah Mansyuurah, hal. 80].
ما الكفر العملي الذي لا يُخرج من الملة؟. هو كل معصية أطلق عليها الشارع اسم الكفر مع بقاء اسم الإيمان على عامله
“Apakah kufur ‘amaliy yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama ?. Ia adalah seluruh kemaksiatan yang dimutlakkan Syaari’ (Allah) padanya nama kekafiran bersamaan dengan keberadaan nama iman atas pelakunya...” [idem, hal. 82].
Para ulama yang mengisi rubrik Majalah Al-Buhuuts Al-Islaamiyyah berkata :
أما الثاني من أنواع الكفر : فهو الكفر الأصغر ، الذي يسميه أهل السنة : الكفر العملي ، وهو : مخالفة حكم من أحكام الشريعة ، ومعصية عملية ، لا تخرج عن أهل الإيمان ، وإنما توجب لصاحبها الوعيد بالنار ، دون الخلود فيها
“Adapun bagian kedua dari macam kekufuran adalah : kufur ashghar, yang dinamakan Ahlus-Sunnah sebagai kufur ‘amaliy. Ia adalah pelanggaran hukum dari hukum-hukum syari’ah dan merupakan maksiat amaliah, tidak mengeluarkan pelakunya dari orang yang beriman. Kekufuran tersebut mewajibkan pelakunya ancaman akan neraka tanpa kekal di dalamnya” [sumber : sini].
Dan yang lainnya masih banyak.
Setelah membaca penjelasan para ulama di atas, Anda – insya Allah - dapat lihat akurasi perkataan mereka (takfiriy). Mereka tidak dapat membedakan penggunakan lafadh kufur ‘amaliy ketika digunakan secara mutlak dan ketika digunakan dengan perincian. Beberapa ulama yang mereka tuduh sebagai Murji’pun ketika menyebut kufur ‘amaliy sebagai kufur ashghar, telah merinci di tempat lain bahwa kufur ‘amaliy ada yang dapat membuat kafir (karena bertentangan dengan iman) dan ada pula yang tidak membuat kafir.[3]
Wallaahu a’lam.
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
[anakmuslimtaat’ – perum ciomas permai – 13122012 – 00:32].
[1] Misal ulama yang dituduh berpemahaman Murji’ah dalam kasus ini adalah Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah dan beberapa muridnya (termasuk Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy hafidhahullah).
Misalnya Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata :
وجملة القول أن الآية نزلت في اليهود الجاحدين لما أنزل الله ، فمن شاركهم في الجحد ، فهو كافر كفرا اعتقادياً ، و من لم يشاركهم في الجحد فكفره عملي لأنه عمل عملهم ، فهو بذلك مجرم آثم ، و لكن لا يخرج بذلك عن الملة
“Dan kesimpulannya, bahwasannya ayat ini (QS. Al-Maaidah : 44) turun pada orang-orang Yahudi yang juhuud (mengingkari) terhadap hukum Allah. Barangsiapa yang ikut serta mereka dalam kejuhudan, maka ia kafir dengan kufur secara i’tiqadiy. Dan barangsiapa yang tidak ikut serta mereka dalam kejuhudan maka kufurnya adalah ‘amaliy, karena ia melakukan amalan mereka. Dengan sebab perbuatan tersebut, ia adalah orang yang berbuat kejahatan lagi dosa, akan tetapi tidak mengeluarkannya dari agama....” [Silsilah Ash-Shahiihah, 6/115].
[2] Bahkan belakangan di negeri kita banyak diselenggarakan beberapa pertemuan, seminar, atau bedah buku untuk melariskan madzhab Khawaarij yang menuduh ulama Ahlus-Sunnah sebagai Murji’ah.
[3] Silakan baca : Siapa Sebenarnya yang Murji’ah ?.