Tanya : Apakah menyentuh kemaluan dan dubur binatang membatalkan wudlu ?.
Jawab : Jumhur ulama berpendapat tidak batalnya wudlu karena menyentuh kemaluan dan dubur binatang[1]. Bahkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan pendapat ini merupakan ijmaa’ulama mutaqaddimiin :
لمس فرج الحيوان غير الإنسان لا ينقض الوضوء حيا ولا ميتا باتفاق الأئمة وذكر بعض المتأخرين من أصحاب الشافعي فيه وجهين . وإنما تنازعوا في مس فرج الإنسان خاصة
“Menyentuh kemaluan binatang selain manusia tidaklah membatalkan wudlu, baik hewan itu masih hidup ataupun telah mati, berdasarkan kesepakatan para ulama. Sebagian ulama muta’akhkhiriin dari kalangan ashhaab Asy-Syaafi’iy menyebutkan ada dua pendapat dalam permasalahan tersebut. Para ulama hanyalah berbeda pendapat dalam permasalahan menyentuh kemaluan manusia secara khusus” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 21/231].
Ada pendapat lain ternukil dari Al-Laits yang mengatakan batalnya wudlu secara mutlak, dan yang diriwayatkan dari ‘Athaa’ bahwa ia membedakan antara hewan yang dagingnya dapat dimakan dan tidak dapat dimakan.[2]
Alasan yang dipakai jumhur adalah : Maksud farji dalam nash[3]yang menegaskan batalnya wudlu bagi orang yang menyentuhnya adalah farji manusia, bukan farji hewan. Jika tidak ada dalil, berlakulah al-baraa-atul-ashliyyah, yaitu tidak batalnya wudlu. Selain itu, ketika syari’at tidak memberikan ketentuan batalnya wudlu seseorang karena menyentuh hewan betina, maka menyentuh farjinya (kemaluan dan dubur) juga tidak membatalkan wudlu.
Alasan yang dipakai ulama yang menyatakan batal adalah kemutlakan lafadh farji yang ada dalam hadits Busrah berikut :
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، قَالَ: تَذَاكَرَ هُوَ وَمَرْوَانُ الْوُضُوءَ مِنْ مَسِّ الْفَرْجِ، فَقَالَ مَرْوَانُ: حَدَّثَتْنِي بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْوُضُوءِ مِنْ مَسِّ الْفَرْجِ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, ia berkata bahwasannya ia pernah berdiskusi dengan Marwaan perihal wudlu dikarenakan menyentuh farji. Marwaan berkata : Telah menceritakan kepadaku Busrah bintu Shafwaan, bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan untuk berwudlu karena menyentuh farji [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 411; shahih].
Sisi pendalilannya : kemutlakan lafadh farji di sini meliputi farji manusia dan hewan.
Adapun alasan pendapat yang ternukil dari ‘Athaa’ adanya pembedaan antara hewan najis yang tidak dapat dimakan dagingnya (menyebabkan batal) dan hewan suci yang dapat dapat dimakan dagingnya (tidak menyebabkan batal), belum diketahui. Manaathul-hukm permasalahan ini bukanlah terletak pada suci atau najisnya hewan.
Yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat jumhur, karena tidak ada dalil shahih dan shariih (jelas) yang menunjukkan batalnya. Dalil hadits Busrah yang dipakai oleh sebagian ulama, dalam lafadh lain disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan farji tersebut adalah farji manusia.
أَخْبَرَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا مَعْنٌ، أَنْبَأَنَا مَالِكٌ، ح وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ، عَنْ ابْنِ الْقَاسِمِ، قال: أَنْبَأَنَا مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ، يَقُولُ: دَخَلْتُ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ، فَذَكَرْنَا مَا يَكُونُ مِنْهُ الْوُضُوءُ، فَقَالَ مَرْوَانُ: مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ الْوُضُوءُ، فَقَالَ عُرْوَةُ: مَا عَلِمْتُ ذَلِكَ.فَقَالَ مَرْوَانُ: أَخْبَرَتْنِي بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Haaruun bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Ma’n : Telah memberitakan kepada kami Maalik (ح). Dan Al-Haarits secara qiraa’at yang dibacakan kepadanya dan aku mendengarnya, dari Ibnul-Qaasim, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Maali, dari ‘Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm, bahwasannya ia mendengar ‘Urwah bin Az-Zubair berkata : Aku pernah masuk menemui Marwaan bin Al-Hakam, lalu kami membicarakan tentang sesuatu yang mengharuskan wudlu. Marwaan berkata : “(Di antara yang) mengharuskan wudlu adalah karena menyentuh dzakar”. ‘Urwah berkata : “Aku belum mengetahui hal itu”. Laly Marwaan berkata : “Telah mengkhabarkan kepada kami Busrah bintu Shafwaan, bahwasannya ia mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudlu” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 163; shahih].
Jelas di sini yang dimaksudkan dengan farji atau dzakar adalah farji atau dzakar manusia.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[anakmuslimtaat’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 28041434/09032013 – 23:28 – jawaban banyak mengambil faedah dari buku Al-Qadiim wal-Jadiid min Aqwaali Al-Imaam Asy-Syaafi’iy oleh Dr. Muhammad Samii’iy Ar-Rastaaqiy, hal. 209-212].
[1] Al-Kaafiy fil-Fiqhil-Maalikiy(1/149), Adz-Dzakhiirah (1/235), Raudlatuth-Thaalibiin (1/75), Hilyatul-‘Ulamaa’(1/152), Al-Mughniy wasy-Syarhul-Kabiir (1/175), Syarhul-‘Umdah (1/312), dan Al-Muhallaa (1/239).
[2] Al-Mughniy wasy-Syarhul-Kabiir (1/175), Al-Bayaan (1/189-190), dan Al-Haawiy Al-Kabiir (1/198).
[3] Dari Busrah bintu Shafwaan radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Barangsiapa yang menyentuh dzakarnya, janganlah ia shalat hingga berwudlu terlebih dahulu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 82, Abu Daawud no. 181, Ibnu Maajah no. 479, dan yang lainnya; shahih].
Dari Ummu Habiibah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh farjinya, hendaklah ia berwudlu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 481, Abu Ya’laa no. 7144, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/130; shahih].